Disclaimer:
untuk Hans Christian Andersen, atas sebuah cerita yang selalu menyentuhku
Tertatih, ia menyusuri jalanan gelap nan sepi yang menghubungkan desa besar tempatnya tinggal dengan sebuah jalan besar dimana banyak pejalan yang berlalu lalang. Disekanya serpihan salju yang jatuh dari sebuah dahan pohon ke atas kepalanya. Walau angin berhembus menusuk tulang dan gelap malam di sekelilingnya, ia tidak takut ataupun berbalik untuk kembali ke rumah sang ibu tiri, seorang janda yang mengadopsi Pokemon-Pokemon yang dibuang orang tua mereka, Gothitelle. Tentu saja Gothitelle tidak memungut mereka secara gratis. Pokemon-Pokemon yang masih kecil ia suruh meminta-minta di depan gedung-gedung yang menjulang tinggi nan sombong sementara Pokemon yang lebih besar akan ia suruh bekerja. Dan Zorua termasuk 'Pokemon yang lebih besar' setelah empat tahun tinggal di rumah Gothitelle.
Kau ingin tahu, apa pekerjaanku? Aku malu dengan pekerjaanku, namun apa boleh buat. Dunia telah membentukku menjadi seperti ini.
Dingin masih menyelimutinya, namun ia tak memedulikan hal itu karena jalan besar tempatnya bekerja akan segera terlihat. Tiga blok lagi, dan ia akan melihat keramaian menjelang Natal, ya, dan juga anak-anak yang tertawa riang bersama orang tua mereka, tak sabar menanti hadiah hari Natal yang akan mereka buka keesokan harinya. Walaupun sekadar menonton, namun tak mengapa. Ia bisa bahagia meski hanya mengamati keceriaan itu dari sebuah gang gelap tempatnya bekerja atau… lebih tepatnya tempat ia menanti korban-korban yang lengah.
Kau tentu sudah tahu pekerjaanku, bukan?
"Zorua…"
Deg… Jantung Zorua seketika berdegup lebih kencang daripada biasanya. Sekejap, samar namun terdengar jelas, sebuah suara jelas-jelas telah memanggilnya. Suara yang lembut, tak bisa ia menebak Pokemon apakah yang memanggilnya, karena sekalipun ia belum pernah mendengar suara yang melenakan seperti suara tadi.
"Zorua… Kemari… Di sini! Kau bisa melihatku, bukan?"
Zorua menoleh ke sana kemari dengan bersemangat. Disisirnya seluruh pemandangan yang ada di sekitar Zorua. Salju yang menumpuk di jalanan karena tak ada seorangpun yang mau membersihkannya. Sampah-sampah dan ranting yang jatuh menghiasi jalanan suram itu. Dan jejak kaki, jejaknya.
Aneh, rasanya aku sangat ingin melihat si pemilik suara, bukannya rasa takut yang menjalariku.
"Di sini, kau bisa melihat sebuah gang sempit, tepat satu gang di depanmu. Aku menggenggam sebatang lilin kecil, cahayanya pasti tertangkap olehmu." Sang pemilik suara seolah mengamati Zorua, setiap gerakannya, bahkan apa yang Zorua pikirkan. "Mari bermain bersamaku. Kelaparan, lelah, ataupun ketakutan takkan bersamamu malam ini, bahkan malam-malam selanjutnya. Janjiku bisa kaupegang."
Bukankah itu tawaran yang menjanjikan? Sebuah malam yang indah, yang takkan membuatnya ketakutan akan bayangan kejaran orang-orang yang menangkap basah dirinya hingga kepalan-kepalan tangan yang akan membuatnya babak belur… Mungkin sang pemilik suara adalah seseorang yang selalu mengamatinya, dan mencari kesempatan untuk mengajak Zorua kabur.
Perlahan ia melangkah menuju gang di mana tertangkap olehnya redup cahaya lilin. Angin malam seolah berhenti berhembus, dingin yang menusuk juga seolah pergi, menguap seiring langkah Zorua menuju cahaya redup itu. Cahaya berwarna biru, sama seperti cahaya menakutkan dalam sebuah dongeng yang diceritakan orang tua kepada anak-anak mereka. Tapi Zorua tak memiliki orang tua, tak pernah sekalipun ia tahu dongeng itu. Dongeng yang mungkin akan terjadi padanya, malam ini.
"Hai, Zorua… Apa kau ingin mengetahui namaku, ataukah dirimu ingin langsung menikmati malam menyenangkan ini, bersamaku?"
Aku ingin lebih mengenalmu, namun aku tak ingin membuang sedetik pun malam ini.
"Baiklah kalau itu pintamu."
Dari kegelapan, cahaya redup biru itu bersinar sedikit lebih terang, memunculkan lidah-lidah api kecil yang mengelilingi Zorua. Dikelilingi lidah-lidah api yang melayang, mata Zorua menjadi lebih berat… berat… dan berat…
Tubuh hitam mungil itu terbangun di sebuah ladang hijau yang disinari cahaya mentari. Dilihatnya Pokemon-Pokemon aneh yang belum pernah ia lihat bermain-main dengan riangnya, seolah tanpa beban sama sekali. Juga, ia melihat sekelompok lain Pokemon yang beristirahat di bawah rindangnya pohon besar, sambil menikmati buah-buahan yang mereka petik sendiri dari pohon itu. Ada pula kelompok lain yang berenang atau sekedar minum air dari sebuah danau jernih yang membuat dahaga. Tanpa diberi komando, seekor Pokemon kecil yang sedang bermain-main bersama temannya mendekati Zorua, sembari mengambilkan sebuah apel ranum dengan kekuatan psikis. Tersenyum, Zorua menerima buah ranum itu. Namun, seketika itu juga semua pemandangan menyenangkan itu kabur.
Lagi, lagi. Aku ingin menikmati pemandangan itu lagi.
"Kau benar-benar tak ingin mengetahui namaku? Baiklah…"
Cahaya biru yang semula redup dan seolah hampir mati kini bersinar lebih terang lagi, diikuti iring-iringan lidah api kecil yang mengitari Zorua, sama seperti tadi. Dan kini, kepala Zorua juga menjadi semakin berat…
Kini, ia terbangun di sebuah istana megah nan mewah berwarna-warni. Di hadapannya sesosok Pokemon duduk di sebuah singgasana, tertutup sehelai tirai tipis yang menghalangi pemandangan satu sama lain. Segunung buah-buahan tertata rapi di sebuah meja panjang, yang juga diisi oleh berbagai jenis makanan lezat dan mengundang selera. Di sudut lain istana itu, bisa dilihatnya beraneka macam mainan yang selama ini ia impikan. Sosok Pokemon itu kini bergerak malas, merenggangkan tubuhnya, kemudian berjalan melewati tirai penghalang, dan menatap tepat ke mata Zorua. Sosok berwarna merah muda, dengan semacam pita di kepala dan lehernya. Manis dan cantik. Dengan langkah anggun, sosok itu mendekati Zorua dengan senyum lembutnya yang membuat Zorua bersemu merah. Ketika sosok itu semakin dekat, Zorua disedot kembali ke dunia nyata, sama seperti tadi.
Lagi, aku ingin sebuah mimpi yang bertahan lebih lama.
"Kau yakin? Itulah pilihanmu…"
Kali ini, cahaya biru itu bersinar seterang matahari, menampakkan seluruh bagian sang pemilik suara. Sosok Pokemon berbentuk lilin, dengan senyumnya yang mengerikan.
Zorua terkejut karena ia menyangka itu hanyalah lilin, bukan sesosok Pokemon. Namun ia tak sempat berucap sepatah kata pun. Ia begitu terlena dengan lidah api yang menghangatkannya, nyaris membakarnya.
"Inilah yang terakhir, kau takkan menderita lagi."
Kali ini, tak ada sensai pusing atau kepala berat melandanya. Melainkan sebuah kereta dengan kecepatan tinggi yang tiba-tiba berhenti di hadapan Zorua. Sosok Pokemon merah muda tadi duduk di depan, menganggukkan kepala seolah mengajak Zorua duduk di sampingnya. Begitu Zorua duduk di samping sang Pokemon, kereta melaju kencang ke langit malam gelap, tak kembali lagi.
"Kuucapkan terima kasih kepadamu, dari hatiku yang paling dalam. Energi kehidupanmu memberiku sedikit waktu untuk dapat bertahan hidup."
Perlahan, Pokemon yang mengeluarkan cahaya biru itu menghilang ditelan malam, meninggalkan sosok hitam terbaring kaku.
Fanfic ini pernah diikutsertakan dalam sebuah kontes kreativitas yang diadakan di Facebook, Januari 2014.
