Secret Relationship
Naruto © Masashi Kishimoto
Story by CMA
Sudah barang tentu jam-jam seusai sekolah bubar menjadi waktu yang paling ditunggu oleh Neji Hyuuga. Pria berusia 27 tahun itu paling tidak sabar mendengar dentang bel yang menggema hingga ke penjuru sekolah. Jika sudah terdengar gemanya di kantor wakil kepala sekolah yang ia tempati, maka dengan segera pria itu merapikan segala berkas yang ia periksa, menyingkirkan cangkir kopi yang kotor, lantas berbaring di sofa panjang berwarna hijau limun yang ada di ruangannya.
"Nii-san? Sedang apa?"
Seolah tidak pernah melihat kakak sepupunya melakukan hal yang sama setiap harinya sejak sebulan lalu, Hinata kembali bertanya begitu ia muncul dari pintu penghubung kantor mereka. Hinata yang menjabat sebagai kepala sekolah, berkantor tepat di samping kantor Neji.
Neji meletakkan satu tangan di atas dahi, memalingkan wajah agar mata yang serupa miliknya itu tidak bisa melihat apa-apa di wajahnya.
"Aku sedang istirahat sebentar."
Hinata mengangkat alis heran. "Begitu? Baiklah. Kurasa aku akan pulang duluan, sampai jumpa di rumah."
"Hm."
Terdengar pintu dibuka dan ditutup dan Neji tahu Hinata sudah pergi. Ia pun melirik ke jam dinding yang seolah bergerak pelan sekali. Dalam kepalanya ia menghitung jarak gedung administrasi tempat kantornya berada dengan gedung sekolah tempat kegiatan belajar-mengajar berlangsung tiap harinya. Harusnya tak lebih dari sepuluh menit lagi orang itu akan muncul—jika langsung ke tempatnya tanpa mampir-mampir dulu.
Dan benar saja, sepuluh menit kemudian, pintu kantornya terbuka lagi. Seorang guru muda dengan rambut cepol dua yang mulai tak beraturan, pakaian yang sedikit kusut, serta memeluk dua buku besar, masuk dengan langkah terhuyung.
"Pak wakil kepala?" panggil guru muda tersebut seraya meletakkan buku di atas meja kaca. Ragu-ragu ia duduk di dekat kaki Neji yang berselonjoran. Melihat Neji masih memakai sepatu pantofelnya, Tenten berinisiatif melepaskannya. Saat ia tengah memunggungi Neji untuk membuka sepatunya itulah, sang pria berambut cokelat panjang itu bangun dari tidur pura-puranya dan memeluk Tenten dari belakang.
"AAA!"
"Sssh!"
Neji menutup mulut Tenten dengan telapak tangannya yang besar. Ia baru melepaskannya setelah yakin Tenten tidak akan berteriak lagi.
"Pak wakil kepala mengagetkanku!" Tenten duduk menghadap Neji yang sudah melepaskannya. Gantinya, kedua tangan Neji meraba dua bulatan rambut di kepala Tenten, mencari jepitan hitam panjang yang langsung ia tarik lepas. Segera saja rambut cokelat Tenten yang ikal terurai hingga ke punggung.
Tenten ingin protes sebenarnya, tapi melihat seulas senyum di wajah sang wakil ketua membuatnya diam saja.
"Katakan," Neji meletakkan kedua jepit rambut itu di atas meja. "Kudengar kemarin ada siswa di kelasmu yang mendadak histeris karena tidak bisa mengerjakan soal ujian."
Tenten mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Ah. Benar. Anda juga tahu hal itu?"
Neji tidak berniat menjawabnya dan malah balik bertanya. "Bagaimana kalau aku adalah murid itu?"
"Eh?"
"Apa yang akan kau lakukan padaku jika aku adalah murid itu?"
"Apa ini juga tes? Apa ini termasuk latihan menjadi guru yang baik yang suka Anda katakan?"
"Jawab saja pertanyaanku!"
Tenten sedikit terlonjak sebelum menjawab pertanyaan Neji. Ia harusnya tahu untuk tidak mengulur-ulur waktu saat berhadapan dengan pria berambut panjang ini. "Aku akan menghiburnya, menanyakan kenapa ia menangis."
"Kalau dia tidak mau bicara?"
Tenten mencoba mengingat kejadian tempo hari yang membuatnya panik. Muridnya juga menolak bicara pada awalnya hingga Tenten harus memeluknya sampai bel pulang berbunyi untuk menenangkannya. Barulah setelah itu muridnya mau bicara.
"Aku memeluknya sampai dia tenang dan mau bicara," jawab Tenten akhirnya.
"Kalau begitu lakukan." Neji menarik Tenten mendekat padanya.
"E-eh?" Tenten mencoba menahan tarikan Neji yang akhirnya sia-sia. "Pak wakil kepala!"
"Anggap saja aku muridmu yang sedang depresi. Lakukan seperti yang kau katakan," perintah Neji dengan wajah datar. Cahaya matahari sore yang menyorot dari samping membuat mata sewarna mutiara milik pria itu berubah menjadi keemasan.
Tanpa menunggu Tenten yang masih membatu, Neji seenaknya menjatuhkan dahinya di bahu Tenten lantas memejamkan mata. Baru beberapa saat setelahnya, Tenten mengangkat tangannya dan memeluk punggung Neji yang masih ditutupi jas hitam. Neji membalasnya dengan pelukan erat di sekitar pinggang guru berambut cokelat itu sambil menyamankan wajahnya di lekukan leher Tenten.
"Pak wakil—"
"Neji," potong Neji cepat sambil menggesekkan ujung hidungnya di kulit Tenten yang lembut, membuat Tenten menggeliat geli. "Sudah kubilang jangan memanggilku begitu saat kita hanya berdua."
"Iya ... Neji. Kau kenapa?"
"Kapan kontrak mengajarmu di sini habis?" Neji balas bertanya. Gerak bibirnya menambah sensasi geli lainnya.
"Mungkin, satu semester lagi. Kenapa?"
Neji tidak menjawab, hanya merutuki dalam hati kenapa waktu yang ditunggunya lama sekali.
"Neji?" panggil Tenten sedikit cemas karena Neji tiba-tiba saja mengeratkan pelukannya.
"Sebentar saja ... sebentar saja lagi, seperti ini."
Di bawah siraman matahari sore yang menelisik dari sela jendela, Neji memeluk Tenten begitu erat. Merasakan denyut nadi di leher sang wanita di bawah tekanan bibir tipisnya. Aroma yang manis melingkupi mereka berdua.
[NejiTen Story—End]
.
.
.
.
Seorang murid SMA berseragam agak berantakan melambai pada teman-temannya dari klub sepak bola saat mereka berpisah di persimpangan jalan. Ia pun melanjutkan perjalanannya. Naik ke bus yang berhenti dua halte sebelum pusat kota, naik jembatan layang untuk menyebrang, memutari sebuah departement store, menyempatkan membantu seorang nenek menyebrang jalan sebelum kembali lagi, memotong jalan lewat taman bermain yang lumayan ramai, sebelum berhenti di sebuah tempat parkir dan langsung membuka pintu mobil berwarna hitam yang adalah satu-satunya mobil yang ada di sana.
"Bagaimana sekolahnya?" sebuah suara lembut langsung menyapa. Anak SMA tersebut tersenyum lebar sambil melepas tas selempangnya.
"Baik, Hinata-sensei!" jawabnya semangat sebelum tersadar akan sesuatu. "Aduh, ini 'kan bukan di sekolah, ya? Hahaha. Seharian ini kita sering bertemu sih!"
Hinata ikut tersenyum melihat senyum lebar di wajah pacarnya. Ia lantas mengulurkan kantong kertas berisi burger yang ia beli di drive-thru. "Makanlah. Kau pasti lapar sekali setelah kegiatan klub, 'kan?"
"Aaahhh. Terima kasih, Hinata-chan. Aku lapar sekali!" Naruto menerimanya dengan sukacita dan langsung melahapnya. Hinata sendiri memakan burger miliknya.
"Mau mendengarkan radio? Sepertinya ada pertandingan bola yang sedang berlangsung."
Naruto mengangguk semangat untuk menggantikan ucapannya. Mulutnya sangat penuh.
Hinata memutar tunnel radio, mencari saluran yang tengah menyiarkan pertandingan sepak bola itu. Di percobaan ketiga, akhirnya ia menemukannya juga. Naruto menandak senang di kursinya. Lewat suara komentator yang bersemangat, Naruto tahu kalau itu adalah tim jagoannya yang sedang bertanding.
"Wuah! Dengar itu! Dengar itu! Mereka mencetak gol lagi!" tangan Naruto terkepal di udara. Wajahnya memerah dengan cepat akibat semangat. Bahkan burgernya pun terabaikan di tangan kirinya.
Hinata tidak pernah benar-benar menyukai sepak bola. Tapi setiap bersama Naruto, pertandingan itu menjadi berkali-kali lipat lebih menyenangkan. Ia pun ikut bersorak saat komentator pertandingan berseru heboh akibat gol lain yang baru tercipta.
"YEAH! GOOOLLLL!"
Selebrasi kemenangan terjadi di dalam mobil itu, membuatnya terguncang sedikit. Naruto yang begitu semangat tanpa sadar melempar burgernya yang baru setengah habis hingga mengenai wajah Hinata.
"Ya ampun! Hinata-chan!" kelabakan, ia menarik banyak tisu untuk membersihkan sisa saos dan minyak yang mengotori pipi Hinata. Hinata yang masih terkejut dengan lemparan tiba-tiba itu hanya bisa mematung saat Naruto dengan paniknya membersihkan wajahnya dengan tisu.
"Maaf, maafkan aku. Benar-benar tidak sengaja!"
"Iya, tidak apa-apa Naruto-kun," sahut Hinata menenangkan. Tapi Naruto masih mengelap pipinya dengan tisu bersih beberapa kali dan sekali dengan tisu basah yang juga tersimpan di dashboard mobilnya. Matanya yang beririskan safir biru cemerlang menjelajahi tiap inci wajah sang kekasih yang ada tepat di depan matanya seiring gerak tangannya yang mengusap pipi kemerahan itu dengan lembut.
Mata serupa mutiara, hidung mancung nan mungil, bibir berpoleskan lipstick berwarna merah marun, pipi yang merona serupa mawar, juga rambut biru kehitaman yang halus juga wangi.
Tiba-tiba saja gerakan Naruto terhenti.
Suara komentator yang mengumumkan hasil pertandingan menjadi tidak begitu penting. Dengan satu tangan, Naruto mematikan radio itu sebelum kembali memusatkan seluruh perhatiannya pada wanita yang duduk di sampingnya.
"Maaf, Hinata-chan," bisiknya pelan. Tangan kirinya masih menangkup pipi Hinata yang tertutupi tisu.
"Sudahlah, Naruto-kun. Aku tidak apa-apa." Hinata—yang berpikir kalau Naruto masih mempermasalahkan insiden barusan—mencoba menghidupkan lagi suasana yang berubah canggung itu dengan melempar topik pembicaraan lain. "Minggu depan kau ada pertandingan, 'kan? Bagaimana kalau kita pergi membeli sepatu bola sehari sebelu—"
"Maafkan aku." Naruto memotong ucapan Hinata dengan lagi-lagi meminta maaf.
Hinata menyerah. Perubahan emosi Naruto yang usianya lebih muda darinya bisa ia mengerti. Hanya saja ia tidak suka melihat Naruto berwajah muram seperti sekarang.
"Maaf," lagi, Naruto meminta maaf. Kali ini ia ikut menumpukan dahinya di dahi Hinata yang tertutupi poni. "Aku tidak ingin sepatu baru. Aku hanya ingin kamu menontonku saat pertandingan nanti."
"Naruto-kun, kamu tahu aku ti—"
"Tidak bisa. Ya. Aku tahu. Aku paham." Naruto menekankan dahi mereka sedikit lebih keras. "Aku tahu itu tidak bisa. Maafkan aku karena mengatakan hal bodoh."
Tangan putih Hinata menggenggam tangan Naruto yang masih ada di pipinya. Kesedihan yang terselip dalam kalimat Naruto ikut menimbulkan sesak di dadanya.
"Hinata-chan ... hanya tinggal enam bulan lagi. Tunggu aku enam bulan lagi. Setelah itu aku akan bisa menggandeng tanganmu di depan umum, kita akan pergi ke taman hiburan tanpa khawatir ucapan orang, dan berkencan ke macam-macam tempat. Bukannya di mobilmu, di antah berantah ini ... Ya?"
Hinata tidak bisa menahan air matanya untuk menetes mendengar permohonan Naruto yang begitu tulus. Pun saat pacarnya itu mengecup dahinya, ia bisa merasakan ketulusan di sana.
"Akan kutunggu. Pasti kutunggu saat itu."
Naruto tersenyum dan kembali menumpu dahi mereka.
"Terima kasih."
[NaruHina Story—End]
.
.
.
.
"Daaah! Sampai jumpa besok!"
Seorang siswi berambut pirang panjang melambai pada temannya yang dijemput menggunakan mobil. Seorang siswa yang berseragam sama dengan siswi itu menatapnya heran.
"Kupikir kau akan ikut dengannya," ujarnya kalem.
Siswi itu menangkap tangan sepucat kapur milik sang siswa dan mengacungkan genggaman mereka di depan wajah tanpa emosi itu. "Dan melewatkan kencan sepulang sekolah kita? Jangan bercanda!"
Sambil bersenandung riang, siswi tersebut memaksa pasangannya untuk mengikuti dan menyejajarkan langkah. Mau tak mau, siswa itu pun mengikuti dengan senyuman di wajah. Selalu seperti ini setiap hari sebenarnya bukan hal buruk. Sangat menyenangkan malah. Mengingat mereka berbeda kelas, agak sulit untuk bertemu di sekolah.
"Bagimana klub seninya?" tanya Ino sambil melingkarkan tangannya ke lengan kokoh Sai. Yang ditanya tidak langsung menjawab, melainkan menepuk kepala pacarnya penuh sayang.
"Baik. Bagaimana dengan klub merangkai bungamu?"
Ino mengerucutkan bibirnya. "Aku dengar ada anak baru yang mencoba mendekatimu. Dia sampai ikut klub seni hanya agar lebih dekat denganmu. Apa itu benar?"
"Apa-apaan ini?" Sai tertawa kecil. "Meskipun memang begitu, kau tidak perlu khawatir. Dia cuma junior yang terlalu bersemangat."
"Aku tidak percaya." Ino hendak melepas tangan Sai saat cowok itu menahannya dan melingkarkannya lagi seperti semula.
"Kita sudah pernah tidur bersama. Kau sudah menang banyak, 'kan?"
"Hei—"
"Aku ingat kau memelukku kencang sekali hingga jatuh tertidur," goda Sai. Ino hanya bisa mendecih. "Apa aku harus ikut mencemburui kedekatanmu dengan model yang sekelas denganmu itu? Kulihat saat istirahat kau berbicara dengannya."
"A-apa?" panik, Ino mengerjapkan matanya cepat. "Bu-bukan begitu! Dia cuma tanya pendapatku tentang orang yang ia sukai! Hanya itu! Sungguh!"
Sai tertawa lagi melihat wajah panik Ino. Ia menepuk pucuk kepala pacarnya untuk membuatnya tenang. "Iya. Aku percaya." Dan satu kecupan mendarat di pelipis sang cewek beriris mata sewarna batu aquamarine itu.
Ada perasaan menenangkan saat mendengar Sai memercayainya. Akhirnya Ino kembali mengeratkan pelukannya di lengan yang terbalut gakuran itu.
"Ah, bisakah kita memutar lewat taman? Aku tidak ingin cepat sampai," pinta Ino manja. Sai hanya bisa mengikuti saja. Menolak pun, Ino akan menarik tangannya menuju ke arah yang ia mau.
"Bagimana konsultasimu dengan Asuma-sensei? Universitas mana yang baiknya kau ambil?" Sai kembali membuka pembicaraan.
"Katanya aku bisa ambil jurusan apapun yang kumau."
"Hmm. Lalu, mau pilih yang mana?"
"Kau sendiri, mau pilih yang mana? Aku akan ikut mengambil tes masuk ke universitas yang kau pilih!" Ino menyatakan kesediaannya untuk berjuang. Di mana pun itu, ia akan menyanggupinya.
Sai tersenyum. Bagi orang lain, senyum Sai terlihat sama saja seperti biasanya. Tapi Ino tahu kalau itu bukan senyuman yang biasa.
"Bagaimana ya ..."
"Sai!"
"Mungkin aku akan bekerja saja ..."
"Jangan bercanda! Kau dapat tawaran beasiswa, 'kan?" Ino mulai tak sabar dengan aksi tarik ulur jawaban ini.
"Dapat beasiswa pun, aku masih butuh dana lain untuk tempat tinggal dan segala macamnya. Itu terlalu berat."
Ino paham dengan yang Sai maksud 'berat'. Berat bukan karena ketidakmampuan finansial keluarga. Tapi berat karena itu membuat Sai harus menerima lebih banyak kebaikan yang tidak pernah ia merasa pantas menerimanya.
Akhirnya mereka berdua berjalan dalam diam. Tanpa sadar, kaki mereka telah membawa ke komplek perumahan mewah yang familiar. Satu-dua orang yang berpapasan dengan mereka di jalan, menatap heran lantas geleng-geleng kepala sendiri. Semakin dekat rumah, Ino semakin melonggarkan pelukannya dan akhirnya benar-benar terlepas.
Sai ingin mengatakan pada Ino untuk tidak terlalu memedulikan apa kata orang yang melirik tajam ke arah mereka. Tapi tak ada kata yang keluar hingga mereka berdiri di hadapan gerbang tinggi bercat keemasan. Plat alumunium di sampingnya bertuliskan 'Yamanaka'.
"Sudah sampai," kata Sai pelan. Ia mendorong gerbang itu terbuka dan menunggu Ino mengikutinya masuk ke dalam. "Ayo masuk." Sai mengulurkan tangan.
Ino tetap diam sambil menatap ujung sepatunya.
"Aku tidak ingin masuk."
Sai menghela napas, lantas tersenyum tipis. "Masih ada hari esok," katanya menenangkan. "Besok, kita ambil jalan yang lebih jauh lagi. Atau mungkin naik bus sekalian. Bagaimana?"
Secercah harapan kosong terbit. Ya. Ino tahu itu cuma harapan yang seharusnya tidak dijadikan tumpuan. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Sai.
"Bersabarlah sebentar lagi, ya?" bisik Sai lembut saat Ino meletakkan dahinya sejenak di bahunya yang kokoh.
Ino tidak menjawab. Ia menarik Sai menuju pintu besar berpernis dengan ukiran-ukiran yang nampak rumit. Genggaman tangan mereka menguat untuk sesaat sebelum akhirnya terlepas saat mereka mendorong pintu itu terbuka.
"Ibu! Kami sudah pulang!"
[SaIno Story—End]
.
.
.
.
"Paman! Paman membelikan Sakura pai cerinya?"
Seorang siswi berambut sewarna kelopak bunga sakura dengan rusuhnya masuk ke dalam mobil mewah yang dingin berAC. Orang yang dipanggil paman, yang tak lain adalah sang sopir berusia sekitar pertengahan dua puluhan dengan wajah masam, hanya memberikan kotak berukuran sedang yang bergambar pai di bagian luar.
"Yeyy! Sakura kira, Paman lupa membelikannya."
"Saya pikir Nona ingat kalau saya tidak pernah menikah dengan bibi Nona."
Mendengar balasan sang sopir yang dingin—seperti biasanya—nona muda itu mencubit pipi tirus sopirnya.
"Nona! Saya sedang menyetir!" kata sopirnya galak sambil menepis tangan nonanya.
"Paman tidak seru," cibir nona muda itu. "Sakura 'kan paling sayang sama Paman. Makanya tidak panggil nama."
Lirikan diberikan lewat kaca spion depan. "Saya cukup senang jika Nona mau belajar memanggil nama saya. Sudah enam tahun, Nona. Anda ini bodoh atau apa?"
Bukannya marah, sang putri beriris mata sewarna zamrud jernih itu malah tertawa. "Bukan. Sakura cinta Paman."
Terdengar dengusan dari arah depan. Tak peduli meski sekarang nonanya sudah SMA, tingkahnya masih sama saat ia pertama menjadi supirnya. Saat ia masih begitu muda dan nonanya hanyalah anak SD. "Sudahlah. Makan saja painya. Nona bisa kena marah kalau ketahuan makan yang manis-manis lagi."
"Oke!" Sakura mulai membuka kotak itu dengan semangat. "Ah! Hari ini Sakura tidak mau les, jadi jangan bawa Sakura ke sana!" pesannya sebelum mulai memakan seloyang pai itu sendirian.
Tidak lebih dari dua puluh menit kemudian, mobil itu sudah memasuki halaman sebuah rumah yang terlalu hebat untuk sekedar disebut mewah. Rumah bergaya mediterania itu tampak kokoh dan dingin. Taman dengan petak-petak mawar terlihat disinari lampu taman yang sudah dinyalakan.
"Ada mobil siapa di Car Port, Paman?" tanya Sakura yang sudah selesai dengan painya. Kecepatan nonanya memakan pai favoritnya itu patut dikhawatirkan. Satu loyang dalam waktu kurang dari sejam.
"Entahlah Nona. Mungkin Tuan dan Nyonya sudah pulang."
Jawaban dari sang sopir menghapus sisa senyum bahagia yang tadinya terukir di wajah ceria itu. Matanya bergerak gelisah. Menjelajahi fisik luar mobil yang tak ia kenali sebelumnya. Tentu saja, setiap ada mobil baru yang keluar, kedua orangtuanya seolah berlomba-lomba membelinya.
"Ayo turun, Nona." Sopirnya membukakan pintu. Satu tangan terulur meminta tas. Ragu, Sakura melangkah keluar. Sesaat sempat diteguknya liur dengan susah payah sebelum melangkahkan kaki menuju pintu besar yang menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh langit-langit.
"Paman," panggilnya. Memastikan bahwa sang sopir akan mengantarnya hingga ke dalam.
"Saya di sini." Sopirnya mengambil satu langkah lebih dekat, seolah memberikan kekuatan bagi sang nona yang punggungnya terlihat gemetaran. Dengan inisiatif sendiri, ia membukakan pintu.
Dan segera saja, teriakan yang membahana menyambut mereka.
"KAUPIKIR AKU TIDAK TAHU APA YANG KAU LAKUKAN DI LUAR SANA, JALANG?!"
Itu adalah suara sang tuan besar, Haruno Kizashi, melemparkan sapaan yang rutin terdengar tiap beberapa bulan di kediaman keluarga Haruno. Yang akan dibalas dengan, "KAU YANG BAJINGAN! KAPAN TERAKHIR KALI KAU PULANG, HAH?!" yang merupakan sapaan penuh sayang dari sang istri, Haruno Mebuki.
Suara piring pecah terdengar bersusulan dengan suara kayu yang patah. Jeritan, tamparan, lolongan kesakitan, dan suara-suara barang yang dilemparkan menggema hingga langit-langit tinggi ruangan tempat Sakura terpaku. Matanya menatap kosong ke depan. Untuk lima menit yang terasa bagai lima tahun, suara caci dan makian yang saling dilemparkan oleh orangtuanya membuat Sakura harus berpegangan pada lengan sopirnya yang masih sedia menemani.
"Pa-paman ...," panggil Sakura dengan terbata. Ia bahkan tidak bisa bicara. "To-tolong ..."
Sopirnya tidak perlu diminta dua kali. Dengan cepat ia mengungsikan sang nona kembali ke dalam mobil dan membawanya pergi sejauh mungkin hingga nyaris ke pusat kota. Tak seperti saat ia menjemputnya tadi, nonanya yang duduk di kursi penumpang hanya diam menunduk sambil menggenggam erat liontin kalung berbentuk bunga sakura yang dipakainya sejak SD.
Mereka memarkir mobil di sebuah parkiran taman. Hanya ada satu mobil lain di sana. Sesaat mobil itu berguncang sedikit. Melirik dari spion depan, ia mendapati nonanya masih dalam posisi awalnya ketika naik.
"Nona," panggilnya.
Tak ada jawaban.
"Nona," panggilnya sekali lagi.
Kali ini sebuah isakan kecil terdengar. Mengumpat, sang sopir dengan gerak cepat segera keluar dari mobil untuk bergabung dengan nonanya yang isakan kecilnya berubah menjadi tangisan histeris dalam hitungan detik.
"Sasuke! Sasuke!" tangan nonanya yang gemetaran menggapai ke arahnya. Mau tak mau, sang sopir menurut dan memeluk tubuh ringkih itu dalam dekapan hangat. Suara tangis yang terdengar begitu menyayat hati terpaksa ia dengar lagi.
Selalu seperti ini setiap kali orangtua nonanya pulang. Selalu seperti ini setiap tahun sejak Sasuke bekerja pada keluarga Haruno.
Dan ia selalu jatuh kasihan pada nonanya yang menangis histeris hingga hilang kesadaran.
"Sasuke! Sasuke!"
Tidak ada yang diucapkan bibir nonanya selain nama yang tidak pernah ia ucapkan kecuali di saat-saat seperti ini. Saat namanya diucapkan, Sasuke tahu kalau Sakura akan hancur jika ia tidak segera datang ke sisinya.
"Aku di sini, Sakura. Aku di sini."
Sasuke memeluk Sakura erat hingga nonanya perlahan jatuh tertidur dengan jejak air mata di pipi.
.
.
.
.
Di bawah sorot lampu yang panas, seorang cowok berpose seolah ia sedang tertidur di atas ranjang bunga. Rambut merahnya seolah menyatu dengan kelopak-kelopak mawar merah yang bertaburan di sekitarnya. Kemeja putih polos yang tidak terkancing seluruhnya, menampakkan dada putih semulus porselen sehingga sedikit memberi kesan seksi. Tapi begitu melihat wajah yang seolah terlelap itu, kesan seksi terbilas habis dengan ekspresi damai sang model yang bak malaikat tak berdosa.
"Yak! Tahan sebentar!" teriak seseorang di balik kamera-kamera yang bergantian menyala, menyinari ruangan putih itu dengan blitz yang menyilaukan mata. "Oke! Sekarang kau ganti dengan pakaian berikutnya. Setelah itu kita selesai dan kau bisa libur dua minggu!"
'Malaikat' itu bangkit dari tidurnya dan menerima uluran minum dari seorang staf. Sesekali ia menunduk dan membalas ucapan 'Terima kasih atas kerja samanya' pada staf-staf yang berpapasan saat ia melangkahkan kaki ke ruang ganti. Begitu tiba di depan pintu putih bertuliskan 'Sabaku Gaara', model itu tanpa basa-basi mendorongnya hingga terbuka dan melenggang masuk ke dalamnya.
Ada dua orang staf yang sedang mengobrol di depan meja rias. Seorang di antaranya langsung berdiri saat melihat Gaara. Dengan statusnya sebagai model kenamaan dan kesayangan fotografer andalan majalah fashion, sudah menjadi hal yang biasa bagi orang di sekitarnya untuk menghargainya bak dewa. Tanpa banyak bicara, orang itu membungkuk dan segera pergi.
"Ah! Akhirnya Gaara-sama muncul juga. Saya hampir mati bosan menunggu di sini. Untung saja Hiroshi-san datang menemani."
Seorang gadis berambut cokelat sebahu yang tadi sedang duduk langsung berdiri dan menghampiri Gaara. Sambil berceloteh, ia mengambilkan satu set pakaian ganti yang akan Gaara pakai tanpa menyadari kedutan samar di rahang sang model.
"Sabarlah sebentar lagi, Gaara-sama. ini yang terakhir, 'kan? Setelah itu Gaara-sama bisa istirahat dua minggu. Bukankah itu sangat menyenangkan?" tanyanya penuh semangat sambil mengulurkan tangan, meminta kemeja putih yang masih melekat di tubuh Gaara. "Loh?" tapi rupanya sang model diam saja tanpa ada niatan melepaskan kemeja itu.
"Gaara-sama, cepat buka kemejanya. Nanti jadi lama loh, pulangnya."
Sang model masih diam bahkan ikut memalingkan wajah dengan tangan bersedekap.
"Ada apa lagi, Gaara-sama?" gadis itu menghela napas sambil merubah posisinya menjadi berdiri di depan Gaara.
Melihat gelagat Gaara yang tidak kooperatif, akhirnya sang gadis berinisiatif membukakan kancing kemeja itu satu per satu. Melihat apa yang dilakukan gadis di depannya, Gaara tidak bicara apa-apa. Melainkan hanya menurunkan tangan ke masing-masing sisi tubuhnya untuk memudahkan gadis itu.
Putih mulus dengan kilau sedikit keringat yang memantulkan cahaya lampu. Benar-benar tubuh yang tanpa cela. Dengan lembut, gadis itu mengelap leher dan dada Gaara dengan handuk kecil sebelum memintanya memakai kemeja berwarna merah marun. Kali ini Gaara juga tak berniat bergerak sedikit pun untuk menerima uluran kemeja itu.
"Mou! Gaara-sama!" kesal gadis itu karena ia merasa Gaara mengerjainya.
"Apa?" Gaara balas bertanya dengan dingin. Sorot matanya membuat gadis itu ingin menciut saja. "Kerjakan tugasmu."
"Tugasku hanya menyiapkan pakaian dan aksesorinya saja! Bukannya membantu melepaskan kemeja dan memakaikannya!"
"Itu tugasmu sebagai pegawai part-time di sini," balas Gaara tenang. Dengan sengaja ia mengambil satu langkah lebih dekat sebelum membungkuk agar bibirnya sejajar dengan telinga gadis itu. "Sebagai pacarku, tugasmu melepaskan dan memakaikan aku baju-baju itu, Ma-tsu-ri."
Enggan tapi tidak bisa menolak, Matsuri akhirnya memakaikan kemeja sutra itu ke tubuh Gaara sementara mata sewarna jade milik pacarnya menatapnya penuh kepuasan.
"Untuk apa si Hiroshi itu berduaan denganmu di sini?"
"Dia hanya bertanya apa yang akan aku lakukan saat libur dua minggu nanti." Matsuri mendengus lelah menghadapi tabiat pacarnya yang suka seenaknya memanggil nama orang dengan kasar. Memang Gaara irit bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya kadang butuh disensor.
"Dia mengajakmu kencan?" selidik Gaara dengan mata menyipit.
"Tentu saja tidak!" Matsuri mengembungkan pipi. Ia sudah hampir selesai dengan kemeja Gaara. Karena celananya tidak harus diganti, ia hanya harus meminta Gaara memakai vest berwarna hitam yang menjadi pasangannya.
Terdengar suara ketukan di pintu diikuti sebuah teriakan. "Sudah selesai?"
"Sebentar lagi!" Matsuri balas berteriak sambil buru-buru menyambar vest dari gantungannya dan menyerahkannya pada Gaara. "Cepat pakai ini."
Gaara yang hanya menatap datar Matsuri membuat gadis itu mengerang kesal.
"Aku bersyukur kita libur dua minggu!" celetuknya sambil memakaikan vest itu. Yang sekali lagi tidak Matsuri sadari, ucapannya membuat kedutan lain muncul di rahang Gaara. Namun, kali ini sang model tidak membiarkan Matsuri begitu saja. Tanpa aba-aba, Gaara mendorong Matsuri hingga tubuh mungilnya terperangkap antara dirinya dan pintu.
"Senang, ya, tidak bertemu denganku selama dua minggu?" tanya Gaara dengan nada berbahaya. Sudah terlambat bagi Matsuri untuk meminta maaf saat Gaara sudah mengeluarkan nada bicaranya yang mengintimidasi itu.
"Gaara-kun! Vest-nya!" tangan Matsuri masih berusaha mengancingkan vest itu sementara Gaara malah menghalanginya.
"Jawab pertanyaanku."
"Gaara-kun!" Matsuri merutuki diri sendiri dengan apa yang terjadi sekarang. Bisa panjang urusan kalau ia nekat menjawab dan tidak sesuai dengan maunya Gaara. "Kita 'kan masih bisa bertemu di sekolah!"
Mata Gaara menyipit. "Maksudmu bertemu itu, saling tatap dalam jarak dua ratus meter?"
Mau bagaimana lagi, memangnya? Tanya Matsuri frustasi pada dirinya sendiri. "Fansmu tidak boleh tau kalau kau sudah punya pacar. Itu buruk untuk popularitasmu."
Gaara baru ingin membalas ucapan Matsuri saat ketukan lain terdengar.
"Ayo, cepat! Kalian akan libur loh setelah ini!"
Benar. Libur.
Tidak ada pekerjaan. Tidak ada lampu yang panas. Tidak ada berdiri di depan kamera dengan senyum palsu. Terdengar sangat menyenangkan seandainya hal itu tidak berarti bahwa ia akan terpisah dari Matsuri juga.
"Ayo dipakai ve—"
Gaara menepis tangan Matsuri, menahannya dengan genggaman erat sementara kepalanya merunduk, menjangkau bibir mungil Matsuri yang kebetulan sekali sedang terbuka. Dengan gerakan yang sedikit kasar, ia meraup bibir pacarnya dalam ciuman yang dalam. Matsuri mengerang dan menarik tangannya hingga terlepas. Tapi gadis itu masih mempertahankan ciuman mereka.
"Gaara—" erangan samat terdengar diiringi tarikan tangan Matsuri di vest-nya. Tapi Gaara mengabaikannya dan terus mencium Matsuri sambil memiringkan kepala agar ia bisa lebih dalam merasakan manis bibir sang pacar.
Sadar tidak bisa menolak dan hanya ada sedikit waktu sebelum mereka 'digerebek' karena terlalu lama, Matsuri membiarkan saja Gaara memonopoli bibirnya sementara ia bersusah payah mengancingkan vest dengan dua tangannya yang agak gemetar. Ia harus cepat karena lututnya mulai terasa seperti jeli. Belum lagi wajahnya yang terasa panas.
Deru napas Gaara sama cepatnya dengan Matsuri saat ia melepaskan ciumannya. Matsuri hanya bisa diam dan mencoba mengatur napasnya dan memeriksa apakah ia sudah benar mengancingkannya. Sulit sekali untuk melakukan hal itu saat ia tidak bisa melihat dengan jelas.
Gaara memberikan satu kecupan lagi, sedikit menghisap bibir bagian bawah Matsuri juga.
"Gaara, sudah!" Matsuri mengalihkan wajah, tapi Gaara menahannya dan mengecupnya lagi berkali-kali. "Nanti dilihat orang!"
"Sebentar lagi saja ..." Gaara memberikan satu ciuman dalam hingga Matsuri benar-benar kehilangan kekuatan kakinya, membuat Gaara harus melingkarkan tangannya di pinggang sang pacar jika tidak ingin Matsuri jatuh. "Aku tidak akan melihatmu sedekat ini dalam waktu dua minggu ... jadi sebentar lagi saja."
Mendengar permohonan Gaara, Matsuri hanya bisa menuruti dan akhirnya, mulai membalas ciuman Gaara.
[GaaMatsu Story—End]
.
.
.
.
Puluhan mobil polisi mengepung sebuah gedung terbengkalai di dekat perbatasan kota. Sirine di atas mobilnya berputar-putar, seolah memberi tahu sekelompok orang di dalam gedung bahwa mereka sudah terkepung. Di antara polisi-polisi berjaket anti peluru dengan helm melindungi kepala serta senapan siap di tangan, seorang wanita berkuncir empat maju dengan mikrofon di tangan.
"Kalian sudah dikepung! Keluar dengan tangan di atas kepala atau bertahan di sana dan kami akan merobohkan bangunan ini!"
Terdengar suara tembakan menyahuti ucapan wanita itu.
"Cih, keras kepala sekali." Dengan satu telunjuk, ia meminta ajudan yang berdiri tak jauh darinya untuk mendekat. "Tetap siaga sampai pasukan penembak jitu datang. Aku tidak mau ada yang lolos satu pun!"
"Siap!" jawab ajudannya sebelum bergegas melakukan tugasnya.
Satu ajudan lain mendekat dengan kertas laporan di tangan. "Komandan, menurut intel, mereka adalah anggota yang membelot dari Grup Nara. Mereka berniat bergabung dengan yakuza dari daerah lain. Hanya saja, syaratnya mereka harus membunuh salah satu petinggi Grup Nara."
"Grup Nara?" satu alis sang komandan wanita naik. Ia tidak asing dengan nama itu. "Lalu, siapa yang terbunuh?"
"Calon penerus Grup Nara yang masih SMA nyaris mati. Sekarang mereka juga pasti sedang menyiapkan hukuman yang pantas bagi orang-orang itu. Apa kita masih harus menangkap mereka?"
"Tentu saja! Mereka juga merampok bank dan membunuh satpamnya! Mereka harus dihukum!"
Ajudan itu meringis takut-takut. "Jumlah mereka mungkin sedikit, Komandan. Tapi mereka dari Grup Nara. Satu anggota mereka setara dengan lima orang anggota kita. Bukankah lebih baik kita bekerja sama dengan Grup Nara? Mereka tidak mungkin memberi ampun pada mereka."
"Bodoh!" Bentakkan itu membuat si ajudan semakin takut. "Untuk apa kita bekerja sama dengan kriminal?!"
"Tapi, mereka juga pasti akan dibunuh oleh orang-orang dari Grup Nara ..."
Mata komandannya melotot. "Mereka melakukan tindak kriminal di daerahku! Ini masalahku! Biarkan saja orang-orang itu mengurusi urusannya sendiri! Kalau mereka berani ikut campur, aku akan memenjarakan mereka juga!"
Satu kibasan tangan dan ajudan itu terbirit-birit pergi. Komandannya memang paling benci harus bekerja sama dengan kriminal, meski kadang terpaksa dilakukan jika itu satu-satunya jalan. Namun, kalau yang dibicarakan adalah Grup Nara, reaksinya berkali lipat lebih keras.
"Kalian! Tikus-tikus yang ada di dalam! Waktu kalian sepuluh menit sebelum pasukan penembak jitu datang dan membrondong kalian dari luar! Jadi luruskan pikiran bodoh kalian dan keluar sekarang juga!"
Kali ini tidak terdengar apa-apa. Sialan. Wanita itu kesal sekali menghabiskan malam sebelum akhir pekan dengan mengepung orang-orang keras kepala itu. Memang membujuk para kriminal itu tidak pernah mudah—siapa juga yang mau dipenjara, 'kan?—tapi ia melakukan sebisanya untuk mendapatkan mereka hidup-hidup. Sebersalah apapun seseorang, ia percaya masih ada kebaikan yang tersisa di dalam dirinya. Cara kejam seperti membunuh tanpa ampun sangat bertentangan dengan nuraninya. Makanya ia menolak keras opsi untuk bekerja sama dengan Grup Nara.
"Siap di posisi! Jangan ada yang bertindak sebelum kuizinkan!" teriaknya pada para polisi berbaju hitam-hitam. Ia tidak ingin mengambil resiko dengan menimbulkan huru-hara yang mungkin berakibat fatal. Berhasil memojokkan para penjahat itu di gedung ini saja sudah cukup bagus, tapi akan berbahaya jika mereka menyerang tanpa persiapan matang.
Tiba-tiba saja dari atas terdengar suara gemuruh kencang. Sekitar tiga helikopter terbang rendah di atas gedung. Dua di antaranya langsung menembakkan rudal yang langsung meruntuhkan bangunan tua itu. Angin yang kencang menghempas mobil-mobil tempat para polisi berlindung. Asap yang tebal perlahan naik dan mengaburkan pemandangan. Sekilas dalam gempita itu, mata sang komandan berhasil melihat lambang tanduk rusa di ekor helikopter yang terbang berputar-putar.
Mereka benar-benar bergerak sangat cepat. Sebelum ia dan para anggota polisinya menyadari, sekitar selusin mobil hitam muncul dan menerobos masuk hingga ke dalam gedung. Suara rentetan senjata api terdengar dari dalam gedung yang mulai rubuh perlahan.
"Mereka gila!" teriak salah seorang polisi.
Wanita itu mengangguk tanpa sadar. Benar. Gila sekali. Hanya untuk mengalihkan dan menahan pasukannya, mereka mengerahkan tiga helikopter yang membuat jangkauan pandang mereka menyempit. Lalu, jelas-jelas gedung itu bisa rubuh kapan saja akibat serangan barusan, namun, tanpa takut sedikit pun, mereka tetap menyerbu ke dalam.
Suara tembakan terus terdengar. Wanita itu bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam. Sayup terdengar suara jeritan di antara gemuruh puing yang hancur membentur tanah.
"Komandan! Apa yang harus kita lakukan?" tanya salah seorang bawahannya.
Wanita itu memejamkan mata. Asap debu dari gedung itu hanya sedikit berkurang. Ia tidak bisa memaksakan pasukannya masuk sementara sedang terjadi pertarungan di dalam. Dengan rahang yang mengatup kencang, ia menggeram kesal. "Tahan. Jangan bubarkan formasi. Tetap di tempat kalian!"
"Pilihan yang bijak."
Cepat, kepala sang komandan menoleh dan mendapati seorang pemuda yang masih memakai gakuran berdiri tak jauh darinya. Rambutnya diikat tinggi melawan grafitasi. Di tengah-tengah keributan dan kepungan anggotanya yang tersadar akan kehadiran orang asing, pemuda itu malah menguap lebar. Seolah-olah posisinya saat ini tidaklah berbahaya.
"Nara Shikamaru." Sang komandan wanita mendesis seperti ular. Matanya menatap tajam pada pemuda yang kini memamerkan seringai tipisnya.
"Halo Komandan Sabaku. Lama sekali kita tidak bertemu." Shikamaru membalas santai. "Apa minggu ini pun kau sibuk? Bagaimana kalau kita kencan? Ini sudah ajakanku yang ketiga. Setidaknya kau harus menerimanya, sekedar bersikap sopan."
"Pergi kau setan kecil!" Temari menarik keluar pistolnya dan menodongkannya pada wajah menyebalkan bocah nanas di depannya.
"Komandan!"
"Jangan Komandan!"
Dibanding khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh penerus Grup Nara tersebut, seluruh anggota polisi yang tadinya masih terfokus pada gedung di depan malah berteriak agar komandannya menahan diri. Bisa gawat kalau komandannya membunuh putra semata wayang Nara Shikaku itu. Bisa gempar kota ini.
"Ah, anggotamu mengkhawatirkanku. Baik sekali." Shikamaru pura-pura tersentuh.
"Diam kau! Aku akan benar-benar menembakmu kalau kau bicara hal bodoh sekali lagi!" gertak Temari.
"Apa ini? Aku datang dengan damai, kok."
"Damai apanya? Kau mengacaukan operasiku, tau!" kata Temari galak, pegangan di pistolnya tidak mengendur sama sekali.
Sesaat, Shikamaru terdiam sambil memainkan sesuatu di salah satu saku celananya sebelum dengan cepat berpindah ke sebelah Temari dengan kecepatan yang mengagumkan. Temari bahkan tidak bisa melawan saat Shikamaru menarik pistolnya dan mempretelinya menjadi beberapa bagian.
Seolah belum cukup, Shikamaru merangkul Temari dari belakang dan meletakkan dagunya di salah satu bahu sang komandan. Satu pasukan membeku melihat pemandangan di hadapan mereka.
"Dengar," nada bicara Shikamaru tiba-tiba terdengar begitu serius. Bisikannya cukup keras untuk didengar Temari, tapi tidak dengan bawahannya. "Anggota bodohmu tidak akan bisa melukai apalagi menangkap mereka. Jadi, aku dengan baik hati datang menolong. Lagipula, aku tidak ingin pacarku terluka. Makanya, kau diam saja, hm? Cukup balas kebaikanku dengan datang ke rumahku besok siang. Mengerti?"
Temari mengangkat satu kakinya untuk menginjak kaki Shikamaru, tapi dengan cepat pemuda itu mundur. Sikutan dari Temari pun berhasil dihindarinya.
"Sepertinya sudah selesai." Shikamaru menatap jauh ke mobil-mobil hitam yang mulai keluar dari dalam gedung. "Bilang saja pada atasanmu bahwa aku datang menolong."
Angin kencang tiba-tiba berhembus dan sebuah tali turun dari atas. Sebuah helikopter rupanya terbang rendah di atas mereka.
"Aku harus pergi. Ada PR yang harus kukerjakan." Shikamaru mengangguk sekilas. "Ah, jangan lupa periksa kantong celanamu," tambahnya.
Shikamaru melilitkan tali itu di telapak tangannya. Dengan cepat tubuhnya tertarik ke atas, masuk ke dalam tubuh helikopter miliknya yang segera membawanya pergi. Temari tidak bisa mengehentikan kekesalannya. Ia menyambar salah satu senapan milik bawahannya dan menembak ke arah helikopter itu. Tentu saja meleset.
"Bocah sialan!" teriak Temari yang tenggelam oleh suara bangun rubuh di belakangnya.
Tak lama kemudian pasukan penembak jitu datang dan terheran-heran dengan kondisi di lapangan. Temari terlalu emosi untuk diajak bicara hingga salah satu bawahannya lah yang inisiatif menceritakan apa yang terjadi. Diiringi tatapan semua orang—termasuk tatapan para anggota penembak jitu yang masih terpaku akibat mendengar ceritanya—Temari masuk ke mobil polisinya dan langsung tancap gas dengan kecepatan penuh.
Begitu ia mulai memasuki kawasan pusat kota, ia teringat dengan pesan Shikamaru dan meraba-raba celananya. Lalu dari salah satu saku celananya ia menarik sesuatu. Itu pasti yang Shikamaru sembunyikan di sakunya sebelum memasukkannya ke saku Temari saat pemuda itu merangkulnya.
Sebuah kalung emas putih. Liontinnya berbentuk tanduk rusa seperti lambang Grup Nara. Seolah dengan memakainya, menandakan bahwa Temari adalah milik Nara Shikamaru.
Temari menatap kalung itu yang berkilauan akibat memantulkan cahaya.
"Dasar bodoh."
[ShikaTema Story—End]
.
.
.
.
A/N : Nyahahaha. Tolong jangan timpuk saya, ya? Maaf karena muncul dengan cerita baru yang bukan sequel cerita apapun. Tiba-tiba aja kepingin buat setelah sebulan uring-uringan akibat stuck ngerjain sequel Bed Time Stories. Yang No Exit juga belum update, yang Quit Playing Games With My Heart juga (padahal tinggal dikit lagi tamat), dan fic ultah juga belum dapet wangsit buat diterusin.
Oke fix. Saya keterlaluan.
Saya bahkan berpikir buat sequel untuk fic Guarantee of Love tapi untungnya bisa ditahan. HAHAHAHA
Oke. Kembali ke cerita.
Terima kasih buat yang sudah baca sampai abis. Ini cerita yang agak berbeda dari fic saya sebelumnya. Ini pertama kalinya saya buat kumpulan drabble meski secara keseluruhan fic ini panjangnya 5,5k word. Dari semuanya, cuma GaaMatsu sama ShikaTema yang panjangnya 1k sementara yang lain cuma 700 word doang.
Cerita pertama, tentang Neji dan Tenten. Hubungannya rahasia soalnya pacaran dengan atasan di tempat kerja itu 'kan tabu. Sebagai cerita pembuka, cukup singkat ya? Padahal saya shipper mereka.
Cerita kedua, NaruHina. Menurut saya feelnya lumayan dalem euy. Cinta murid SMA dengan KEPALA SEKOLAHNYA. Kurang greget apalagi! Mau ketemuan aja mesti muter-muter dulu biar gak kepergok orang lain (ini saya tiru dari film Thailan yang ATM Error. Ada yang pernah nonton? Lucu banget lohhh~~~)
Cerita ketiga, SaIno. Ini juga lumayan baper ceritanya. Mereka saudaraan, meski bukan sedarah. Sai cuma anak angkat tapi rupanya saling jatuh cinta sama anak kandung keluarga Yamanaka. Repot urusan kalo mau nikah ntar. Hiks.
Cerita keempat, SasuSaku. Entah kenapa Sasuke selalu keren kalo pake seragam. Jadinya dia tak jadiin sopir keceh yang jatuh kasihan sama nonanya yang mentalnya stuck di usia anak SD kalo udah berdua aja sama dia. Dan yap, dia juga akhirnya jatuh cinta setelah awalnya gak bisa ngacuhin Sakura. Ternyata Sasuke masih punya kokoro di sini.
Cerita kelima, GaaMatsu. Err. Apa ya? Maaf untuk deskripsi adegan itunya. Biasanya saya gak ngejelasin sedetail itu (segitu udah detail loh menurut saya) jadi kalo aneh, maklumin aja. Jadi ini cerita antara model terkenal yang terpaksa pura-pura gak kenal pacarnya padahal mereka satu sekolah. Makanya Gaara gak terlalu suka libur. Ini lebih ke arah roman dibanding hurt kaya cerita-cerita sebelumnya.
Terakhir, ShikaTema. Saya suka deh Shikamaru jadi bad boy di sini. Mungkin kesannya OOC, tapi saya suka :3 cinta anak penerus grup yakuza sama komandan wanita yang gagah. (Tolong maafkan saya soal kekacauan pemberian pangkat di sini, saya tahu saya kurang riset.)
Oke, mungkin segitu aja. Doain saya gak mandek lagi nulisnya ya? Saya juga maunya nerusin cerita yang lain. Hiks.
Oh iya. Jangan lupa pilih couple mana favorit kalian. Saya? NejiTen lah~ saya gak suka yang sedih-sedih amat *lirik NaruHina* BTW, mereka satu SMA semua loh.
Satu lagi, cerita ini bisa jadi MC kalo saya lagi senggang karena ini cuma cerita senang-senang XD tentu aja bentuknya kumpulan drabble.
PS : maaf lagi-lagi AN-nya kepanjangan XDD
Any question? Leave a review or PM me!
Jaaa naaaa~~~
