"Ah, Sasuke. Kalau aku mati, apa yang akan kau lakukan?"
きらきら
.
[ shining, sparkle ]
Naruto © Masashi Kishimoto.
Tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini.
.
Ia menatap Kakaknya yang kini terbaring di ranjang, mata hitam itu terpejam sepenuhnya dan badannya yang kurus kering tertutup selimut tebal.
Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka pintu kamar adalah sosok kakaknya yang tengah tertidur.
Ia terdiam, menggenggam gagang pintu yang berkarat dengan tangan yamg berkeringat, sebelum kemudian tersadar lagi dari lamunannya dan menutup pintu tanpa suara. Ia tak pernah melihat kakaknya begitu rapuh seperti ini.
Sosok yang terbaring di atas tempat tidur itu tampak seperti hantu dari masa lalu baginya.
Ia meninggalkan Suigetsu dan Karin tanpa perpisahan yang berat. Mereka berdua hanya menerima penjelasan kalau misi untuk Taka sudah selesai.
Semudah itu.
Suigetsu, yang menyeringai lebar, menerima perpisahan itu dengan hati yang ringan dan mata berbinar-binar. Ia mengatakan kalau ia akan melanjutkan pencariannya terhadap Tujuh Pedang Ninja setelah ini. Karin, yang matanya tampak berkaca-kaca dan tampak enggan melepas dirinya, akhirnya memutuskan kalau ia akan ikut dengan Suigetsu, mengatakan bahwa ia tak akan membiarkan si bodoh itu melakukan hal-hal konyol dan mati cepat.
Mereka berpisah di bawah sinar matahari yang cerah setelah itu.
Ia memandangi sosok dua rekan setimnya itu berjalan menjauh disertai pertengkaran heboh, sosok kakaknya yang tampak serupa mayat tengah terbaring di pangkuannya.
Ia menerima kenyataan sesungguhnya di balik pembantaian klan Uchiha, yang diceritakan Madara seolah tengah memberitahukan dongeng pengantar tidur, dengan tangan terkepal dan mata yang berair deras.
Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia menangis.
Kakaknya adalah seorang pahlawan. Sejak awal, ia tak pernah membenci adiknya. Sejak awal, kakaknya tetaplah seorang yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri; membiarkan hidupnya dikorbankan untuk orang lain, untuk adiknya, untuk desa.
Kakaknya melakukan semua itu untuknya.
Kakaknya adalah pembohong terbaik yang pernah ditemuinya.
.
Dengan mata yang berkaca-kaca, ia segera keluar dari gua itu, mengabaikan Madara yang memanggil-manggilnya; dan kembali ke tempat pertarungan tadi untuk mengambil mayat kakaknya.
Jika selama ini kakaknya adalah seorang pahlawan tak bernama, maka sekaranglah gilirannya untuk memberikan penghormatan terakhir padanya. Ia akan menguburkan mayat kakaknya dengan pantas dan memberinya perpisahan sebagai seorang adik.
.
Sebagai keluarga.
Ketika ia membaringkan tubuh kakaknya itu di bawah pohon, ia mendapati bahwa masih ada denyut lemah di nadinya.
Kakaknya masih bernapas.
Dengan panik, ia segera membawa tubuh kakaknya yang sekarat itu ke desa terdekat, menemui ninja medis terbaik yang ada di rumah sakit di desa itu, dan mengenainya dengan genjutsu; untuk menyembuhkan kakaknya tanpa menyadari apa yang tengah dilakukannya.
Ia keluar dari rumah sakit itu tanpa menimbulkan kecurigaan, membawa tubuh kakaknya yang walaupun napasnya masih satu-satu, wajah pucat pemuda itu mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Kakaknya terbangun di atas tempat tidur di kamar penginapan yang ditempatinya, dua hari setelah ia membawanya ke rumah sakit.
Pemuda itu, yang pipinya tampak cekung dan matanya serupa mayat yang dibangkitkan begitu saja dari pemakaman, menatapnya tanpa suara selama beberapa detik. Seolah baru pertama kali melihat dirinya.
Ia, yang selama dua hari itu tak pernah beranjak dari samping ranjang kakaknya dan selalu menggenggam tangan dinginnya, tak bisa menahan luapan emosi begitu melihat sepasang mata hitam itu kembali terbuka lagi.
"N-Nii...san..."
Waktu seolah berhenti ketika kakaknya mendapati jari-jarinya yang tengah memegangi tangan pemuda itu, dan membalasnya dengan menggenggam jari-jarinya lembut; menyampaikan kasih sayang yang tak terucapkan.
Ia mendapati bahwa Kakaknya terlalu lemah untuk berbicara begitu dirinya tersadar lagi.
Tanpa melepaskan genggaman tangannya, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca dan senyuman kecil di wajahnya; menggumamkan "tidak apa-apa, Nii-san, aku mengerti" dengan suara serak dan sorot lembut di matanya.
Kakaknya memberikan isyarat bahwa ia senang bisa bertemu dengannya lagi dengan matanya, lalu mengatakan bahwa ia minta maaf lewat sorot mati di matanya.
Ia meremas tangan kakaknya lembut, mengatakan 'kau tidak bersalah' dengan suara lirih, lalu menambahkan 'jangan minta maaf' dengan nada setengah memohon.
Kakaknya, yang menatapnya dengan sorot terkejut, hanya memandanginya lama tanpa suara, sebelum kemudian memberinya seulas senyum dan kembali lagi dalam tidurnya.
Sejenak, ia khawatir bahwa kakaknya akan mati begitu ia tiba di penginapan.
Ia membayar onigiri yang dibelinya terburu-buru dengan uang yang didapatkannya dari penyimpanan milik Orochimaru sebelum ia meninggalkan markas Sannin ular itu—dan bergegas kembali ke penginapan dengan panik.
Lalu sebuah pikiran yang mengerikan muncul di kepalanya.
Itachi... tidak akan bunuh diri kan?
Ia mengenal betul kakaknya yang tak pernah ingin merepotkan orang lain, yang mudah merasa bersalah. Bagaimana kalau ia mengakhiri hidupnya karena tidak ingin membebani Sasuke dengan mengurus dirinya yang sekarat? Bagaimana kalau ia membuang nyawanya begitu saja karena tenggelam dalam rasa bersalah yang begitu dalam?
Ia menggenggam bungkusan berisi onigiri yang dibelinya dengan tangan yang terasa dingin, lalu berlari ke penginapan.
Sore telah tiba ketika kakaknya terbangun lagi dari tidurnya.
Ia, yang baru pulang dari membeli makan siang untuk kakaknya, menghampirinya untuk mengecek keadaannya, dan rasa lega memenuhi dadanya ketika mendapati bahwa pemuda itu telah terbangun.
Kakaknya... masih hidup.
"Ah, Nii-san," ia tersenyum, lalu menaruh makanan yang dibelinya di meja. "Aku membawakan onigiri untukmu."
Kakaknya hanya menatapnya tanpa suara, sebelum kemudian mata hitam itu tersenyum hangat. Ia memberikan isyarat 'terima kasih' lewat tatapan matanya.
.
Ia tak pernah merasa lega lebih dari ini sebelumnya.
Sore itu, ia menyuapi kakaknya makan siang dengan hati yang terasa ringan. Begitu ia mendapati bahwa pemuda itu masih terlalu lemah untuk mengangkat kepalanya dan mengambil makanannya sendiri, ia menyangga kepala kakaknya itu dengan bantal dan menyuapinya hati-hati tanpa memedulikan tatapan bersalah yang diberikan oleh kakaknya itu
Kau telah melakukan segalanya untukku. Izinkan aku membalasmu sekali ini saja.
Kakaknya, yang tak melepaskan tatapan bersalah yang diberikan padanya, mengunyah onigiri-nya dengan perlahan. Sejenak ia terpikir untuk memberikan kakaknya bubur saja, namun tak jadi melakukannya karena tak mau pemuda itu protes dan akhirnya menolak untuk makan.
Begitu onigiri-nya telah habis, ia beranjak dari kursi untuk mengambilkan kakaknya air hangat. Ia menyangga kepala kakaknya lebih tinggi dan membantu mengangkat gelas itu ke mulutnya.
Kakaknya meminum air itu perlahan, namun dua detik kemudian mengeluarkan suara tersedak.
Ia terkejut sesaat, dan segera menyingkirkan gelas itu dari mulut kakaknya dengan terburu-buru.
"Nii-san, maaf!"
Tapi kakaknya tak marah sama sekali. Pemuda itu hanya menatapnya kalem, sebelum memberikan senyuman yang mengisyaratkan 'tidak apa-apa, Sasuke' lewat mata hitamnya yang sayu.
Ia mengambil saputangan dari lemari, mengelap air yang mengenai mulut dan dagu kakaknya dengan perlahan. Kakaknya masih terjaga selama hampir setengah jam setelah itu, sebelum kemudian tenggelam kembali dalam tidurnya.
Malam itu, ia tetap duduk di samping ranjang kakaknya hingga tertidur tanpa sadar ketika hari menjelang pagi.
Ketika ia terbangun, hal pertama yang dilihatnya adalah mata kakaknya yang tengah menatapnya tanpa berkedip.
"Nii-san," ia menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk dengan punggung tangan, "ohayou".
Kakaknya mengedipkan matanya sekali, seakan merespon panggilannya.
"Bagaimana..." ia terdiam sebentar, lalu memutuskan untuk mengubah kalimatnya. "Apa yang Nii-san rasakan sekarang?"
Kakaknya mengedip dua kali pelan-pelan, sebelum kemudian memberikan seulas senyum hangat dengan pandangan matanya, seolah mengatakan; 'aku baik-baik saja, Sasuke'.
Ia menggenggam tangan kakaknya perlahan, lalu membalas senyumnya. "Apa ada hal yang ingin Nii-san sampaikan?"
Kakaknya menatapnya lama selama beberapa detik, sebelum kemudian memberikan anggukan kecil.
Ia menatap pemuda itu dengan wajah yang lebih cerah. "Baiklah", ia bangkit dari duduknya untuk mengambil sesuatu. "Tunggu sebentar, Nii-san."
Ia memperhatikan kakaknya menggoreskan kata-kata di kertas yang diberikannya dengan tangan gemetaran.
Dua menit sudah berlalu ketika akhirnya kakaknya meletakkan pena, dan memberikan kertas yang ditulisnya padanya.
Hal pertama yang dibacanya ketika melihat huruf-huruf yang ditulis miring itu adalah; "bukan itachi?"
Ia mengangkat wajahnya, lalu memandangi kakaknya bingung. "Nii-san?"
Kakaknya hanya memberinya anggukan kecil.
Sejurus kemudian, ia mengerti. "Aku tidak akan memanggilmu dengan nama lagi," ia berkata pelan, "karena... itu tidak sopan." Ia menyelesaikan kalimatnya dengan pandangan menyesal. "Maaf aku pernah bersikap tidak sopan pada Nii-san."
Kakaknya hanya menatapnya diam tanpa berkedip, sebelum kemudian ia menyadari kalau mata hitam itu tengah menyiratkan sorot geli.
"Jangan tertawa, Nii-san," ia melempar pandangannya ke samping, rona merah muncul di pipinya yang pucat. "Ehm... ada lagi yang ingin Nii-san katakan?"
Kakaknya mengangguk.
Ia menyerahkan lagi kertas itu padanya, lalu menunggu hingga kakaknya menyelesaikan tulisannya.
'Kau tidak membenciku, Sasuke?'
Ia menatap kertas itu dengan terkejut, lalu menghela napas panjang keras-keras. "Tentu saja tidak, Nii-san!" ia menjawab dengan tegas. Sejenak kemudian, ia terdiam dan memandangi kakaknya lekat-lekat.
"Aku.. sudah tahu semuanya, Nii-san."
Kakaknya hanya memandanginya lama, dan ia lalu menyadari bahwa sepasang mata hitam itu tampak berkaca-kaca.
Ia terpaku sejenak, sebelum kemudian menggenggam tangan kakaknya yang dingin dan meletakkan kepalanya di dada kakaknya perlahan.
"Aku tidak membencimu, Nii-san. Sungguh. Jadi jangan lagi mengatakan hal itu," tukasnya serius, suaranya terdengar sayup-sayup karena terhalang oleh selimut yang menutupi dada kakaknya.
.
Dua menit setelahnya, ia mendapati bahwa matanya perlahan memburam dan selimut di dada kakaknya terasa basah; dan ia menyadari kalau ia tengah menangis.
Dalam hening, ia merasakan jari-jari kakaknya yang dingin mengusap rambutnya perlahan, membuatnya merasa aman untuk menumpahkan emosinya; dan di atas dada kakaknya, ia terisak tanpa suara.
.
.
Bersambung.
[ きらきら ]
