Naruto © Masashi Kishimoto
Chapter 1
Naruto Namikaze menempelkan kepala pirangnya ke tembok bercat cokelat lembut di belakangnya, ia membuang napas sambil sesekali melirik ke arah pintu dari bahan kayu eboni sekitar 7 meter dari tempatnya duduk. Tangan kecoklatan itu saling meremas menguatkan satu sama lain—atau sekedar mengaburkan getaran halus di sana. Sapphire-nya meneliti tiap sudut dari rumah mewah Uchiha ini, dia baru sadar satu hal, Sasuke Uchiha memang orang kaya, tidak, sangat kaya. Tiba-tiba saja, dia merasa menyesal pernah mendatangi tempat ini, perutnya seolah berputar ingin memuntahkan isinya. Naruto saat itu menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri saat suara derap langkah yang mendekat memaksanya menarik diri dan bersembunyi di balik vas besar dengan aksen emas berisi tanaman hias yang tumbuh subur di sebelah kirinya. Jantungnya serasa mau melompat saat melihat pria bertubuh tegap melangkah ringan menapaki anak tangga yang berada beberapa meter di hadapan Naruto, dalam hati dia berharap agar pria itu tidak menyadari keberadaannya. Baru saja dia akan menapaki anak tangga kelima saat tiba-tiba pintu dari bahan eboni itu terbuka dengan dorongan yang agak keras kemudian terdengar titah dari orang berkedudukan tertinggi di rumah itu "Sasuke, cepat kemari!" Suaranya terdengar dingin, tipis dan mematikan seperti lapisan es di belahan bumi utara. Sasuke, melangkah pelan tapi pasti, seolah siap menghadapi apapun yang ada di dalam sana.
Naruto secara tidak sadar menelan ludah saat Sasuke berjalan melewatinya begitu saja, baru saja dia ingin membuang napas lega saat nyawanya seakan melayang ketika langkah Sasuke berhenti, memutar tubuh dan menatapnya tajam seperti tatapannya malam itu "Apa yang kau lakukan di situ?" Naruto yakin dia tidak melewatkan nada keterkejutan di sana. Naruto tidak boleh takut, dia tahu itu "Menunggu, mungkin?" Sasuke mendengus seraya berlalu mendengar jawaban orang asing yang seperti familiar itu, ada hal penting lain yang menunggunya di dalam sana. Naruto akhirnya menghembuskan napas yang sadar atau tidak sempat dia tahan selama beberapa detik, dia tidak tahu harus merasa beruntung atau tidak karena nyatanya Sasuke tidak terlalu mempermasalahkan kehadirannya yang salah di tempat ini. Matanya menatap punggung Sasuke yang menghilang di balik pintu.
Jadi, dia tidak mengingatku, huh? Batinnya.
Naruto tidak ingat bagaimana dia bisa berada di ruang kerja Fugaku Uchiha, atau lebih tepatnya dia tidak mau mengingatnya, saat tatapan tajam Sasuke mengarah kepadanya dan dengan nada bicara khas Uchiha—dingin dan menusuk—dia meminta, tidak, memerintah Naruto untuk ikut masuk ke dalam tempat—yang menurutnya terkutuk itu.
"Apa kau mengenalnya, Sasuke?" Suara Fugaku membelah kesunyian yang sempat tercipta beberapa menit terakhir. Naruto bisa merasakan pandangan semua orang terarah kepadanya yang hanya bisa tertunduk, dia benar-benar menyesal rela begitu saja saat diseret oleh ayahnya ke rumah ini. Rela, huh? Tentu tidak, saat ini dia lebih memilih kakinya dipotong saja oleh ayahnya saat itu kerena tidak mau mengunjungi tempat ini daripada harus menghadapi semua tatapan menyudutkan ini.
"Tidak" Jawab Sasuke mantap, Naruto membeku di tempatnya, benar dugaannya Sasuke memang tidak mengingatnya.
"Bagaimana bisa kau tidak mengingatnya setelah apa yang kau lakukan padanya?!" Minato bukanlah orang yang mudah terbawa emosi, tapi dia akan berubah sangat sensitif jika sudah menyangkut anak satu-satunya. Di sisi lain ruangan itu, Mikoto mengelus dada, mencoba menenangkan diri sendiri. Dia tak pernah menyangka anak yang sudah dia dan suaminya didik sebaik mungkin bisa membuat kesalahan fatal seperti ini "Kau yakin tidak mengenalnya?" Tanya Fugaku sekali lagi, dan dijawab anggukan pasti dari Sasuke.
"Lagi pula—" Sasuke berhenti sejenak sebelum memandang tepat ke arah mata biru Naruto yang tengah menatapnya beberapa detik terakhir "Mana mungkin seorang lelaki bisa hamil?" Suaranya terdengar tidak yakin sekaligus meremehkan pada saat yang bersamaan, setidaknya itulah yang ditangkap Naruto dan mungkin sama halnya dengan ayahnya, Minato, karena detik berikutnya terdengar makian yang sangat jarang dilontarkan oleh seorang Minato Namikaze "Apa maksudmu berkata seperti itu, brengsek?! Kau pikir keluarga kami ini rendahan hah?! Kau pikir kami hanya orang yang sengaja memanfaatkan anak kami untuk tujuan tertentu?!" Minato membuang napasnya kasar, tidak ada yang berkomentar. Tidak terima dengan perkataan Sasuke yang terdengar seperti tuduhan di telinganya.
"Dia anakku satu-satunya yang kubesarkan dengan cara yang baik-baik, aku tidak percaya dia bisa jatuh di tangan orang brengsek sepertimu! Kau pikir aku tidak malu datang kemari dan meminta pertanggung jawabanmu, Uchiha?! Asal kau tahu saja, aku tidak butuh harta kalian, aku hanya butuh pengakuan dari anakmu yang berengsek ini!" Napasnya terengah-engah, di samping Minato, istrinya mencoba menenangkannya "Tenangkan dirimu Minato, kau seperti bukan dirimu saja" Suara Kushina bergetar. Fugaku memijit pelipisnya, tiba-tiba saja dia merasa lelah, seumur hidupnya ini adalah masalah terberat yang pernah dia hadapi "Kalau begitu, bisa kau jelaskan mengapa anakmu ini bisa hamil layaknya seorang wanita" Minato hendak menjawab sebelum Kushina menyentuh lengannya "Naruto itu, spesial" Kushina mulai membuka suara "Sejak dia lahir dia sudah mendapat anugerah yang hanya di miliki satu dari berjuta pria yang ada di dunia, dia memiliki rahim." Lanjutnya, Sasuke menahan napas saat mendengarnya.
"Kau bercanda?" Sasuke yakin wajahnya terlihat aneh saat ini "Tidak. Mungkin kau tidak pernah mendengar ini sebelumnya, tapi percayalah, kami tidak akan senekat ini jika bukan karena masa depan anak kami" Sasuke mendengus "Lalu apa yang bisa kami lakukan?" Mikoto tersedak ludahnya sendiri saat bertanya, dia sendiri tidak yakin kalau suara tadi adalah milkinya. "Kalian sebagai orangtua pasti mengerti" Kushina memeluk erat lengan suaminya. Tentu, tentu saja pasangan tuan dan nyonya Uchiha ini mengerti, mengerti bagaimana perasaan seorang ibu saat dihadapkan dengan pertanyaan seperti 'di mana ayah?' atau bahkan 'siapa ayahku?' oleh anaknya sendiri. Rasa kasihan mulai menghampiri Mikoto, mau tidak mau pemuda pirang di hadapannya ini akan mengandung cucunya—kalau memang apa yang mereka katakan benar.
Fugaku menghela napas berat "Kami tentu mengerti hal itu, tapi masalahnya bagaimana bisa kau yakin kalau anak yang dikandung Naruto adalah anak dari Sasuke. Sedangkan Sasuke sendiri tidak mengenalnya" lanjut Fugaku.
Semua kembali terdiam, nampaknya Minato mendapatkan kembali pengendalian dirinya, terbukti dia tak lagi meraung-raung seperti beberapa menit yang lalu. Kesunyian menguasai, Sasuke dalam diam menatap mata Naruto yang ternyata balas mentapnya, onyx-nya menelusuri dari ujung rambut hingga kaki. Harus dia akui, Naruto memang pemuda yang menarik, mata yang berwarna biru jenih, kulit kecoklatan yang eksotis, hidung yang mancung, tubuh yang langsing dan postur yang cukup tinggi namun tak lebih tinggi dari Sasuke tentunya, jangan lupakan garis halus di pipinya, tanda lahir. Semua yang ada pada dirinya terlihat sangat cocok satu sama lain. Pandangan Sasuke kembali tertuju pada mata sebiru langit yang menatapnya dengan jengah, tentu saja, diperhatikan seperti itu siapa yang tidak risih. Lampu yang cukup temaram di ruang kerja Fugaku menjadi latar sudut pandang Sasuke terhadap Naruto, membuatnya terlihat semakin cantik dan—ah! Sasuke ingat sesuatu. Lampu temaram dan Naruto...
Tiba-tiba ingatannya berputar pada kejadian tiga bulan yang lalu. Malam dimana dia untuk pertama kalinya merasakan yang namanya mabuk berat. Sekalipun Sasuke bukanlah orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di tempat-tempat yang sejenis dengan klub malam, tapi entah mengapa malam itu untuk pertama kalinya dia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Malam ke 10 di bulan Maret.
Ruang tamu keluarga Uchiha terasa begitu mencekam, memindahkan penghuni ruang kerja Fugaku ternyata tidak begitu membantu. Saat ini bahkan Naruto yang duduk di tengah-tengah orang tuanya pun hanya bisa tertunduk, merasa bosan dan muak dengan keadaan yang teralu sunyi ditambah tatapan menelanjangi dari mata elang Sasuke. Semua orang di ruangan itu merasa enggan memulai pembicaraan sampai akhirnya Fugaku yang duduk sendiri di antara mereka memulai "Naruto, apa kau masih ingat kapan kejadian itu terjadi?" Naruto tak menatap mata Fugaku "10 Maret" jawabnya singkat.
"Dan apa yang kau lakukan pada hari itu, Sasuke?" Matanya beralih dari Naruto dan menatap Sasuke yang duduk di samping istrinya "Aku tidak ingat dengan pasti, tapi aku pergi ke club dan berakhir dengan mabuk berat" Gigi minato bergemelatuk mendengar jawaban Sasuke, dia baru teringat sesuatu dan akhirnya meletakkan sebuah amplop coklat—yang sedari tadi bersembunyi di balik jasnya—di atas meja.
"Itu hasil tes kesehatan Naruto, jika kau tidak percaya, di situ juga ada hasil dari tes kehamilannya." Mikoto meraih amplop itu dengan tangan dingin dia tidak tahu harus berharap isinya benar atau tidak. Mulutnya tertutup rapat saat memberikan hasil tes kesehatan yang telah dia baca pada Sasuke. Mata onyx-nya menelusuri kata-kata yang tercetak di sana dengan hati-hati, sebelum kembali meletakkan hasil tes itu di meja, dia membung napas sebelum berdiri dan menarik lengan Naruto untuk berdiri "Teme! Lepaskan tanganku!" Minato yang melihat anaknya berontak kemudian bangkit "Lepaskan tanganmu, anak muda" Minato berdiri di hadapan Sasuke seolah siap menerkamnya kapan saja. Sasuke menghela napas "Ada yang ingin kubicarakan dengannya" Tangannya masih setia menggenggam Naruto.
"Bukankah kau bilang kau tidak mengenalnya? Apakah kau berniat menyogoknya?" Nampaknya emosi Minato kembali tak stabil, Kushina pun menggenggam lengan suaminya memintanya untuk duduk kembali. "Aku memang bilang aku tidak mengenalnya, tapi bukan berarti aku tidak mengingatnya bukan?" Naruto tersentak mendengar penuturan Sasuke, 'apa itu artinya dia sudah mengingatnya' batin Naruto gelisah.
Fugaku tidak berkata apa-apa hanya melirik sekilas ke arah istrinya yang semakin tertekan. "Tolong izinkan, hanya sebentar, kami butuh waktu berdua" Tanpa menunggu jawaban, Sasuke segera menarik Naruto meninggalkan kediaman Uchiha yang teramat luas itu. Naruto sendiri merasa percuma berontak, toh dia memang sudah sangat ingin pergi dari tempat ini.
Minato hanya terdiam memandang kepergian Sasuke dan Naruto, begitupun Fugaku yang seolah tak memiliki alasan untuk menghentikan anaknya.
Mobil Sasuke membelah kesunyian malam jalan Konoha, dia melirik sekilas pada Naruto yang hanya terdiam memandang jendela di sampingnya.
Naruto merasa asing dengan jalan yang mereka lalui sekitar 15 menit ini, meurut perkiraannya ini adalah jalan keluar kota Konoha, dia malas untuk bertanya mereka mau kemana ataupun sekedar meminta Sasuke untuk menurunkan kecepatan yang menurutnya gila ini. Pemandangan di luar lebih menarik sepertinya.
Memang benar dugaan Naruto, karena lima menit setelahnya dia sudah bisa mencium bau pantai dan suara gemuruh ombak menampar bebatuan di sekitarnya. Wilayah perbatasan Konoha dan Suna ditandai dengan pantai Konoha yang indah ini.
Sasuke turun setelah mematikan mesin mobilnya, Naruto memilih ikut sebelum dia diseret layaknya seorang wanita yang akan diperkosa. Diam sesaat sebelum Sasuke yang memulai "Apa yang kau inginkan?"
"Aku mau pulang" Naruto bisa mendengar pria di sampingnya medengus, mengejek. Ingin sekali Naruto melemparnya ke laut ganas di depan mereka, tapi tidak saat kenyataan bahwa pria menyebalkan di sampingnya adalah anak dari bayi yang dikandungnya.
Sebenarya dia juga meragukan jenis kelaminnya sendiri saat mengetahui bahwa dia punya rahim dalam tubuhnya, ditambah lagi sekarang dia divonis hamil 12 minggu oleh dokter sekaligus neneknya sendiri. Tapi dia tahu kalau dia itu laki-laki, well dia punya penis kalau kau tidak tahu. Setidaknya dia pernah tertarik pada wanita sampai dia berada di tahun terakhir sekolah menengah pertama, hingga akhirnya dia sadar mengapa selama ini tak ada satupun wanita yang menerima ajakan kencannya.
Dia akui dirinya cukup bodoh karena butuh umur 16 tahun untuk menyadari bahwa dia itu tidak normal, tidak cocok dan tidak sepadan dengan wanita manapun, setidaknya itulah yang dirasakan tiap wanita saat berdampingan dengan Naruto, takut kecantikannya dikalahkan. Apalagi dengan kehadiran rahim sialan ini, seperti semakin mendukungku untuk jadi seorang gay, batin Naruto kemudian mendengus.
Pria yang diyakininya normal itu menoleh padanya "Kau mengatakan sesuatu?" Naruto diam. "Well, aku tau ini terdengar kejam, tapi apa yang terjadi malam itu benar-benar di luar kendali kita, kita melakukannya karena pengaruh alkohol dan tanpa cinta" Sasuke merasa ingin muntah mendengar dirinya sendiri menyebut kata cinta. Sedangkan Naruto malah berpikir itu adalah kalimat terpanjang yang pernah dikeluarkan Sasuke. "Lalu?" Tanya Naruto asal seolah tak peduli. Dia semakin yakin kalau Sasuke itu normal.
"Aku merasa aku tidak perlu bertanggung jawab dengan menikahimu?" Jawabannya terdengar seperti pertanyaan. "Aku juga tidak mau menikah denganmu" aku atau bohong Naruto. Dia yakin yang bicara itu bukan dirinya yang biasa, datar dan tanpa emosi, bukan Naruto yang ceria dan selalu bersemangat. Tentu saja, semua kejadian ini membuat Naruto kehilangan semangatnya, tapi tidak dengan harga diri dan kekuatannya sebagai lelaki. Dia tahu dia tidak boleh berharap banyak pada Sasuke, jangankan menikah denganya, mengakui anak ini adalah darah dagingnya saja sepertinya tidak mungkin. "Aku tidak peduli masalah pernikahan, yang pasti jika kau memintaku untuk menggugurkannya, aku dengan senang hati akan menolaknya"
Udara di sekitar Sasuke mendadak mendingin, dia merasa beruntung tidak mengungkapkan hal terakhir yang ingin ditawarkannya pada Naruto, dan ternyata ditolak mentah-mentah oleh Naruto bahkan sebelum dia mengutarakannya. Sekilas dia pandangi Naruto dan perutnya yang entah kenapa terlihat buncit sedikit, ya sedikit, di mata Sasuke.
Tiba-tiba terebersit bayangan Naruto dengan perutnya yang lebih besar dari bola basket, meraung dan berkeringat, berpegangan pada pinggir ranjang rumah sakit, berusaha melahirkan kehidupan baru yang diakibatkan oleh nafsu sesaat Sasuke—dan Naruto tentunya. Sasuke menggeleng pelan. Tidak, dia bukanlah pria brengsek seperti yang Minato bayangkan, lupakan kenyataan bahwa dia tidak mau menikahi anaknya. Lagipula, Naruto juga tidak mau menikah dengannya bukan?
"Kau tidak usah khawatir masalah ayahku, dia hanya terbawa emosi saat tau aku hamil tanpa sepengetahuan orang lain" Sasuke diam mendengarkan baik-baik, bagaimanapun, Naruto adalah laki-laki, dia salah kalau menganggap Naruto itu lemah.
"Biar aku yang mengurusnya, kau cukup jalani hidupmu kembali, dan aku akan membesarkannya sendiri" Tiba-tiba saja Sasuke merasa menyesal pernah membawa Naruto ke pantai ini.
To be continued...
Finally, setelah hampir empat tahun kenal FFn, akhirnya sy berani juga publish fic saya -_- actually, sy mau publish pas ultah sy tanggal 28 Maret kemarin, tp nggak bisa pfft. Fic ini terinspirasi dari novel karya LaVyre Spencer yang berjudul sama ; Separate Beds. Novelnya sudah lumayan lama, tapi saya baru sempat baca dan sampai sekarang belum menamatkan, karena baru sampai part 3 saya sudah terinspirasi untuk menulis ff ini. Jadilah terpaksa saya hentikan dulu novelnya, takutnya saya malah 100% menjiblak karya aslinya LOL. Tp, di novel aslinya, sifat ayah si cewek hamil itu bertolak belakang sama Minato, dia mata duitan dan sama sekali gak peduli sm anaknya XD
Awalnya sy mau ini jadikan oneshoot saja, tp sepertinya kepanjangan. So, saya minta pendapat kalian dulu, minna! Arigatou~
Mind to review?
April 1st, 2013 – Kitsune Haru Hachi
