Chapter Summary
Jack didatangi kakeknya. Bukan tanpa alasan, sang kakek datang untuk memberikan tugas yang membuat Jack harus berpikir keras.
…
.
DISCLAIMER:
I don't own Harvest Moon. Saya hanya meminjam beberapa karakter dan menampilkan mereka dalam plot cerita ini tanpa mengharapkan keuntungan materiil dari siapapun.
.
.
MAKAN MALAM
Chapter 1
Kedatangan Kakek
.
…
Hari melelahkan yang lain. Musim semi kembali datang, waktunya bagiku membersihkan sisa-sisa salju di musim dingin setelah dua hari kemarin aku menghabiskan waktu bersama seluruh penduduk desa dalam pesta Malam Tahun Baru dan Perayaan Tahun Baru. Saatnya kembali sibuk dengan pekerjaan di kebun, menanam bibit-bibit tanaman musim semi, memberi makan ternak dan ikan, mengangkut butiran telur, kalengan susu dan gulungan wol untuk dijual. Tahun ini pekerjaanku tidak akan lebih ringan dari tahun lalu.
Benar-benar hari yang sibuk dan melelahkan. Aku baru bisa masuk ke dalam rumah pada pukul enam petang, setelah Zack datang ke perkebunan untuk mengangkut hasil ternak yang kujual. Aku hanya mengobrol dengannya sekilas saja, berbasa-basi kurang dari lima belas menit, lalu ia permisi untuk pulang karena matahari sudah tak lagi menampakkan sinarnya.
Di dalam, aku menyalakan perapian. Malam ini terasa dingin karena baru menginjak hari-hari awal musim semi. Ditambah lagi, laporan cuaca mengatakan seharian besok akan turun hujan. Harusnya aku beruntung ketika hujan turun karena aku tak perlu menyiram tanaman-tanaman di kebun. Namun rasa dinginnya itu yang membuatku malas bekerja, bahkan merasa tak nyaman di rumah sendirian. Oh, tidak sendiri. Aku baru ingat jika Perro, anjingku, kubawa ke dalam rumah malam ini. Bisa kurasakan betapa dinginnya ia di luar jika aku membiarkannya berkeliaran.
Langkah kakiku tergerak ke dapur, memeriksa bahan makanan yang ada di kulkas. Rasa dingin ini membuatku ingin memasak ikan bakar berlumur kecap. Kutelan air liurku saat mempersiapkan peralatan masak dan membersihkan ikan yang sudah lama kusimpan di dalam lemari es. Aku kemudian mencari-cari resep masakan yang kutulis setelah menonton tayangan Delicious Time di salah satu saluran televisi pada hari Selasa. Ternyata sobekan kertas itu terselip di lemari penyimpanan.
Segera aku mengikuti langkah-langkah dalam resep itu. Tak berapa lama, ikan bakar kecap yang sudah kubayangkan sejak tadi terhidang di piring saji. Aku membawanya ke meja makan, sementara Perro menggonggong, berputar-putar sambil menggoyang-goyangkan ekornya, meminta bagian.
"Kau mau ikan, Perro? Tunggu sampai aku kenyang."
Perro tetap mengeluarkan suara guk guk di dekat kaki meja. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya selagi menikmati ikan bakar hangat yang baru dimasak. Baru ketika hanya duri dan secuil daging yang tersisa di piring, aku menyodorkan piring itu pada Perro, lalu bergegas menyikat gigi di wastafel dan membersihkan diri.
Aku siap untuk tidur.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat ketika aku memasuki kamar tidur. Kubiarkan perapian tetap menyala seperti saat awal aku memasukkan kayu bakar ke dalamnya. Selimut hangat dan perapian akan membuat tidurku lebih nyaman. Setelah mencatat apa yang telah kulakukan di hari itu dalam buku harian, aku mulai menarik selimut di atas tempat tidur paling sudut. Sekilas aku melirik tempat tidur di sebelahku, tak habis pikir mengapa Gotz menambahkan tempat tidur itu ketika aku menyuruhnya memperluas rumahku. Bukankah ia juga tahu bahwa aku hanya hidup sendiri? Atau ia sengaja menambahkan satu tempat tidur agar ia bisa menginap saat merasa ketakutan tinggal di rumahnya yang dekat dengan gunung? Ah, bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu. Aku sangat lelah, kedinginan, dan perlu tidur lebih dari apapun. Dengan sebelah tangan, aku mematikan lampu tidur.
Benar saja, aku tak perlu waktu lama untuk bisa memejamkan mata. Hangatnya selimut ditambah nyala perapian meninabobokanku dengan nyaman. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Tidur mengalahkan rasa lelah.
Tidur mengembalikan kekuatanmu yang berkurang.
Tidur membantumu bersiap untuk menghadapi hari esok.
Rasanya belum lama mataku terpejam ketika aku mendengar seseorang berbisik memanggil namaku.
"Jack, jack…"
Aku mengerutkan dahi sambil tetap memejamkan mata, sementara pelan-pelan menajamkan pendengaran.
"Jack, bangunlah…"
Aku terlalu capek untuk terbangun secepat ini.
"Bangun, Jack. Ini kakek."
Mendadak saja kalimat itu menghidupkan setiap saraf dalam tubuhku yang tengah memelankan kerja mereka. Sedikit demi sedikit aku membuka mata, menyipitkan keduanya, kemudian terbelalak ketika mendapati seseorang sedang duduk di samping tempat tidur kosong itu. Seseorang yang amat sangat kukenal.
"Kakek! Oh, Tuhan!"
Aku bisa mendengar kakek tertawa. Kini aku sudah sepenuhnya terbangun.
"Tenang, Jack. Aku bukan hantu. Aku masih kakekmu."
"Ya, tapi… Kakek, apa yang kau lakukan di sini?" aku mulai mengendalikan rasa kaget dan ketakutanku.
"Kerjamu di kebun kita ini amat bagus, Jack."
Kalimat itu tak menjawab pertanyaanku sama sekali.
"Terima kasih," jawabku seraya meluruskan punggung dan memposisikan diri untuk duduk berhadapan dengannya, "Tapi kakek belum menjawab pertanyaanku tadi."
Kakek terdiam sejenak, tampak sedang berpikir. "Pertanyaan yang mana?"
Tanpa sadar, aku menepuk dahi.
"Kakekmu ini sudah agak pelupa. Maafkanlah," ujar Kakek kemudian, lirih.
"Untuk apa Kakek datang kesini?"
"Oh, ya. Yang itu," senyum Kakek terkembang, "ada hal penting yang perlu Kakek bicarakan denganmu."
Selayaknya saat aku masih kecil dulu, sekarang pun aku menyiapkan diri begitu Kakek berkata seperti tadi.
"Kakek selalu memperhatikan kerjamu, Jack. Meski kau berasal dari kota, kerjamu mengurus kebun, ternak dan juga rumah ini sangat bagus."
Aku masih terdiam.
"Kulihat kau sudah memperluas rumah. Oh, sejak dulu aku sangat ingin punya perapian, tapi tak pernah kesampaian."
Kakek terlihat sedih saat mengatakan itu.
"Kau harus terus menetap di desa ini untuk melanjutkan pekerjaanmu mengurus perkebunan, merawat ayam, sapi dan domba. Kau harus bisa melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Oleh karena itu, kurasa ini sudah saatnya kau meminang seorang gadis di desa untuk menjadi istrimu."
Baru aku sadari jika belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku ketika aku mendengarkan kata-kata Kakek. Aku masih berusaha untuk mencerna maksud kalimatnya yang terakhir.
"Begitukah?" tanyaku setelah terdiam beberapa saat.
Kakek mengerutkan dahi melihat reaksiku. "Ya, Jack! Begitu. Kau harus segera menikah."
"Tapi aku belum berpikir untuk menikah, Kek."
"Oh, ayolah. Saat seusiamu dulu, Kakek sedang menantikan kelahiran Ayahmu."
Aku belum merespon kata-kata Kakek. Alih-alih, beragam tanda tanya berputar-putar dalam kepalaku.
"Apa menurut Kakek aku benar-benar sudah siap untuk menikah?"
Kakek memutar bola matanya, "Menurutmu untuk apa ada dua tempat tidur di kamar ini?"
"Oh, ya. Itu yang sedang aku pikirkan, Kek." Tiba-tiba saja aku seperti disadarkan pada satu topik yang mengganggu pikiran, "Gotz yang membuatnya ketika memperluas rumah ini. Kurasa ia ingin menginap sesekali di sini. Kakek tahu, menghuni rumah yang letaknya agak berjauhan dengan rumah-rumah lain di desa bisa membuatnya kesepian."
Sekarang Kakek menggelengg-gelengkan kepalanya, "Jack, Jack, kau naïf sekali."
"Apa itu pujian?"
"Tempat tidur ini untuk seorang perempuan yang menjadi istrimu!" Lagi-lagi, Kakek tak mengindahkan pertanyaanku. "Dan kau harus mulai memikirkan untuk mencarinya! Apa kau berhubungan baik dengan gadis-gadis di desa? Seingatku ada banyak anak perempuan seusiamu saat kau berlibur di desa ini ketika kecil dulu."
Apa yang Kakek katakan mendadak saja mengingatkanku pada seorang anak perempuan yang dulu sering bermain denganku saat liburan musim panas. Aku hampir melupakannya. Aku tidak ingat sedikitpun tentang dirinya, tak ingat wajahnya, tak ingat siapa namanya. Seburuk itukah ingatanku ketika kecil? Hmm, rasanya tidak. Karena aku mengingat suara anak perempuan itu, suaranya yang merdu saat menyenandungkan sebuah lagu bersamaku di puncak gunung.
"Ya, aku ingat pernah bermain dengan salah seorang dari mereka. Dulu sekali. Tapi aku sudah lupa."
"Kemungkinan besar, gadis masa kecilmu itu masih ada di desa," suara Kakek mengambang, ikut mengenang. "Tak banyak gadis yang pergi ke kota saat aku masih hidup dulu. Selain Aja putrinya Duke dan Manna, kurasa gadis lain tidak meninggalkan orang tuanya."
Di dalam hati, aku membenarkan hal itu.
"Kau mengenal baik gadis-gadis di desa, Jack?" tanya Kakek kemudian.
Aku mengangguk, "Tentu saja. Aku berteman baik dengan seluruh penduduk desa. Aku menuruti apa kata Walikota, Kek."
"Anak baik," Kakek tersenyum mendengarnya, "Tapi apakah ada di antara gadis-gadis itu yang bersikap lebih ramah padamu? Atau yang memberimu sesuatu?"
Tak lantas kujawab pertanyaan Kakek barusan. Pikiranku mengudara, mengingat-ingat kembali apa yang telah dilakukan oleh gadis-gadis desa, yang sebagian ceritanya sudah aku tuliskan ke dalam buku harian. Aku masih ingat dengan jelas, tapi tak bisa menunjuk satu nama saja ketika semuanya bersikap baik dan ramah kepadaku. Elli pernah membuatkanku sandwich berkali-kali. Popuri mempercayaiku untuk menetaskan sebutir telur ayam dari Poultry Farm. Ann pernah menawariku berbisnis telur dengan penginapan milik ayahnya. Karen memberiku bibit bunga Moondrop di musim semi tahun lalu. Bahkan, Mary yang pendiam pernah pula meminjamkan salah satu buku favoritnya padaku. Mereka semua bersikap ramah. Belum lagi, beberapa dari mereka sempat mengantarkan cokelat dan cake ke perkebunan saat Winter Thanksgiving. Bukankah semuanya menandakan bahwa kelima gadis desa seumuranku ituadalah perempuan-perempuan istimewa?
"Aku tak tahu pasti," kataku penuh kejujuran. "Mereka semua bersikap baik padaku."
"Hmm…" Kakek bergumam, tangannya menopang dagu, "Kalau begitu, kau harus mengenal setiap gadis lebih dekat. Undang mereka dan keluarganya untuk makan malam di rumahmu."
"Makan malam?" spontan aku mengulang apa yang Kakek katakan.
"Ya. Undang mereka. Satu gadis dan keluarganya setiap malam. Kurasa itu bisa membantumu untuk menilai siapa gadis yang paling pantas untuk kau jadikan istri."
"Bagaimana bisa?"
"Kenali keluarganya sebelum kau meminang gadisnya. Kalau kau membawa mereka ke sini, aku juga bisa ikut melihat mereka, bisa ikut membantumu memilih dan memutuskan siapa yang terbaik."
Aku menelan ludah mendengarnya.
"Undang mereka dan keluarganya makan malam. Mereka semua." Kakek mengulang perkataannya.
Apa yang dikatakan Kakek lebih seperti perintah yang mau tak mau harus kuturuti daripada sebuah nasihat yang perlu dipertimbangkan. Tetapi jauh di dalam hatiku, aku menyetujui saran Kakek.
"Kalau itu baik menurut Kakek, akan aku usahakan."
"Bagus," ujar Kakek, terkekeh, "Aku tahu kau anak baik, Jack. Kau akan bertemu dengan gadis impianmu."
Selesai berkata begitu, aku tak lagi melihat sosok Kakek. Bukan karena ia menghilang begitu saja, tapi karena mataku masih terpejam dan baru terbuka kembali ketika jam berdentang pada pukul enam pagi dan kokok ayam di kandang terdengar bersahut-sahutan. Sementara suara gemericik hujan di pagi hari bisa kudengar dengan jelas.
"Apa itu tadi?" Sekonyong-konyong, aku bertanya pada diri sendiri.
Aku terbangun, dengan badan yang masih agak lelah dan pikiran yang dipenuhi kata-kata Kakek semalam. Makan malam. Cari gadis impianmu. Menikahlah. Dan tinggal selama kau mau di desa ini. Kerjamu amat bagus, Jack. Aku yakin jika itu hanya mimpi. Mimpi yang tampak jelas seperti kenyataan. Mimpi yang menuntutku untuk menuruti apa yang Kakek sampaikan. Meski tidurku sedikit terganggu, aku senang melihat Kakek yang terlihat sehat dan bahagia seperti biasa.
Nyala api di tungku perapian hanya tinggal perciknya ketika aku sudah bangkit dari tempat tidur untuk bersiap memulai hari baru. Di ruang tengah, Perro masih tertidur di salah satu kaki meja, menghadapi piring bekas ikan bakar yang belum sempat kubereskan semalam. Aku tak tega membangunkannya, maka aku kembali ke dapur, mencari makanan untuk sarapan sambil menonton tayangan televisi di beberapa saluran. Sepasang mataku bisa saja menatap layar televisi dengan serius, namun otakku berpikir keras mempertimbangkan siapa gadis pertama serta keluarganya yang harus kuundang untuk makan malam di rumah ini.
Aku menimbang-nimbang harus pergi ke mana setelah sarapan. Ke supermarket, ke klinik, ke perpustakaan, ke penginapan atau ke Poultry Farm?
Tidak langsung kudapat jawaban atas pertanyaan itu. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku di kebun dan mengurus ternak terlebih dahulu. Kuharap menyibukkan diri bisa membuatku berpikir lebih rasional dan membantuku untuk membuat keputusan.
.
…
TBC
…
.
Next:
Chapter 2 – Makan Malam Pertama
Siapa gadis yang pertama kali Jack undang untuk makan malam di rumahnya? Bagaimana reaksi keluarga gadis itu ketika tahu jika mereka pun ikut diundang?
oOo
a/n:
Hai! Ini fanfic pertama saya di fandom Harvest Moon: BTN. Sudah sejak lama saya ingin menulis fanfic about this old-but-gold game, tapi ternyata baru bisa kesampaian sekarang.
Terima kasih untuk yang sudah baca. Komentar, kritik, saran dan pertanyaan silakan layangkan di kotak review. Sampai bertemu di chapter selanjutnya!
Salam hangat, —MM
