Konichiwa! Kali ini aku membuat FF Romance-Drama yang gaje ini! Entah bagi Readers ini bagus atau nggak, tapi semoga kalian menikmati saat membaca FF ini.
HAPPY READING!
Dream Summer
Tomboy, berandal, parah dalam pelajaran Matematika, juga suka membantah. Itulah aku. Terkadang aku merasa kalau aku ini terlalu maskulin sebagai perempuan. Aku juga punya sisi feminim walaupun hanya sebuah. Aku ingin punya seseorang yang benar-benar bisa selalu berada disampingku, bukan sebagai teman, tapi lebih dari itu. Seorang cowok yang benar-benar menerimaku apa adanya dan bisa merubah perilakuku ini itu saja, tidak lebih. –Mouri Ran.
Rumit seperti Kasus yang nyaris tidak ada jawabannya. Itulah perempuan. Terkadang bisa sangat manis dan baik, tapi terkadang juga bisa sangat sulit dimengerti ketika tiba-tiba marah tanpa alasan. Kuakui kalau aku sangat tidak peka, tapi aku mencoba untuk mengerti perasaannya. Dan sekarang, aku berharap penuh untuk bisa mendapat seorang gadis yang benar-benar bisa kumengerti. Walaupun dia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa langsung tahu apa yang ingin dia katakan, dengan hanya melihat tatapan matanya, cerminan dari jiwanya.
–Kudo Shinichi.
Prolog : Perjodohan?
20 April 2016. 20.15. Ran's House.
""NANII?! Okaa-san menjodohkanku dengan seorang cowok dari anak teman Okaa-san?"
Teriakan nyaring nan berisik terdengar jelas dari kediaman Mouri. Tentu saja putri tunggal keluarga itu yang berteriak. Tapi kali ini sang putri bukan berteriak karena marah, kesal atau sedang suntuk. Dia berteriak karena kaget setengah mati dengan rencana perjodohan yang ibunya buat. Bayangkan saja, sedang asyik-asyiknya makan makanan kesukaan dengan hati yang sedang senang dan tenteram, tiba-tiba saja langsung dihunus dengan pertanyaan tentang perjodohan dini? Apalagi kalau yang ditanya adalah seorang gadis SMA yang manis dan periang tetapi sangat tomboy dan berandal? Sudah bisa ditebak kan?
Dengan tenangnya, sang Ibu mengangguk sopan sambil kembali menyesap Kopi Mokanya, tidak peduli dengan tatapan horor sang putri yang duduk dengan tidak elitnya di meja makan tepat didepannya. "Hai. Okaa-san sudah memikirkan ini matang-matang dengan Otou-san. Kami berdua sepakat untuk menjodohkanmu dengan anak dari sahabat masa SMA kami. Dia anak yang baik dan kurasa mungkin dia bisa sedikit mengontrol sikap berandalmu itu, Ran-chan." Jawab Kisaki Eri, Mouri Eri, tenang dan berwibawa.
Ran hanya bisa bengong mendengar jawaban Ibunya yang seringan bulu itu. Seorang cowok akan selalu mengatur dirinya dimasa perjodohan itu nanti. Seorang cowok yang bahkan Ran tidak tahu seperti apa dirinya. Sebagai gadis berdarah panas, turunan dari Ayahnya, tentu saja Ran menolak dengan tegas hal itu.
"IIE! Aku tidak mau! Okaa-san tahu kan, aku ini paling benci kalau diatur-atur seperti seorang bocah! Aku menolak perjodohan seperti ini! Kuulangi, AKU ME-NO-LAK!" tolak Ran berapi-api nan garang, sikap berandalannya kumat.
Yang diteriaki hanya memandang Ran tajam. Eri membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya lalu segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil sebuah amplop putih kebiruan dari meja kantor di dekat ruang makan. Dia membuka amplop itu dan membuka lipatan kertasnya lalu menunjukkan terang-terangan surat itu di depan Ran. "Ini adalah surat balasan dari sahabat karib Okaa-san itu. Dia menyetujui perjodohan itu dan menandatanganinya dengan senang hati. Memang ini hanyalah surat sepele, tapi dimata hukum surat seperti ini sudah dinyatakan legal dan tidak bisa diganggu gugat. Tambahan, Besok siang mereka akan datang jadi bersikaplah sopan. Kamu paham, Ran-chan?"
Skakmat. Ran hanya terdiam sambil memandang sebal pada Ibunya yang kelewat tegas dan ketat itu. Ran lalu menghentakkan kakinya dan setengah berlari menuju ke kamarnya di lantai 2 rumahnya yang 'megah' itu. Baru ketika hampir sampai ke lantai 2 rumahnya, Ran berbalik dan memandang sengit Ibunya. "Okaa-san no baka!" cercanya kasar. Dia lalu melesat ke lantai 2 dan menutup kasar pintu kamarnya yang malang itu.
Ibunya hanya bisa menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Gaya standarnya ketika melihat kelakuan putrinya yang luar biasa kasar dan tomboy nan berandalnya. 'Semoga Yukiko bisa bersabar menghadapi kelakuan Ran-chan begitu mereka bertemu.' Batinnya harap-harap cemas.
20 April 2016. 20.15. Shinichi's House.
"Haaah?! Apa Okaa-san habis terbentur sesuatu sehingga berpikir untuk menjodohkanku dengan anak sahabat karib Okaa-san padahal aku ini masih SMA?" seru Shinichi kaget. Baru saja dia pulang dari sekolah untuk mengurus Klub Sepakbola dan tiba-tiba saja sudah dikejutkan dengan kabar tidak jelas dari Ibunya.
Yukiko tersenyum sumringah, lalu mengangguk-angguk semangat. "Iie, Okaa-san 100% waras saat mengambil keputusan ini kok. Okaa-san dan sahabat Okaa-san juga sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengan gadis itu. Dia gadis yang manis dan baik, walaupun dia agak sedikit berbeda dengan gadis-gadis umumnya sih."
"Berbeda? Kelihatannya aku meragukan itu. Lagipula aku masih sayang nyawa, Okaa-san. Aku tidak mau terlibat urusan percintaan dengan seorang gadis sebelum aku lulus sekolah. Okaa-san tahu itu kan?" ujar Shinichi, menolak secara halus.
"Okaa-san tidak menyuruhmu untuk bunuh diri Shin-chan. Okaa-san hanya ingin ada seseorang yang bersamamu disaat-saat tertentu nanti. Kamu kan sering Okaa-san tinggal ke Los Angeles karena urusan kerjaan. Okaa-sn hanya ingin kamu baik-baik saja disini."
"Pokoknya aku menolak. Aku tidak mau berurusan dengan masalah perjodohan yang konyol ini." Tegas Shinichi datar. Dia langsung melengos meninggalkan Ibunya yang menggelengkan kepalanya.
"Dasar Keras Kepala. Kalau begini sih tidak ada pilihan lain selain 'berakting' untuk memaksanya." Kata Yukiko pelan. Yukiko mengambil nafas panjang, lalu memaksa airmatanya untuk keluar. Sebagai mantan Aktris besar Jepang yang sudah setingkat Internasional dan menjadi Sutradara terkenal di Amerika, tentu mudah baginya menangis dan bersedih ria untuk mendesak putranya sendiri kan?
Yukiko tiba-tiba terduduk dilantai dan berakting, berpura-pura menangis sedih. Dia lalu terisak, mengeluarkan suara yang pastinya membuat orang iba. Suara yang juga sukses menarik perhatian Shinichi yang baru setengah menaiki tangga.
"Huhuhuhu, Shin-chan~ teganya kamu menolak keinginan ibumu ini, nak~ hiks, hiks. Okaa-san hanya memintamu untuk menjalani perjodohan ini saja, kok. Kenapa kamu menolaknya seperti itu? huhuhu. Sungguh kamu membuat hati ibumu ini terluka, Seperti ditusuk-tusuk belati yang sangat tajam, hiks, hiks. "
Melihat tingkah 'manja tingkat dewa' ibunya itu, Shinichi hanya bisa memandangnya iba. Bukan karena dia terpengaruh oleh akting ibunya, tapi karena dia memang tidak suka melihat ibunya menangis karena dirinya. Walaupun itu sungguhan atau pura-pura. Shinichi menghela nafas panjang dana menghampiri ibunya yang airmatanya sudah membanjir sampai ke lantai. Shinichi berjongkok dan menyentuh pelan bahu ibunya.
"Hai, hai. Aku mau menjalani perjodohan 'tidak penting' itu, tapi bisa tidak sih Okaa-san tidak perlu menangis begitu cuma untuk memaksaku saja? Aku sangat tidak suka melihat Okaa-san menangis." Ucap Shinichi akhirnya, dengan berat hati seraya memalingkan pandangannya dari ibunya.
"Jadi, kamu mau melakukannya demi Okaa-san? Hiks, hiks." Tanya Yukiko, masih sedikit terisak.
Shinichi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia lalu mengangguk pasrah. "Hai, aku akan melakukannya."
Sedetik kemudian, Yukiko langsung memeluk erat-erat putra semata wayangnya itu. Sedangkan Yang dipeluk hanya terperanjat kaget begitu melihat ibunya yang sekejap berubah kembali seperti sedia kala. "Uwaa! Ini kabar yang sangat baik! Arigatou Shin-chan! Okaa-san senang sekali!" pekik Yukiko girang.
'Kutolak pun Okaa-san masih tetap memaksaku kan?' rutuk Shinichi datar, dalam hati.
Yukiko lalu melepas pelukannya dan tersenyum lebar sambil memegang erat-erat tangan Shinichi. "Baiklah, besok hari minggu dan kamu sedang libur juga anak dari sahabat karib Okaa-san itu. Bersiap-siaplah, karena kita akan menemui mereka besok siang."
Yukiko lalu bangkit dan berjalan menuju ke tempat Telepon rumahnya berada. Shinichi memandang kepergian ibunya dan berdecak sendiri dengan kebodohannya karena semudah itu menerima perjodohan itu.
"Aiishh, kenapa aku mau-mau saja begitu sih? Baka, baka, baka!" decak Shinichi sebal.
Di kamar, Ran tiduran di kasur empuknya. Dia memandang kosong langit-langit kamarnya. Memikirkan kejadian yang 30 menit yang lalu terjadi padanya dan ibunya. Dia lalu terduduk di kasur dan mengeratkan jaket jersey merah-putihnya. Menyesal juga telah membentak ibunya sampai seperti itu.
Dengan nafas berat, Ran mengambil ponselnya dan mengetik pesan email pada ibunya.
Gomenasai, Okaa-san. Hai, aku mau menjalani perjodohan tidak penting itu, kok. Tolong jangan marah padaku. Aku besok akan bersiap-siap dan bersikap baik pada mereka.
Ran
Merasa ponselnya bergetar, Eri menghentikan kegiatan mengetiknya dan membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Membaca pesan dari putrinya itu, Eri tersenyum dan menutup flip ponselnya. Baru semenit Eri melanjutkan pekerjaannya, ponselnya kembali berdering dan layar ponselnya memperlihatkan nomor keluarga Kudo. Eri mengangkat ponselnya dan menjawab panggilan Yukiko.
"Moshi moshi, Yukiko. Ran-chan sudah setuju, Shinichi-kun juga kan?"
"..."
"Baguslah, besok siang kita lihat apa mereka bisa berinteraksi dengan baik atau tidak."
"..."
"Hai, baiklah. Oke, aku tutup dulu teleponnya. Mata ne."
PIP!
To Be Continued
Uwaa, ini adalah fic ShinRan pertama Author lhoo! Baru sekali ini Author bikin cerita romance begini, nyohohoho. Jadi mohon maaf bila fic ini amat sangat gaje, hiks.
Sedikit tanya sama para Readers. Kira-kira, perlu saya tambahin pair seperti ShinShi atau EisukexRan buat sekedar 'pemanis'(?) di fic ini?
Jawabannya Author tunggu, demi kelangsungan hidup FF ini! Hohoho!
