[131014 | 1635]

The Poetry

Kaisoo

YAOI Romance

Mature/NC-21

By. Lien


:::

Musim semi yang tengah tersenyum berseri-seri itu, bagaikan pahatan Tuhan paling sempurna yang sengaja diciptakan untuk memerangkapku.

Lalu bagaimana menghindari hasrat dari dosa mematikan ketika musim semi tidak pernah datang dengan tidak sengaja?

...

.

The sultry night is riveting,

With your palpable presence

Faint scents of your lusty perfume

Fill each nook in our bedroom;

All these and our love making

Seemed vividly real in my dream.

Dream Sijo of Victor P. Gendrano

.

...

Rumput hijau terhampar luas di atas permukaan tanah, pohon-pohon berhias daun-daun lebat, kuncup bunga mengintip malu dari balik kelopak, angin berhembus lembut membawa aroma musim semi, tawa anak-anak kecil yang berlarian menjadi pengiring nyanyian burung di pagi hari. Indah dan hidup. Suasana taman begitu damai.

Ia melepas pegangan tali yang mengikat leher ketiga anjingnya sebelum duduk di salah satu bangku. Menyandarkan punggung sembari meluruskan kaki jenjangnya. Jemari kedua tangan yang bertautan menjadi penyangga di belakang kepala ketika menengadah ke langit dengan mata terpejam, dan membiarkan anjing-anjingnya bermain dengan ujung sepatu yang ia gerak-gerakkan. Menarik nafas panjang, melepasnya dengan perlahan, ia menikmati udara segar yang membelai nyaman.

Hanya waktu beberapa detik ia hampir terbuai dalam lelap, sebelum mendengar suara senandung menyapa gendang telinga.

Pelan … halus … lembut, berpadu dengan indah.

Ia membuka mata dan menoleh pada suara itu berasal. Seorang pemuda telah duduk di bangku yang sama, tepat di sampingnya, menggunakan kemeja putih dan celana hitam, tampak sederhana namun memberi kesan elegan. Kedua tangan berada di atas lutut kaki yang menyilang saling bertumpu, dia menengadah ke langit dengan mata terpejam, tak beda dengan yang dilakukan dirinya. Tetapi sejak kapan? Ia tidak menyadari keberadaan seseorang di dekatnya hingga senandung itu terdengar.

Ia tercekat dan membatu di tempat. Bibir ranum semerah delima yang bersenandung itu tiba-tiba tersenyum sumringah. Ekspresi yang sangat damai tampak pada wajah yang berseri-seri diterpa sinar mentari pagi. Kepalanya bergerak-gerak kecil mengikuti irama, terlihat sangat menghayati. Waktu terasa berhenti ketika kicau burung dan tawa anak kecil secara perlahan mulai tak terdengar, digantikan bisikan semilir angin yang berdesir, dan suara merdunya yang memanjakan telinga, menghanyutkan, dan menggetarkan jiwa terdalam. Pemandangan dari hamparan bunga-bunga musim semi yang dihinggapi kupu-kupu seakan tersaji di depan mata, hanya ilusi, namun terasa nyata dengan keberadaannya di sana. Dia, terus bersenandung seakan tak menyadari seseorang dengan mata takjub tengah lekat menatap padanya.

Dialah keindahan. Dialah karya seni. Yang telah memakunya tanpa bisa bernafas, membuat ia merekam sosoknya dalam retina tanpa berkedip. Jantung berdetak kencang memandang rupanya yang elok meski hanya terlihat dari samping. Ia tak akan terkejut jika dia adalah salah satu malaikat yang tengah menyenandungkan lagu surga di bumi. Dan tak berlebihan juga jika saat ini ia memutuskan untuk menjadi pemujanya, menangkapnya dan mengabadikan sketsa hidup di hadapannya dalam kanvas penuh warna musim semi. Karena dia mempesona, bersinar, dan hidup.

Ia tersadar dari waktu yang mengikat dalam keterpakuan ketika senandungnya tiba-tiba berhenti. Pemuda itu membuka mata, berdiri dengan cepat dan berlari ke arah limousine putih yang membunyikan klakson tidak jauh dari sana. Ia pun berdiri menatap pemuda itu semakin menjauh, dan seolah tak ingin melewatkan setiap bagian kecil dari sosoknya, ia memperhatikan perawakan pemilik suara indah. Punggung sempit yang ia pikir akan sempurna jika berada dalam rengkuhan, tubuh mungil yang terlihat rapuh membuat ia ingin menjadi tiang sandaran di kala hatinya sedang pilu.

Tapi,

Siapa?

...

Seorang pemuda di dalam limousine menyandarkan tubuhnya yang terasa lemas. Ia tersenyum sembari memegang dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdebar karena seseorang yang baru pertama kali ia lihat. Bayangan wajahnya yang tersenyum cerah terus bermain-main di dalam kepala, membuat hatinya bahagia dengan antusias. Sudah lama ia tidak merasakan hatinya berbunga-bunga, sehingga rasanya sangat menyenangkan ketika ia kembali merasakan perasaan seperti itu. Tetapi suasana tidak nyaman tiba-tiba mengusiknya, ia menoleh pada pria pucat yang duduk di sampingnya saat merasa bahwa ia tengah di pandangi, dan tatapan mata itu melenyapkan segalanya ketika perintah tak terbantahkan tersirat di sana.

Mencabut akar tunas bunga sebelum menggeliat semakin liar di dalam hati, hanya itu pilihannya.

Karena memelihara berarti sama saja mengkhianatinya.

Ia tersenyum meyakinkan, matanya mengisyaratkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Kau akan terkejut saat melihat dengan siapa aku datang ke pertemuan itu, tuan."

.


Wortel dipotong-potong kecil dengan cepat, menimbulkan suara detakan pada alas kayu, menyusul sayuran yang lain dimasukkan ke dalam panci setelahnya. Dentingan suara diaduk berbunyi. Langkah kaki cekatan terdengar kesana-kemari. Suara air mendidih dari dalam panci yang terdengar terakhir kali.

Jongin menatap ke arah dapur, sumber segala kebisingan pagi hari ini. Seorang pemuda sedang mencicipi masakannya dengan kerutan di kening, Jongin tersenyum geli melihat ekspresi tidak puas pemuda itu akan hasil rasa masakannya sendiri. Jongin menggeleng kepala sembari kembali menatap kanvas di hadapannya, namun ia membeku, tangan menggantung di udara dengan jari-jari menjepit kuas, ia tak bisa menggerakkannya, ia juga tidak tahu apa yang ingin di goreskan pada kanvas putih, pikirannya lagi-lagi terasa buntu, imajinasinya seolah terkunci di dalam kotak yang hilang, objek apapun tak lagi menarik, karena hanya dia yang di inginkan-nya.

"Masih belum bisa melukis?" Pemuda dengan mata rusa bertanya dari dapur, mengambil sendok dan mencicipi masakannya untuk ke sekian kali. Meresapi rasanya dengan anggukan pasti kemudian memindahkan panci ke atas meja makan.

Ia menoleh ke ruang tengah yang berseberangan dengan dapur saat tidak mendapat jawaban, senyum manis terukir di bibirnya ketika menatap Jongin yang sejak membuka mata dipagi hari tidak melakukan apapun dan hanya terpaku memandangi kanvas. Namun senyum itu hanya bertahan selintas, keningnya berkerut, ia merasakan kekhawatiran yang tidak dimengerti alasannya ketika lagi-lagi ia melihat tatapan Jongin diliputi kegelisahan.

"Kau boleh pergi ke suatu tempat untuk beberapa hari kalau kau butuh udara segar. Mencari inspirasi, ke Jepang, Paris, Inggris, bukan ide yang buruk." Pemuda itu kembali tersenyum, mengenyahkan kekhawatiran yang hinggap. Lalu menghampiri Jongin, mencium ringan bibirnya, lalu menarik lengannya dan menuntunnya ke meja makan.

"Luhan, ini sudah ke delapan kali kau menyarankan hal yang sama. Dan kau tahu itu bukan caraku untuk mendapatkan inspirasi." Jongin menarik kursi dan duduk disana, menatap satu persatu makanan yang diletakkan Luhan di hadapannya.

"Tapi kau sudah menentukan tanggal pameran lukisanmu. Enam bulan lagi, kau harus menampilkan satu yang terbaik dari karya terbarumu, Kai." Luhan duduk berseberangan dengan Jongin, dan mulai menyantap makanan.

Jongin terdiam, ia tidak butuh perjalanan kemanapun. Jongin hanya butuhdia, penyebab semua yang terjadi pada dirinya sekarang. Ia tak mampu lagi memvisualisasikan apapun dalam bentuk lukisan, seolah itu bukan keahliannya. Seorang pelukis kehilangan kemampuan melukisnya hanya karena mendengar senandung seseorang yang tidak dikenal, itu akan menjadi artikel terkonyol dalam dunia seni lukis.

"Kai," Luhan menyela, bertanya-tanya ketika melihat Jongin kembali melamun. Ia merasa semakin ganjil karena hal itu sering terjadi.

Jongin menatap Luhan dan tersenyum tipis. "Aku akan bertemu Sehun, ada pekerjaan yang harus kami selesaikan."

"Pertemuan direksi mengenai direktur baru?" Luhan meletakkan sumpit, mengambil gelas berisi air dan meminumnya. Jongin menggumam mengiyakan.

"Kau butuh suara ayahku?" Lanjut Luhan spontan.

Tak ada tanggapan. Luhan terpaku merasakan perubahan suasana menjadi ketegangan, seketika ia menyadari kesalahan yang dibuat dengan tidak sengaja. Jongin menatap tajam padanya, tentu saja, dia tidak akan pernah menerima dukungan bentuk apapun dari Ayahnya, tak akan lagi. Jongin yang memiliki harga diri tinggi tak akan mau mendapat julukan laki-laki yang memanfaatkan kuasa Ayah kekasihnya, meski sebenarnya ia juga tak perlu dukungan apapun karena dia yang sekarang adalah laki-laki yang memiliki segalanya dalam genggaman tangan.

"Aku tidak menginginkan posisi itu, Luhan." Suara Jongin terdengar memperingati dengan tajam.

"Tentu saja, kau tidak membutuhkannya." Luhan menarik kembali ucapannya, ia mengangkat kedua tangan meyakinkan. "Aku tidak akan ikut campur, aku hanya akan mengurus lukisanmu."

Kemudian ia berdeham, memperhatikan Jongin dengan ragu. "Kalau begitu … bisakah kau membujuk Sehun agar dia mengijinkan Baekhyun meluangkan waktunya untuk bermain denganku? Baekhyun selalu mengatakan sibuk bersama Sehun saat aku mengajaknya keluar." Luhan mengalihkan pembicaraan, kini ia terdengar merajuk, memberenggut seolah sahabat terbaiknya telah dirampas secara tak adil dari sisinya.

"Akan ku usahakan," Jongin menjawab singkat.

Tak ada percakapan yang diteruskan setelahnya, Luhan terdiam dan Jongin lantas kembali melanjutkan sarapan dengan tenang, meskipun sesungguhnya ia masih merasa terganggu dengan kebiasaan Luhan yang selalu menghubungkan dirinya dengan Ayahnya. Pantang bagi Jongin untuk bergantung pada orang lain, dan pantang baginya untuk menerima rasa iba, tak terkecuali dari ayah Luhan. Setidaknya ia sudah menetapkan bahwa tidak akan menerima apapun lagi dari Ayah kekasihnya setelah hari itu. Karena kehidupan telah memberi Jongin pelajaran untuk menjadi pria yang berdiri dan berjalan dengan kemampuan sendiri. Ketakutan akan kembali tenggelam dalam kegelapan yang pernah ia alami membentuk dirinya menjadi pria yang tak terkalahkan dan sukar untuk mengalah, kokoh, serta berkepribadian dingin dan keras. Harga diri ia bangun untuk menjadi tameng, penderitaan masa lalu ia jadikan acuan untuk menjadi kuat.

Semua itu berawal dari rasa sakit yang belum pernah Jongin rasakan sebelumnya. Ia masih berusia delapan tahun saat itu, naif, polos dan lemah ketika ia dan ibunya hanya bisa bernaung di bawah terowongan rel kereta kala hujan datang, mengorek tempat sampah untuk sepotong roti busuk pengganjal perut di pagi hari menjelang. Kematian ayahnya dan runtuhnya perusahaan keluarga telah mengubah hidupnya, mengubah nasibnya.

Kala itu Jongin tidak tahu apapun tentang kehidupan, ia hanya mengerti bahwa segalanya bisa ia dapatkan dengan hanya satu rengekan pada Ayahnya. Dan ketika dunianya jatuh ke dalam jurang yang gelap dan dingin ,ia masih tak mengerti apa yang terjadi pada hidupnya. Namun seiring berjalannya waktu ia mulai berpikir bahwa dunia telah tidak adil padanya ketika ibu, satu-satunya orang yang berada disampingnya pun mencapai batas pertahanan, meregang nyawa dengan kata maaf yang diucapkan diujung tarikan napas terakhir. Menyedihkan, mengapa harus meminta maaf ketika kenyataannya tak seorangpun patut dipersalahkan atas semua yang terjadi. Ia menangis, meraung dengan kesedihan yang terasa sangat menyakitkan.

Seorang diri, kosong, dan waktu terus berjalan. Ia tahu hanya satu hal yang harus dilakukan, yaitu bertahan hidup untuk kembali pada tempat yang seharusnya, apapun cara yang harus ditempuh. Saat masih belia ia sudah sangat gemar menggambar sehingga ketika berusia tujuh tahun ia mempelajari seni lukis, dan Jongin memanfaatkan satu-satunya keahlian yang dimilikinya itu. Sebelumnya ia selalu bergantung pada ibunya dan tak berani melakukan apapun, dan kini waktu sudah membuatnya terbiasa, dengan segala cara ia mengumpulkan uang hingga bisa membeli kanvas, cat dan kuas. Untuk pertama kali ia melukis sosok perempuan yang melahirkannya, dengan kemampuan dan peralatan terbatas, dan dengan kepercayaan diri yang dikumpulkan ia mencoba berjudi dengan dewi fortuna, berjongkok di jalanan kota dengan lukisan di sampingnya, berharap ada orang yang tidak cukup waras untuk membeli sebuah lukisan amatir dengan harga tinggi.

Dan orang yang tidak cukup waras itu menghampirinya, seorang pria paruh baya, dermawan kaya dari Cina, menawar lukisan itu dengan harga yang akan mampu membuat Jongin membangun kembali perusahaan Ayahnya. Dewi fortuna tidak berhenti di sana, dermawan berhati baik dan memiliki rasa kepedulian menawarkan bantuan untuk menolongnya. Dengan uang lukisan itu, dermawan Cina mengirim Jongin ke luar negeri untuk belajar melukis ketika umurnya masih berusia sembilan tahun. Hidupnya berubah hingga saat ini ia berada pada titik tertinggi dari semua pencapaiannya, dan karena peran besar itu, Jongin berjanji tak akan menerima apapun lagi dari sang dermawan, Ayah dari kekasihnya, agar jika terjatuh ia tak akan merasakan terlalu sakit ketika tak ada seorang pun untuk bergantung.

Kanvas putih telah menjadi tempat untuk mengekspresikan, menginterpretasikan dan menvisualkan segala perasaan yang tak terungkapkan. Ia menjadi pelukis yang dikagumi karyanya, dihormati dan dikenal namanya. Melukis adalah nafasnya, segalanya, dan sekarang Jongin kehilangan semua itu, ia tak bisa melukis, jari-jarinya terasa kaku, imajinasinya terkunci, benaknya seperti kaset rusak yang hanya mengulang kejadian beberapa minggu sebelumnya saat ia bertemu dengan dia. Jongin tak akan membiarkan hal ini menjadi akhir baginya, karena itu ia harus menemukan dia, untuk mencari jawaban atas apa yang telah terjadi pada dirinya.

"Berhenti saja melukis." Saran Sehun ketika mendengar perihal yang terjadi, ia mengiringi langkah Jongin ke ruang pertemuan para direksi yang di adakan di hotel milik perusahaan mereka. "Tinggalkan Kim Kai si pelukis, dan jadilah direktur Kim Jongin." Sambungnya lagi.

Jongin tersenyum kecut, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Jika Kim Kai tidak ada, maka Kim Jongin tidak akan pernah ada. Aku tidak tertarik dengan hal lainnya, kau tahu itu."

Sehun tertawa ringan. "Ya ya ya, kau tidak akan pernah berhenti melukis. Tapi bagaimana sekarang? Kau bahkan tidak bisa menggerakkan jarimu." Sehun menepuk pundak Jongin, dan keduanya berhenti di depan pintu ruang pertemuan. "Kau pemegang saham terbesar, semua dewan tidak akan menolak jika kau mengambil alih semua perusahan. Dengan suaraku, kau mendapat dukungan tak terbantahkan, dan suara Ayah Luhan sudah pasti ada di tanganmu, itu akan sempurna." Sehun menatap Jongin penuh harap, menyembunyikan maksud hati dibaliknya. "Kau tidak tertarik?"

Jongin menghela napas panjang. Kemudian ia balas menepuk pundak Sehun. "Aku lebih suka menanam uang, Sehun. Kau saja yang maju, suaraku ada di tanganmu." Jongin menggumam, tiba-tiba ekspresinya berubah dan terlihat memikirkan sesuatu, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala. "Sempurna. Sudah diputuskan, kau direktur baru perusahaan kita." Setelah mengatakan hal itu ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Sehun menyusul Jongin dengan langkah cepat. "Aku juga lebih suka menanam uang, jadi jangan coba-coba memilihku, Kim Jongin." Sehun mengancam, menunjukkan tinjunya dengan wajah tegang, seakan menjadi pemimpin perusahaan adalah mimpi terburuk baginya.

Jongin tertawa, mengangguk, dan berkata bahwa ia mengerti. Jongin pun sudah memperkirakan seperti apa reaksi Sehun jika mendengar pilihannya, sebab ia juga menyadari bahwa mereka memiliki sedikit banyak kemiripan menyangkut pemikiran tentang bisnis. Jongin dan Sehun duduk berdampingan, ekspresi berubah menjadi tegas, menunjukkan dominasi siapa yang berkuasa di depan direksi yang lain. Keduanya adalah yang termuda, namun karisma mereka menunjukkan dengan kuat kualitas dan integritas kepribadian yang tidak dimiliki oleh orang lain.

"Kau ingin tahu siapa yang diajukan oleh direktur sebelumnya sebagai direktur baru?" Sehun berbisik sangat pelan dan nadanya serius.

"Apa salah satu pak tua di depan kita ini?" Jongin justru bertanya dengan malas, tangan bersedekap, menatap para direksi yang sepertinya sibuk mendiskusikan hal yang sama.

"Tidak satupun diantara mereka. Lihatlah laki-laki yang duduk di sebelah sana." Sehun menunjuk pada seseorang yang duduk jauh terpisah dari meja para dewan direksi. "Namanya Park Chanyeol, putra presiden direktur sebelumnya. Sebagian dari dewan direksi mendukung dia, tapi sebagian bersikap sama seperti kita, memperhatikan dan menilai dengan diam. Tetapi pilihanmu akan mempengaruhi pemegang saham yang lain, karena untuk mengamankan posisi, mereka akan mengikuti siapa yang lebih kuat. Selama semua pak tua itu tidak menyatukan kekuasaan untuk melawanmu, kau masih tidak terkalahkan dan hasil akhir tetap ada di tanganmu. Aku tak tertarik memilih Park Chanyeol, karena aku masih berharap kau akan berubah pikiran." Sehun terus berbicara panjang, tak menyadari jika Jongin tengah mematung dan tak mendengar apapun perkataannya.

"Siapa, yang duduk di sebelahnya?"

"Di sebelahnya?"

Awalnya Sehun masih tidak menyadari ketegangan pada suara Jongin sebelum menyadari pertanyaannya. Ia menoleh pada seseorang yang menarik perhatian Jongin sedemikian rupa, seorang pemuda yang tengah berceloteh di samping Park Chanyeol, tangannya bergerak-gerak ketika bicara, dan Park Chanyeol mendengarkan dengan saksama. Dia berperawakan mungil, matanya bulat, wajahnya elok, namun sayang ekspresinya sedingin musim salju. Selintas seringgai tipis terukir di bibir Sehun, pancaran matanya menyimpan semarak kepuasan dan rasa senang, dan seringai tipis itu berubah menjadi senyuman sinis ketika melihat Jongin mengejar pemuda itu saat keluar ruangan.


Jongin sudah menemukannya. Lalu apa? Bertanya padanya mengapa ia tidak bisa melukis lagi? Menggelikan. Ia hanya akan mempermalukan diri sendiri dan pemuda bermata bulat itu akan menertawakan dirinya yang terlihat bodoh dengan menanyakan hal yang tak masuk akal.

Ia bersandar pada salah satu bilik pintu kamar mandi, kedua tangan berada dalam saku celana, dengan sengaja dan terang-terangan menatap lekat pemuda yang saat ini membasuh muka di wastafel. Seakan menemukan hal paling menarik di dunia, Jongin memperhatikan setiap detail, dari rambut yang tertata rapi, kemeja biru yang dikenakan dengan bagian lengan dilipat sampai siku, celana jeans dan—

Apa?

Apa yang ia lakukan? Menelan ludah ketika dengan tidak bermoral matanya menatap, pantat yang hanya melakukan sedikit pergerakan. Jongin menegakkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa kaku, wajahnya pucat dan gelisah. Apa lagi sekarang. Apa yang telah dia lakukan pada dirinya?

Jongin menatap pada cermin, dan tatapan mereka bertemu di sana. Salah satu sudut bibir pemuda itu tertarik kesamping, mengukir sebuah seringai nakal ketika memergoki seseorang menatap dirinya dengan mata berbinar terpercik nafsu. Dan Jongin menangkap isyarat seringai itu sebagai sindiran rendah, ia juga dapat mengartikan tatapan mata bulat itu sebagai tuduhan kau tertangkap basah. Sebagai balasan Jongin pun menyeringai, kepalang tanggung, ia juga tidak bisa mengelak, dan ia tidak akan membiarkan dirinya diintimidasi oleh siapapun.

"Tatapanmu seakan sedang memperkirakan berapa hargaku." Pemuda itu berbalik, menatap Jongin dengan seringai kecilnya.

"Dan kau seakan sedang memimbang berapa harga yang harus kau tentukan." Balas Jongin tak kalah tajam. Ia mengeluarkan tangannya dari saku celana dan bersedekap di dada, kebiasaan yang dilakukan ketika ia menantang dan menolak untuk didominasi.

Pemuda itu tertawa renyah, membuat Jongin tertegun takjub melihat senyum terindah yang belum pernah dilihat ketika bentuk hati terukir jelas pada garis bibirnya. Dia mendekat dan berdiri di hadapan Jongin, sedikit memiringkan kepala selagi menatap dengan mata polos layaknya anak kucing meminta belas kasih.

"Menurutmu, siapa yang pantas mendapat tahta yang diperebutkan. Kau? Atau Park Chanyeol?" Tanpa basa-basi dia menanyakan sesuatu yang sama sekali tidak Jongin duga, sesuatu yang sangat sensitif untuk dibicarakan dengan orang diluar kepentingan. Pemuda itu memperhatikan Jongin dengan teliti."Tentu saja kau memiliki kuasa. Hanya saja, kau tak terlihat seperti tipe orang yang mau terikat pekerjaan dengan orang lain, kau juga tidak terlihat akan memilih Park Chanyeol. Jadi … tuan Kim, pada siapa kau akan menunjukkan jarimu?"

Kening Jongin berkerut, tak habis pikir mendengar setiap kalimatnya. Semestinya tidak ada hal yang aneh jika dia mengetahui tentang siapa dirinya mengingat semua orang memang mengetahui siapa Kim Jongin, tetapi pemuda itu telah menimbulkan kesan yang membuatnya merasakan kejanggalan, sesuatu terasa janggal dengan bagaimana dia mengetahui tentang dirinya, bagaimana ia berani membuat spekulasi mengenai pribadi dirinya, bagaimana sikap pemuda itu, dan bagaimana dia mengintimidasi dengan penuh percaya diri. Jongin tak mengenalnya, dan jelas dia bukan salah satu bagian dari pertemuan itu, tapi bagaimana dia bisa bersikap lancang terhadap dirinya.

"Memangnya kau siapa hingga berani menanyakan sesuatu diluar urusanmu." Jongin menatap tajam, menuduh dan menghina. Namun sesungguhnya ia hanya mencoba melawan tekanan pemuda itu, yang entah apa penyebab ia bisa tertekan dengan mudahnya. Karena keberanian pemuda itu yang mengintimidasi, atau hatinya yang telah goyah.

Pemuda bermata bulat tersenyum sinis menyadari kesombongan tak kasat mata. "Benar. Memangnya aku ini siapa." Ia terkekeh samar sesaat, kemudian bersedekap dan sedikit mendonggak memandang langit-langit kamar mandi sembari mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari. "Tapi aku akan menjawab pertanyaanmu agar kau tak menganggapku sebagai benalu yang salah tempat. Bisa merepotkan jika apa yang kulakukan sekarang sampai mempengaruhi posisi Chanyeol. Aku juga hampir melangkah jauh terlalu dini." Ia menggumam panjang lebar, terdengar lebih memperingatkan diri sendiri. Kemudian ia menatap Jongin dengan ekspresi datar. "Aku hanya seorang budak yang diminta menemani sahabatnya untuk menghadapi pertarungan ditengah kumpulan para singa sepertimu. Apakah itu cukup untuk menjawab pertanyaanmu?"

Jongin termangu dengan raut muka bingung mendengar celoteh yang sedikitpun tidak dimengerti. Keningnya semakin kusut, ia tak merespon dan hanya menatap tak puas karena jawabannya pun membuatnya kesal. Jawaban yang menurutnya sama sekali jauh dari kategori spesifik itu tak sedikitpun menjawab rasa ingin tahunya, sementara jawaban yang diinginkan adalah namanya, alamat rumahnya, pekerjaannya, apa yang disukainya dan tidak disukainya, segala tentangnya. Ya, keinginan yang melenceng jauh dengan mengharapkan sebuah jawaban yang tak ada sangkut pautnya dengan yang ditanyakan dirinya. Sangat tidak puas, sehingga membuat Jongin tampak seperti patung yang diliputi keresahan.

"Kurasa itu cukup." Pemuda itu memutuskan ketika Jongin tak memberi tanggapan. Kemudian dengan tenang ia berlalu, menghentak Jongin untuk tersadar dari lamunan, sehingga dengan cepat Jongin menarik tangan pemuda itu agar langkahnya terhenti.

"Katakan, siapa namamu." Bukan permintaan, tapi perintah. Jongin menggenggam erat pergelangan tangan si pemuda bermata bulat, tidak ingin kehilangan dia sebelum mengetahui namanya.

"Beginikah caramu menanyakan nama seseorang?" Dia bertanya dengan santai, meski rasa sakit mulai menjalar di pergelangan tangannya.

Lain halnya dengan Jongin, kegelisahan dan keputusasaan kental terasa. Bayangan tentang tidak akan bisa melukis lagi membuat Jongin seperti tak bisa bernapas, karena menemukan pemuda itu kenyatannya tidak membuat ia merasa lebih baik.

"Tidak bisakah kau mengatakannya saja?" Tatapannya memohon dan meminta, berbanding terbalik dengan yang ia lakukan sebelumnya.

Tersimpan kebimbangan dalam sorot mata pemuda itu ketika memandangi Jongin, bertanya-tanya atas perubahan sikapnya yang tiba-tiba, ia juga bisa merasakan bahwa bagi Jongin, mengetahui namanya bukanlah keinginan akan tetapi sebuah kebutuhan. Dan pancaran mata yang menggambarkan keresahan serta keputusasaan pada pria jangkung itu, semakin membuat perasaannya tidak nyaman ketika menyadari dirinya pun begitu mudah terbawa emosi tunas bunga liar yang kembali menggeliat dengan diam-diam di dalam hatinya.

"Gi—Gisaeng." Dengan terbata ia menjawab, untuk pertama kali merasa gugup saat menyebutkan nama didepan lawan bicaranya.

Tanpa sadar Jongin melepas tangannya, sesaat terperangah mendengar nama yang tak tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya memandangi kepergian pemuda itu yang semakin menjauh dengan langkah tergesa-gesa. Ia menunduk, tertegun menatap tangannya yang gemetar, jantungnya berdebar antusias seperti hari di mana mereka bertemu pertama kali.

Yang tidak Jongin sadari,Gisaeng telah membuat dirinya semakin tenggelam dalam pesonanya.

...

"Gisaeng. Dia mengatakan namanya adalah Gisaeng. Kau percaya itu?" Tangan Jongin terkepal selagi memperhatikan pemuda yang bernama Gisaengmemberi pelukan pada Park Chanyeol sebelum pergi meninggalkan ruangan ketika pertemuan akan dibuka.

Sehun memandang kepergian pemuda itu. "Kau berpikir dia berbohong dan mempermainkanmu hanya karena nama yang terdengar ganjil, tetapi dia tidak memiliki alasan untuk melakukan itu. Kupikir kau terlalu jauh menduga."

Jongin menoleh pada Sehun, tatapannya menyelidik merasakan ada sesuatu yang salah. "Kata-katamu terdengar seolah kau mengenalnya, kenapa begitu yakin jika dia tidak memiliki alasan."

"Apa yang kau pikirkan, Jongin?" Sehun terkekeh, namun terkesan kaku bercampur ketegangan. "Sepertinya kau butuh istirahat untuk beberapa hari."

Jongin mengabaikan sindiran Sehun, dan kini menatap Park Chanyeol yang duduk berseberangan di meja yang sama. "Aku akan menyelidiki semua mengenai dirinya." Ucapnya pasti, dengan pikiran tertutupi oleh kabut kekesalan.

"Kau boleh saja ku peringatkan Jongin, jangan macam-macam karena aku akan menghajarmu jika apa yang kau lakukan membuat Luhan menangis." Ancaman itu terdengar meyakinkan, diucapkan Sehun dengan tatapan tajam dan dingin. Namun mengapa Jongin tak merasakan ada kesungguhan dan tekanan emosi di dalamnya.

"Oh ya, aku lupa. Kau adalah tipe orang yang akan melindungi sahabatmubahkan dengan nyawa sekalipun." Nada bicara memperolok membingkai kalimat sarkastis, menekankan kata sahabat ketika diucapkan dengan santai, Jongin tahu Sehun mengerti makna di balik kalimatnya. Kenyataannya Luhan bukan hanya sekedar sahabat. "Apa aku salah menilai, Sehun?" Jongin semakin menekan, dan ia menyeringgai ketika Sehun tak memberikan bantahan.

"Luhan memintaku untuk membujukmu agar kau membiarkan Baekhyun bermain dengannya. Tapi kupikir tidak perlu repot-repot membujukmu, karena kau pasti mengabulkan apapun permintaan Luhan. Bukankah begitu?" Jongin tersenyum lembut, namun sama sekali tak memperlihatkan kesan bersahabat, melainkan justru terlihat ingin menunjukkan intimidasi yang lebih menekan sebagai akibat telah berani mengancamnya.

Sehun menghela napas dan menenangkan perasaannya. Semua yang dikatakan Jongin memang berhasil menekan dirinya, tetapi karena cukup mengenal sifat kekasih sahabatnya itu, ia bisa dengan mudah mengatasi tekanan yang mengintimidasi. Tentu saja Jongin mengetahui segalanya, karena meskipun ia tak pernah mengatakan kebenarannya, ia tahu Jongin bisa membaca arti tatapannya ketika memandangi Luhan.

Sehun, Luhan dan Baekhyun adalah sahabat sejak masa kanak-kanak, tetapi kebersamaan yang terus berlangsung hingga dewasa membuat Sehun terjebak di dalam hubungan yang rumit, memendam cinta pada Luhan yang ia tahu tak akan pernah berbalas karena Luhan justru mencintai Jongin, seorang anak yang dibawa oleh Ayah Luhan beberapa tahun silam. Dan bersama Baekhyun, ia membangun cinta yang baru, atau mungkin bisa dikatakan Sehun membangun cinta semu, karena faktanya ia tak pernah membuang cinta yang sebenarnya sehingga hal itu berubah menjadi hasrat, keinginan dan tuntutan untuk memiliki ketika ia merasa sudah cukup menjadi pria baik ketika dengan berbesar hati ia pernah melepasnya. Benar-benar rumit.

Sehun menunduk dan menggeleng pelan selagi tersenyum miris, seakan menertawakan diri sendiri jika mengingat perasaan terpendamnya yang terabaikan. Lalu ia kembali menatap Jongin dengan wajah datar. "Kau tidak akan melepaskan dia sebelum benar-benar mendapatkan apa yang kau inginkan bukan?" Sehun mengalihkan pembicaraan.

"Melepaskan?" Jongin terkekeh pelan, "Aku bahkan belum menemukan jawaban apa yang terjadi padaku dan apa yang aku inginkan darinya."

Jongin memang belum mengetahui apa yang diinginkannya dari Gisaeng, tetapi ia percaya cepat atau lambat akan segera mendapatkan jawaban. Entah apa sebabnya, ia meyakini bahwa pemuda bermata bulat itu menyembunyikan sesuatu darinya, sementara sebelumnya mereka bahkan tidak saling mengenal. Atas dasar itulah Jongin bertekad untuk mencari tahu siapa sesungguhnya Gisaeng, terlebih alasan mengapa jantungnya berdebar tak biasa, mengapa selalu mengingat pemuda itu ketika hendak melukis, sehingga menyebabkan tangannya kaku dan tak bisa menggoreskan satupun warna di atas kanvas.

"Karena dia adalah Gisaeng. Bukankah sudah sewajarnya Gisaeng seperti itu. Memikat hati seseorang dengan pesonanya tanpa memerlukan banyak usaha, bahkan tanpa bermaksud memikat pun seseorang bisa bertekuk lutut, seperti bagaimana kau terlihat saat ini, Jongin."

Jongin mengingat jawaban yang diberikan oleh Kris ketika beberapa waktu lalu ia menemuinya di bar milik lelaki Cina itu, seorang sahabat yang juga menekuni seni lukis seperti dirinya. Jongin menatap hujan deras dari jendela kaca di dalam sebuah kafe dan mengabaikan kopi hangat yang diapit kedua telapak tangan, dinginnya malam dan hujan yang sesaat tadi menyergap kini berganti kehangatan. Ia tersenyum samar memikirkan kembali penjelasan Kris, yang mulanya membuat ia berpikir jika Gisaeng yang dimaksud adalah jenis pekerjaan, maka wajar jika dia menyebut dirinya Gisaeng. Tetapi dimana ada pemuda yang menjadi seorang Gisaeng dan dikatakan sebagai Gisaeng?

Kenyataannya memang ada. Jongin sendirilah yang mematahkan keraguan itu. Selang beberapa hari ia sudah menemukan jawaban yang diinginkannya, karena kebersamaan pemuda Gisaeng dengan Park Chanyeol dalam pertemuan direksi waktu itu, telah mempermudah untuk mendapatkan apa yang ia cari. Seperti pecahan puzzle yang disambungkan menjadi satu, semua tampak jelas. Dan ya, Jongin tersenyum puas.

Dia, adalah Gisaeng. Yang bernama Do Kyungsoo.


Waktu semakin larut, udara sangat dingin, bulan dan bintang tersembunyi di balik awan gelap, dan kilatan petir menyalak bersamaan dengan gemuruh sementara hujan mulai turun. Pemuda bermata bulat itu menggunakan tudung jaketnya menutupi kepala agar terhindar dari hujan, meski itu tidak banyak membantu karena hampir sebagian tubuhnya sudah basah, ia berlari kecil di jalan yang mulai sepi selagi berkejaran dengan derasnya hujan, langkahnya semakin lambat karena beban gitar yang menggantung di pundak, tak lama ia menghembuskan nafas lega ketika akhirnya tiba di kafe yang biasa didatangi. Pemuda itu berdiri di depan pintu masuk sembari mengusak rambutnya yang basah sebelum masuk ke dalam kafe, ia memandang sekitar, beberapa kursi sudah terisi oleh sebagian orang yang sepertinya mencari tempat berteduh, kemudian ia tersenyum saat mencium aroma coklat hangat menguar di seluruh ruangan. Tempat duduk kosong di dekat jendela menjadi pilihannya untuk mengistirahatkan tubuh yang letih, wajahnya yang pucat mulai bersemu dan kulit yang dingin mulai terasa hangat ketika penghangat ruangan seakan menyelimuti tubuhnya, dan lampu-lampu berwarna keemasan semakin membuat nyaman nuansa di dalam kafe itu.

Baru beberapa menit ia duduk dan menikmati coklat hangat yang tersaji sebelum merasakan seseorang tengah mengawasi dirinya dari suatu arah. Ia mengabaikan, sudah terbiasa menjadi pusat perhatian ketika tampil di depan pelanggannya maupun di tempat umum seperti saat ini. Dengan tenang ia meminum coklat cair yang mengepul, merasakan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuh, namun ketika hendak meletakkan kembali gelas coklat ke atas meja, tangannya tertahan, tatapannya terpaku, jantungnya berdetak antusias seolah merindukan sosok yang kembali membangunkan geliat tunas liar di dalam hatinya, sosok seseorang yang kini memandang kearahnya secara intens, seorang pria yang juga duduk di dekat jendela, satu baris dengan tempat ia duduk.

Dunia ini memang sempit, atau dia yang sengaja membuatnya terasa sempit?

Pertemuan itu diluar rencana, karena ia tak menyangka akan secepat itu Kim Jongin menemukan dirinya.

Tatapan mereka kembali bertemu. Jongin menyeringgai melihat ekspresi terkejut mata bulat itu. Ia beranjak dari duduknya, berjalan mendekati pemuda yang dalam sekejap merubah raut wajahnya menjadi datar dan tenang, seolah sudah memperkirakan bahwa suatu saat mereka akan bertemu kembali. Tanpa bertanya Jongin menarik kursi kosong di hadapan pemuda itu dan dengan santai duduk di sana.

"Kita bertemu lagi, Do Kyungsoo." Jongin menekan intonasi saat menyebut namanya, tersenyum bak bocah mendapat hadiah natal dari santaclaus.

Jongin menemukannya.

...


.