Angin malam yang dingin berhembus pelan menggelitik kulit wajahku, menerbangkan surai-surai semerah darah milikku. Aku menatap langit malam musim dingin yang indah. Memang tidak cerah, hanya ada sedikit bintang disana. Namun, tetap saja terlihat indah bagiku.

Aku menatap pemandangan di depanku. Kerlap-kerlip kota Tokyo yang dipenuhi banyak hiasan-hiasan Natal. Ya, besok adalah hari Natal. Seharusnya, saat ini aku berada di rumah, menghabiskan malam Natalku bersama keluargaku. Bukan berdiri di atap SMA Rakuzan, tempatku bersekolah.

Aku ingin pulang, tentu saja. Aku ingin menghabiskan malam Natalku bersama Ayahku—Akashi Masaomi—satu-satunya keluargaku. Sayangnya, aku tidak bisa pulang. Aku tidak punya muka untuk dihadapkan kepada Ayahku. Aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. Hari ini, aku telah mengecewakannya. Aku telah gagal menjalankan tugasku. Aku sudah tidak pantas disebut sebagai anaknya lagi.

Turnamen Winter Cup telah usai. Pertandingan final—Rakuzan vs Seirin—telah berakhir. Seirin-lah yang memenangkan turnamen ini. Tetsuya dan teman-temannya telah mengalahkanku. Aku kalah. Aku telah kalah. Aku bukanlah apa-apa lagi sekarang.

Aku bukan lagi Akashi Seijuurou.

Seorang Akashi tidak boleh mengalami kekalahan. Ayahku selalu mengatakan hal itu. Jika kalah, sama saja dengan membuang harga diri. Tak ada lainnya dengan bunuh diri.

Ayahku melihat pertandingan ini. Dia sangat kecewa padaku. Bahkan ketika pertandingan berakhir, dia sama sekali tak mau melihat wajahku.

"Mati saja, sana!"

Dia mengatakan itu padaku. Rasanya sakit sekali. Walau aku sudah menduganya, tetap saja rasanya sakit. Satu-satunya keluarga yang aku punya mengharapkan aku mati. Aku merasa hidupku selama ini benar-benar tidak berguna.

Ya, mungkin itu memang benar. Selama ini, hidupku memang tidak spesial. Aku memang terlahir dari keluarga terpandang dan kaya raya, dengan seorang ayah yang selalu menuntutku menjadi yang terbaik. Walau aku sering tertekan, aku tetap melakukannya sebisa yang ku lakukan. Saat ibu masih hidup dulu, aku tidak pernah merasa kesepian. Dia selalu mendukungku. Namun, semenjak dia pergi, aku sendirian. Satu-satunya yang kupunya hanya ayah. Sebisa mungkin aku tidak ingin mengecewakannya.

Tapi, apa yang telah aku lakukan? Aku gagal menjadi apa yang dia inginkan. Aku telah mengecewakannya. Ia bahkan tidak ingin melihatku lagi. Ia ingin aku mati.

Sesuatu yang selama ini ku perjuangkan dan ku pertahankan telah direbut. Sesuatu yang selama ini membuatku bertahan hidup, telah diambil paksa dariku. Sekarang, aku sudah tidak berguna lagi. Jadi, untuk apa aku hidup?

Mungkin mati lebih baik.

Sejak dulu, aku hidup hanya untuk menyusahkan orang lain, menyakiti orang lain. Aku telah mengecewakan teman-temanku, membuat mereka berubah, membuat mereka menjadi kejam. Aku telah menghancurkan persahabatanku, merusaknya hanya karena keegoisanku semata. Aku telah menyakiti Tetsuya dan membuat Satsuki menangis. Aku telah menyakiti semuanya.

Sekarang, semua sudah berakhir. Tetsuya dengan bantuan para temannya, telah berhasil mengembalikan teman-temanku seperti dulu. Aku senang sekaligus bangga padanya. Tetsuya telah melakukan apa yang tidak bisa aku lakukan. Jika aku masih terus berada disini, aku hanya akan jadi ancaman bagi mereka. Aku hanya akan merusak apa yang telah Tetsuya susah payah bangun untuk mereka. Aku hanya akan menjadi penghalang bagi mereka.

Karena itu, aku akan mengakhirinya. Malam ini mungkin terlalu indah untuk pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan ayahku, meninggalkan, teman-temanku, meninggalkan dunia yang indah ini.

Meninggalkan kekasih yang sangat kucintai, Satsuki.

Setelah aku melakukan ini, Ayah pasti akan sangat marah padaku. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin, dia tidak akan peduli. Yang lain pun tidak akan peduli. Tidak akan ada yang peduli. Kehilangan satu orang tidak berguna sepertiku tidak akan mengubah apapun. Mungkin, dunia akan lebih damai jika orang sepertiku tidak pernah terlahirkan.

"Terima kasih, Ayah. Terima kasih, teman-teman. Maafkan aku, Tetsuya, Satsuki. Selamat tinggal."

BRUK!

ooo

As Your Wish, Akashi-sama!

Yuuki Azusa Present

Kuroko no Basuke Fanfiction

Desclaimer : KnB © Fujimaki Tadatoshi

Rated : T

Genre : Romance, Drama, Friendship, dengan sedikit selingan Humor.

Pair : KuroAka, KiseAka, MidoAka, NijiAka, MayuAka, MuraAka, AoAka, KagaAka, MomoAka, FuriAka, AkaAka(?).

Warning : Harem Akashi, Genderbend Akashi, OOC, judul tidak nyambung, ide pasaran, typo(s), dll.

Kalian boleh menekan tombol back jika tidak suka fic ini, asal jangan judge saya XD

I have warn you!

Selamat Membaca!

ooo

Tubuh Baru

Senin, 24 Desember 2XX, seorang siswa SMA di temukan tewas di lapangan SMA Rakuzan. Menurut salah satu saksi yang melihat, korban bunuh diri dengan menerjunkan dirinya sendiri dari atap sekolah. Diduga, korban bunuh diri karena mengalami depresi berat. Setelah dilakukan otopsi oleh pihak rumah sakit, identitas korban diketahui adalah Akashi Seijuurou, putra tunggal Akashi Masaomi, salah satu pengusaha terkemuka di Jepang.

Sakit. Sesak. Dingin.

Rasanya menyakitkan.

Aku tidak tau aku berada dimana sekarang. Semuanya terasa gelap dan hampa. Aku merasa diriku terombang-ambing, tenggelam dalam dasar lautan yang gelap, tidak bisa kembali.

Aku tau. Aku ini sudah mati.

Kejadian di malam itu langsung menewaskanku. Aku sempat merasakan sakit. Kepalaku terasa hancur, sekujur tubuhku serasa remuk. Untungnya, rasa itu tidak berlangsung lama. Setelah itu, aku tidak dapat merasakan apa-apa.

Aku tidak tau akan dibawa kemana jiwaku sekarang. Aku mati bunuh diri. Melanggar takdir Tuhan. Aku telah mengakhiri waktu hidupku sendiri, seenaknya. Jiwaku pasti tidak akan diterima. Tidak di surga, juga tidak di neraka. Aku hanya akan jadi jiwa kosong yang terombang-ambing tanpa tentu arah.

Banyak yang bilang, orang yang mendekati kematiannya akan melihat kepingan-kepingan memori saat dirinya masih hidup yang diputar layaknya film. Kenangan yang bisa membuatmu tenang, atau mungkin menyesal.

Aku menunggunya sejak tadi. Namun, kenangan itu tidak muncul. Sama sekali tidak. Hanya gelap yang sejak tadi menemaniku. Apa ini? Bahkan aku pun tidak diizinkan untuk melihat kenangan semasa hidupku. Hah? Sejak kapan aku jadi sebodoh ini? Tuhan pasti sangat marah padaku.

Aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Aku memilih untuk terus memejamkan kedua mataku. Hingga sepasang tangan meraih kedua tanganku. Menggenggamku dengan sangat lembut.

Dengan ragu, perlahan ku buka kedua mataku. Aku melihatnya, sosok gadis yang sangat cantik, tersenyum lembut padaku. Aku merasa gadis itu tidak asing. Aku pernah melihatnya di suatu tempat. Rambut merah panjangnya yang terurai, kedua iris dwiwarnanya yang indah, wajahnya yang terkesan angkuh, mengingatkanku pada seseorang.

Mengingatkanku pada diriku sendiri.

Gadis itu perlahan mendekatiku, membisikkan sesuatu dengan lembut di telingaku.

"Tenang saja, kau akan baik-baik saja. Kau akan kembali hidup dan menebus semua dosamu. Selamat berjuang dan semoga berhasil, Seijuurou."

Gadis itu membalikkan badan, menukar posisinya denganku. Perlahan ia mulai melepaskan tangannya dariku dan mendorongku ke atas. Ke permukaan.

Sebelum aku diberi kesempatan untuk menjawabnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya ada putih yang teramat silau menyambut diriku.

ooo

"Aku tidak mengerti. Kenapa semuanya malah jadi begini?"

Gadis bersurai merah itu berkata lirih. Iris dwiwarnanya yang indah menatap jalanan kota Tokyo yang ramai sore itu. Sendu. Gurat kesedihan tampak terpancar dari raut wajahnya yang biasanya terlihat angkuh itu.

Pemuda bersurai coklat di sebelahnya hanya diam. Ia tidak tau harus berkata apa disaat-saat seperti ini. Padahal, akan lebih bagus jika berkata sepatah dua patah kata untuk menghibur hati gadis itu.

"Harusnya, aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Karena aku, mereka jadi bertengkar. Karena aku… persahabatan mereka rusak."

Gadis itu kembali berkata. Suaranya lebih serak, seperti menahan tangis.

"Seishina-san…" kedua iris hazel pemuda itu menatap sang gadis intens. Harus, ia harus mengatakan sesuatu.

"Seharusnya, aku tidak pernah ada. Dengan begitu, mereka—"

"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Seishina-san!"

Sang pemuda membentak. Sang gadis sedikit tersentak. Pemuda coklat itu tidak pernah membentaknya. Ia selalu berusaha berbicara lembut padanya, tidak seperti ini.

"Kouki…"

"Maaf, aku mungkin telah kasar padaku. Aku hanya tidak suka melihatmu seperti ini," ujar sang pemuda. "Seishina-san tak perlu menyalahkan diri sendiri. Semua ini bukan salahmu sepenuhnya. Mereka semua juga salah karena terlalu banyak menaruh harapan padamu."

Gadis itu kembali tersentak. Kedua matanya terbelalak.

"Aku juga salah. Aku terlalu lemah, juga penakut. Aku tidak bisa menghentikan mereka. Tapi kurasa, masih ada cara untuk mengembalikan mereka. Mereka akan tetap menjadi temanmu, seperti dulu!"

"Bagaimana caranya?" tanya gadis itu tak yakin. Pemuda coklat kembali tertunduk.

"Aku tidak tau. Tapi, akan ku pikirkan. Seishina-san, aku berjanji akan terus membantumu. Aku akan mencari cara untuk menyelesaikan semua masalah ini. Karena itu, kumohon padamu. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Aku tidak suka melihatmu seperti ini."

Pemuda itu mengatakannya dengan sungguh-sungguh dan juga tulus. Sang gadis tak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum.

"Kau memang tidak pernah berubah ya, Kouki," ujarnya lembut. "Baiklah, kita akan pikirkan caranya. Tapi, sekarang sudah terlalu larut untuk membicarakan semuanya. Bisa kita pulang sekarang?"

Sang pemuda ikut tersenyum. "Kau benar. Kau harus segera pulang. Aku tidak mau kena piting Kuroko-san lagi karena seenaknya membawamu pergi."

Sang gadis terkekeh pelan. "Tetsuya tidak sekejam itu."

"Tapi, dia selalu melakukannya. Hampir setiap hari."

Sang gadis lalu bangkit dari tempat duduknya, mengajak sang pemuda pergi.

"Kita pulang, Kouki."

Sang pemuda mengangguk.

Tepat setelah keduanya melangkahkan kaki menyebrangi jalan, tragedi yang sama sekali tak diinginkan terjadi. Sebuah truk besar yang ugal-ugalan melaju cepat ke arah mereka. Truk mengerem paksa, namun tak berhasil dan menabrak salah satu dari mereka.

Darah segar mengalir deras, keluar dari kepala yang terluka, milik sang surai merah. Milik sang gadis.

"Seishina-san!"

Dan sang pemuda hanya bisa merutuki dirinya sendiri yang terlambat menyelamatkan sang gadis.

ooo

"Hah?!"

Apa yang terjadi? Mimpi apa tadi itu? Siapa gadis itu?

Ketika aku membuka kedua mataku, pemandangan yang menyambutku adalah kamar serba putih dengan lampu yang menyala terang. Bau obat-obatan yang menyengat menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku. Satu hal yang ku tau, aku berada di rumah sakit.

Pandanganku masih kabur. Aku masih belum bisa melihat dengan jelas. Kepalaku terasa sangat pening dan nafasku masih terasa sesak. Sekujur tubuhku lemas, sama sekali tak bisa ku gerakkan.

Aku tidak mengerti. Apa yang terjadi? Bukankah aku sudah mati? Kenapa aku bisa berada disini?

Saat aku sibuk dengan pikiranku, tampak seseorang mendekatiku. Seseorang dengan jas putih khas dokter.

"Ini… benar-benar keajaiban. Suster cepat pasang alatnya!"

Kurang lebih, itulah yang ia katakan. Para suster datang lalu memasang berbagai alat yang entah apa itu pada tubuhku. Setelah itu, kulihat dua orang bersurai merah datang mendekatiku.

"Seishina, bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?" yang perempuan bertanya padaku. Lembut sekali, seperti suara Ibu.

"Apa kau merasa pusing, Seishina?" kali ini yang bicara yang laki-laki. Suaranya berat dan tegas, suara khas ayah.

Ini benar-benar nyata. Rasanya sama sekali tidak seperti mimpi. Kedua orang di hadapanku ini benar-benar nyata. Mereka sangat mirip dengan kedua orang tuaku. Rambut merah mereka. Mata merah Ayah. Mata emas Ibu. Benar-benar nya—

Tunggu! Ada yang tidak beres disini.

Aku kan sudah mati. Harusnya aku berada di peti mati, atau apalah, bukan disini. Kalau aku berada disini, berarti aku hidup kembali. Atau mungkin masih hidup? Entahlah.

Ayah ada disini. Itu tidak aneh, walau aku tidak yakin dia benar-benar datang setelah aku mempermalukannya. Namun, kenapa Ibu ada juga ada disini? Bukankah… beliau sudah lama meninggal.

Bukannya aku tidak senang jika Ibu ada disini. Aku senang, sangat malah. Hanya saja, Ibuku tidak mungkin berada disini. Ia tidak mungkin hidup lagi. Ibuku juga tidak punya saudara kembar, ataupun saudara kandung yang wajahnya benar-benar mirip dengannya. Tidak mungkin ada orang yang wajahnya bisa benar-benar menyerupai wajah Ibuku. Jadi, jika wanita yang berdiri dihadapanku ini bukan Ibuku, lalu siapa?

Juga, kenapa mereka berdua memanggilku Seishina? Namaku Seijuurou, bukan Seishina. Seishina itu nama perempuan, sedangkan aku laki-la—

Tunggu. Jangan bilang, hal yang sangat kutakutkan benar-benar terjadi. Itu tidak mungkin kan?

"Seishina, kau butuh sesuatu, sayang?" wanita itu kembali bertanya lembut saat melihat tanganku seperti berusaha meraih sesuatu.

"Cer…min… Aku… b-butuh… cermin…"

Aku berujar dengan susah payah. Lidahku masih keluh untuk diajak bicara.

Wanita itu lalu menunjukkan kamera ponselnya. "Maaf, sayang. Okaa-san tidak bawa cermin. Pakai ini bisa kan?"

Tanpa menjawabnya, aku segera merebut ponsel dari tangan wanita itu. Saat aku melihat pantulan wajahnku, aku merasa duniaku telah berakhir.

Hal yang selama ini kutakutkan benar-benar terjadi. Jiwaku terjebak dalam tubuh seorang gadis. Seorang gadis yang sama persis dengan gadis yang kulihat dalam mimpi.

Aku tidak tau apa yang terjadi setelahnya. Aku hanya bisa mendengar suara wanita yang mirip ibuku berteriak histeris menyebut nama Seishina, lalu semuanya menjadi gelap.

ooo

Seminggu setelah aku sepenuhnya sadar dari komaku. Aku masih dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih intens karena tubuhku masih lemah untuk digerakkan, walau beberapa luka di tubuhku telah sembuh. Setelah sadar hari itu, aku tidak tau harus mengatakan apa. Aku begitu syok dengan jiwaku yang terjebak dalam tubuh seorang gadis, lalu aku kembali pingsan lagi. Saat aku sadar, aku dikejutkan dengan wanita yang mirip ibuku itu memelukku erat.

Setelah beberapa hari, aku mulai terbiasa walau belum bisa menerima tubuh ini sepenuhnya. Aku masih lebih banyak diam dan belum mau bicara dengan orang-orang disekitarku. Jujur saja, aku sangat terkejut. Aku tidak menyangka semua akan jadi seperti ini. Ku kira, rencana bunuh diriku yang berhasil waktu itu akan membawaku pada kematian yang menenangkan. Nyatanya, masalah baru muncul dan membuatku terlibat dalam hal yang cukup merepotkan. Hah, dasar. Sejak dulu, masalahku tidak pernah ada habisnya. Menyebalkan.

Ngomong-ngomong soal tubuh baruku, aku terjebak dalam tubuh seorang gadis bernama Akashi Seishina. Jujur, aku tidak menyangka ada orang lain yang benar-benar mirip denganku, hanya saja berbeda gender. Silsilah keluarganya juga mirip sekali denganku. Ayahnya adalah Akashi Masaomi, sedangkan ibunya adalah Akashi Shiori. Kedua orang tuanya memiliki nama dan wajah yang sama persis dengan kedua orang tuaku. Keluarganya juga keturunan keluarga terkemuka di Jepang, tak ada bedanya dengan keluargaku. Semua tentangnya sama persis denganku. Seperti ada diriku yang lain di dunia yang berbeda dimana aku pernah hidup.

Dunia pararel. Itu dia. Satu-satunya yang dapat ku asumsikan disini. Aku terjebak di dalam dunia dimana ada diriku yang lain hidup. Hanya saja disini, aku adalah seorang gadis. Bukan seorang pemuda angkuh yang kerjanya hanya memerintah orang lain. Ironis sekali. Tidak kusangka aku bisa terjebak seperti ini. Namun, ada yang aneh disini. Jika memang ada diriku yang lain hidup di dunia pararel, dimana jiwanya berada sekarang saat jiwaku menguasai tubuhnya? Lalu, apa yang terjadi pada tubuh asliku?

Ah, tubuh asliku pasti sudah hancur sekarang. Tak mungkin akan masih utuh setelah dengan seenaknya ku jatuhkan dari ketinggian hampir lima meter.

Ngomong-ngomong soal tubuh baruku ini, sejujurnya aku masih belum nyaman. Layaknya gadis pada umumnya, aku memiliki semua yang dimiliki para gadis. Rambut panjang sepinggang, bulu mata yang lentik, suara lembut yang agak cempereng, dan juga dua tonjolan di dada walau kuakui tak sebesar milik Satsuki juga tak sedatar milik pelatih basket anak-anak Seirin. Bagian bawah tubuhku juga berubah, aku tak bisa mengatakannya karena itu cukup privasi.

Saat aku berdiri, tubuhku tidak setinggi dulu. Tinggiku berkurang 10 cm dari saat aku masih menjadi Akashi Seijuurou. Aku merasa semakin pendek, namun tinggiku ini normal untuk ukuran gadis SMA. Tubuhku juga cukup langsing dan ringan, membuatku mudah bergerak.

Soal wajah, menurutku wajah gadis ini cantik. Ya, tidak jauh berbeda dengan diriku yang dulu tampan—aku tidak bermaksud untuk narsis, aku hanya mengatakan kenyataan—hanya saja wajahku kali ini lebih halus. Kulitku putih, lembut, dan bersih. Kedua mataku juga lebih besar, dan masih dwiwarna. Saat aku menjadi Seijuurou, mata itu kudapatkan karena kepribadianku yang terbagi menjadi dua. Namun, untuk versi Seishina, mata ini didapatkannya sejak lahir. Mata campuran antara sang Ayah dengan sang Ibu.

Ngomong-ngomong soal mereka, aku masih belum berani bicara banyak dengan mereka. Setelah bertahun-tahun tak bertemu dengan Ibu, aku jadi sedikit gugup saat kembali bicara dengannya. Bukannya tidak mau, aku hanya belum bisa. Aku juga masih belum bisa menatap Ayah karena aku selalu teringat dengan kejadian bunuh diriku tiap kali melihat mata Ayah.

Aku pernah bertanya pada mereka berdua perihal Seijuurou. Aku berkata bahwa aku bukanlah Seishina melainkan Seijuurou. Mereka malah menatapku bingung dan menganggap aku masih linglung setelah terbangun dari koma panjangku. Mereka tidak mengenal Seijuurou. Mereka tak pernah memiliki anak laki-laki bernama Seijuurou. Satu-satunya anak mereka hanya gadis ini. Seishina yang mereka sayangi.

"Seishina sayang, Okaa-san masuk ya."

Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, Ibu masuk membawakan makan siang untukku. Aku tidak menyahut, hanya menyambutnya dengan senyum.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?" tanya Ibu lembut.

"Ah… terkadang aku masih merasa pusing," jawabku, sedikit gugup.

"Begitu ya. Jaa, waktunya makan siang. Okaa-san sudah bawakan sup tofu kesukaanmu."

Hm, jadi Seishina juga suka sup tofu sepertiku ya? Hihi, ini menggelikan.

"Okaa-san suapi ya."

Aku terkejut. "E-eh, tidak perlu, Okaa-san. Aku bisa makan sendiri," tolakku halus.

"Sudahlah, tak apa. Jarang-jarang kau bisa Okaa-san suapi kan?"

Akhirnya, aku mengalah. Aku biarkan Ibu menyuapiku. Ah, supnya terasa hangat. Rasa lezat yang familiar, rasa buatan Ibu. Rasanya semakin hangat karena Ibu yang menyuapiku.

Rasa ini sudah lama sekali terlupakan. Kehangatan Ibu yang sudah lama tak kudapatkan. Seishina benar-benar beruntung. Dia memiliki keluarga yang sangat sempurna. Kedua orang tuanya masih utuh, juga sangat menyayanginya.

Lalu, kemana Seishina pergi saat dirinya bisa mendapatkan semua ini?

Kutarik semua kata-kataku tentang kehidupan Seishina yang persis sepertiku. Ini sama sekali tidak sama. Hidup Seishina jauh lebih sempurna dibanding hidupku.

Kurasa, tak masalah jika aku menjadi Seishina untuk sementara. Lagipula, diriku sebagai Seijuurou pun tidak akan dirindukan, juga tak akan bisa kembali.

"Sayang, ada apa? Kenapa kamu menangis?"

"Eh?" Aku menatap Ibu yang balik menatapku khawatir. Saat kusadar, beberapa tetes air mata telah membasahi pipiku. Ini pasti efek karena terlalu lama tidak merasakan kasih sayang Ibu. Aku jadi menangis tanpa sadar.

"Okaa-san tidak tau apa yang sedang kau pikirkan. Tapi, yang Okaa-san lihat dari wajahmu, kau sepertinya tidak sedih," ujar Okaa-san sambil menghapus air mataku dengan sapu tangan yang dibawanya.

"Un, Okaa-san benar. Aku tidak sedih. Hanya terharu," jawabku masih dengan sedikit isakan.

Ibu memandangku bingung. "Terharu? Karena apa?"

Aku tidak menjawab. Aku hanya diam sambil memejamkan mata, berusaha membuat diriku tenang.

Mungkin ini egois, tapi aku ingin merasakannya kembali. Hanya sekali saja. Ibu pasti akan mengabulkannya.

"Okaa-san, aku punya permintaan," ujarku.

"Apa itu, sayang?"

"Tolong peluk aku." Aku mengatakannya sambil tersenyum. Ibu awalnya memandangku bingung. Namun, akhirnya ia ikut mengulas senyum, lalu menarikku lembut dalam dekapannya yang hangat.

"Apapun yang kau inginkan pasti Okaa-san berikan, Seishina sayang," ujar Ibu sangat lembut. Kali ini, aku tidak bisa menahan tangisku untuk tidak keluar. Aku tidak peduli, menjadi alay sehari rasanya tak masalah. Toh, aku hanya ingin menghapus sedikit rinduku pada Ibuku.

Seishina, maaf. Sepertinya aku akan menguasai tubuhmu sedikit lebih lama, agar aku bisa mendapatkan semua yang tidak dapat kumiliki.

Pelukan itu tak berlangsung lama. Setelah aku merasa cukup, aku melepaskan pelukan Ibu perlahan. Ibu mnegulas senyum lembut sambil mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Ah, lama sekali aku tidak merasakan semua sensasi ini.

Aku menikmati semua sentuhan yang Ibu berikan padaku dalam diam. Mencoba menikmatinya dengan tenang.

"Kau pasti kesepian ya? Maaf ya, Okaa-san tidak selalu berada di sisimu," sesal Ibu.

Aku menggeleng pelan. "Okaa-san berada di sisiku sekarang saja sudah cukup bagiku," ujarku.

"Oh ya, besok teman-temanmu akan datang untuk menjengukku sekaligus menemanimu," ujar Ibu.

Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Teman? Yang langsung terlintas dalam pikiranku adalah Tetsuya dan teman-temanku dari Kiseki no Sedai.

"Teman?" Aku bertanya. Tatapan bingung ku layangkan pada Ibu yang masih tersenyum.

"Un. Tetsuya dan yang lainnya akan datang. Mereka sudah dapat izin dari Otou-san untuk menjengukmu," jawab Ibu.

Dugaanku benar. Tetsuya akan datang, bersama dengan yang lain. Aku penasaran. Apa mereka akan menjadi orang yang sama seperti mereka yang hidup di duniaku? Atau justru jadi orang yang benar-benar berbeda? Entahlah, bisa saja mereka transgeder seperti diriku.

Aku jadi sangat penasaran. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengan mereka. Aku harus siap dengan apa yang akan ku hadapi besok. Kira-kira, seperti apa ya sosok teman-temanku di dunia ini?

Bersambung…

Author's note :

Sepertinya aku adalah author yang sangat kurang ajar yang pernah ada karena dengan seenaknya membuat fic baru diantara semua fic-ku yang bertumpuk dan belum di selesaikan. Aku tidak dapat menahan hasratku untuk menulis fic baru ini. Rasanya gatel bikin harem Akashi!

Btw, aku suka uke Akashi. Tadinya, aku mau buat uke Akashi x all, eh yang kepikiran malah Akashi jadi cewek. Dan jadilah fic ini.

Kalau respon para reader bagus, akan kulanjutkan. Kalau gak… tetep dilanjutkan XD

Btw, kalian pilih pair yg mana yang akan jadi pair utamanya? Pilihan terbanyak akan jadi juaranya.

Ok, mungkin itu aja. Sampai jumpa di chapter depan! Tertarik untuk meninggalkan jejak?