Chapter 1: Bunga Tulip Orange

Title: Air yang Menetes itu …

Author: Hatsune Miki

Fandom: Shingeki no Kyoujin

Genre: Romance, Hurt/Comfort

Rate: T

Character: Christa L., Armin A.

Warning: AU, OOC

Disclaimer: Shingeki no Kyoujin belong to Hajime Isayama. But, Air yang Menetes itu … adalah fanfic milik saya

Summary:

Dia hanya pengantar bunga, namun kepeduliannya, kelembutannya, dan kebaikannya padaku, melebihi bunga yang ia antar itu sendiri. Mungkin di akhir hidupku nanti, aku ingin memejamkan mata bersama bunga-bunga yang ia antar. Juga, embun yang menetes dari bunga itu.

Ho-horaaaa … author Tsuki di sini. Ha-hajimemashite (gugup). Ah~ soal nama 'Tsuki' diambil dari haTSUne miKI. Tapi terserah deh yang manggil, ini cuma karena saya suka singkatan itu. Sebenarnya … udah bikin akun sejak lama, tapi baru kali ini publish. Yah, mau bagaimana lagi, nggak punya nyali buat publish fanfic. Tapi setelah melihat semangat author-author di sini, saya jadi pengen mengikuti jejak mereka dalam rangka mengisi masa remaja. Dari pada galau ngeliat temen-temennya pada pacaran kan? Apalagi … gebetan Tsuki malah menjauh setelah tahu kalau Tsuki suka sama dia (malah curhat). #abaikan!

Yak! Kita mulai fanficnya! Mohon review yang mengandung kritik ya? Yang saya tunggu kritik dan pembenaran dari reader (semoga ada author senior yang baca).

Note: untuk kalian yang sudah membaca light novel Shingeki no Kyoujin, kalian pasti tahu apa maksud kata-kata dalam kurung. Contohnya: (Perasaanku jadi tidak enak.) ya! maksudnya adalah kata-kata yang diucapkan tokoh utama dalam hati. Tokoh utama di sini bukan berarti hanya si Christa. Melainkan tokoh utama ialah tokoh yang sedang disorot/diceritakan. Kalian bisa memperkirakannya sendiri lah.

Ora seneng, ora maca!

.

.

.

.

Fajar mulai menyingsing saat seorang pemuda cantik menaiki sepeda kayuhnya. Ia membaca kembali daftar belanja yang ditulis Ibunya. Matanya yang lebar dengan iris biru berbentuk bulat, berkedip beberapa kali setelah membaca kembali daftar belanja. Kemudian, matanya terpejam dan bibirnya menghela napas.

(Haa … tidak ada pudding lagi.)

"Aku berangkat!"

"Jangan lupa tomatnya, Armin!" jawab Ibu.

Kakinya mengayuh sepeda dengan tergesa-gesa. Pasalnya, pasar terdekat sangat ramai di pagi hari. Mengapa? Karena saat itu, buah dan sayur segar baru saja datang langsung dari kebunnya. Begitu juga dengan daging dan ikan. Semua orang tak ingin membuang kesempatan mendapat bahan makanan terbaik. Kalau sudah agak siang, beberapa dagangan akan mulai dirubung lalat dan sebagainya. Membayangkan saja sudah muak.

Angin pagi bertiup semilir membuat rambut pirang Armin Arlert bergemulai. Kabut pagi masih menyelimuti, menghadang sinar matahari untuk mengintip. Karena udara masih terlalu dingin, Armin mengerutkan kening. Mengapa? Dia tidak begitu kuat dengan udara dingin yang menelusup. Kakinya menjadi agak gemetar. Padahal Armin sudah memakai jaket dan syal berwarna orange kesukaannya. Bulu di sekitar tengkuknya jadi meremang saat melewati perempatan yang tanpa pencahayaan sama sekali.

(Udara sudah cukup dingin ditambah dengan ketiadaan lampu. Bisa-bisa tempat ini menjadi latar belakang film horror.)

Sampai di pasar, Armin memarkirkan sepedanya. Ia berkeliling ke dalam gedung megah itu untuk berbelanja. Beruntung dia datang pagi, karena tidak ada barang belanjaan yang mengecewakan.

"Ouh, Armin."

Armin menoleh kea rah si pemanggil. Rupanya pemuda dengan eyepatch lah yang memanggilnya. Armin sangat mengenal sosok ini. bagaimana tidak? Pemuda itu adalah seksi humas dalam kelasnya.

"Kyklo?"

"Bibi memintamu belanja?"

"Eh~ iya."

Kyklo Mansell adalah teman sekelas Armin. Dia anak dari seorang pemilik perkebunan sayur. Karena itu, pagi ini Kyklo sudah tampak semangat dengan apron pekerja untuk mengangkut sayur milik Ayahnya. Diangkut ke mana? Tentu saja kepada pedagang yang memesannya.

"Pagi-pagi sudah bekerja? Kamu rajin sekali, Kyklo."

"Ini bisnis yang kelak akan diwariskan padaku. Jadi, aku harus mulai berlatih bekerja."

Dibandingkan Armin yang hanya focus pada kegiatan belajarnya di sekolah, Kyklo selangkah lebih dewasa. Mengingat hal itu, hanya membuat Armin cemas akan masa depan.

Kyklo khawatir saat melihat perubahan raut wajah temannya itu. Ia berusaha menghibur, "Bagaimana kalau kau bekerja di toko Ibumu?"

"Eh~ tapi itu kan toko bunga …"

"Lalu, siapa yang kelak akan mewarisinya kalau bukan kau, Armin?"

Sebagai anak tunggal dan satu-satunya lelaki di rumah, Armin tidak punya pilihan lain kecuali memerankan diri sebagai anak sekaligus pendamping Ibunya. Armin akan melakukan apa pun demi kebahagiaan orang tua tunggalnya itu.

"Akan ku coba."

"Itu baru Armin yang sebenarnya. Oh, ya, Ibu baru saja pulang dari perjalanan bisnis. Dia membawa oleh-oleh untuk keluargamu. Tolong terima, ya?"

Kini, di tangan Armin ada seplastik oleh-oleh dari Ibu Kyklo, Bibi Elena. Meski oleh-oleh itu masih terbungkus kardus, Armin tahu bahwa itu barang yang cukup mahal. Armin menunduk sambil mengucapkan terima kasih.

(Justru Kyklo, ya, temanku yang sebenarnya?)

.

.

.

Fajar mulai menyingsing saat seorang gadis membuka matanya. Manik biru yang bulat berbingkai kelopak mata lebar dan bulu mata lentik, mengamati ruangannya dengan seksama.

(Masih di rumah sakit, ya?)

Ia bangun dari ranjang dan berjalan ke balkon. Di sana ada tempat duduk dan meja bundar serta payung besar layaknya tempat makan terbuka. Gadis itu agak kesulitan membawa gagang dari botol infusnya yang tergantung. Meski terlihat sehat, namun penyakit yang ada di tubuh mungilnya itu bukan main berbahayanya. Tidak menular, memang. Tapi ancaman kesehatannya menjadi bertambah.

Ia duduk di kursi dan melihat ke bawah. Jalan raya masih sepi di saat pagi. Kereta api khusus pelajar dan mahasiswa juga belum beroperasi. Pejalan kaki yang seharusnya hilir mudik di rute khusus, tidak ada. Hanya ada seorang pemuda yang mengayuh sepedanya dengan semangat. Yang mana ranjang sepeda itu dipenuhi plastik dan beberapa kardus mungil.

(Dia dari pasar?)

Karena terlalu serius mengamati pemuda itu, sang gadis berambut pirang sampai tidak sadar bahwa pintu kamarnya terbuka.

"Sudah saya duga. Kamu pasti akan bangun pagi."

"Ah!"

Christa Lenz terhenyak dari kegiatan mengamatinya. Ia menoleh dengan mata yang masih terbelalak lebar. Bibirnya langsung terkatup saat tahu siapa yang datang.

"Kak Petra mengejutkanku."

Wanita berambut hazel dengan pakaian perawat itu ada Petra Rall. Dia dengan umur yang sudah berkepala dua, memiliki profesi sebagai perawat khusus pasien di 3 ruangan. Salah satunya adalah Christa.

"Hari ini teman-temanmu akan berkunjung kan?"

"Tapi aku tidak mengharapkannya."

"Mengapa? Bukankah itu akan membuatmu lebih baik?"

"Tidak. Itu akan membuatku berpikir bahwa sembuh itu mustahil dan mati itu prinsip."

"Ayolah, buat kenangan dengan teman-temanmu. Seandainya kamu pergi nanti, mereka masih ingat denganmu."

(Bahkan Kak Petra yang notabene adalah perawat khusus saja tidak percaya dengan kesembuhanku. Apa lagi teman-teman, 'kan? Mereka pasti akan datang dengan senyum terpaksa.)

"Tidak. Mereka akan akan tersenyum riang seperti biasa."

"Jangan menghiburku dengan terpaksa."

"Sou~ Seorang putri bangsawan sedang menyerah, eh? Lihat saja kalau sudah bertemu pangeranmu nanti. Kau akan sulit percaya bahwa mati itu prinsip."

"…"

"Tertarik untuk menunggu kedatangan mereka?"

"Akan ku coba."

"Itu baru Christa yang sebenarnya. Ingin apa untuk sarapan nanti? Salad atau burger?"

"Salad."

"Baik. Tunggu di sini, ya?"

Christa menatap nanar gelang yang ia pakai.

(Justru Kak Petra, ya, temanku yang sebenarnya?)

.

.

.

Hari ini jadwal kampus Armin adalah siang. Sekitar pukul 11 siang nanti dia baru berangkat. Karena malas melakukan sesuatu, Armin hanya memandangi bunga-bunga di toko dengan bosan. Sementara Ibunya sedang sibuk menyirami bunga yang masih tumbuh di halaman belakang toko.

Saat lonceng di depan gerbang mungil toko berbunyi, Ibu malah berteriak, "Armin, layani dulu dong pembeli itu!"

Armin langsung terhenyak karena teriakan maut Ibunya. Ia merutuk pelan dalam gumamannya, lalu menyapa pelanggan.

"Selamat pagi dan selamat datang di toko kami. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, ada. Aku ingin menjenguk temanku di rumah sakit hari ini. Namun, aku tidak tahu bunga apa yang sebaiknya ku beli," ujar si gadis pirang dengan ramah. Tampak beberapa pita terikat di rambutnya, serasi dengan gaun santai berenda perak. Menjelaskan bahwa gadis itu dari keluarga mampu.

"Apakah teman nona laki-laki?" tanya Armin saat melihat gadis itu menggenggam sampel bunga mawar.

"Emm … bukan. Dia perempuan."

"Teman dekat atau kenalan?"

"Dia temanku sejak kecil. Sedih sekali saat melihatnya terbaring sakit di sana."

"Hm … hm …"

"Ku pikir tadi ingin membeli bunga mawar, tapi sepertinya tidak serasi jika aku yang memberikannya."

(Tentu saja. Kalian akan terlihat seperti pasangan kekasih nantinya, dan itu berbahaya!)

"Kalau saya boleh merekomendasikannya, sebaiknya bunga yang satu ini."

Armin mencabut satu gagang bunga yang khusus dipajang untuk menjadi sampel dari bunga yang akan dipesan. Ia memberikan bunga itu pada si gadis bangsawan dan tersenyum.

"Bunga ini? Apa namanya?" tanya si gadis.

"Itu bunga tulip biasa. Tapi sebaiknya yang berwarna orange. Orang yang sedang patah semangat, sedih, atau galau, akan kembali semangat saat menerima bunga ini. Apa lagi kalau nona juga tersenyum tulus saat memberikannya. Bunga itu seakan menjadi jimat ajaib baginya."

Sang gadis terpaku.

"Berapa sebaiknya yang ku bawa?"

"Sesuai jumlah kunjungan."

"Ah … aku baru mengunjunginya kali ini. Sebelumnya aku mengikuti pertukaran mahasiswa ke Inggris."

"Berarti satu saja."

"Apa tidak apa kalau penjualnya yang bilang begitu?"

"Saya menjual bunga bukan demi uang. Melainkan demi melihat orang lain bahagia," jawab Armin sambil tersenyum.

Sang gadis terpukau melihat senyum manis nan menentramkan jiwa itu. Apa lagi di belakang Armin adalah sampel bunga yang terpajang di dinding. Seakan melihat malaikat, gadis itu berkata, "Anda benar-benar gadis yang baik, ya? Tidak mungkin kalau anda masih lajang."

Hening. Armin cengo beberapa saat setelah telinganya menelan kalimat barusan. Ia melihat ke bawah dan sadar bahwa apron dengan bawahan panjang yang ia pakai ini adalah milik Ibunya. Tentu saja Armin terlihat begitu feminim meski telah memakai kemeja lengan pendek dan celana panjang.

"Maaf. Saya laki-laki."

"EH?!"

Si gadis tampak terkejut. Ia menyembunyikan wajah di balik bunga tulip orange dan menyelidiki kembali tiap inci tubuh Armin. Masalahnya sih, Armin memang memiliki bahu mungil layaknya perempuan serta tangan yang kurus. Tubuhnya pun tidak setinggi pemuda biasanya. Kalau dibandingkan dengan Kyklo, Armin hanya setelinganya. Rambut pirang Armin yang bergaya bob itu juga cukup menjebak karena terlalu lurus untuk seorang lelaki.

"Eeh~ aku masih terkejut."

"Mn. Ba-baiklah … anda benar memesan bunga yang ini?"

"Ya! tolong satu tangkai saja."

(Hee~ yang memilihkan 'kan aku.)

"Ini dia—"

Armin terdiam saat gadis itu tiba-tiba mengangkat telepon dan pergi agak menjauh darinya. Dari raut muka si gadis, tampak bahwa ia agak kesal dan kecewa sambil terus menekankan kalimatnya dengan nada tinggi saat berbicara dengan orang di seberang sana. Kalau melihat sikapnya saat ini, tak aka nada yang menyangka bahwa gadis itu adalah putri bangsawan.

Beberapa menit kemudian si gadis kembali.

"Ah~ maaf atas gangguannya tadi."

"Tak apa, nona."

"Kakak ku memanggilku untuk memberi tahu bahwa siang nanti ada acara. Padahal jam kunjungan yang diizinkan pihak rumah sakit adalah pukul 10 pagi hingga pukul 9 malam. Kalau begini … aku tak bisa mengirimkan bunga tepat waktu …"

"Ah~ nona butuh jasa pengiriman bunga?" sahut Ibu Armin tiba-tiba. Ia sudah berpakaian rapi.

"Eh~ iya, Bibi."

"Serahkan saja pada putra ku ini. Memangnya pukul berapa bunga ini harus dikirim?"

(IBU?! Jangan asal memberiku pekerjaan dong!)

Si gadis melihat arloji mewahnya lalu berkata, "Pukul 11 siang nanti."

"Baiklah~ kalau boleh, kami minta alamat rumah sakit serta nama orang yang akan dikirimi," kata Ibu.

"Tentu."

Belum sempat Armin menolak, Ibu sudah mencatat apa yang gadis itu katakan. Uang untuk pembayaran plus jasa pengiriman pun telah berpindah tangan. Si gadis pamit pada Ibu dan berkata pada Armin, "Tolong tepat waktu, ya? Soalnya temanku sangat disiplin."

"Ugh~ baik."

Setelah mobil putih mulus itu meluncur meninggalkan toko dengan si gadis di dalamnya, Armin mulai protes.

"Tapi, Ibu, pukul 11 nanti adalah jam pertama kuliah! Dosennya mengerikan pula!"

"Ah, alasan macam apa itu. Sekali ini saja kamu tinggalkan pikiran soal sekolah dan mulailah dewasa, Armin. Ibumu ini sudah tidak muda lagi, lho."

Bahu Armin melorot. Kalau melihat Ibunya sedih, Armin akan langsung patuh pada perkataannya.

"Baiklah. Tapi cukup hari ini saja, oke?"

"Yah … kita lihat saja nanti. Soalnya Sasha belum datang sih. Jadwal kuliahnya 'kan selalu pagi."

"Hm~"

(Sampai kapan aku melakukan hal ini?)

.

.

.

Sambil merapikan penampilannya, Armin berjalan menapakkan kaki ke dalam rumah sakit. Seperti yang ia duga, aroma obat-obatan dan suasana muram sudah tampak meski baru di ruang resepsionis. Armin meneguhkan hatinya untuk tidak muntah saat melirik ke dua petugas laki-laki yang mendorong ranjang dengan terburu-buru. Kemungkinan, di balik selimut hijau itu adalah pemandangan yang tidak ramah.

Setelah bertanya pada resepsionis, Armin beranjak menaiki tangga untuk pergi ke lantai 3. Di sana adalah tempat khusus di mana pasien yang sudah tidak memiliki harapan hidup menghabiskan waktunya. Menyadari status dari orang yang akan diantari bunga, Armin menelan ludah. Orang yang ditemuinya nanti pastilah jauh dari sosok yang ceria.

Sampai di depan pintu tujuannya, Armin mengetuk terlebih dahulu. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah perawat cantik yang ramah. Ia mempersilahkan Armin masuk tanpa bertanya lebih lanjut. Padahal, tujuan Armin hanya mengantarkan bunga.

"Ternyata teman Christa malah datang lebih awal, ya?" tanya sang perawat dengan ramah.

Sedangkan gadis yang dipanggil Christa tadi, menoleh dari kegiatannya malihat pemandangan luar lewat jendela.

"Teman? Siapa?"

(Oh, yeah … aku hanya pengantar bunga, nona.)

Sebelum keadaan makin kacau, Armin menengahi, "Ah, maaf kalau saya bertindak lancang. Tapi saya di sini hanya untuk mengantarkan bunga yang dipesan seorang gadis bernama Sharle Innocencio. Nona Sharle akan terlambat menjenguk nona Christa karena ada acara keluarga."

"Ooh … jadi Sharle mengirimkan bunganya terlebih dahulu?" tanya perawat. Armin melihat name tagnya dan tahu bahwa wanita itu bernama Petra.

Armin menyerahkan bunga tulip itu pada Kak Petra. Yang menerimanya pun langsung meraih salah satu vas kosong dan pamit untuk mengambil air.

Sementara di dalam ruangan …

Armin jadi kikuk karena Christa hanya diam membisu sambil melihat pemandangan luar. Sebenarnya, Armin bisa merasakan aura ramah dari Christa. Hanya saja di dalam rumah sakit ini, segala hal akan terasa suram.

"Mengapa hanya berdiri di sana? Dari pada aku sendirian, lebih baik duduk dan temani aku di sini," ujar Christa tiba-tiba. Gadis itu tersenyum pada Armin dan berkata, "Aku Christa Lenz, 19 tahun, panggil saja aku Christa. Salam kenal."

Armin terpukau melihat wajah manis Christa.

"Mn. Namaku Armin Arlert, panggil saja Armin, 19 tahun juga. Salam kenal."

Suasana pun menjadi hening beberapa saat sebelum pintu kamar Christa terbuka dan seorang gadis terbelalak.

"Eh? Kamu sudah mengantarkannya?"

.

.

.

To be continued~

Mungkin kesan alurnya lambat yah? Maaf~ pasti banyak hal yang kelihatan nggak penting yang ku tulis di sini. Tapi tenang, itu hanya kelihatannya. Readers tak akan kecewa setelah beberapa chapter ke depan. Soalnya, ini baru pengenalan tokoh.

Tidak keberatan untuk review?