I've just got the inspiration days ago, but still unable to write it until now! I'm glad, I can write it!
Setting: +100 years after Eragon kills Galbatorix
Disclaimer: All the characters aren't mine.
Enjoy! R&R please!
Light Lamperouge
1. Meeting with Mare
Angin dingin menerpa wajah Eragon. Pohon-pohon berderak liar sementara katak-katak berkaok riang.
Well, aku harap hari ini tidak hujan, kata Saphira.
Katak-katak konyol. Sahut Eragon. Sudah lebih dari 100 tahun ia menjelajah daerah ini tapi tetap saja tak bisa menebak cuacanya. Ia tidak membenci hujan karena air pembawa kehidupan. Hanya saja ia memang akan repot sekali tidur di ruangan terbuka tanpa naungan bila hari hujan.
Setidaknya mereka bisa jadi musik yang menghibur. Seperti teater.
Teater? Kau bercanda?
Saphira mendengus pelan. Mata safirnya memandang kumpulan bintang-bintang yang bersinar terang.
Pertunjukkan bagus.
Apa?
Lihat ke langit.
Bintang memang indah. Tapi apa hubungannya dengan teater?
Setiap bulan kan mereka berpindah. Seperti adegan teater.
Eragon mendongakkan kepalanya ke atas. Bintang-bintang itu berkelip-kelip, seperti permata kurcaci yang melambai-lambai padanya. Suara katak-katak itu terdengar semakin keras.
Hargailah alam, Saphira menasehatinya.
Memang benar. Tapi akan lebih bagus kalau yang kudengar suara burung.
Well, kau memang suka suara burung kan! Terutama mockingbird.
Saphira!
Tawa mockingbird Arya terdengar dengan merdu di telinga Eragon. Tawa yang disukainya. Sementara ia memikirkan elf itu, Eragon membaringkan tubuhnya di tanah.
.tik
Butir-butir hujan membasahi tanah kering. Menebarkan bau wangi lembut tanah yang menguar ke mana-mana.
Eragon mengamati sejenak awan kehitaman lalu ia berjalan secepat mungkin ke arah pedesaan.
Penduduk di daerah itu sudah terbiasa dengan Naga ataupun penunggangnya. Eragon jadi ingat pertama kali ia datang ke tempat itu.
Tepat beberapa tahun setelah ia membunuh Galbatorix, Ia berhasil menemukan telur naga terakhir. Tetapi telur yang telah aman itu tiba-tiba menetas di hadapan para elf, dan yang berada di dalam adalah sebuah sisik naga.
Dengan tanggung jawab untuk menemukan penunggang naga itu dan melatihnya, (Mereka berpendapat penunggangnya masih hidup) Eragon dan Saphira terbang ke arah selatan, di mana lautan serta daratannya merupakan misteri yang belum terjawab.
Mereka berhenti di tepi halaman seorang penduduk. Hujan tampaknya masih akan turun dengan derasnya. Di kejauhan terdengar keramaian. Para penduduk rupanya sedang menonton sesuatu. Tertarik dengan tontonan itu, Eragon mendekat, sementara ia menyuruh Saphira bersembunyi.
Menyeruak di antara penonton, Eragon merasa mual melihat kejadian itu. Seorang laki-laki mencambuki anak kecil yang kira-kira berusia 11 tahun. Tubuh bocah itu penuh dengan luka, matanya yang sejuk menyiratkan kepolosan namun dengan tegar pula ia tak mengaduh kesakitan. Penonton menyoraki setiap cambukan, setiap pukulan, sementara Eragon dengan jijik menjauh.
Ia baru saja mencapai tempat dirinya dan Saphira berteduh ketika ia mendengar seseorang memanggilnya.
Fricai
Saphira, kau mendengarnya?, naga itu mengangguk.
Sepertinya sumber suara itu tak jauh dari sini.Eragon menoleh memandang kerumunan orang yang menghilang. Anak kecil itu masih terbaring di tanah sementara darahnya mengalir ke mana-mana.
Eragon dan Saphira bergegas menghampiri anak itu. Dengan rasa iba, ia menggendong anak itu dan menidurkannya di tanah.
Mata anak itu terlihat begitu memelas sementara Eragon menyembuhkan luka-lukanya. Tak lama kemudian, si bocah jatuh tertidur.
Eragon mengamati setiap detail wajah anak itu. Wajah anak-anak yang begitu polos.
Siapa yang begitu berani menyakiti anak yang tanpa dosa ini?
Ada apa Saphira?
Aku telah melihat ingatan anak ini, semuanya penuh dengan penyiksaan.
Eragon meletakkan jemarinya di dahi anak itu dan memeriksa benaknya. Ribuan kenangan tentang penyiksaan membuatnya menggigil.
Bagaimana bertahan menghadapi semua ini?
Besok kita bisa bertanya padanya, sekarang beristirahatlah.
Akan kulakukan setelah aku menyembuhkannya, Saphira mengangguk.
Tangan Eragon berpindah dari luka-luka kecil ke luka luka besar. Bekas cambukan, sayatan pisau, pedang, tusukan besi.
Orang-orang itu sinting, sahutnya setelah menyembuhkan luka anak itu.
Eragon membaringkan dirinya di samping anak itu sementara Saphira menyemburkan apinya ke arah api unggun untuk menghangatkan mereka. Tak lama kemudian, yang terdengar hanyalah dengkur halus.
Keesokan harinya, ia terbangun oleh suara-suara burung yang berkicau riang. Matanya masih terasa berat saat ia melihat anak yang tertidur di sebelahnya sekarang berdiri sambil menatap burung-burung yang bersarang di pohon dekat mereka.
Fethrblaka, eka weohnata néiat haina ono. Blaka eom let lam, kemudian seekor burung terbang menuju anak itu. Jemari telunjuknya digunakan untuk hinggap, sedang jemari tangan lainnya mengelus bulu burung itu dengan lembut.
Jelas bagiku ia penyihir, pikir Eragon.
Saphira, tapi Saphira tidak menjawab, naga itu menghembuskan napas apinya, nyaris mengenai bahu anak itu.
Saphira! Apa yang kau lakukan?
Mengalihkan perhatiannya.Benar saja, anak itu menoleh ke arah Eragon dan Saphira.
Masih mengelus-elus burung itu, benak Eragon merasakan kehadiran benak lain.
Atra esterní ono thelduin, Shur'tugal
Merasa kaget disapa dengan salam para elf, Eragon sedikit membelalakkan mata.
Mor'ranr lífa unin hjarta onr
Un du evarínya ono varda.
Anak itu mengengguk sebentar ke arah Eragon sebelum memalingkan pandangannya menuju Saphira.
Naga, siapa namamu?, nada suara yang terngiang di benaknya mengingatkannya akan suara Izlanzadí Dröttning.
Saphira
Dan kau, Penunggang?
Eragon Shadeslayer.
Eragon mengamati anak itu duduk di sebelahnya, kemudian burung yang tadi dielusnya tiba-tiba terbang setelah ia menggumamkan sesuatu.
Meski telah berbicara melalui pikiran, Eragon merasa aneh karena bocah yang ada di hadapannya belum mengucapkan sepatah katapun melalui mulutnya.
Siapa namamu?, Saphira memecah keheningan.
Kau boleh memanggilku Mare, jawabnya tenang.
Nah, kenapa mereka menyakitimu, Mare?
Apa kau berbuat salah pada mereka?, Mare menggelengkan kepala, pandangannya menuju ke tanah, di mana tangannya telah menggambar sesuatu, hal yang mengingatkan Eragon pada Arya.
Mereka makhluk yang baik, hanya saja aku terlalu…, Mare menggelengkan kepalanya pelan, sementara rambut hitamnya perlahan menjadi putih. Eragon sekali lagi terkejut melihat perubahan Mare.
Aye, kau berbeda, tebak Saphira.
Mare tidak menjawab.
Aku akan berburu, sahut Eragon memecah keheningan. Saphira membentangkan sayapnya dan pergi berburu untuk dirinya sendiri.
Kau sebaiknya di sini saja, berbahaya buatmu untuk berkeliaran,
Eragon menyentuh benak anak berambut putih itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke hutan dan berburu. Sekilas cahaya di mata teal Mare membuat Eragon sadar bahwa anak itu tak akan menuruti kata-katanya.
Saphira baru saja menyantap seekor rusa ketika Eragon sampai, membawa 4 ekor kelinci gemuk. Dengan cekatan Eragon menguliti hewan itu, dan membersihkannya dengan air, dan memotong-motongnya. Organ-organ dalamnya ia kubur agar tak mengundang pemakan bangkai. Ia menyalakan api, memanaskan batu minyak pipih, kemudian menggoreng buruannya.
Daging kelinci itu hampir siap, ketika Eragon mendengar langkah kaki mendekat, dicengkeramnya Brisingr erat sebelum menoleh, dan lega bahwa yang datang adalah Mare.
Eragon mengamati anak itu dan pandangannya tertuju pada dua ikan besar yang ditangkap Mare.
Ini untukmu, sahut Mare sambil meletakkan ikan itu di samping Eragon, Dan Saphira, kalau dia mau.
Kau sudah makan, tanya Eragon sambil menggigit kelinci itu, iakn yang di tangkap Mare dibakarnya di atas api.. Mare menunjukkan sekumpulan buah berry yang ada di sebelahnya.
Aku tidak makan daging.
Kau mirip elf, kata Eragon
Apa?
Para elf tidak makan daging, jelas Saphira.
Tentu saja, Mare mengangguk, tapi jelas mataku tidak miring dan telingaku tidak lancip seperti mereka, lanjutnya pelan.
Kau penyihir juga?, tanya Mare.
Eragon nyaris tergelak.
Tentu. Kau juga penyihir, balas Eragon menahan tawa. Bagaimana mungkin seorang pengguna bahasa kuno tak menyadari bahwa mereka sendiri penyihir?
Aku apa?
Penyihir, tentu saja. Nyaris setiap pengguna bahasa kuno adalah penyihir, jawab Eragon.
Well, itu berita baru untukku, Mare tersenyum.
Saphira mendengus pelan.
Dari mana asalmu, Mare?
Aku tidak tahu.
Bagaimana kau bisa sampai ke tanah ini?, tanya Eragon.
Aku sudah lupa.
Eragon memandang ke langit. Mendung dan awan hitam rupanya tak puas menurunkan hujan lagi.
Sepertinya cuaca akan buruk, sahut Saphira sambil mendongakkan mata safirnya yang besar.
Kurasa tidak, jawab Mare sambil menjentikkan tangan ke udara, awan hitam langsung menghilang sementara kehangatan sinar mentari menyelimuti mereka.
Bagaimana kau...
Aku tak tahu. Cuaca selalu seperti itu.
Kau juga bisa menimbulkan badai?, Eragon bertanya dengan semangat sementara Saphira mengirim pandangan mencela.
Eragon belum pernah bertemu penyihir yang bisa memanipulasi cuaca, sehingga kemampuan Mare membuatnya tertarik.
Aye.
Kau bisa mengajariku?, tanya Eragon.
Mare menggeleng.
Aku dilahirkan seperti ini, Shadeslayer. Ini bukan hasil dari latihan, jelas Mare. Eragon merasa kecewa.
Apa yang kau ingat tentang masa lalumu, Mare?, tanya Saphira, mengalihkan pembicaraan.
Bayangan pepohonan pinus yang luar biasa, langit biru, dan luasnya lautan, hanya itu yang tersisa dalam ingatanku, jawab Mare pelan.
Berarti kau bukan berasal dari sini?
Tentu.
Orangtuamu?, Eragon bertanya.
Kenanganku tentang mereka melebur seperti birunya laut saat senja, Shadeslayer.
Mereka terduduk dalam diam hampir semenit penuh, sebelum Mare memecah keheningan.
Well, sebaiknya aku mandi dulu, matahari sudah tinggi, dan pakaianku penuh darah. Bisakah aku minta tolong kalian agar menjaga barang-barangku sebentar?
Eragon mengangguk pelan.
Mare melepas jubahnya, anak berambut putih itu mengenakan tunik tanpa lengan warna putih dan celana katun biru tua selutut, kalung berleontin biru dengan tali hitam sabagai rantainya.
Di punggungnya, sebuah pedang yang setinggi dirinya memantulkan cahaya matahari dengan warna pelangi menari-nari di sarungnya. Glyph yang tertulis di sana, Eragon tidak dapat membacanya karena tidak tertulis dalam bahasa kuno.
Mare melepas kait hijau muda yang digunakannya untuk membawa pedang dan meletakkan pedangnya di samping jubah yang sudah dilepasnya dan kantong kulit yang kelihatannya berfungsi sebagai tas, berjalan perlahan menuju arah sungai yang mengalir di dekat mereka.
'Apa aku sudah bilang kalau aku benci kehangatan?', Mare menoleh, bertanya untuk pertama kalinya pada Eragon dan Saphira dengan suaranya yang terdengar dewasa, aneh dibanding dengan penampilannya yang memang anak-anak, sementara ia menjentikkan tangannya di atas permukaan sungai, es mulai mengembang saat ia masuk ke sana, membersihkan diri.
'Belum', sahut Eragon membeku dalam diam, sementara pandangannya dan Saphira tertuju pada tato yawë yang berada di lengan kiri anak itu.
Mare means Sea in Latin
Am I insane? Of course not! Your guess is right, this poor boy is Hitsugaya! But, he isn't a shinigami here, he's just a human, so I also submit it in normal category. Nah, please give me review so I can write it better!
Mind to Review?
Light Lamperouge
