FALLING LEAVES

Chapter 1: "Don't you dare to be sick, Yoo Seonho!"

Lai Guanlin, Yoo Seonho, with Kim Samuel | friendship, school-life, angst, slight!psychology, slight!bromance | 1k words | PG15

.

"Could you stop being so damn stubborn and let me help you?"

"I'm sorry ..."

.

.

Yoo Seonho merasa kepalanya seolah terhantam sesuatu—pening tiba-tiba menyerang sesaat setelah dia kembali menancapkan fokusnya pada ceramah guru di depan kelas. Pemuda itu mendesis kesakitan lantaran denyutan di kepalanya semakin menyiksa. Seonho merasa pandangannya sudah memburam seiring dengan telinganya yang sudah tidak bisa mendengar suara gurunya lagi. Bahkan ketika dia mengedipkan mata berkali-kali, pandangannya belum juga kembali normal. Sepertinya tubuhnya mulai bertingkah menyebalkan lagi.

Namun, belum selesai penderitaannya dengan pening di kepala, Seonho kembali diserang oleh rasa sakit di perutnya. Pemuda itu merasa jika perutnya seolah ingin meledak saat itu juga. Dia mencengkeram bagian abdomennya itu keras-keras—seolah berharap dengan melakukan hal tersebut dia bisa membunuh rasa sakitnya dalam sekejap. Seonho berusaha sekuat tenaga untuk menahan desis kesakitan yang keluar dari katupnya. Dia tidak ingin semua orang melihatnya kesakitan seperti ini. Alih-alih berhasil menutupi kondisinya yang semakin parah, Lai Guanlin—yang tak sengaja memerhatikannya—lekas melebarkan sepasang maniknya saat melihat Seonho yang sudah dibanjiri keringat.

"Seonho-ya, kau baik-baik saja? Kau sakit, huh?" Guanlin berbisik sembari menendang pelan kursi Seonho berharap temannya itu merespons kuriositasnya. Namun, si pemuda Taiwan mulai panik saat Seonho sudah menyurukkan kepalanya di atas meja. Seonho tidak menjawab; sakit di kepala dan perutnya semakin menjadi-jadi. Dia masih menggeram pelan seraya terus mencengkeram perutnya. Pemuda itu juga menggigiti bibirnya—kentara sekali jika dirinya tengah menahan diri untuk tidak berteriak saat itu juga.

"Yoo Seonho!"

Belum sempat Guanlin menawarkan diri untuk menemaninya pergi ke ruang kesehatan, pekikan Samuel sudah lebih dulu memecah suasana. Tubuh Seonho terjatuh dari kursinya dan ambruk mencumbu ubin kelas. Seluruh siswa segera mendekat—Guru Kang terpaksa menghentikan kelasnya—dan lekas bergegas, Guanlin menggendong tubuh Seonho menuju ruang kesehatan. Di belakangnya, Samuel ikut berlari menyusul Guanlin—wajah keduanya sama pucatnya. Bahkan Samuel hampir menangis melihat Seonho yang tiba-tiba pingsan di tengah kelas seperti itu.

Teman terdekat Seonho itu tahu betul jika saat-saat seperti ini pasti akan datang menyiksa sahabatnya yang sangat keras kepala. Samuel khawatir, dia berharap semoga kali ini Seonho masih bertahan—dan baik-baik saja.

.

.

"Makan, Seonho!" Guanlin memerintah sekaligus menyodorkan sepotong sandwich ke arah Seonho yang sejak tadi masih mengunci mulutnya dan menolak makanan yang dibawakan Guanlin. "Kau ini kenapa, sih? Kalau kau mau sembuh, cepat habiskan sandwich ini sekarang juga!"

Lagi-lagi Seonho menggelengkan kepalanya lemah, dia menatap Guanlin sendu, seolah mengirimkan pesan melalui tatapannya jika dirinya memang tak ingin memakan sandwich itu. Tidak, dia tidak boleh memakannya sekarang—dia dilarang memakannya. Guanlin mendesah sebal selagi memijat dahinya. Setahunya, Seonho bukanlah seseorang yang akan menolak segala jenis makanan. Seonho itu sangat suka makan, well, setidaknya seperti itulah kenangan masa kecil yang Guanlin ingat tentang Seonho. Laki-laki itu bahkan berani bertaruh jika dirinya tidak akan salah mengenai hal itu. Segala sesuatu tentang Seonho terlalu berharga untuk dilupakan.

Yoo Seonho—sahabat kecilnya—memang sangat suka makan. Dia gila makan! Guanlin bersumpah bahwa Seonho adalah satu-satunya teman paling rakus yang Guanlin punya.

"Kenapa kau tidak mau makan, huh? Kau itu Yoo Seonho yang suka makan. Kau itu Seonho teman kecilku yang bahkan bisa menghabiskan lima cup ramen sendirian, bahkan masih sanggup menghabiskan beberapa potong pizza sebagai tambahan tapi kenapa—"

"Hyung," Seonho berkata pelan, "A-aku ... tidak bisa makan. Maaf. Perutku sedang tidak bisa menerima makanan lagi."

Guanlin mulai menatapnya sebal. Akhir-akhir ini Seonho memang bebal, sejak Guanlin kembali dari Taiwan beberapa bulan lalu, dia tak pernah melihat Seonho makan (selama bersama Guanlin, tentu saja). Bahkan saat Guanlin mengajaknya untuk makan siang di kantin, Seonho selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan. Ketika Guanlin menawarkan beberapa snacks, Seonho juga dengan tegas menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan. Guanlin tidak paham, dia sangat kebingungan. Apa semenjak Guanlin pindah ke Taiwan, Seonho sudah berhenti menjadi anak ayam yang hobi makan? Apa Seonho sama sekali tidak suka makan lagi? Oh, atau mungkin Seonho hanya tidak suka makan bersama Guanlin?

Keduanya bergeming selama beberapa menit—sibuk dengan pikirannya masing-masing—sebelum Guanlin akhirnya menangkap tatap sendu Seonho yang sangat lemah dan berkaca-kaca sehingga membuat pemuda Taiwan itu menjadi iba. Dia tersenyum manis lantas memandang temannya dengan tatapan lembut. Baiklah, kau tidak harus memaksanya seperti itu, Lai Guanlin. Sepersekon selanjutnya, Seonho melihat Guanlin sudah menusukkan sedotan pada kotak banana milk lantas menyodorkannya kepada Seonho.

Si pemuda Yoo menghela napas berat, memandang Guanlin yang seolah mengiriminya tatapan 'setidaknya-habiskan-banana-milk-ini'. Dia tampak ragu—telapak tangannya sedikit gemetar—saat menerima banana milk tersebut. Guanlin tersenyum senang setelah Seonho menerima pemberiannya dan mendengar pemuda di hadapannya menggumamkan terima kasih.

Setelah bertarung dengan kemelut di kepalanya sendiri, Seonho akhirnya menyeruput pelan minuman di dalam genggamannya itu. Dia tidak boleh mengecewakan Guanlin lagi. Dia tidak ingin membuat temannya itu sedih jika harus menolak pemberiannya lagi. Ugh, baiklah sedikit saja memasukkan banana milk ini ke dalam perut ... tidak apa-apa, bukan?

"Aku tidak suka melihatmu kesakitan seperti tadi, Yoo Seonho. Lain kali, jangan lupakan sarapan dan makan siangmu, hm?"

Seonho hanya mengangguk dan membagi cengiran. Dia tidak tahu lagi harus melakukan apa—dia merasa sangat bersalah kepada Guanlin. Dia berharap agar laki-laki di sebelahnya itu segera menyingkir (atau setidaknya biarkan Seonho yang berlari menghindar), bukan, bukan karena Seonho tidak ingin berlama-lama bersama Guanlin. Tapi, Seonho ingin muntah. Oh, tidak. Susu pisang itu agaknya sudah benar-benar meracuni tubuhnya, perutnya kembali melilit dan Seonho ingin sekali muntah.

"U-uh, Hyung, a-aku ... ke toilet dulu, ya? Sepertinya perutku kembali mual."

Seonho sudah tidak bisa menahannya lagi. Tanpa menunggu jawaban Guanlin, pemuda itu sudah berlari melesat keluar dari ruang kesehatan. Dia bahkan menubruk beberapa siswa sembari menggumam maaf dan semakin mempercepat laju larinya menuju toilet. Saat Seonho melintas di depan kelas, Samuel melihat sahabatnya itu dan memutuskan untuk mengejarnya. Seonho tidak mendengar Samuel yang sejak tadi berteriak memanggil namanya—dia hanya fokus pada keinginannya untuk segera sampai di toilet dan memuntahkan semua isi perutnya.

.

.

"Kau harus berhenti, Seonho-ya. Kau hampir mati tadi siang, Bodoh. Hentikan semuanya dan kembalilah menjadi Yoo Seonho yang dulu."

"Aku tidak ingin berdebat sekarang, Sam. Tolong, jangan memaksaku lagi. A-aku baik-baik saja dan aku tidak akan mati semudah itu. Jangan khawatir, hm?"

Samuel menatap sahabatnya itu nanar. Dia tak menyangka jika Seonho menjadi 'segila' ini. Pemuda blasteran itu ingin sekali membenturkan kepala Seonho ke dinding, jika saja itu bisa membantunya menyadarkan Seonho. Ugh, seharusnya dari awal Samuel melarangnya, seharusnya dia menghajar Seonho saat itu, seharusnya dia memberitahu Guanlin semuanya, seharusnya dia—

"Sam, kau masih memegang janjimu, 'kan?"

Oh, shit!

Persetan dengan janji sialan itu, aku bersumpah tidak akan segan-segan melanggar janjiku kalau kau membahayakan nyawamu dan hampir mati lagi seperti tadi, Yoo Seonho.

Aku akan mengadu kepada Guanlin; tentang semuanya.

.

.

-tbc.