.

.

.

.

With You

.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: T

Warning: Yaoi/Angst/Romance/ThreeShot

Summary: Hati itu terpecah menjadi dua. Satu di utara dan satu lagi di selatan, namun serpihannya memberikan tanda sebagai jalan untuk bisa kembali utuh.

.

.

.

Senyum Donghae merekah saat melihat tangan kecil Hyukjae yang kembali mengepal. Jelas kalah dengan tangan Donghae yang melebarkan jemarinya.

Batu kalah dengan kertas

"Hyukkie yang gendong."

Hyukjae cemberut saat Donghae dengan semangat berdiri dibelakangnnya sebelum mengkalungkan kedua lengannya di lehernya. Menunggu dengan sabar saat dengan susah payah Hyukjae mengangkat tubuhnya. Sesuai perjanjian Hyukjae harus menggendong Donghae hingga perempatan jalan setelah sebelumnya ia sudah menggendong Donghae dari sekolah mereka karena alasan yang sama yaitu kalah suit.

Saat mereka sampai di perempatan jalan, Hyukjae benar-benar kelelahan. Berbeda sekali dengan Donghae yang sudah siap memulai ronde suit berikutnya. Namun senyuman menghilang saat iris coklelatnya melihat Hyukjae yang terengah-engah.

"Hyukkie gwencana?"

Anak itu hanya tersenyum lalu mengangguk dalam-dalam pada Donghae yang melihatnya khawatir. Meski bulir keringat yang membasahi pelipisnya mengatakan hal sebaliknya.

"Cha, gunting, batu, kertas!"

Mata Hyukjae terbebelak sejenak sebelum bibirnya tertarik kesamping begitu mendapati batunya mengalahkan gunting Donghae. Terkikik karena begitu senang, Hyukjae segera mengkalungkan lengan kurusnya dileher Donghae. Donghae harus mengondongnya sampai belokan jalan. Anak itu terpekik bahagia saat Donghae dengan cepat mengangkat tubuhnya. Tak melihat senyum Donghae terlihat.

Donghae sengaja mengalah tadi, semua orang yang mengenal Hyukjae tahu bahwa Hyukjae akan selalu mengeluarkan batu bila melakukan suit. Donghae rela kalah asal Hyukjae tidak kelelahan.

"Palli Donghae!Palli!"

Mendengarnya Donghae langsung melangkahkan kakinya untuk beranjak dari sana. Tidak seperti Hyukjae yang tertatih-tatih menggendongnya, Donghae hampir berlari menyusuri jalan beraspal. Membiarkan angin membelai kulit wajah mereka, hampir terasa seperti menerbangkan helaian rambut mereka. Suara tawa mereka terdengar nyaring mengisi jalanan sepi yang mereka lalui. Donghae tak berhenti di belokan jalan seperti perjanjian namun malah mempercepat langkahnya hingga mereka sampai di panti asuhan.

Rumah mereka.

Tempat mereka dibesarkan.

Keadua anak ini masuk kepanti asuhan dengan begitu ribut, berlari menuju ibu pengasuh mereka yang sedang menyiapkan makan siang untuk seluruh anak panti. Berjingkrakan saling bersautan menceritakan tentang hari mereka selama disekolah. Sebenarnya cerita mereka sangat aburadul, tidak jelas, dan tak layak didengar namun kecerian serta tawa mereka mampu membuat wanita paruh baya itu tersenyum hangat.

"Donghae, Hyukjae! Lihat apa yang kubawa!"

Kedua anak itu menengok pada Nonna pengasuh mereka. Ada dua permen lolipop besar di kedua tangan wanita muda itu. Selayaknya anak-anak, keduanya saling berebut untuk mendapat permen yang terlihat menggiurkan itu. Yonna, Nonna pengasuh mereka langsung menyembunyikannya di balik punggung sebelum kedua anak ini bisa menggapainya.

"Berikan Nonna ciuman dulu."

Kedua anak itu saling melihat sejenak sebelum tanpa ragu menempelkan bibir mereka satu sama lain. Hanya sekilas tentu saja namun mampu membuat Nonna pengasuh mereka berseru gegirangan.

"Aigo, kalian sangat manis!"

Tawa senang keduanya terdengar saat lolipop itu berpindah ke tangan kecil mereka. Sambil bergandengan tangan erat kedua anak ini bergabung dengan anak-anak panti asuhan lainnya yang sudah mendapat lolipop duluan.

"Berhenti menyuruh mereka melakukan hal yang aneh-aneh."

"Wae? Tidakkah Bibi lihat mereka sangat manis saling mencium begitu."

Wanita yang lebih tua itu hanya bisa mengeleng. Sampai sekarang ia tak mengerti apa yang begitu spesial dari dua anak lak-laki saling mencium di bibir seperti itu hingga Yonna selalu menyuruh Donghae dan Hyukjae melakukannya lagi dan lagi.

Sebenarnya kebiasaan ini tidak disengaja, dimulai sekitar empat tahun yang lalu saat kedua anak itu berumur enam tahun. Saat itu Yonna sebenarnya meminta ciuman dari kedua anak manis itu di pipinya, namun entah salah paham atau korban acara televisi yang terjadi justru kedua anak ini saling berciuman dibibir. Pernafsiran kata "cium" keduanya membuat wanita ini shock luar biasa, meski pada akhirnya ia tidak berniat meluruskan kesesatan kedua anak itu. Ia menemukan hal itu justru sangat manis, melihat kedua anak lucu ini dengan begitu polos dan lugu saling menempelkan bibir.

Alhasil hingga umur Donghae dan Hyukjae sepuluh tahun seperti sekarang ini mereka akan langsung saling mencium jika Yonna menyebut kata kuncinya.

Pengasuh yang menyesesatkan.

"Hal itu akan membuat mereka makin tergantung satu sama lain."

"Apa salahnya jika dengan begitu mereka akan saling menjaga dan menyayangi?"

Kedua wanita berbeda generasi itu melihat Donghae dan Hyukjae dikerumunan anak asuh mereka lainnya. Keduanya cekikikan dengan Donghae yang terlihat memeluk Hyukjae erat. Sesekali mereka akan berbagi permen mereka yang berbeda rasa satu sama lain. Begitu akrab.

Donghae dan Hyukjae.

Siapa yang tak tahu tentang kedekatan mereka di panti asuhan ini. Sejak dulu mereka tak terpisahkan. Selalu melakukan segala hal berdua. Dimana ada Donghae pasti di situ ada Hyukjae maupun sebaliknya. Jika satu diantara mereka menghilang maka satu yang lainnya kebingungan mencari. Jika salah satu dihukum maka satu yang lain akan setia menemani.

Tidaklah aneh melihat Hyukjae yang selalu bangun tengah malam hanya untuk merapikan selimut Donghae yang berantakan, atau melihat Donghae yang tanpa berfikir menerjang anjing liar yang berani menggogongi Hyukjae hingga membuatnya menangis. Atau juga menemukan keduanya tidur berpelukan dibawah kolong tempat tidur setelah mendengar cerita hantu.

Mereka seperti api dan asap. Seperti sebab dan akibat. Seperti air dan hujan.

Mereka terikat lebih dari yang lainnya. Begitu tergantung satu sama lain lebih dari yang lainnya. Kasih sayang mereka untuk satu sama lain begitu istimewa dan semua orang dapat melihatnya dengan jelas.

"Kau tahu pasti jika ketergantungan mereka satu sama lain akan menyulitkan mereka kelak."

Yonna menghela nafas, ia tidak suka jika bibinya satu ini membahas masalah ini lagi. Tentu ia tahu maksud bibi pengasuhnya.

Adopsi.

Keterikatan yang terlalu kuat akan menjadi masalah saat salah satu dari mereka akan diadopsi. Adopsi yang sebenarnya bisa menjadi jalan kebahagiaan mereka justru akan menjadi petaka jika mereka terlalu terikat dengan panti asuhan. Yang terburuk adalah jika mereka berakhir tak mau diadopsi karena tak ingin meninggalkan kehidupannya di panti asuhan, karena ikatan tak kasat mata yang mereka pikir adalah segalanya.

Panti asuhan ini tak bisa menjanjikan mereka apapun, tak bisa memberi mereka masa depan apapun. Adopsi adalah satu-satunya harapan bagi anak-anak ini mengapai cita-cita mereka, mencapai kehidupan yang lebih baik. Dan jika mereka tak diadopsi maka sudah akan terlihat akhir ceritanya.

"Itu bisa dipikirkan nanti Bibi, mereka hanya anak kecil sekarang. Yang pentingkan sekarang mereka bahagia." Yonna tersenyum lebar mencoba melupakan topik tak mengenakan ini. Dengan semangat seperti telah lupa tentang kata 'adopsi' wanita muda ini membantu menyiapkan makanan.

"...insiden ini diperkirakan akibat lolosnya orang-orang kelas bawah yang menyusup kekota utama. Saat ini korban tewas sekitar 15 orang yang merupakan para penumpang kereta digerbong saat pembajakan terjadi. Dilaporkan juga..."

"Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian seperti itu." Ibu pengasuh itu kembali melanjutkan pekerjaannya menata piring saat sebelumnya berhenti sejenak untuk mendengarkan berita televisi.

"Itu salah pemerintah kita juga. Kenapa harus menempatkan masyarakat di zona yang berbeda-beda. Yang kaya dengan yang kaya sedang yang miskin dengan yang miskin, aturan apa itu!"

"Yonna jaga bicaramu!"

"Aku mengatakan kenyataannya Bibi. Siapapun akan memberontak saat diperlakukan seperti sampah dan dikucilkan ditempat mengerikan itu. Aku heran kenapa sistem pemerintah ini masih bertahan hingga sekarang padahal jelas-jelas tidak ada yang adil didalamnya. Memuakkan."

Berbeda dengan negara lain didunia ini, negara mereka bertahan dengan sistem kasta di zaman modern seperti sekarang ini. Bukan dilihat dari darah kebangsawanan seperti sistem monarki tapi dilihat dari seberapa produktif orang itu dalam menghasilkan uang.

Ya, semakin kau kaya semakin tinggi derajat yang kau dapatkan.

Hal ini membuat masyarakat mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Mereka yang kaya tak ingin bercampur dengan mereka yang miskin dan tak berguna. Mereka yang berkuasa tak sudi mengurus para penjahat dan gelandangan.

Alhasih mereka menempatkan mereka semua jauh di selatan negara ini, sebuah zona hitam yang berisi orang-orang tersisihkan. Orang-orang yang dianggap menganggu dan tak berguna. Orang-orang kelas bawah.

Sedangkan jauh di utara negara ini, berdiri dengan kokoh dan megah kota modern yang berisi para orang-orang kaya dan berkuasa. Sebuah zona putih dengan segala kemewahan dan fasilitas negara. Tempat untuk orang-orang kelas atas.

Begitu bertolak belaka.

Begitu ironis.

Begitu tak adil.

"Itu bukan urusan orang-orang seperti kita Yonna. Hidup seperti ini saja kita sudah patut mensyukurinya."

Yonna hanya berdecak. Mereka memang bukan orang-orang kelas atas tapi mereka juga bukan bagian dari masyarakat kelas bawah. Mereka adalah orang-orang yang menempati sebuah zona yang menjadi jarak antara hitam dan putih. Mengisi bagian abu-abu yang tersisa. Orang-orang sederhana yang ingin hidup damai tanpa masuk di kedua wilayah itu.

Mereka adalah orang-orang yang tak bisa masuk ke kota utama di utara tapi juga tak ingin menjadi bagian kota mati di selatan. Mereka adalah orang-orang tengah. Orang-orang yang hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat. Orang-orang yang hanya menurut tanpa bisa melawan. Seperti figuran yang tak dibayar.

Entah mana yang lebih menyedihkan, mereka atau orang-orang kelas bawah?

.

.

.

Donghae dan Hyukjae duduk berhadapan di bangku kelas mereka. Mereka saling menatap sebelum lengan Donghae menangkap tubuh kecil Hyukjae didekapannya. Tersenyum lebar, Donghae mengeratkan pelukannya sekuat ia bisa.

"Ah!"

Donghae segera melepaskan pelukannya karena mendengar teriakan Hyukjae akibat dipeluk terlalu erat. Mereka saling melihat sebentar sebelum Donghae kembali memeluk Hyukjae.

"Ah!"

Lagi, pelukannya terlalu erat. Tapi Donghae justru terkekeh dan kembali mengulanginya hanya untuk mendengar pekikan Hyukjae lagi karena dipeluk terlalu erat. Hyukjae sendiri yang berkali-kali merasakan tulangnya kesakitan ikut terkekeh.

"Apa sakit?"

"Sakit."

"Mau kupeluk lagi?"

"Mau."

Dan hal yang sama kembali terulang. Benar-benar tidak ada kapoknya. Tingkah mereka memang kadang aneh dan susah dimengerti orang lain. Seakan-akan mereka tenggelam dalam dunia mereka sendiri.

"Donghae!"

Keduanya menengok kepintu kayu usang kelas mereka, ada wali kelas mereka disana melambai-lambaikan tangannya.

"Hei, Donghae! Kemari!"

Donghae berjalan mendekat mendengarkan wali kelasnya berbicara. Anak itu menganguk lalu berdadah ria pada Hyukjae dan mengatakan ia akan pergi sebentar sebelum berjalan mengikuti gurunya. Wali kelasnya mengatakan jika ia harus ikut keruangan kepala sekolah sekarang, bukan sesuatu yang buruk, hanya menyapa tamu itulah yang dikatakan wali kelasnya.

Saat sampai di ruang kepala sekolah Donghae terkejut mendapati banyak sekali orang disana. Ada beberapa murid kakak kelasnya, kepala sekolahnya, dan beberapa orang asing berpakaian rapi dan mahal disana.

"Ayo berdiri disini." Donghae menurut saat wali kelasnya menyuruhnya berdiri berjejer bersama kakak kelasnya yang lain.

Dari seluruh orang asing di ruangan itu, iris cokelat Donghae terpaku pada seorang laki-laki paruh baya yang duduk dengan penuh kharisma di kursi sofa sekolah mereka yang usang dan hampir rusak.

"Sekolah kami mungkin memang sangat sederhana tapi kami memiliki para siswa yang berprestasi Tuan Lee."

Kepala sekolah itu berbicara seramah yang ia bisa. Mencoba mengambil hati jutawan kaya dari masyarakat kelas atas yang datang disekolah. Seorang yang kelebihan uang dan ingin membuangnya kepada masyarakat biasa seperti mereka. Sebuah kesempatan untuk memperbaiki sekolah mereka yang begitu sederhana.

"Meski dengan keterbatasan sekolah kami, hal itu tak menghalangi mereka untuk belajar. Ah yang ini Dongho, dia murid terpintar di kelasnya. Kalau gadis kecil ini Yuri dia begitu gemar membaca."

Tak peduli sekeras apapun Kepala sekolah itu mencoba mengesankan Tuan Besar kaya raya itu pada kenyataannya orang terhormat itu tak merespon. Bahkan menatap anak-anak itu pun tidak, membuat Kepala sekolah itu khawatir bahwa tak ada kesempatan untuk sekolah mereka mendapat songkongan dana dermawan dari orang kelas atas. Namun raut wajah khawatirnya menghilang saat melihat anak termuda yang berdiri paling ujung.

Kepala sekolah itu berdiri lalu berjalan mendekati Donghae yang hanya mengerjap tak mengerti situasi disekitarnya.

"Tuan, anak ini bernama Donghae. Dia dalah anak terpintar disekolah kami."Jutawan itu tak merespon masih dengan kediamannya yang begitu dingin. Tapi Kepala Sekolah itu tak menyerah, ia menepuk pundak kecil Donghae.

" Maksudku dia benar-benar pintar, Tuan. "

Kepala Sekolah itu menuntun Donghae mendekati meja yang berada tepat didepan Sang Jutawan. Kepala sekolah itu mengambil pensilnya lalu menuliskan sebaris deretan angka di sana.

Sebuah soal matematika. Logaritma dan aljabar. Sebuah soal yang tak seharusnya dimengerti oleh anak seusia Donghae. Kepala sekolah itu memberikan pensilnya pada anak itu, memberikan isyarat agar Donghae mengerjakannya. Kepala sekolah ini tak berbohong dengan ucapannya.

Dengan lincah dan seperti tak berfikir tangan kecil itu menulis angka-angka untuk menyelesaikan soal-soal hitungan didepannya. Iris kelam laki-laki berkharisma itu bergerak, melihat anak berusia sepuluh tahun itu menyelesaikan soal hitungannya hanya dalam hitungan menit.

Donghae memang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Donghae memiliki sesuatu yang tak dimiliki anak-anak lain.

Donghae memiliki otak yang sangat istimewa.

Semua guru dan kepala sekolah mengetahui hal ini. Kalau bisa mereka sebenarnya ingin agar Donghae lompat kelas. Tapi sayangnya Donghae akan tetap menjadi Donghae, mana mau dia dipisahkan dari Hyukjaenya yang manis. Jangankan pindah kelas, pindah bangku saja ia tidak mau.

Laki-laki kaya itu mengambil pensil dari tangan Donghae lalu memberikan sebuah deretan soal hitungan lainnya. Donghae kembali mengerjakannya tanpa bertanya. Dia tak sadar saat soal-soal yang selanjutanya datang lebih sulit dari sebelumnya. Anak ini tak sadar jika taraf soal yang ia kerjakan perlahan meningkat hingga ke level yang tak masuk akal dikerjakan oleh anak seusianya. Namun pada kenyataanya dia mengerjakannya dengan benar. Penalaran dan kecerdasannya luar biasa.

"Siapa namamu tadi?"

Pertanyaan itu adalah satu-satunya yang keluar dari orang itu. Suaranya begitu berat dan berwibawa. Donghae merasakan rasa dingin di punggunya saat iris kelam itu menatapnya dalam. Itu menakuti Donghae sebenarnya tapi anehnya tubuhnya justru kaku ditempat, tak bisa bergerak.

"Donghae."

Setelah itu laki-laki jutawan itu tak bicara sama sekali. Bahkan hingga Donghae perlahan berjalan ke pintu dan keluar, laki-laki itu tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya mata kelamnya yang tak lepas dari anak sepuluh tahun itu. Hanya tatapanya yang seakan mengatakan apa yang ia pikirkan namun tak seorang pun bisa menebak.

Tapi Donghae tak peduli. Dia hanya anak kecil. Seperti kejadian tak penting lainnya yang sering Donghae alami, orang kaya menyeramkan itu terlupakan saat Donghae kembali menemukan Hyukjae duduk dikelas dan tersenyum begitu cerah untuknya.

Otaknya hampir mengapus keseluruhan ingatan tentang kejadian di ruang kepala sekolah itu kalau saja tiga hari berikutnya saat ia pulang sekolah bergandengan tangan dengan Hyukjae iris cokelatnya tidak kembali menemukan orang-orang berpakaian rapi tersebut ada di panti asuhan mereka.

Ibu pengasuh mereka mendekat pada Donghae, berlutut menjajarkan tingginya dengan anak itu. Saat itu untuk pertama kalinya Donghae melihat tatapan ibu pengasuhnya yang tak biasa. Tatapan yang membuat Donghae gelisah tiba-tiba. Dan kata-kata selanjutnya yang keluar dari suara lembut ibu pengasuh mereka mampu membuat dua anak ini terdiam.

"Donghae, kau akan diadopsi."

.

.

.

Yonna memijit pelipisnya, merasakan migrain yang menyerangnya tiba-tiba. Tangisan dan isakan itu tak berhenti hingga malam hari seperti ini. Wanita itu duduk di tempat tidur sebelum kepalan tangannya memukul-mukul kusen tempat tidur.

"Ya! Sampai kapan kalian akan terus menangis dikolong tempat tidur?!"

Perkataan Yonna ini malah direspon dengan suara tangisan dan isakan yang semakin keras. Ya Tuhan, berikanlah dia kesabaran mengahadapi dua anak ini.

"Ayolah, keluar dari sana dan dengarkan Nonna sebentar. Hem?"

Tak ada respon, masih saja betah menangis kedua anak ini. Wanita muda itu menghela nafas, anak-anak keras kepala.

"Hei, tak akan ada adopsi jika kalian memang tidak mau."

Sanyup-sayup tangisan itu mulai samar terdengar sebelum dua kepala kecil Donghae dan Hyukjae muncul di kolong tempat tidur. Wajah mereka basah oleh air mata, dan tatapan memohon mereka benar-benar membuat Yonna tak tega.

"Benarkah? Tidak adopsi?"

"Aku tidak akan diadopsi kan, Nonna?"

Dengan lembut Yonna membantu kedua anak itu keluar dari kolong tempat tidur. Keduanya menurut meski tangan kecil mereka masih memengang satu sama lain begitu erat.

Takut dipisahkan.

"Tentu saja. Donghae tidak akan diadopsi jika Donghae memang tidak menginginkannya." Wanita itu berkata lembut sambil membersihkan lamat-lamat serta debu di tubuh keduanya. Ia heran kenapa dua anak ini begitu hoby bersembunyi di kolong tempat tidur yang kotor dan berdebu.

"Jadi aku boleh tetap tinggal disini?"

"Tentu saja, sayang."

"Dengan Hyukkie?"

Yonna tersenyum lalu mengangguk dalam-dalam.

"Dengan Hyukkie."

"Tapi bibi mengatakan jika Donghae akan diadopsi..." Yonna langsung memeluk keduanya saat mereka kembali terisak. Terutama Hyukjae yang memang terkenal cengeng. Mengusap kepala serta punggunya menenangkan.

"Sssh, tenang sayang. Tidak ada yang akan diadopsi, percaya pada Nonna. Ne?"

Keduanya melihat satu sama lain sebelum dengan pelan mereka mengangguk.

"Jadi sekarang berhenti menangis dan berikan Nonna ciuman."

Masih dengan banjir air mata dan isakan, kedua anak ini dengan lugu saling menempelkan bibir. Membuat Yonna yang melihatnya harus dengan susah payah menahan tawanya. Ia tak mau kembali menyulut tangis Donghae dan Hyukjae akibat ia tertawakan. Tapi sungguh, mereka benar-benar lucu!

Yonna membantu keduanya mengusap air mata mereka tanpa tahu ibu pengasuh mereka sejak tadi melihat ketiganya di depan pintu kamar. Wanita paruh baya itu mengehela nafas. Tadi siang panti asuhan mereka kedatangan tamu tak terduga. Orang-orang suruhan dengan pakaian yang begitu rapi dan mobil mengkilap. Mereka mengatakan jika Tuan Besar mereka berniat mengadopsi Donghae menjadi anak angkat beliau.

Pengasuh itu tak terkejut jika berita itu menjadi hal mengerikan ditelinga Donghae dan Hyukjae. Mereka tak akan mau jika salah satu dari mereka diambil. Tak bisa melihat satu sama lain menjadi momok paling menakutkan bagi mereka. Masih jelas diingatannya betapa keras teriakkan Donghae tadi siang, berteriak jika ia tidak mau diadopsi sebelum menangis di kolong tempat tidur bersama Hyukjae seharian.

Karena anaknya sendiri tidak mau, mereka sebagai pengasuh bisa apa? Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menurutinya. Segala bujuk rayu benar-benar tak mempan untuk anak secerdas Donghae.

Wanita itu berjalan pergi menuju kamarnya. Mematikan lampu depan karena malam sudah semakin larut. Anak-anak asuhnya juga sudah digiring Yonna untuk naik ketempat tidur mereka masing-masih. Malam semakin sunyi dan kini yang terdengar hanya suara detik jam dinding, menemani Hyukjae yang masih belum terlelap. Ia terjaga, iris hitamnya terus menatap Donghae yang tidur disebelahnya.

Ia takut memejamkan matanya.

Ia takut jika ia tertidur sebentar saja maka Donghae akan hilang keesokan harinya.

Anak ini beringsut mencari kehangatan Donghae. Membuat satu yang lain ikut terjaga.

"Hyukkie?"

"Hae aku takut."

"Apa ada serangga lagi diselimutmu?"

Hyukjae menggeleng sebelum memeluk Donghae seerat yang ia bisa. Sekuat yang ia mampu.

"Kau tidak boleh pergi. Tidak boleh meninggalkanku sendirian." Hyukjae kembali terisak.

Tangan kecil Donghae terulur lalu menepuk-nepuk kepala Hyukjae pelan.

"Tentu aku tak akan meninggalkanmu sendirian. Kita akan bersama selamanya."

"Selamanya?"

"Ya, selamanya."

.

.

.

Ibu pengasuh itu berjalan menyusuri lorong rumah megah itu dengan langkah hati-hati. Seorang berpakaian rapi dengan ramah mengantarnya menemui sang tuan rumah setelah sebelumnya mengatakan dari mana serta ada keperluan apa. Mereka berhenti disebuah pintu besar di ujung lorong . Sebelum laki-laki didepannya itu membuka pintu dan menuntunnya masuk.

Itu adalah ruang kerja. Dengan seorang yang sumuran dengannya duduk membaca berkas-berkas dengan serius.

"Tuan, wanita ini dari panti asuhan. Beliau ingin menyampaikan sesuatu pada anda."

Tuan Rumah itu perlahan mendongak, mata kelamnya menatap wanita pengasuh panti asuhan itu. Wanita itu mendekat sebelum menunduk sopan dan memberi salam.

"Maaf jika saya menganggu waktu anda , Tuan Lee."

Lelaki itu tak merespon, masih diam dengan aura dinginya yang serasa membekukan ruangan itu.

"Saya hanya ingin menyampaikan jika permintaan adopsi yang anda minta tidak bisa kami kabulkan."

Wanita itu kembali meneruskannya.

"Sebelumnya kami pihak panti asuhan begitu berterima kasih atas perhatian anda terhadap panti asuhan kami yang begitu sederhana. Tapi Donghae, anak itu menolak untuk diadopsi. Karena itu kami tidak bisa menyetujui permintaan adopsi anda, Tuan. Kami benar-benar minta maaf."

Proses adopsi hanya bisa dilakukan oleh pihak pengasuh dan calon orang tua angkat saja saat si anak belum mengerti keadaan sekitarnya. Namun jika si anak sudah bisa memutuskan sesuatu dan mengerti keadaan disekitarnya maka keputusan tertinggi ada pada si anak itu sendiri, dan orang dewasa tak berhak ikut campur.

Ibu pengasuh itu terdiam menunggu Tuan rumah itu berbicara sesuatu namun saat tak ada respon apapun wanita itu memuruskan untuk menyudahinya.

"Itu saja yang ingin saya sampaikan pada anda Tuan Lee. Sekali lagi kami meminta maaf." Wanita itu kembali menunduk lalu berlalu pergi.

Meninggalkan Tuan rumah yang masih menatap pintu tempat wanita itu berlalu dengan iris kelamnya yang begitu dingin. Ibu pengasuh itu sama sekali tak tahu jika penolakan ini justru menjadi pemicu segalanya.

.

.

.

Kedua anak itu berjongkong di halaman samping panti asuhan. Mereka cekikikan sambil menggambar tokoh-tokoh lucu ditanah, bermain dengan imajinasi mereka.

"Itu rumah Hyukkie?" Tunjuk Donghae pada gambar yang baru saja selesai Hyukjae buat.

Hyukjae mengangguk lalu tersenyum begitu cerah pada Donghae.

"Rumahku dan rumah Donghae."

"Aku juga boleh tinggal disana?"

"Tentu saja! Kan kita akan bersama selamanya."

Donghae langsung tersenyum bodoh, bisa-bisanya dia lupa.

"Rumahnya berwarna putih dan punya banyak sekali jendela kaca, jadi kita bisa melihat pantai sepuasnya."

"Rumahnya dekat pantai?"

"Em! Donghae kan suka laut jadi kita tinggal dekat pantai saja."

Donghae langsung memeluk Hyukjae dengan riang. Hyukjaenya yang manis, yang selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa dan bahagia. Walau mungkin hanya terlihat sebagai sebuah kebahagian yang begitu kecil, namun berarti segalanya bagi dua anak ini.

Panggilan dari ibu pengasuh mereka membuat keduanya bangkit. Jemari mereka secara alami saling mencari sebelum terpaut erat. Keduanya tersenyum berjalan riang menuju bangunan panti asuhan mereka. Kedua tangan mereka yang terpaut berayun disetiap langkah yang mereka ambil bersama.

Begitu erat, seakan mengalirkan kasih sayang yang tak nampak mata. Seakan hanya ada kata bahagia didalamnya.

Tapi dunia ini punya aturan. Dimana sebuah keberuntungan harus dibayar dengan kesialan. Sebuah kebahagiaan harus dibayar dengan kesakitan yang setimpal. Itu adalah hukum alam. Bahkan jika hal itu nampak tak adil sekalipun hal ini berlaku mutlak dan tak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.

Seluruh penghuni panti asuhan itu terdiam tak mengerti saat tiba-tiba saja puluhan petugas imigrasi datang ketempat mereka. Seluruh anak-anak segera meninggalkan makan siang mereka dimeja saat para petugas itu masuk tanpa permisi. Mereka berkumpul dibelakang pengasuh mereka mencari perlindungan.

"Apa yang bisa saya bantu, Tuan?"

Sapaan ramah wanita pengasuh itu ditanggapi dingin oleh orang-orang itu.

"Panti asuhan ini tak terdaftar resmi oleh negara. Dan semua anak itu adalah anak-anak dari selatan bukan?"

Kedua wanita itu saling melihat. Mereka tak tahu mengenai hal itu. Panti asuhan ini sudah berdiri sangat lama dengan mengandalkan dana dari para dermawan.

"Tu-tunggu, Tuan. Pasti ada kesalahan, panti asuhan kami sudah ada sejak tiga puluh tahun yang lalu, mana mungkin tak terdaftar?"

"Itu kenyataanya nyonya. Dan anak-anak ini, kami akan membawa mereka semua."

"Apa?!"

"Apa yang kalian tunggu? BAWA MEREKA SEMUA!"

Keributan itu tak terelakkan, bagaimana tangisan para anak-anak yatim piatu itu saat mereka dipaksa keluar dari satu-satunya rumah mereka.

"Berhenti tuan! Kumohon jangan lakukan ini pada mereka!"

"Kasihani mereka,Tuan!"

Hyukjae mengeratkan genggamannya pada tangan Donghae sekuat Donghae mengenggamnya saat beberapa orang asing itu mulai mengambil satu persatu anak-anak panti asuhan. Menyeret mereka dengan paksa memasuki sebuah truk besar yang penuh jeruji besi. Selayaknya tahanan yang akan digiring kepanjara. Tak dipedulikannya dua wanita lemah yang menangis meminta ampun pada mereka. Sedikit meminta belas kasih akan anak-anak malang yang akan mereka bawa pergi entah kemana.

Ditengah kekacauan itu tiba-tiba saja sebuah mobil hitam datang di tengah kerumunan, menghentikan para petugas imigrasi itu sejenak. Donghae tahu siapa orang-orang itu. Orang-orang yang datang kesekolahnya dulu, orang-orang yang juga pernah datang kepanti asuhan beberapa hari yang lalu.

Para laki-laki bersetelan itu mendekati Donghae dan Hyukjae yang akan dimasukan ke truk imigrasi. Tanpa peringatan salah satu dari mereka menarik lengan Donghae, mengagetkan kedua anak itu.

"Dia milik kami."

Petugas itu mengangguk sebelum menarik Hyukjae masuk ke truk imigrasi. Keadaan itu terlihat bagai mimpi buruk bagi kedua bocah ini saat mereka ditarik kearah yang berlawanan.

"Hyuk!Andwe! Hyukkie!"

"Hae! Donghae!"

Kedua tangan kecil yang saling bertaut itu tak kuasa melawan tenaga orang dewasa, hingga pada akhirnya jemari mereka yang sekuat tenaga mereka jaga untuk tetap terjalin itu terlepas sudah. Menyisakan jarak yang tiba-tiba saja hadir bagai bencana. Jarak yang semakin lama semakin melebar tanpa bisa dicegah.

Detik itu juga ketakutan mereka yang sebenarnya dimulai.

Detik itu juga mereka tersadar akan kenyataan bahwa mereka akan dipisahkan.

Hyukjae mulai menangis meronta-ronta minta dilepaskan, sedangkan Donghae berontak sekuat tenaga dengan tangan terulur ingin mengapai Hyukjae. Dada mereka semakin sesak disetiap langkah yang menjauhkan mereka. Tangisan mereka semakin keras saat perlawanan mereka terasa sia-sia.

Teriakan Donghae terdengar begitu keras saat melihat Hyukjae dipaksa masuk kedalam truk. Akal sehatnya menghilang saat pintu truk itu tertutup menelan sosok Hyukjae dari pandangannya.

Tidak. Jangan Hyukjaenya.

Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Donghae mengigitnya brutal. Dengan begitu liar anak itu lepas dari cengkramannya tepat saat truk imigrasi itu mulai berjalan pergi meninggalkan panti asuhan.

Donghae berlari secepat yang ia bisa, sekuat tenaganya. Meski pada kenyataannya truk itu justru semakin menjauh darinya. Jarak itu semakin lama semakin melabar.

"Hyuk! Hyukkie!"

Ada Hyukjae ditruk itu.

Mereka membawa pergi Hyukjaenya.

Anak ini jatuh berguling di tanah berbatu dengan begitu keras, tapi ia tak peduli. Bahkan jika saat ini kedua lututnya bersimbah darah, Donghae tetap kembali berdiri dan berlari. Rasa sakitnya sudah tak terasa dikalahkan oleh ketakutannya kehilangan Hyukjae.

Tak sekalipun ia berhenti memanggil nama Hyukjae. Tak sedetikpun ia berfikir untuk berhenti berlari kalau saja orang-orang itu tak menangkapnya kembali.

Air matanya mengalir deras saat iris cokelatnya perlahan kehilangan truk besar itu. Tangisannya semakin lama semakin keras saat kenyataan Hyukjae menghilang dari hadapannya terpapar. Tubuhnya mengkelijang, memberontak tidak ingin percaya. Dengan terisak dan meraung-raung anak malang ini terus memanggil nama Hyukjae berkali-kali.

Hyukjaenya yang lenyap, menghilang meninggalkan Donghae sendirian dengan ketakutan dan keputusasaannya.

.

.

.

Blam

Pintu besar itu tertutup tepat saat Donghae bisa bangkit setelah sebelumnya dilemparkan dengan kasar oleh orang-orang itu. Anak itu langsung menggedor pintu, memukul-mukul pintu kayu itu dengan kepalan tangannya yang kecil.

"Buka pintunya!Lepaskan aku! Biarkan aku pergi!"

Percumah pintu itu terkunci rapat. Tak pedulu seberapa keras ia berteriak. Seberapa keras ia memukul.

Perlahan pukulan tangan Donghae melemah, perlahan teriakannya berubah menjadi isakan sejurus dengan tubuhnya yang merosot dilantai marmer. Ia kembali menangis.

"Kumohon lepaskan aku paman... biarkan aku pergi.. mereka membawa Hyukkie, mereka membawanya pergi."

Donghae ingin keluar dari sini. Donghae ingin bertemu Hyukjae.

Tangisannya terhenti seketika saat mendengar seseorang memutar kunci pintu. Tubuhnya reflek mundur saat seseorang memasuki ruangan itu.

Ada di depannya sekarang sosok penuh kharisma dan wibawa yang tak bisa dilawan. Laki-laki paruh baya yang ia lihat disekolah. Laki-laki yang memberinya soal matematika lalu menanyai namanya.

Tapi bukan saatnya peduli akan hal itu sekarang. Fokus Donghae teralihkan saat melihat pintu yang terbuka lebar di balik tubuh besar laki-laki jutawan itu. Tubuhnya bergerak begitu saja berlari menuju pintu keluar mendahului pikirannya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi kalau saja tubuh kecilnya tidak ditarik dan dibanting dengan kasar dilantai marmer.

Donghae tak menyerah, ia kembali bangkit, dengan keras kepala ia kembali berlari menuju pintu tapi tubuhnya sudah ditangkap duluan. Kedua lengannya di paksa diam ditempat tak peduli seberapa keras ia berontak.

"Lepaskan aku! Kalian orang jahat! KALIAN ORANG JA-"

PLAK

Suara tamparan itu menggema diseluruh ruangan. Tubuh Donghae terlempar begitu saja. Anak itu terdiam sebelum perlahan memegangi pipinya yang perih, sudut bibirnya berdarah menandakan seberapa keras tamparan itu menghantam wajahnya.

Donghae begitu terkejut. Seumur hidup baru kali ini ia diperlakukan dengan begitu keras oleh orang dewasa. Hal ini jelas meninggalkan bekas yang begitu dalam, meninggalkan trauma.

Iris cokelat itu melihat laki-laki dewasa yang berdiri begitu angkuh didepannya. Tatapan itu begitu dingin hingga tubuh Donghae merinding ketakutan. Membekukan syarafnya, membunuh mentalnya.

"Berhenti bertikah seperti itu."

"Berhenti melawan dan jangan membuatku semakin marah."

Nada itu begitu datar namun siapapun yang mendengarnya tahu bahwa kata-kata orang ini bahkan lebih berbahaya dari bentakan paling keras sekalipun.

Tuan Lee berbalik, meninggalkan Donghae dengan pintu yang kembali terkunci diikuti secretarisnya yang setia. Seorang laki-laki bermarga Kim. Seorang laki-laki yang hanya bisa melihat dengan cemas seluruh kejadian didepannya.

"Tuan."Panggilannya itu berhasil membuat Tuan Lee menghentikan langkahnya.

"Apa ini tak terlalu berlebihan. Maksud saya orang-orang panti asuhan itu, bukankah mengirim mereka ke selatan terlalu kejam?"

Secretaris Kim langsung menunduk saat iris kelam Tuannya melirik tajam.

"Maafkan saya Tuan. Saya hanya berfikir tidak seharusnya kita memisahkan anak ini dengan keluarganya dipanti asuhan. Saya masih berfikir bahwa Tuan bisa mengadopsinya tanpa perlu bertindak sejauh ini."

"Aku hanya menyingkirkan penghalang."

"Tuan?"

"Ikatan seperti itu hanya akan menjadi masalah di masa depan, hanya akan membuatnya lemah."

Sekretaris Kim terdiam.

"Dia akan menjadi anakku, karena itu dia harus hidup seperti caraku."

Dengan itu Tuan Lee kembali melangkan meninggalkan bawahannya yang setia. Secretaris Kim hampir lupa siapa yang ia hadapi. Tuannya yang begitu dingin dan arogan. Selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan bagaimanapun caranya.

Dan setelah fonis dokter yang mengatakan ia tak akan mempunyai keturunan akibat kemandulannya, Tuan Lee menjadi semakin ambisius. Keambisiusannya itu tercermin pada obsesinya untuk bocah lugu bernama Donghae itu.

Seorang anak yang jenius namun bernasib malang.

Bocah yatim piatu yang membuat kelebihanya justru menjadi sesuatu yang memperangkapnya.

.

.

.

Hyukjae tak tahu sudah berapa lama ia ada disini. Anak ini sudah kehilangan hitungannya, yang ia tahu begitu truk itu membawa mereka kemari seluruh anak-anak panti asuhan di pisahkan, di becah belah. Mereka semua menyebar entah di mana meninggalkan Hyukjae seorang diri disini.

Disebuah pertambangan yang penuh akan orang-orang yang mengerikan. Hyukjae dipaksa membawa alat-alat berat dan bekerja. Mencongkel dinding bebatuan hanya untuk menemukan sejumput harta yang bukan miliknya.

Setiap hari tubuh kecilnya terpontang-panting oleh kerasnya tempat ini. Mencoba bertahan dengan apa yang tersisa padanya. Mencoba tetap hidup meski setiap hari serasa seperti akan mati. Berpengang pada dirinya sendiri.

Tak ada selimut hangat disini, tak ada makanan yang begitu enak seperti buatan pengasuhnya disini, tidak ada seorang pun yang peduli padanya disini, dan tidak ada Donghae disini.

Tak ada Donghae yang selalu memengang tangannya, memelukya saat ia ketakutan. Hanya dia seorang diri.

Bahkan saat tubuhnya makin melemah akibat tak tahan dengan rutinitas berat dan tertular wabah orang-orang itu tak coba membantunya. Justru menjadikannya satu dengan orang-orang yang juga penyakitan. Memperlakukannya seperti sampah.

Hyukjae mencoba mendekat pada satu-satunya sumber air bersih ditempat itu. Tubuhnya yang panas dan penuh bintik-bintik merah mengigil terkena angin malam. Wajahnya begitu pucat dengan iris hitam yang begitu layu. Seperti sebuah boneka rusak yang tinggal menunggu waktu untuk dibuang.

Tangan pucatnya yang kecil mencoba menangkup air untuknya minum. Mencoba meraup satu-satunya sumber hidupnya sebelum iris hitamnya menemukan tetesan darah yang bercampur dengan air mengalir itu. Hyukjae menyentuh hidungnya, begitu banyak darah yang keluar dari sana.

Dengan gemetar karena ketakutan anak itu mencoba membasuh darah dihidungnya, namun bukannya berhenti hal itu justru membuat darah dihidungnya semakin banyak mengalir. Ia mulai menangis ketakutan, menunduk masih berusaha menghilangkan darah yang keluar dari tubuhnya.

"Tidak mau berhenti... Donghae darahnya tak mau berhenti, ottokeh?!"

Tapi Donghae tak ada disana.

"Hae, tolong aku... tidak mau berhenti."

Ia terisak, menangis tersedu sebelum tubuhnya menyerah merebah ditanah membiarkan darah dihidungnya terus mengalir. Tangan kecilnya memeluk tubuhnya sendiri.

"Hae..."

Tak ada yang menjawab.

"Donghae aku takut."

Rasa sakit yang paling terasa bukanlah pada tubuhnya yang kesakitan, tapi pada hatinya yang begitu rapuh. Sakit dihatinya karena Hyukjae tahu sekeras apapun ia memanggil, Donghae tak akan pernah datang. Sebanyak apapun Hyukjae memohon, tak akan pernah dikabulkan.

Maka ia menangis. Menangis dan terus memanggil nama Donghae, karena hanya hal itu yang bisa membuatnya bertahan. Hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tersadar.

"Hae..."

.

.

.

Langit malam terlihat begitu jelas dari jendela besar penuh dengan ornamen besi di kamar itu. Bahkan sinar bulan dengan leluasa menyusup masuk membuat sosok Donghae yang duduk diam dilantai terlihat. Ia memeluk lututnya dengan kepala merebah. Lebam baru terlihat di wajahnya akibat pukulan yang ia dapat karena mencoba melarikan diri.

Perlahan air matanya meleleh sebelum terisak mengingat bagaimana Hyukjae dibawa pergi darinya.

"Hyuk..."

Setiap malam ia akan menangis. Setiap malam ia akan memanggil Hyukjae berkali-kali. Berharap bahwa Hyukjae akan muncul dihadapannya. Tersenyum hangat untuknya.

"Hyukkie..."

Tapi pada akhirnya itu hanya harapan kosong. Harapan kosong yang semakin menyakiti hatinya.

Pintu itu terbuka, terlihat sekretaris Kim yang datang membawa obat-abatan. Ia selalu tak tega melihat anak ini. Tuannya berencana segera membawa Donghae ke utara, ke kota utama. Karena itu anak ini dipaksa mengikuti persiapan mulai dari sopan santun dan akademik, mendisiplinkan anak ini tak peduli apa. Tuan Lee tak akan segan bertindak keras saat anak ini tak mau menuruti kata-katanya. Membuat luka baru di raga dan jiwa anak ini.

Donghae begitu terkejut saat sebuah tangan hangat menyentuh lengannya, ia segera menempisnya sebelum berangsur mundur tapi secretaris Kim tak menyerah ia kembali mencoba meraih lengan Donghae yang terluka.

"Aku hanya ingin mengobatimu." Perkataan itu berhasil membuat Donghae berhenti berontak.

Kini lelaki lembut itu bisa mengoleskan saleb pada Donghae dengan tenang. Lalu membawa kompres untuk lebam di wajah anak kecil ini.

"Aku tahu kau merasa sedih."

Donghae tak bereaksi.

"Aku tahu kau membenci kami karena memisahkanmu dari keluargamu."

Bukan hanya memisahkannya, tapi merampas satu-satunya miliknya.

"Tapi untuk sekarang tak ada yang bisa dilakukan untuk hal itu, tak ada yang bisa menghentikannya."

Tangan Donghae mencengkram, meski ia tak merespon tapi ia mendengar. Sebuah figur seorang anak yang ditenggelamkan oleh keputusasaan. Secretaris Kim menghela nafas.

"Kau tahu, hal ini tak bisa dicegah karena sekarang kau sangat lemah." Kompres itu berpindah ke lebam lainnya.

"Kau begitu lemah dan tak bisa melawan. Kau butuh kekuatan yang lebih jika ingin melawan. Kau butuh senjata jika ingin berperang."

Lelaki itu melihat perlahan Donghae mendongak menatapnya. Memperlihatkan iris cokelat yang mengandung sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak dimiliki anak-anak lainya.

"Untuk sekarang bersabarlah, bertahan adalah satu-satunya jalan. Lalu bangun kekuatanmu sendiri."

Secretaris Kim kembali berdiri setelah selesai mengobati Donghae.

"Bangunlah kekuatanmu sendiri hingga tak ada yang bisa merobohkannya lagi."

.

.

.

Kelopak matanya perlahan terbuka, iris hitamnnya bergerak-gerak menandakan kesadarannya mulai terkumpul sempurna.

"Hyung, dia bangun! Anak ini bangun!"

Telingan Hyukjae mendengar suara asing disekitarnya saat dia mulai terbangun sempurna. Hal yang pertama ia lihat adalah langit-langi putih yang penuh lamat-lamat dan debu. Dimana dia? Terakhir kali yang ia ingat ia tertidur ditanah pertambangan.

"Heechul Hyung!"

Teriakan itu membuat Hyukjae tersadar bahwa ia tak sendiri. Ada seorang laki-laki muda yang duduk disamping ranjang tempatnya berbaring. Dengan tubuhnya yang lemah dan tak bertenaga ia beringsut menjauh.

"Hei jangan takut."

"Wae Sungmin-ah?" Satu lagi seorang laki-laki asing datang.

"Anak ini sadar Hyung. Anak yang kita temukan selamat di pertambangan."

Heechul mendekati ranjang, terkejut melihat anak kecil yang tak sadarkan diri hampir empat hari itu kini membuka matanya.

"Benar-benar anak yang beruntung. Kau satu-satunya yang selamat dari wabah, bocah."

Hyukjae tak memperhatikan perkataan mereka, ia terlalu panik saat mendapati orang asing didepannya. Bahkan tubuhnya hampir jatuh dari kasur jika saja Sungmin tak menangkap lengannya dan membawanya kembali berbaring dengan benar.

"Hei nak jangan takut. Tidak ada yang akan menyakitimu disini. Kami adalah dokter." Dengan ceria Sungmin menyelimutinya kembali.

"Istirahatlah sekarang, akan kubawakan makanan setelah ini jadi kau bisa segera minum obat supaya cepat sembuh."

Sungmin tahu benar bagaimana berbicara dengan anak kecil. Dokter itu berkata begitu manis pada Hyukjae yang tetap bungkam.

Hari-hari berikutnya hanya Hyukjae habiskan di atas ranjang besi berkarat itu. Sehari dua kali para dokter itu akan menyapanya dan membawakan makanan untuknya. Bintik merah ditubuhnya sudah mulai menghilang dan tubuhnya semakin membaik. Hanya saja ia masih tak mau bicara pada orang-orang ditempat ini. Hidup dipertambangan selama beberapa minggu membuatnya belajar untuk tetap diam apapun yang terjadi. Karena keributan hanya akan membawanya pada masalah.

"Arrg!"

Hyukjae terkejut saat melihat Sungmin membawa seorang yang penuh akan luka berbaring diranjang sebelanya. Raut wajah dokter itu begitu panik namun tetap terlihat cekatan mengatasi pasiennya.

Iris hitam anak itu melihat bagaimana orang terluka itu berteriak kesakitan saat Sungmin mulai menjahit lukanya. Ada darah dimana-mana dan bau anti septik menguar memenuhi ruangan.

"Sungmin! Aku butuh bantuan disini cepat!"

"Hyung, aku sedang sibuk!"

"Orang ini hampir mati Sungmin!"

Sungmin mengumpat, terpaksa meninggalkan pasiennya yang belum sempat diperban setelah jahitannya selesai. Meninggalkan Hyukjae dengan orang yang mengerang kesakitan disampingnya.

Anak itu terdiam mengamati jahitan baru di lengan orang itu, lalu pada gulungan kain kasa yang belum sempat digunakan.

Entah keberanian dari mana perlahan kaki-kaki kecil itu menapak lantai. Hyukjae berjalan mendekati orang terluka itu dengan hati-hati. Tangan kecilnya mengambil kain kasa itu sebelum menyentuh lengan terjahit mengejutkan orang terluka itu.

Hal selanjutnya yang terjadi adalah Hyukjae dengan begitu hati-hati membalut jahitan itu dengan perban. Begitu seringnya Donghae terluka membuat Hyukjae belajar hal-hal seperti ini dari ibu pengasuhnya.

Saat Sungmin kembali ia dikejutkan dengan lengan orang itu yang sudah terperban dengan begitu rapi. Iris caramelnya melihat Hyukjae yang berdiri tak jauh dari orang terluka itu lalu kembali pada balutan perban yang rapi.

Dokter itu perlahan tersenyum saat mengerti apa yang terjadi. Mendekati anak itu, tangan Sungmin mengusap kepala Hyukjae lembut.

"Anak baik."

Hyukjae hanya menunduk meremas jemarinya.

"Hei, aku belum tahu siapa namamu?"

Hyukjae tak menjawab. Sungmin membungkuk mencoba menemukan iris hitam anak ini.

"Siapa namamu?"

"Hyuk..."

Terdengar sangat pelan dan lirih.

"Hem?"

"Hyukjae."

.

.

.

Tubuhnya terbalut oleh kemeja mini dan celana kain pendek yang begitu rapi. Kaki kecilnya tertutup oleh sepatu kulit dengan bahan yang begitu nyaman. Rambutnya di potong lebih pendek dan tersisir rapi.

Secretaris Kim mengatakan bahwa hari ini ia akan dibawa ke utara. Ia akan dibawa ke kota utama. Jauh meninggalkan Hyukjae yang entah berada dimana.

Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Donghae dari langit biru yang terlihat di jendela kamarnya.

Secretaris Kim terdiam sejenak mengamati Donghae. Sejak hari itu anak ini tiba-tiba saja menjadi pendiam, begitu penurut, dan tak melawan. Tidak ada yang tahu apa yang dikirkan anak ini, tak ada yang bisa menebak isi hatinya.

Dengan hati-hati laki-laki itu mendekati Donghae.

"Tuan Muda."

Panggilan itu membuat Donghae mendongak.

Begitu asing.

Untuk pertama kalinya telinganya mendengar panggilan itu. Untuk pertama kalinya seseorang memanggilnya seperti itu.

"Tuan Muda, Ayah anda sudah menunggu. Pesawatnya sudah akan berangkat."

Dengan kehampaan yang tersisa Donghae bangkit berdiri sebelum melangkah keluar diikuti bawahannya.

Menyimpan kesakitanya, membungkam teriakannya.

Bertahan. Itulah yang ia lakukan sekarang.

.

.

.

TBC

Threeshot untuk Haehyukday kemarin.

Ini bukan action ya, bukan juga crime, gak akan ada adegan tembak-tembakan. Ini hanya bercerita tentang ikatan.

Semoga suka :D