PRIA YANG TAK DISANGKA


Harry Potter, dan semua seluk beluk yang terkait dengannya adalah milik J.K Rowling.

Tapi fanfic ini asli milik saya.

No Copy Paste

Saya tegaskan dari awal bahwa fic ini fem!Harry (di mana Harry di cast sebagai perempuan tapi tomboy dan senang berpenampilan seperti laki-laki), jadi untuk yang tidak suka, silakan ketik tombol back.

Warning : Fem!Harry, semi-AU atau modif canon (saya ga terlalu mikirin itu, yang jelas banyak yang tidak sesuai cerita asli, entah itu saya sengaja maupun tidak saya sengaja), typhooosss (meskipun sudah dua kali saya cek ulang), ga sesuai EYD dan diksi yang mungkin bertele-tele, alur lambat, cerita ngebosenin, etc


"Dua pria itu membuat pusing kepalaku, 'Mione …" ucap gadis tomboy berkacamata bundar yang selalu enggan mengenakan rok itu. Nampaknya kebiasaannya curhat jam makan kepada sahabat perempuan terbaiknya ini senantiasa ia lestarikan, bahkan setelah perang dunia sihir berakhir beberapa waktu yang lalu.

Helaan nafas terdengar dari sang gadis berambut ikal yang biasa dipanggil Mione, gadis berwajah cerdas yang tadinya tengah asyik dengan steak salmon lezat di hadapannya. Tapi akibat ucapan dari si gadis tomboy di samping kanannya, mungkin membuat selera makannya sedikit menurun.

"Sudahlah Harry, tidak usah dipikirkan, makan saja yang banyak, pasti masalahmu akan berkurang!" nasihat tidak bertanggung jawab dari pemuda berambut merah di hadapan kedua gadis itu yang sibuk dengan daging angsa porsi jumbonya.

Gadis bernama lengkap Harry James Potter itu hanya berdecak sambil melayangkan deathglare sebagai tanggapan atas saran bodoh sahabat prianya.

"Diam kau Ron! Habiskan saja angsa panggangmu itu!" ucap Hermione, nama gadis berambut ikal merangkap kekasih sang pemuda dengan nada dingin.

"Oke … aku tidak akan mengganggu obrolan para gadis," dan kembali Ron tenggelam dalam dunianya sendiri, mengabaikan kedua sahabat perempuannya yang tengah kembali membuka sesi curhatnya.

"Kau bisa menceritakan dari awal, Harry. Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Kalau kau hanya cerita sepenggal-sepenggal, aku tidak akan paham," Hermione kini sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada sahabatnya yang kembali memulai bercerita.

"Tadi pagi, sebelum mengikuti kelas ramuan, aku dicegat oleh duo Slytherin gila itu." Harry memulai sesi curhat makan siangnya.

"Maksudmu adalah …"

"Nott dan Zabini!" potong Harry tidak sabar.

"Apa yang mereka lakukan kepadamu? Dua Slytherin itu? " Hermione membelalakkan matanya untuk mendeskripsikan pemikirannya yang cukup sulit menerima fakta bahwa dua pemuda kebanggan asrama ular itu kini tengah berusaha membuat masalah baru dengan sahabatnya, sang pahlawan dunia sihir yang begitu dielu-elukan seantero Britania Raya.

"Mereka bersaing untuk menjadi kekasihku," Harry menjawab murung.

"Bukankah bagus Harry? Artinya kau akan mempunyai kekasih yang cukup berkualitas dan …"

"Shut up, Ron!" bentak Hermione untuk menghentikan ocehan tak berguna dari mulut kekasihnya yang alih-alih akan memberi solusi, namun justru menambah keruh masalah Harry.

"Bisa kau teruskan ceritamu Harry!" Hermione kembali dalam mood semangatnya untuk mendengar segala apapun yang akan dituturkan Harry setelah ini.

"Awalnya kupikir lucu juga, bisa memilih satu di antara dua pria yang cukup populer di kalangan wanita itu, tapi … kalau mereka kemudian membuat taruhan konyol dan membahayakan nyawa mereka serta aku yang mereka haruskan untuk memilih dalam jangka waktu lima hari, haruskah aku tetap mengatakan ini mengasyikkan?" cerita Harry sambil melirikkan mata ke arah meja Slytherin, tempat kedua pria yang menjadi topik pembicarannya tengah duduk manis sambil menghadapi hidangan masing-masing. Tidak ada pembicaan akrab yang biasanya sering tertangkap di antara mereka, tidak ada candaan dan senyum, yang ada hanya aura persaingan yang menguar tak lazim, membuat meja para penghuni asrama berlambang ular itu menjadi semakin angker dan mengerikan.

"Kau lihat sendiri kan?" ucap Harry saat Hermione mengikuti arah pandangan matanya saat ini.

"Kau benar Harry. Ini sangat mengerikan. Dan aku yakin, sebenarnya masalah mereka tidak sesederhana itu." bisik Hermione menanggapi apa yang tengah matanya saksikan di meja asrama seberang.

"Kita harus mencari tahu duduk permasalahan yang sebenarnya. Kalau mereka begini terus, aku juga yang repot," Harry memutuskan pandanganya dari meja Slytherin dan kembali fokus kepada sahabatnya, Hermione.

"Masalahnya, aku tidak punya cukup koneksi anak-anak dari asrama itu. Kau tahu sendiri kan, mereka begitu sok hebat, enggan bersosialisasi dengan anak dari asrama lain, bahkan setelah perang ini usai sekalipun," Hermione berujar datar sambil menekuni kembali makanannya yang beberapa saat tadi ia abaikan.

"Coba tanya saja kepada si penyendiri itu," Ron menggerakkan dagunya, menunjuk salah seorang siswa Slytherin yang paling dulu meninggalkan ruangan. Sang mantan death eater berambut pirang platina, siapa lagi kalau bukan Draco Malfoy. Mantan prefek kebanggan Slytherin dan siswa paling popular di kalangan asrama itu. Meskipun semuanya berubah setelah perang usai. Ia yang merupakan mantan death eater mulai menjadi bahan pergunjingan hampir semua siswa di Hogwarts, bahkan tidak terkecuali asramanya sendiri. Dan dari sisa kepopulerannya dulu sebagai putera bangsawan pure blood yang punya prestasi lumayan cemerlang, hanya beberapa orang saja yang masih berminat untuk bertegur sapa dengannya. Itupun sebenarnya terlihat begitu canggung dan tidak berangkat dari hati yang tulus. Maka dari itu, Draco Malfoy kini lebih sering membuang waktu senggangnya dengan menyendiri di perpustakaan,atau di tempat lain yang jauh dari keramaian.

Kembali ke meja Gryffindor tempat duduk Harry dan kedua sahabatnya. Senyum Hermione mengembang, matanya berbinar sambil memandang ke arah Harry yang memasang tampang tak mengerti.

"Kali ini ide Ron benar-benar brilian, Harry. Ya, aku setuju. Sebaiknya kau mencari informasi dari Malfoy saja."

"Kenapa harus dia, 'Mione? Kau sendiri tahu kan, aku mempunyai sejarah hubungan yang sangat tidak baik dengannya?" protes Harry tak terima dengan usul kedua karibnya itu.

"Yang pertama, dia seorang Slytherin. Kedua, dia berhutang budi kepadamu. Ketiga, dia lebih sering menyendiri sekarang, tidak akan menjadi masalah kalau kau mencoba mendekatinya. Tidak akan menyebabkan keributan. Berbeda jika kau bertanya kepada para Slytherin yang lainnya," terang Hermione panjang, Harry mencoba mencerna penjelasan itu sambil menyesap jus labu miliknya yang masih tersisa separo.

"Sebaiknya kau cepat memulai misimu, atau lima hari ke depan, kau akan menghadapi hidup yang tidak menyenangkan," pungkas Hermione mengakhiri obrolan mereka.

Dan akhirnya, di sinilah Harry, mengendap mengikuti rival abadinya yang berjalan cepat dengan sebuah buku tebal di tangannya. Pemuda dengan tubuh proporsional itu nampaknya acuh dengan pandangan tidak suka dari beberapa siswa lain yang berpapasan dengannya di koridor maupun di halaman. Langkahnya tetap saja tegap melewati beberapa gerombolan siswa yang tengah menikmati sore hari mereka dengan bergosip. Hal ini entah mengapa membuat Harry sedikit banyak merasa terenyuh.

Ia pernah merasakan seperti apa yang dialami Malfoy saat ini. Dulu, saat namanya muncul sebagai peserta termuda di turnamen Triwizard. Setiap hari dan setiap saat harus menikmati pandangan sinis dari siswa lain yang entah iri atau merasa tidak suka dengannya waktu itu. Dan tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Malfoy saat ini, dia lebih banyak menyendiri dan malas bersosialisasi karena baginya itu jauh lebih nyaman.

Kembali kepada misi Harry. Saat ini ia sudah berhasil mengikuti Malfoy sampai di area Hutan Terlarang. Tapi tidak ada tanda-tanda Malfoy akan menghentikan langkahnya sekalipun mereka akan masuk lebih dalam lagi. Harry bukannya takut dengan keadaan ini. Ia hanya heran akan tingkah pria beriris abu-abu itu.

Hampir sepuluh langkah kemudian, akhirnya Malfoy berhenti. Ia berbalik, dengan wajah dingin memandang tempat Harry memposisikan diri untuk bersembunyi.

"Keluarlah penguntit berkaca mata!" ucap Malfoy tanpa menghentikan aksinya mengamati pohon tempat Harry menyelinapkan tubuh mungilnya.

"Hei, aku tau kau membuntutiku semenjak di lorong sekolah tadi. Dasar orang sok tenar, kau sebenarnya mau apa menguntitiku? Apa kau pikir aku tidak tahu ulah konyolmu itu, Nona Pahlawan Dunia Sihir?" kembali Draco berucap dan memberi tekanan pada beberapa kata terakhir yang ia ucapkan.

Mendengar panggilan tidak menyenangkan yang disandangkan kepadanya, buru-buru Harry merengsek keluar dari zona persembunyiannya. Wajahnya memerah akibat malu ketahuan menguntit, sekaligus menahan emosi karena ucapan Draco Malfoy tidak pernah tidak berhasil membuat hatinya panas.

"Kau ini terlalu percaya diri, Tuan mantan Prefek Slytherin yang terhormat," dengan wajah menantang, Harry berjalan mendekat ke arah pria yang tingginya jauh di atasnya. Didongakkan wajah berkacamata miliknya sambil membuat ekspresi merendahkan. Wajah Malfoy sesaat terlihat begitu terluka, namun cepat digantinya dengan ekspresi yang merendahkan, sama dengan yang dipasang Harry saat ini.

"Well, sebenarnya sudah terlihat bukan, siapa yang bersalah di sini. Tapi baiklah, karena aku sedang malas berdebat denganmu yang mana akan mengorbankan waktu membacaku, sekarang katakan saja apa maumu mengikutiku sampai di sini. Tempat ini kurasa aman untuk mengobrol hal yang cukup penting atau private untuk dibicarakan di depan orang banyak," wajah Draco akhirnya melunak dan berganti dengan mimik datar namun dingin yang selama periode setelah perang selalu rutin ia pajang di wajah tampannya.

"Secepat itu?"

"Apa?"

"Apa kau sudah kehilangan kecerdasan untuk berdebat denganku?"

"Katakan saja maumu, aku benar-benar sedang sangat ingin membaca sekarang."

"Ck. Tak kusangka akan semudah ini berbicara denganmu sekarang," Harry mendudukkan diri di atas batu, tak jauh dari tempatnya berdiri. Sementara Malfoy hanya memandangnya tanpa mulai berbicara kembali.

"Baiklah, aku hanya ingin bertanya kepadamu, apa yang terjadi dengan sahabat Slytherinmu, Zabini dan Nott?" tanya Harry to the point, seperti permintaan dari lawan bicaranya saat ini.

"Apa maksudmu menanyakan itu?" Malfoy balik bertanya dengan kening berkerut.

"Kau ini benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu?" tanya Harry. Wajahnya menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan atas ucapan Malfoy barusan.

"Aku benar-benar tidak paham. Maksudmu, kau bertanya apa yang terjadi dengan Blaise dan Theo dalam konteks apa? Nilai sekolah, keluarga, atau apa? "

"Mereka berdua bersaing untuk menjadi kekasihku, asal kau tahu. Tadi pagi mereka berdua mencegatku. Bertanya kepadaku mana yang akan kupilih menjadi kekasih di antara mereka berdua. Membuat taruhan konyol bahwa siapapun dari mereka berdua yang berhasil membawa sepuluh ekor naga hidup-hidup ke dalam Hutan Terlaranglah yang berhak untuk menjadi kekasihku dan memintaku untuk bersiap menjadi kekasih salah satu dari mereka. Hell, kedua temanmu itu begitu seenaknya. Tidak bisakah mereka mendekatiku secara baik-baik," papar Harry panjang.

"Oh, jadi makudmu masalah itu." kali ini Malfoy mendudukkan dirinya di bawah sebatang pohon besar yang terlihat rimbun, dengan tumpukan daun di bawahnya yang pasti cukup nyaman untuk diduduki. Dari gesturenya, nampak sebuah kejahilan untuk mengerjai rival abadinya mulai terlintas di otak cerdasnya.

'Sepertinya ini akan menarik,' bathin Malfoy.

"Kalau kau mau tahu jawabannya, duduklah dulu di sana. Tunggu aku menyelesaikan membaca lima puluh halaman, baru akan kuceritakan semuanya kepadamu," dan Malfoypun mulai membuka perlahan buku ramuan pengobatan yang tengah berada di pangkuannya saat ini.

"Apa kau sudah gila? Menungguimu membaca lima puluh halaman? Hell, ini bisa sampai malam Tuan sok cool!" geram Harry sambil beranjak dari duduknya dan berjalan ke hadapan Malfoy yang tetap bertahan dengan posisi duduknya yang begitu tenang.

"Terserah kau saja, kalau kau tidak mau sabar menunggu, sebaiknya kau cari informasi dari orang lain. Silakan saja."

"Kau ini … hah." Harry yang kehilangan kata-kata kemudian hanya mendudukkan diri di samping Malfoy yang tengah asyik dengan bahan bacaannya. Mengabaikan fakta bahwa pria di sampingnya saat ini adalah rivalnya, orang yang mempunyai andil cukup besar untuk menguras emosinya selama ia bersekolah di Hogwarts. Tapi mau bagaimana lagi, demi misi agar hidupnya terbebas dari dua pemuda yang berniat mengejar cintanya itu, maka hal seaneh inipun mau tidak mau harus ia kerjakan.

Hampir satu jam setelahnya, nampaknya Harry yang sudah lelah menunggu merasa begitu mengantuk. Maka entah bagaimana prosesnya, gadis manis dengan bekas luka sambaran petir di keningnya itupun tertidur. Dan tanpa sadar, kepalanya menyandar dengan nyaman di punggung sang rival, Malfoy. Pemuda berambut pirang itu bukannya tidak menyadari keadaan mereka saat ini. Namun entah mengapa, ada guratan bahagia dan kenyamanan yang dirasakan olehnya.

"Dasar Potter, lama tidak berdebat denganmu. Dan aku sangat merindukan saat-saat ini," gumamnya pelan sambil menyunggingkan sebuah senyum tulus. Pemuda itu sesaat menolehkan kepalanya ke arah punggungnya yang digunakan sebagai tempat bersandar oleh sang rival.

Perlahan Malfoy menutup buku yang tengah dibacanya. Pandangannya kemudian menerawang ke arah sekitarnya yang dipenuhi oleh lebatnya pepohonan.

'Mungkin kau tak akan pernah tahu semua pengorbananku hingga saat ini, tapi bisa seperti ini saja sudah jauh dari cukup,' bathin Malfoy sambil kembali menyunggingkan senyuman tulus.

Hari sudah nyaris gelap saat gadis manis itu tersadar dari tidur nyamannya, di punggung sang rival yang masih asyik membaca buku tebal ramuan pengobatan yang entah sudah ia baca hingga berapa puluh halaman. Dan sore hari di dalam hutan terlarang ternyata memberikan suasana yang begitu mengesankan. Rindangnya pepohonan membuat beberapa garis lurus berkas sinar matahari senja menembus bagaikan jarum-jarum panjang berwanarna keemasan. Begitu indah, tenang, dan damai dalam waktu yang bersamaan.

"Eunggh …" perlahan Harry membuka matanya. Mengejapkan kelopak indah berbingkai kacamata bundar yang posisinya kini sudah agak melorot akibat wajahnya yang menempel erat pada punggung bidang Malfoy selama ia tertidur.

Perlu waktu beberapa saat bagi Harry untuk menyadari keadaannya saat ini. Sedikit mengingat, di mana ia sekarang dan punggung nyaman siapa yang tengah ia gunakan sebagai tempat sandarannya. Hingga sebuah suara yang terlalu familiar di kepalanya itu menginterupsi, "akhirnya kau bangun juga pemalas. Sungguh gadis yang sangat luar biasa, bisa tertidur di mana saja, kapan saja. Bahkan di tengah hutan terlarang dan hanya bersama dengan seorang pria. Apa kau tidak takut kalau aku melakukan sesuatu kepadamu, hmmm?"

Satu detik, dua detik, dan akhirnya …

"Kyaaaa….dasar kau pria mesum, apa saja yang sudah kau lakukan kepadaku selama aku tertidur?" Harry merengsek menjauh sambil membuat gerakan protektif menyilangkan tangan di depan dadanya. Gadis itu terlihat begitu panik. Wajahnya yang masih dipenuhi garis-garis khas wajah orang bangun tidur itu tiba-tiba memerah.

Malfoy susah payah menahan tawa nistanya. Demi apa mengerjai rivalnya itu masih merupakan hal yang amat sangat membuatnya bersemangat.

Pria muda yang semakin terlihat matang itu membalikkan posisi duduknya. Menyunggingkan seringai iblis yang Harry yakin membuat matanya semakin rabun, lantaran terkadang di matanya terlihat sebagai sesuatu yang sangat keren.

"Kalau aku bilang aku melakukan sesuatu kepadamu, kau mau apa?" Malfoy semakin mendekatkan posisinya kepada Harry yang semakin beringsut menjauh. Gadis muda itu meraba saku celananya, mengambil tongkat sihirnya dengan gugup, lalu mengacungkannya tepat di wajah pria beriris abu-abu di depannya.

"Kalau kau berani melakukan itu … aku…aku akan memberimu kutukan tak termaafkan …" Harry tergagap dengan wajah kalut dan pucat yang begitu mendominasi, menyadari keteledorannya yang begitu mudah tertidur di sembarang tempat dan kondisi.

Melihat wajah Harry yang semakin memucat, akhirnya Malfoy memutuskan untuk menghentikan aksi mengerjainya. Dan sebuah tawa yang menurut Harry begitu nista itu kini mengalun dengan indah di bibir sang rival. Bahkan saking kencangnya Malfoy tertawa, ia sampai memegangi perutnya yang sedikit mengalami kram ringan sebagai akibatnya.

"Ha…ha…ha… Kau pikir kau siapa Potter? Kau ini perempuan atau bukan saja aku masih meragukannya … ha…ha…ha…Namamu seperti nama pria, badanmu juga kerempeng dan sama sekali tidak berisi. Jadi mana mungkin aku berminat melakukan sesuatu kepadamu …ha…ha…ha… dan juga, sebaiknya kau banyak berkaca …."

"Rictusempra…" rapal Harry sambil mengacungkan tongkat sihirnya dan sukses membuat tawa Malfoy semakin menggila.

"Rasakan itu, Ferret!" ucap Harry kesal, ia sempat mengumpat-umpat dalam hati sambil berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu, lengkap dengan sang rival yang tidak bisa berhenti tertawa akibat mantra yang ia ucapkan barusan. Meskipun dalam hatinya, ia merasa sedikit aneh dengan kelakuan Malfoy. Biasanya pria itu tidak pernah lengah sedikitpun, apalagi sampai terkena mantera konyol seperti itu. Tapi, kenapa sekarang Malfoy berbeda? Ia seperti tidak terlalu siap saat Harry menyerangnya. Entah itu disengaja, atau tidak. Dan Harry tidak ingin ambil pusing. Toh, yang penting ia berhasil balik mengerjai Malfoy kali ini.

Namun mendadak Harry ingat dengan jelas, apa tujuannya susah payah mengorbankan waktunya yang berharga hanya untuk bersama seorang Malfoy, dan bodohnya lagi, ia belum memperoleh informasi apapun dari pemilik rambut pirang platina itu.

Sedikit dilemma di hatinya, memaksanya untuk membuat pilihan meninggalkan pria yang sedang tertawa tidak waras itu dengan bonus kepuasan karena bisa membalas kejahilannya, atau menghilangkan mantera yang ia rapalkan, bicara 'baik-baik' dan mendapatkan bonus informasi yang sangat ia butuhkan saat ini.

Dan setelah menimang beberapa detik, akhirnya pilihannya jatuh pada yang kedua. Maka dengan berat hati ia berbalik, mengarahkan tongkat sihirnya kepada Malfoy untuk menetralisir sihir yang barusan ia rapalkan.

Malfoypun berhenti tertawa. Pemuda Slytherin itu menyandarkan tubuhnya yang sedikit pada batang pohon terdekat.

Harry mendekat perlahan sambil tetap memegang tongkatnya penuh kewaspadaan.

"Kenapa kau hentikan, Potter?" tanya Malfoy setelah nafasnya sudah cukup teratur.

"Bukankah aku pantas untuk mendapatkan hukuman kecil itu? Mantan death eater ini, sangat pantas untuk dihukum oleh sang pahlawan dunia sihir," kembali Malfoy bertanya, namun kali ini ada sisipan kesedihan di dalamnya, walaupun Harry masih bisa menangkap sindiran sarkastik khas pemuda itu.

Terdiam, Harry tidak bisa menjawab semua pertanyaan atau pernyataan yang dilontarkan oleh Malfoy. Dia hanya berdiri sambil memandang aneh ke arah rivalnya. Alih-alih menagih janji pemberian informasi dari Malfoy, hati Harry kali ini justru didera rasa simpati. Entah apa penyebabnya. Mendengar kalimat yang Malfoy ucapkan, hatinya seperti ikut terluka.

"Hentikan omong kosongmu Malfoy. Kau ini seorang Slytherin, putera dari keluarga bangsawan penyihir berda …."

"Coret, aku adalah putera tahanan Azkaban, asal kau ingat," dan Malfoy membuang pandangannya ke arah kanan, mengabaikan tatapan simpati dari Harry yang terkunci di wajahnya.

"Hah, kenapa kau selalu memikirkan hal itu?" tanya Harry yang entah mengapa hatinya terasa begitu melunak dan tidak tega melihat ekspresi sedih yang baru kali ini ia dapati di wajah sang rival.

"Karena orang sepertiku hanya menjadi sampah tak berguna, bukan orang yang pantas untuk bergaul dengan semua orang di Hogwarts. Kau tahu, setiap malam aku selalu bermimpi buruk, mengingat masa-masa menjadi death eater yang bisa begitu membuatku depresi. Tapi … mana ada yang peduli kepada mantan pembuat dosa sepertiku dan keluargaku? Mereka semua tidak ada yang tahu perasaanku sebenarnya."

Harry menarik nafas panjang. Memutuskan untuk tetap tinggal di sana, hatinya begitu tersentuh dan terenyuh mendengar pernyataan rivalnya itu.

"Aku tahu rasanya itu Malfoy," ucap Harry yang entah sejak kapan sudah duduk di samping kanan rivalnya. Menyimpan tongkat sihirnya saat ia rasa tidak akan ia perlukan selama beberapa waktu ke depan, memeluk lututnya sambil mengikuti arah pandangan Malfoy yang jauh menembus ke dalam hutan yang telah nampak mulai menggelap.

"Kau ini pembual, pahlawan sepertimu, tidak akan pernah tahu rasanya menjadi pecundang kotor sepertiku. Jadi jangan coba menghiburku!"

"Terkadang, pahlawan dan pecundang itu tidak jauh berbeda. Kau ingat, perlakuan siswa Hogwarts saat namaku muncul sebagai peserta termuda turnamen Triwizard? Kurasa tidak jauh berbeda dengan apa yang kau rasakan saat ini," Harry menghembuskan nafas dengan keras.

Malfoy muda itu hanya terdiam, mungkin kini ia mencoba mengingat peristiwa beberapa tahun silam. Dalam ingatannya, ia berhasil mengumpulkan petikan-petikan informasi, bagaimana semua siswa memperlakukan Harry saat itu, bahkan si Weasel (Ron Weasley) yang sepanjang pengetahuannya merupakan sahabat paling dekat seorang Harry Potter selain gadis berdarah lumpur sok pintar itupun juga ikut membullynya. Dan yeah, hati Malfoy kini membenarkan seratus persen perkataan Harry, bahwa pahlawan dan pecundang sebenarnya tidak jauh berbeda.

Akhirnya Malfoy menolehkan kepalanya ke arah Harry. Memandang wajah cantik tapi tomboy yang tertimpa guratan cahaya keemasan. Terlihat bersinar dan begitu menyilaukan. Diam-diam luka di hatinya dan kesedihannya sedikit menguap demi menyaksikan wajah itu begitu dekat dengannya saat ini.

'Pengorbananku tidak sia-sia bukan. Minimal aku masih akan terus bisa memandangi wajah teduh itu. Meskipun harus menerima semua resiko ini. '

"Terima kasih," ucap Malfoy pada akhirnya, setelah kebisuan menyergap keduanya selama beberapa saat. Harry berjenggit, sedikit tidak menyangka kata-kata keramat itu keluar dari bibir tipis sang rival.

"Untuk apa?" tanya Harry kebingungan. Dan sesaat mata keduanya bertemu. Hijau bertemu dengan abu-abu. Iris mantan death eater dan sang pahlawan dunia sihir ternyata sedikit banyak memiliki efek henti yang cukup dramatis. Dan siapapun yang melihat kondisi keduanya saat ini pasti langsung bisa meramalkan bahwa ada sedikit perasaan romantisme memercik dari tatapan-tatapan itu.

"Sudah lupakan saja," dan pandangan Draco kembali melurus ke arah pepohonan lebat di depannya, sedikit tidak rela sebenarnya baginya untuk memutus kontak mata dengan mata hijau emerald indah itu.

Harry yang masih sedikit kebingungan, mencoba menetralisir detak jantung yang entah sejak kapan mulai ia rasakan semakin cepat itu dengan banyak mengoceh. 'Mengoceh bisa membuatku kembali normal' pikirnya.

"Jadi kuharap ini terakhir kalinya kau menyangka pahlawan dunia sihir itu adalah hal terhebat yang pernah ada. Lagipula apakah kau tahu, menjadi terkenal sepertiku sangat tidak nyaman. Orang kadang memperlakukanku sangat berlebihan. Padahal aku hanya ingin bersekolah dan menikmati masa-masa remajaku dengan penuh damai dan kenangan yang indah kelak saat aku menjadi tua dan membutuhkan sebuah kenangan masa lalu yang manis. Tapi nyatanya, beginilah keadaanku, terjebak pada pandangan umum yang menurutku tidak layak diberikan kepadaku. Yang mengalahkan Voldermort bukan hanya aku saja. Meskipun secara teknis aku yang menumbangkannya. Jadi …"

"Kau terlalu banyak bicara hari ini, Potter!" potong Draco masih mengunci pandangan kosongnya pada pepohonan yang terbentang di depannya.

"Kenapa memangnya? Kau merasa terganggu?" tanya Harry dengan nada tidak suka.

"Tentu saja, apa aku harus merasa senang mendapat ceramah gratis dari sang pahlawan dunia sihir, miss scar head, selebriti Hogwarts, putri kesayangan semua penyihir se Brittania Raya?" cibir Malfoy masih dengan nada sarkasme khasnya.

"Kau ini benar-benar tidak bisa diajak bicara. Baru saja kan aku menjelaskan semuanya, perasaan sesungguhnya yang kurasakan dengan kondisiku saat ini, tapi lagi-lagi kau kembali ke titik awal sama seperti saat aku belum menjelaskan apapun," gerutu Harry. Ia mensedekapkan kedua tangannya sambil menggeser duduknya membelakangi Malfoy yang nampaknya tidak kunjung merasa bersalah atas segala ucapannya barusan.

"Well, aku hanya merasa pertemuan kita kali ini begitu aneh, kita yang musuh bebuyutan, masak iya mau mengobrol akrab seperti sahabat lama, itu konyol. Tidak cocok dengan karakterku. "

"Terserah apa katamu. Aku kan hanya mencoba berbaik hati. Kalau tahu begini, lebih enak bergosip sampai berbusa dengan Hermione daripada menghabiskan waktu berhargaku dengan Ferret sombong sepertimu."

"Silakan, lagipula, aku juga tidak pernah mengundangmu kemari bukan, Miss Potty?" ucap Malfoy enteng.

Kembali Harry menghela napas dengan kasar, ia kemudian berdiri, bersiap untuk meninggalkan Malfoy muda itu sendirian.

"Tapi, kau belum mendapat informasimu nona, asal kau ingat."

"Aku akan mendapatkannya dari orang lain, terima kasih sudah mengingatkanku," ucap Harry kesal.

"Hmmm, tapi kalau kau tak keberatan, aku sekarang mengundangmu minum teh. Dan sedikit mengobrol tentang teman-temanku."

"Sudahlah, tidak perlu berbasa basi. Kau ini sekarang benar-benar mudah sekali berubah. Aku sampai bingung bagaimana harus bersikap denganmu. Aku tahu, kita tidak pernah punya hubungan yang baik, dan kau mungkin begitu membenciku atas semua yang terjadi pada keluargamu, tapi perang sudah berakhir. Aku hanya ingin hidup damai dengan semua orang. Tak bisakah kau sedikit memberi angin segar dan kesempatan agar hubungan kita tidak seperti kucing dan anjing lagi. Jujur saja aku benar-benar bosan dengan kondisi itu. Aku…"

"Apa aku pernah bilang kalau aku membencimu?" kembali Malfoy memotong ucapan Harry. Dan Harry terpaksa menghentikan ucapannya. Membeku selama beberapa detik sesudahnya.

"Coba kau ingat, apakah aku pernah mengatakan bahwa aku membencimu?" ulang Malfoy sambil turut beranjak dari duduknya dan mendekati tempat Harry berdiri saat ini.

"Tapi kau selalu saja menggangguku dan membuatku kesal."

"Apakah itu indikasi kalau aku pasti membencimu?" tanya Malfoy

"Entahlah," jawab Harry lemah.

"Kalau begitu, katakan alasanmu yang sebenarnya, Malfoy!" Harry menilik wajah berdagu lancip itu dengan penuh tanda tanya.

"Aku tidak ingin memberitahumu. Ini adalah rahasia dan aku ingin menyimpannya sendiri," Malfoy berjalan ringan menuju bebatuan yang telah dimantrai menjadi meja batu kecil nan manis dan elegan. Perlahan ia menuangkan teh yang entah sejak kapan sudah berada di atas meja batu itu. Teh itu masih mengepul hangat dan dituangkannya ke dalam dua cangkir minum yang terbuat dari porselen putih dengan guratan halus berwarna biru.

"Kau suka jasmine tea? Hari ini aku sedang bosan dengan earl grey tea, jadi aku mencoba meminta jasmine tea dari dapur para peri rumah. Dan dengan senang hati mereka memberikan beberapa jumput kepadaku. Kemarilah, bau teh ini sungguh menggugah selera. Harum sekali," dan senyum mengembang itu terlihat begitu alami bertengger di wajah Draco Malfoy. Sesaat Harry seperti terhipnotis. Sedikit kesal dan amarah masih menggelayuti hatinya. Tapi nampaknya sedikit demi sedikit mulai digeser perasaan kagum dan takjub akan pemandangan sangat langka yang kini tersaji di hadapannya.

'Seorang Draco Malfoy tersenyum begitu tulus dan tanpa seringaian jahat.' Ini rekor pertama yang tercatat di otak Harry Potter tentang ekspresi positif dari rivalnya saat ini.

"Kenapa kau masih berdiri di sana? Aku bersungguh-sungguh mengundangmu sekarang, dan aku tidak menaruh racun atau ramuan apapun dalam teh mu, jadi cepatlah kemari, jangan tunggu tehmu dingin."

'Teh dan Draco Malfoy, dan buku tebal ramuan, dan suasana sore di Hutan Terlarang, nampaknya adalah perpaduan yang amat sangat sempurna. ' dan dengan sebuah pemikiran yang sedikit tak wajar itu, seolah sesuatu menuntun Harry untuk mendekat kepada Draco Malfoy yang masih duduk dengan tenang sambil menyihir setoples kudapan ringan yang entah tadi ia sembunyikan di mana.

"Baiklah aku memenuhi undanganmu, hanya dengan syarat. Ceritakan tentang teman-temanmu secara benar dan tepat," Harry melunak lalu mendudukkan diri di atas kursi batu yang entah bagaimana telah diubah oleh Malfoy menjadi seempuk sofa busa di rumah almarhum ayah baptisnya, Sirius Black.

"Aku harus mulai dari mana?" tanya Malfoy sambil memandang wajah Harry lekat-lekat, menimbulkan perasaan gugup yang terlalu tidak terduga oleh sang pemilik luka berbentuk petir itu.

"Dari mana saja. Sepanjang yang kau tahu mengenai tingkah konyol kedua sahabatmu itu," Harry mengambil cangkir jasmine tea nya.

"Mereka berdua bukan teman baikku lagi. Maksudku, perasaan antara kami. Itu sudah tidak sama seperti dulu," Draco berhenti sesaat untuk menyesap tehnya dengan ekspresi begitu khidmad.

"Apa yang terjadi? Setahuku kalian adalah soulmate yang begitu dekat. Mempunyai hubungan yang sangat harmonis dan punya ide licik yang saling mengisi."

"Koreksi, ide licik itu sudah kutinggalkan sejak aku resmi menjadi mantan death eater, dan juga saat melihat mereka yang tak bersalah harus meninggal akibat apa yang bahkan mereka sendiri tidak mengetahuinya," setengah tertegun, Malfoy kembali menyesap tehnya dalam pandangan kosong.

"Rupanya kau mengalami trauma pasca perang. Aku juga, "dan Harry mengikuti polah tingkah Malfoy, menyesap tehnya dengan pandangan kosong.

"Well, apakah aku harus meneruskan ceritaku?" Malfoy meletakkan cangkir tehnya perlahan, dan tangannya kini mulai meraih beberapa kudapan dalam toples berwarna violet dan gold yang ada di hadapan mereka.

Anggukan yakin Harry membuat Malfoy menghela nafas panjang, mau tak mau dia harus menjelaskan hal yang sebenarnya sangat malas untuk ia ceritakan.

"Bermula sekitar dua minggu yang lalu. Mereka, para Slytherin itu terlibat satu percakapan kecil di ruang rekreasi sehabis jam makan malam. Mereka membicarakan perubahan besar yang terjadi setelah perang. Termasuk mascot, semacam anak kebanggan asrama yang dulunya secara tidak langsung menjadi milikku, tapi tentu saja semuanya menjadi berubah. Aku yang mantan death eater ini mereka anggap sudah sangat tidak layak dan hanya akan membuat citra Slytherin menjadi semakin buruk. Karenanya mereka bermaksud membuat sebuah pertandingan kecil untuk menentukan siapa anak kebanggaan asrama Slytherin yang baru menggantikanku. Dan dari hasil voting, terpilihlah dua kandidat terbaik, yaitu Theodore Nott dan Blaise Zabini. Dua orang itu selama sekitar sebulan berikutnya akan bertanding dengan mengerahkan kemampuan terbaiknya. Hal yang menurutku terlampau konyol untuk ukuran para Slytherin. Kalau yang melakukan itu adalah para Gryffindor mungkin lain cerita," urai Malfoy panjang dan mendapatkan bonus pelototan gratis dari gadis yang duduk di seberangnya.

"Mulutmu gatal kalau tidak menghina asramaku?" tanya Harry sambil melayangkan pelototan protesnya untuk yang kedua kali.

"Wah, itu sudah set otomatis di mulutku, jadi kuharap kau bisa memakluminya," cengir Malfoy tanpa dosa.

Sebuah helaan nafas kasar serta tegukan yang cukup keras dan kembali diakhiri oleh pelototan maksimum dari balik bingkai kacamata bundar milik gadis manis beriris emerald itu.

"Lalu?" tanya Harry masih penasaran.

"Apa? Informasinya cukup itu dulu. Kau pikir aku ini anak buahmu yang bisa kau suruh-suruh semaumu?"Malfoy kembali menyesap tehnya.

"Pelit. Kau ini benar-benar pria yang paling menyebalkan. Aku merasa rugi pernah berpikir bahwa kau memiliki sisi baik, " lagi-lagi Hary hanya bisa membalas kelakuan Malfoy dengan gerutuan tak jelasnya.

Dan Malfoy hanya tergelak mendengar ucapan polos itu.

"Kalau kau cukup peka untuk merasakan, kau pasti bisa menganalisis sisi baikku. Oiya, hari sudah cukup gelap. Satu setengah jam lagi mungkin kita bisa makan malam," Draco menilik sekelilingnya yang memang sudah mulai menggelap, meninggalkan aura menyeramkan dalam hutan berpohon lebat itu.

"Kau mau kembali ke asramamu?" tanya Harry dengan sedikit tidak rela.

"Iya, aku mau mandi dan melakukan beberapa hal. Kenapa? Apa kau tidak rela kita berpisah hari ini, hmmm?"

"Huh, dalam mimpimu, Ferret!"

Malfoy hanya mengendikkan bahu sambil membereskan perlengkapan minum tehnya, tak menyadari semburat merah yang menjalari pipi putih Harry saat ini. Gadis yang tengah beranjak menjadi wanita dewasa itu juga tidak mengerti, mengapa mendengar ucapan Malfoy barusan, mengaktifkan aliran darah menuju kedua pipinya. Benar-benar terasa aneh dan semakin penuh dengan ketidakjelasan.

"Ngomong-ngomong, aku belum pernah berada di hutan sampai selarut ini, dan aku agak payah untuk mengenali jalanan dalam gelap. Lagipula, ini pertama kali aku menjangkau hutan sampai begitu dalam. Apa kau pernah punya pengalaman jelajah malam di Hutan Terlarang?" pertanyaan yang nampaknya ringan itu berhasil menohok kesadaran Harry yang baru sadar apa yang akan terjadi pada mereka berdua kali ini. Tersesat, sungguh kata yang cukup membuat adrenalinenya terpacu cepat, hingga melupakan luapan perasaan aneh yang barusan ia rasakan terhadap sang rival.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Malfoy?" tanya Harry geram.

"Karena aku tidak menyangka akan lama mengobrol denganmu," Malfoy kembali berucap enteng.

"Jadi, apa rencanamu nona pahlawan duni…"

"Stop it! Atau kau akan mengalami bisul kronis di sekujur tubuhmu."

"Itu tidak akan membuatmu keluar dari hutan dengan mudah bukan?" dan Draco Malfoy meraih buku tebal miliknya, mengucapkan 'lumos' untuk membuat cahaya dari tongkat sihirnya, kemudian kembali larut dalam bacaannya, membuat Harry harus bepikir keras sendirian untuk mencari solusi.

Demi seluruh poster penyanyi muggle tampan yang ia simpan rapat-rapat dalam kopernya, ia ingin sekali rasanya meng 'cruciatus' pemuda berambut pirang di depannya yang alih-alih membantu berpikir, malah senenaknya membuka buku tebal 'terkutuk'( dalam pikiran Harry) itu.

"Sudah dapat ide?" tanya Malfoy setelah hampir tiga perempat jam tanpa ada suara dari keduanya.

"Ferret sialan, ayo jalan saja!" Harry beranjak tanpa memandang Malfoy yang bahkan belum menutup buku tebalnya.
"Lumos," dan ujung tongkat sihir Harry turut bercahaya sama seperti milik Malfoy.

"Kalau kau mau tahu apa rencanaku, jawabnya adalah insting," dengan satu kalimat itu Harry mulai berjalan memimpin menerobos bayangan pohon yang nampak menambah kesan seram dalam hutang malam itu. Sementara sang Malfoy junior hanya mengekor sambil menyunggingkan senyum tipis penuh arti. Mungkin sesuatu yang membahagiakan hatinya tengah terjadi saat itu.

"Ini, kenapa kita kembali lagi kemari?" dan Harry mulai kesal saat menyadari bahwa mereka hanya berputar dan kembali pada jalan yang sudah mereka lalui.

"Kurasa kau benar, Potty," ucap Malfoy dengan gaya sok mengamatinya yang membuat Harry bertambah kesal.

"Kau dari tadi hanya mengekor saja, tidak bisakah berusaha menggunakan pengetahuan yang kau punya untuk mencari jalan keluar?" Harry semakin dan semakin kesal melihat tingkah pemuda yang beberapa saat lalu sempat membuat hatinya berdebar itu.

"Entahlah, bersama pahlawan dunia sihir membuatku malas berpikir," dan sebuah kerikil mendarat mulus di kepala Malfoy, hasil perbuatan Harry tentunya.

Pemuda bersurai pirang itu mengaduh, walaupun tidak sakit, tapi sudah bakat terpendamnya untuk membuat sesuatu yang kecil menjadi hiperbolis, membuat Harry hanya bisa memutar matanya melihat ulah tengil rivalnya itu.

Tiba-tiba dari arah depan mereka terdengar suara gemerisik. Semakin lama suara itu semakin dekat. Harry maupun Malfoy buru-buru menyiapkan tongkat sihir masing-masing. Mengantisipasi siapapun yang datang, entah apapun yang ada di sana. Semakin lama gemerisik itu makin mendekat, dan suara itu kini hanya tinggal beberapa langkah di hadapan mereka, di sertai bayangan gelap dan besar, seperti raksasa.

Entah mengapa, Malfoy mengambil inisiatif untuk berdiri di hadapan Harry, seperti menjaga dan menjadi tamengnya, bersiap jika sesuatu yang buruk benar-benar muncul di hadapan mereka. Harry yang menyadari keadaan itu sedikit kaget. Mengira-ira apa yang tengah ada di pikiran Malfoy saat ini. Apa benar pemuda itu ingin melindunginya. Padahal celotehannya barusan jelas berusaha mengejek eksistensinya sebagai sang pahlawan dunia sihir.

Dan Malfoy sudah siap merapal beberapa mantra penyerang seandainya yang muncul di hadapan mereka berdua bukanlah Hagrid. Ya, pria penjaga sekolah berperawakan besar yang tinggal di tepi hutan itu muncul sambil membawa beberapa gelondong kayu bakar di tangannya.

"Hagrid…" pekik Harry sambil menghambur dari belakang punggung Malfoy.

"Harry … Malfoy, apa yang kalian…"

"Syukurlah, kami selamat…" tak membiarkan Hagrid menyelesaikan kalimatnya, Harry buru-buru memeluk pria yang hanya bisa terbengong melihat tingkahnya itu. Sementara Malfoy hanya memasang tampang datar nya seperti biasa, sambil menyimpan kembali tongkat sihir miliknya ke dalam saku jubah.

"Oh, jadi begitu, kupikir kalian sedang berkencan secara rahasia," ucap Hagrid ringan, menanggapi celoteh panjang Harry yang menceritakan kronologinya bisa ditemukan Hagrid di dalam hutan terlarang bersama dengan Malfoy, sang rival.

"Mana mungkin, aku dan si Ferret gila itu berkencan."

"Aku juga tidak sudi berkencan dengan gadis berdada rata sepertimu, Potty."

Adu death glare sengit kali ini terjadi tanpa komando.

"Huh, kalian tidak berubah rupanya," ucap Hagrid yang mulai sedikit bosan dengan pertengkaran dua sejoli di hadapannya ini.

"Sebaiknya kalian lekas kembali ke Hogwarts. Makan malam sudah dimulai beberapa saat tadi," lanjut Hagrid sambil memungut dua gelas bekas cokelat panas yang sudah diteguk habis isinya oleh Harry dan Malfoy.

"Oiya, aku sampai lupa," Harry beranjak sambil merapikan kacamata bundarnya yang sedikit melorot.

"Jadi?"

"Kami pergi dulu Hagrid, besok mungkin aku akan main lagi ke pondokmu. Terima kasih cokelat panasnya. Ayo Malfoy, sebaiknya kita bergegas!" Harry menghampiri Malfoy yang tengah asyik mengamati beberapa tanaman herbal milik Hagrid di beberapa sisi rumah tinggal sederhana itu.

"Tapi Potter, aku sedang melihat-lihat tanaman… "

"Besok sore kau masih bisa melakukannya, benar kan Hagrid?"

"Ya, tentu saja, asal kau tidak meledakkan sesuatu atau melukai hewan-hewan peliharaanku," jawab Hagrid sambil memandang sedikit curiga kepada pemuda berambut pirang platina itu.

Wajah Malfoy menunjukkan ekspresi sedikit tersinggung, tapi buru-buru ekspresi itu ia ganti dengan wajah datarnya, "tentu saja aku tidak akan melakukannya. Aku hanya ingin mempelajari beberapa tanaman untuk pembuatan ramuan seperti yang tertera di buku ini."

"Sudahlah, ayo cepat," kali ini Harry menggeret lengan Malfoy dengan sedikit kasar.

Huh, baiklah. Hagrid, sampai jumpa," ucap Malfoy canggung, dan Hagrid hanya mengangguk, sedikit merasa aneh dengan tingkah polah Malfoy yang terkesan lebih sopan dan menghormati keberadaannya. Berbeda dengan Malfoy jaman dulu yang begitu sangat menjengkelkan, selalu seperti tidak menganggap Hagrid ada.

'Mungkin perang sudah merubah segalanya,' pikir Hagrid sambil menggendikkan bahunya dan menutup pintu pondoknya.

Harry dan Malfoy berlari kecil menuju aula besar tempat makan malam berlangsung. Dan Harry tanpa sadar terus menggandeng tangan Malfoy (sebenarnya lebih tepatnya menyeret) meski mereka tidak berbicara sepatah katapun. Malfoypun entah menikmati entah tak sempat protes, hanya mengikuti langkah Harry tanpa melayangkan gugatan apapun.

Perjalanan aneh itu berakhir di pintu aula besar, saat tatapan-tatapan tak mengerti seperti membombardir kedua remaja yang masih terengah hasil dari berlari kecil dari hutan terlarang hingga mencapai aula besar.

Bahkan sang kepala sekolah, Profesor Mc Gonagall sampai mengernyit menandakan ketidakpahamannya dengan apa yang disuguhkan oleh matanya saat ini. Pemandangan di mana seorang mantan death eater dan sosok pahlawan dunia sihir kebanggaan Hogwarts tengah saling menautkan tangan dengan napas sama-sama terengah.

Dan bisik-bisik serta kasak-kusuk dengan berbagai spekulasipun mulai terdengar di hampir semua meja di sana. Terutama dari meja Gryffindor dan Slytherin. Dua kubu dengan pergolakan paling besar serta pandangan-pandangan menyelidik, menusuk dan saling curiga.

Tidak, Harry maupun Malfoy tidak ingin menjadi bahan perbincangan atau olokan. Mereka berdua sangat benci dengan gossip murahan dan pandangan menelanjangi dari semua orang. Dan seperti dikomando, keduanya sepakat secara tidak langsung untuk saling melepaskan pegangan, berjalan dengan wajah senormal mungkin menuju meja masing-masing. Duduk manis dan berharap tidak mendapatkan serbuan interogasi tak penting dari teman-teman mereka yang telah menanti dengan wajah lapar informasi.

"Kau kemana saja seharian ini, Harry? Aku dan Ron hampir lima kali mengelilingi seluruh penjuru sekolah, tapi tak kunjung menemukan tanda-tanda keberadaanmu. Dan sekarang secara ajaib, tiba-tiba kau datang ke aula besar bersama si Ferret itu. Sebenarnya apa yang terjadi?" dan serbuan pertanyaan seperti yang sudah diramalkan di benak Harry pun mulai menyerangnya. Seorang Hermione, sahabatnya kini menatapnya dengan pandangan penuh kekhawatiran. Di hadapannya, pandangan yang hampir sama ia dapatkan dari sahabat laki-lakinya, Ron yang nampaknya sedikit kehilangan selera makanannya karena Harry hanya melihat satu potong tulang saja yang tertinggal di piringnya (biasanya Ron bisa menghabiskan 3 hingga 4).

"Apa kau benar-benar berusaha mencari informasi dari Malfoy?" bisik Ron sambil mendekatkan wajahnya ke arah Harry dan Hermione.

"Apa maksudnya kau bergandengan dengan si mantan death eater itu, Harry?" Seamus, entah sejak kapan ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka bertiga.

"Dan datang kemari sambil terengah," imbuh Ginny tak mau ketinggalan.

"Huh, aku lapar. Bisakah kalian membiarkanku makan?" tanpa menjawab pertanyaan yang datang kepadanya, Harry mengambil beberapa potong sosis dan menyesap jus labunya cepat.

"Baiklah kalau begitu, tapi kau harus memperhatikan apa yang terjadi kepada partnermu di meja sana," Hermione menggerakkan dagunya untuk memberi isyarat Harry agar melihat ke meja Slytherin. Di mana pemandangan yang jauh dari kata mengenakkan telah terjadi di sana.

Dari sudut mata Harry, terlihat Malfoy tengah dipandangi intensif oleh dua pria yang ingin menjadi kekasih Harry, Nott dan Zabini. Ekspresi wajah keduanya seperti orang yang ingin menerkam dan memakan hidup-hidup seorang Draco Malfoy. Tapi Malfoy terlihat tetap tenang, bahkan saat Zabini terlihat berbicara cukup keras kepadanya, hanya dijawab tatapan sinis yang terkesan merendahkan.

"Apa kau punya hubungan special dengan Malfoy?" tanya Neville yang menatap Harry dengan pandangan bingung.

"Tidak, Nev. Tidak ada apa-apa," Harry kembali dengan makan malamnya yang tertunda, mengabaikan pandangan-pandangan tak mengerti dari teman-temannya.


TBC (Maybe)

Hehehe, my 3rd Harry Potter fic. Silakan beri review dan masukan karena masih sangat banyak kekurangan. Kecuali tentang pemilihan tema Fem!Harry, tolong jangan protes tentang itu karena dari awal sudah saya warning kan …

Thanks before ….