Sudah semestinya ketika anak semata wayang harus menjadi anak yang penurut. Meski kedengarannya memaksa. Menjadi yang sendiri tak ada saudara lain. Keberadaannya pun menjadi sebuah persaingan sengit antara pemiliknya. Perebutan hak, siapa yang seharusnya memiliki. Bersikap manja seolah hanya ia yang dibutuhkan pun tak benar. Apa lagi jika harus terang-terangan menjadi seorang pemilih atas suatu hal yang dirasa tak berguna. Akan menjadi beban hati diri sendiri maupun orang lain.

Gadis bermata tak begitu lebar mengenakan rok mini denim dan kaos polos putih bertulis Seoul, berambut lurus sedikit poni penutup jidat yang sebenarnya biasa saja tak pula lebar. Menggenggam spidol warna merah, mengukir kertas dihadapannya. Sesekali obsidian coklatnya mengawang keatas. Kaki mungilnya mengayun ke depan ke belakang. Kursi yang ia duduki sebenernya sudah rendah, namun entah mengapa kaki itu dapat berayun mengambang tanpa menapak dipermukaan lantai. Ia memang bukan gadis bertubuh tinggi, ia hanya gadis mungil yang bertinggi sedang. Ia gigit ujung atas spidolnya, berdiam sebentar berpikir sesuatu, lalu mendesis kecil dan menulis sesuatu lagi. Begitu sampai waktu yang ia gunakan untuk kegiatan itu sudah melampaui satu jam. Rupanya ia belum bosan melakukannya, hingga kegiatan itu membuat tenggorokannya kering. Ia telan liurnya sediri beberapa kali. Mengulur waktu untuknya beranjak dari kesibukan itu. Ia begitu malas berjalan untuk mengambil barang seteguk air untuk menyegarkan kerongkongannya. Baginya saat yang ia gunakan sekarang adalah saat brilian bagi otaknya yang tak bisa dilewatkan. Tinggal sedikit lagi. Batinnnya berujar. Tangannya bergerak lebih semangat. Huruf demi huruf angka demi angka. Pergerakan tangan yang mulai melebar membuat meja yang ia pakai terlihat mengecil. Tak sengaja ia menjatuhkan tipe-x yang diam sejak ia memulai kesibukannya tadi.

"Aish", mulutnya mengeluh kecil.

Ia bungkukan badannya tanpa bergeser sedikitpun dari duduknya. Ia rengkuh susah payah tipe-x berbentuk lambang love yang jatuh tepat dibawah meja agak depan. Tak tau lem super jenis apa yang ada di bokongnya saat ini. Hingga ia malas untuk beranjak sedikit atau sebentar saja bergerak dari kursi itu, atau memang kursi yang ia tempati sekarang sangat nyaman bak kursi raja. Lengan itu sudah menjulur kedepan seolah memanjang beberapa senti dari ukuran seharusnya. Tetapi tipe-x itu belum teraih jua. Tak hanya tangan, kali ini badan mungil itu mulai berupaya menjulur kedepan , dan kepalanya sudah benar benar berada di bawah meja. Namun tiba-tiba suara hentakan langkah kaki yang mendekat membuat hati dan tubuhnya menciut. Ia lupakan begitu saja apa yang ia lakukan saat itu. Menarik tubuhnya kembali dari bawah meja, dan segera mengambil posisi sempurna yang masuk akal. Belum sempat posisinya berubah ke semula. Terdengar gesekan permukaan kertas dan permukaan meja menepi ditelinga yang tertutup rambut itu.

Sret.

"Hmmm rencana macam apa lagi yang sekarang akan kamu lakukan?", terdengar suara wanita yang lebih dewasa darinya menyusul suara gesekan itu.

"Ah, eomma, bisakah mengetuk pintu dulu sebelum masuk kekamar anak gadismu ini?", gadis itu menjawab berat masih dalam posisi pergantian tubuhnya yang masih mebungkuk dibawah meja ke posisi selayaknya orang duduk dikursi. Raut mukanya seketika berubah masam ketika beradu dengan muka Eommanya yang menegang.

"Ini apa lagi?, tanya sang eomma sambil menggoyangkan kertas di genggammnya dengan mata yang belum beralih dari mata coklat dihadapannya.

"Itu hanya perhitungan keuanganku bulan ini, ayolah jangan curiga kepadaku", lawan gadis itu gusar.

"Hmm perhitungan keuanganmu bulan ini?, budget perpanjangan paspor, budget pembelian tiket pesawat jakarta-Seoul, budget transportasi selama di Seoul?, apa ini laporan keuanganmu bulan ini?", tanya eommanya panjang lebar dengan picingan mata yang mematikan.

"Lalu apa yang aneh dengan semua itu eomma?, aku memang benar-benar sedang memperhitungkannya, aku tak akan membebanimu", ujarnya sedikit cuek.

"Lalu uang ini kamu akan dapatkan dari mana?", dengan nada sedikit menurun.

"Tentu saja dari Appa, aku akan mengirimkan catatan anggaran itu kepada Appa, dan Appa akan mengirimiku sejumlah uang seperti yang sudah kutulis", jawab gadis itu santai seraya menyandarkan punggungnya lebih nyaman ke sandaran kursi.

"Apa kamu bilang?, berapa kali eomma katakan, Appamu tak akan mampu membiayaimu seperti eomma, dan kamu akan seterusnya bersama eomma di Indonesia, tidak ada Seoul, dan lupakan keinginanmu untuk tinggal bersama Appamu, lebih baik konsentrasilah pada tes SNMPTNmu sebentar lagi, jika kamu bersama Eomma, pendidikan setinggi yang kamu mau, Eomma akan menurutinya".

"Eomma", gadis itu mulai menundukkan kepalanya sendu.

Sang Eomma masih dengan posisi awal datang, belum juga tergoyahkan oleh alasan sang anak. Rasa emosi yang bercampur dengan kekecewaan melebur jadi satu dalam hatinya. Rasa sayang yang teramat dalam kepada sang anak, rasa benci yang membumbung tinggi dengan mantan suaminya, dan rasa kecewa kepada anak yang selalu memikirkan sang Ayah. Bukan alasan tentang uang semata, namun ada kekhawatiran yang tak bisa diungkapkan menjadi pertimbangannya. Ia bukan ibu yang kejam, yang merenggut masa-masa harmonis anak dan Ayah. Tapi ia merasa tau mana yang terbaik untuk anaknya. Lapisan pintu hatinya tak pernah terketuk oleh apapun sejak perceraian itu. Bukan pula karena egois yang membuat keangkuhan hatinya membelenggu. Karena toh sejak awal hak asuh anaknya sudah berada ditangannya. Dan itu sudah ketetapan hukum. Maka ia tak akan pernah sedikitpun membuang-buang kesempatan yang memang layak ia miliki.

Ia rubah posisinya semula. Ia lirik ranjang tidur dibelakangnya, dimana posisinya memang paling dekat meja belajar anaknya. Ia dudukkan tubuhnya nyaman dan menyilangkan kedua kakinya. Kertas itu, tentu saja masih berada di genggamannya. Tatapan sengit namun tetap penuh harap kepada sang anak masih tergambar di mukanya yang menua. Kilatan permohonan yang teramat terukir di kedua binar matanya.

"Bahagialah bersama eomma saja, percaya lah padaku Nara, Eomma tak akan mengecewakanmu", mohon sang Eomma lembut.

"Eomma, bukankah Eomma sudah mengecewakanku?, perceraian itu, perpisahanku dengan Appa, itu sudah membuatku kecewa, tak masalah bagiku jika aku harus tinggal bersama Eomma karena Eomma adalah Eommaku, tapi Appa juga Appaku, aku ingin bertemu dengannya, aku tak akan meninggalkan Eomma", ujar Nara lebih lembut disusul rona muka yang menyedih.

Wanita itu bahkan tak bisa berucap lebih lagi. Apa yang dikatakan sang anak memang benar adanya. Apakah ia pernah berpikir perasaan anaknnya dua tahun yang lalu. Betapa hatinya hancur ketika suara ketukan palu sidang perceraiannya menggema diruangan. Ia bisa saja lega dengan hal itu, karena permasalahannya dengan mantan suaminya usai. Tapi apakah yang di rasakan anaknya serupa dengannya?, dan apa ia bisa memahami itu?.

Flash back On

Saat itu Nara, panggilan pendek dari nama panjangnya Kim Nara marga yang diperoleh dari sang Appa, sedang mengikuti tes kenaikan kelas. Tes yang dianggap penting tentunya untuk nasib pendidikan setiap siswa. Nara masih ingat ketika ia harus menyalin kembali tulisannya pada lembar jawaban baru hingga tiga kali. Satu lembar pertama ia sudah menulisnya hingga hampir separuh, namun lembar itu begitu saja melembab, basah, lalu robek. Air matanya jatuh tak bisa terbendung ketika ia mengingat sidang perceraian Eomma dan Appanya sore nanti seusai tes. Lalu lembar kedua lagi-lagi ia sudah menyalinnya hampir separuh, pikirannya berkecamuk, ada benci disana ada marah membuncah, ia coret membabibuta lembaran itu hingga robek tak terbaca. Dan tiba lembar yang ketiga, ia mulai menata hatinya, mebuatnya serileks mungkin, menenangkan diri sesanggupnya. Namun apa lagi, pikirannya tak bisa mengindar dari perceraian itu, tak berhasil ia mengupayakannya, perasaannya sudah terlanjur kelu, hancur hatinya menggerakkan tangannya untuk meremas lembar jawaban itu hingga lusuh. Dan akhirnya tes yang susah payah ia jalani tak mendapatkan keberhasilan. Ia tinggalkan tes itu begitu saja dan tak menggubris tatapan-tatapan menghakimi teman sekelasnya. Ia tak akan takut omelan dan cacian Appa atau Eommanya karena kegagalan itu, tentu ia akan menyalahkan perceraian itu sebagai gantinya. Alibi yang tepat dirasa, meski alasan itu tak setimpal dengan apa yang didapatnya.

Sore itu nampak cerah, hawa musim panas terasa hingga ke sanubari, langit Seoul pun seolah memberi semangat bagi makhluk Tuhan yang bermasalah. Cerah cuaca nyatanya tak mampu menyegarkan hatinya yang tercemar, tercemar oleh kegundahan yang tiada henti mengelilingi benaknya. Takut, benci, sedih, marah, bercampur aduk menjadi satu. Hal apapun yang ada disekelilingnya tak ia hiraukan. Kaki kecilnya melangkah berat menuju sebuah ruangan, dimana ruangan itu yang akan menjadi saksi perpisahan dirinya dengan salah satu kedua orang tuanya. Tentu saja, jika palu perceraian telah diketuk, perpisahan pun akan menyambut, pengumuman akan hak asuh anak akan segera diumumkan, hingga ia akan ikut dengan salah satunya, dan berpisah dengan salah satunya. Ia hampiri sebuah kursi dideretan paling belakang, mendudukkan tubuhnya dan mulai bersandar disandarannya, bebannya begitu berat kali ini. Ia berdecih pelan, "bahkan kursi ini yang menopangnya dari luka hatinya". Tak ada yang ia pikirkan, percuma dipikirkanpun terlalu menyedihkan, ia tak ingin memihak pada siapapun, tak mau memilih dari keduanya. Yang ia inginkan masalah itu segera usai dari hadapannya, dan ia akan mengikuti satu diantara mereka. Itu tak masalah. Bahkan hatinya pun meyakinkan bahwa perpisahan tak mengubah apapun, karena mereka masih Appa dan Eommanya dalam status sesunggguhnya.

Hatinya mencelos lunglai, air matanya pun lolos berurai. Appa dan Eommanya benar-benar telah berpisah sah secara hukum. Tak ada alasan apapun untuk menyatukannya kembali. Tak tau siapa yang patut disalahkan. Belum sempat ia menyeka air matanya, pengumuman hak asuh pun di umumkan. Entah bahagia, entah harus berontak, entah harus berterimakasih pada hakim dan jaksa didepannya. Setidaknya pilihan itu cukup membantunya agar tak memihak pada siapapun.

Sang Eomma yang resmi mendapatkan hak itu menghambur memeluk sang anak erat. Seolah memberi kode pada sang mantan suami bahwa orang yang ia peluk sekarang adalah miliknya seorang. Tak ada komentar apapun terucap dari bibir Nara. Ia tak tau ucapan apa yang pantas untuk perpisahan kedua orang tuanya.

"Aku akan kembali ke Indonesia, Nara akan ikut denganku, kami akan tinggal disana bersama, tak usah kawatir dengannya", ujar sang Eomma kepada mantan suaminya dengan terus menggandeng erat lengan sang anak.

Lelaki itu tak membalasnya, hanya mengerutkan kening dan menarik bibirnya yang lebih mirip seringai. Lalu berjalan mendekat ke arah Nara yang terus diam sejak tadi, mengusap kepalanya lembut, dan menyeka sisa-sisa air mata yang menempel di pipinya.

"Jadilah anak yang penurut, belajarlah yang rajin, dan jaga eommamu", titah singkat dari sang Appa yang diakhiri kecupan hangat dikeningnya lalu berlalu pergi.

Flash back end

.

.

.

"Eomma, aku ingin melanjutkan kuliah di Korea, aku ingi kembali ke Seoul, aku.."

Belum sempat Nara melanjutkan kata-katanya, Eommanya sudah bangkit begitu gesit. Guratan kemarahan tergambar jelas di wajah cantik Eommanya. Membuat Nara mengatupkan bibirnya rapat tak bercelah.

"Kamu akan tetap disini bersama Eomma!", tegas sang Eomma dan melangkah pergi meninggalkan Nara yang tertegun.

Namun hanya beberapa jengkal, Eommaya kembali membalikan badan dan berucap kembali pada sang anak. "Apa tinggal bersama Eomma begitu berat?".

Nara masih bergeming hingga sang Eomma kembali menghampirinya dan mencengkram lengannya keras. "Eomma, tak ingin melihatmu hidup susah, Appamu tak akan membahagiakanmu".

"Eomma, ini bukan tentang uang, tapi Nara rindu Appa, Nara tak memihak siapapun, Nara hanya mencoba adil, Nara anak Appa dan Eomma, Nara tak akan meninggalkan Eomma, tak ingin juga melupakan Appa ", buliran bening terjun tanpa permisi dipipi mulus Nara.

Eommanya menatap kosong sang anak, dan mulai melonggarkan cengkramannya. "Eomma, tak akan membiarkanmu pergi", balas Eommanya lemah, yang akhirnya melepaskan cengkraman itu dari lengan anaknya dan berlalu pergi meninggalkan ruangan.

Kalimat singkat yang cukup membuat Nara geram dalam hati, bagaimana mungkin Eommanya begitu egois. Eomma yang ia kenal begitu humoris dan menyenangkan bisa berubah seangkuh itu ketika menyangkut sang Appa. Ia tak tau sebenci dan seluka apa Eommanya pada sang Appa. Tapi bukankah seharusnya ia juga mengerti akan perasaan anaknya. Ia hembuskan nafasnya perlahan, menyeka air mata di pipi dengan punggung tangannya, mememjamkan matanya sejenak agar lebih tenang dan bergumam lirih "Appa, jemput aku, aku akan ikut denganmu, aku begitu merindukanmu".

.

.

.

Kicauan burung mengawang di sela sela ranting pepohonan. Sinaran surya pagi menembus cabang dan dahannya. Sialuannya terpantul oleh rumah-rumah berjendela kaca. Suara gesekan suatu barang, kemerasak kantung plastik, decitan benda-benda padat mengaburkan nyanyian meriah burung-burung itu. Disebuah kamar bercat putih tulang dengan ornamen dan interior dimana warna putih mendominasi. Terlihat gadis mungil yang kemarin berdebat hebat dengan sang Eomma tengah disibukkan akan sesuatu. Koper warna hitam berukuran tanggung bertengger diatas ranjang tidurnya dengan posisi terbuka. Beperapa pakaian sudah tertata rapi disana. Lemari yang bertempat disudut kamarnya pun terbuka dan nampak berantakan beberapa barang tersembul keluar tak rapi. Ada sesuatu yang ia cari. Tentu saja barang-barang favoritnya, ia tak akan meninggalkan barang-barang kesukaannya. Rencana yang ia susun beberapa waktu lalu tak akan ia biarkan gagal begitu saja. Ia sudah sering melakukan upaya untuk kabur dari rumah eommanya tetapi selalu percuma tak ada hasil. Dan selalu saja ia akan menuruti apa mau Eommanya.

Untuk kali ini, meski hatinya bertentangan tetapi keinginan itu selalu saja mengalahkannya. Beberapa hari lagi Appanya akan mendatanginya. Dengan cara apapun ia akan pergi bersama Appanya. Ia begitu merindukan Appanya. Dua tahun ia tak bertemu, tidak ada pertemuan, hanya suara penghubung dan kiriman kalimat-kalimat pesan yang ia dapatkan dari smartphonenya sebagai perantara komunikasinya dengan sang Appa. Ia juga tak tahu kenapa setiap kali dirinya meminta untuk vicall, Appanya selalu menolak. Selalu ada saja alasan agar keinginannya itu urung. Sebenarnya ia sama sekali tak peduli dengan keadaan Appanya yang sekarang. Apapun itu. Meski Appanya miskin pun ia tak peduli itu. Baginya Appanya adalah Appanya, yang selalu menyayanginya dan selalu memperhatikannya meski jauh.

Sudah satu setengah jam ia sibuk dengan hal itu. Jadwal sarapan yang menjadi rutinitas setiap pagi bersama Eommanya sudah setengah jam lalu ia lewatkan. Otaknya pun tangkas dalam hal itu. Bukan tidak mungkin jika sang Eomma akan berkunjung ke kamarnya untuk sekedar menjemputnya agar sarapan bersama. Bola matanya mulai berselancar kesana kemari, mencari celah tempat untuk menyembunyikan koper berisi pakaian dan barang-barang lain yang sudah ia siapkan untuk misinya bersama sang Appa. Matanya yang begitu gesit menangkap suatu tempat yang disangka akan aman untuk kopernya sementara waktu. Ia tarik susah payah koper padat itu dari atas ranjangnya. Menyeretnya cepat dan mendorongnya keras ke bawah ranjang tidurnya.

"Setidaknya ini tak akan menyita perhatian Eomma", ujarnya dalam hati.

Ia rapikan kembali lemari, laci-laci, nakas yang terbuka saat ia mencari barang-barang yang ia butuhkan tadi. Dug. Sebuah gulungan kertas poster jatuh ke lantai di antara nakas dan meja belajarnya. Ia buka perlahan gulungan itu antusias. Seringai tipis menghiasi bibir merah mudanya. Hatinya tiba-tiba geli melihat gambar poster didepannya. Pikirannya melayang akan suatu hal yang menggelitik. Agak terdengar konyol, tetapi ia pernah memakai cara itu untuk membujuk Eommanya agar memberikannya ijin berkunjung ke Seoul lagi.

Flash Back On

Hatinya sumringah sedari di toko pernak pernik tadi, senyumnya tak henti-hentinya terkembang di sepanjang jalan pulang. Tangannya yang penuh akan paperbag warna coklat yang membuat matanya tak lepas dari benda itu. Sesampainya dirumah, Ia keluarkan semua benda-benda dibalik bag yang ukurannya lumayan besar. Tak tau barang apa yang ia beli, tak tau rinci fungsi dari barang –barang yang sebenernya aneh dimatanya. Beberapa macam pernak pernik yang biasa dimiliki oleh para fans fanatik Idol negeri gingseng tersebut. Ya hampir semua bergambar seseorang. Ia juga tak mengenalinya. Ia hanya tau itu dari teman sekolahnya penggila sebuah boygrup asal Korea Selatan. Meski ia lahir disana, meski ia mempunyai Appa asal Negara itu, tapi kebetulan ia memang tak mengenal baik idol-idol yang banyak di gandrungi para gadis Indonesia saat ini. Entah karena apa juga ia memilih G-Dragon sebagai Idola pura-puranya kali ini. Yang jelas ia hanya sekedar ambil saja, agar meyakinkan sang Eomma bahwa ia benar-benar menyukainya. Ia mulai menata benda-benda lucu itu di beberapa nakas dan meja yang ada dikamarnya. Ia mencoba menarik perhatian Eommanya. Bukankah Eommanya akan mengijinkannya ke Korea kembali jika alasannya kali ini untuk bertemu sang Idola.

"Eomma, akhir-akhir ini aku begitu menyukainya, bukankah ia sangat berkarisma?", ujar Nara sambil menujuk sebuah poster yang terpajang di dinding tepat disisi kiri meja belajarnya. Ia tak akan melewatkan moment penting ketika sang Eomma berada di dalam kamarnya untuk sekedar memberi petunjuk bahwa ia sedang mengidolakan seorang Idol asal Korsel tersebut.

"Berapa umurmu sekarang?", tanya Eommanya spontan.

"16 Tahun, kenapa Eomma menanyakan hal tak penting seperti itu?", jawab Bintang sarkastis.

"Apa menurutmu usiamu itu masih muda?", tanya Eomanya kembali.

"Tentu saja tidak, aku sudah dewasa Eomma, aku sudah kelas 3 SMA", jawabnya tak sabar.

"Bukankah ini memamalukan, fokuslah untuk lulus, tak usah macam-macam dengan hal semacam ini".

"Eomma, aku hanya mengidolakannya, dan aku ingin ke Seoul bertemu dengannya", rajuk Nara manja.

"Tak ada Seoul, belajarlah tekun untuk kelulusanmu nanti, dan lupakan Idolamu itu, di Indonesia masih banyak yang masih bisa kau idolakan", terang Eommanya sembari melangkah pergi tanpa menghiraukan muka merah padam Nara yang menanggung malu.

Flash back end

.

.

.

Sebuah kamar kecil yang terletak diantara ruang makan dan ruang keluarga, terkunci rapat dari dalam. Ada seseorang didalamnya. Bukan untuk hal semestinya orang lakukan di toilet. Terdengar obrolan yang lebih mirip seperti gumaman. Nara yang duduk gusar di klosed, menggenggam erat ponselnya dan menempelkannya lekat di telinga kirinya. Memberikan arti bahwa tak ingin seorang pun mendengar percakapannya saat ini. Bahkan Eommanya sendiri atau pembantu rumah tangganya sekalipun. Ini rahasia. Rahasia antara dirinya dan Appanya.

"Appa, aku sabar menantimu, menjeputku dan membawaku pergi bersamamu ", bisik Nara dari balik ponselnya.

"Yaa, sayangku, tunggu Appa, Appa pasti menjemputmu", suara lantang sang Appa dari sebrang sana.

"Appa ….".

Suara itu tiba-tiba saja harus terpotong. Ada seseorang mengetuk pintu ruangan itu brutal. Dan sekejap dengan reflex ia harus mematikan handphone genggamnya tanpa aba-aba.

TBC

Di Chapter ini sengaja Author ceritakan asal muasal salah satu pemeran utamanya dulu ya, belum ada romancenya, meski singkat ikutin terus pokonya. Mian banyak typo. Semoga kalian suka Gamsahamnida..