Little Drunken

present

"Call it Life"

Disc: All Chara belong to Om Masashi K.

I own this story

WARNING: OOC, AU, etc

.

.

Happy Reading! ^^

Aku tak tahu ternyata dunia seluas dan sedramatikal ini. Aku mungkin terlalu terlelap dalam diam panjangku hingga tak jarang lengah memperhatikan sekitarku. Tujuh belas tahun hidup di dunia ternyata tak beroleh sesuatu apapun bagiku. Yang kutahupun bahkan lebih sedikit dibandingkan Joona—anak pembantu –di rumahku dulu tentang sebuah kehidupan.

Aku pikir hidup tak kan serumit ini. Karena dulu, aku hanya perlu mengetikkan jari agar makan malam tersedia di kamarku segera, atau hanya perlu mengetikkan pesan singkat supaya besoknya aku bisa mengendarai Ferrari merah bukan lagi BMW hitam yang menurutku tidak sporty. Aku melakukan banyak hal bukan karena sebuah keharusan apalagi kebutuhan, hampir semuanya hanya karena sebuah kebiasaan atau keinginan yang tak begitu besar. Sebuah aktivitas yang kumaknai biasa dan biasanya kulakukan tanpa pikir apa-apa.

Dan paradikma seperti itu berkutat di otakku hingga detik dimana perusahaan ayahku dinyatakan bangkrut—total. Ayah syok hingga meninggal. Tenyata sudah sejak lama ia menderita sakit jantung—fakta yang baru kutahu beberapa menit setelah kebangkrutan—yang membawanya pergi untuk selamanya. Aku tertegun, tak bisa menangis sangkin syoknya, hanya bisa menatap nanar pada ibuku yang menangis tersedu-sedu hingga pingsan. Setelah bisa menguasai diri, aku mencoba menenangkan ibuku dan menghubungi Itachi, saudaraku satu-satunya. Tapi usahaku menghubunginya berakhir sia-sia.

Itachi adalah kakakku. Dia seorang yang pintar dan ramah, berbeda denganku. Ia benar-benar mencintai lukisan dan tergila-gila padanya. Setelah lulus SMA dia berniat meneruskan pendidikannya ke jurusan seni lukis tapi ayahku mati-matian menentangnya. Itachi sesungguhnya bukanlah tipekal anak pemberontak. Tapi malam itu, aku benar-benar melihat apa yang selama ini dia simpan, demi ayah. Ibuku menangis menahan kepergiannya. Ia sudah berada di ambang pintu, dengan sebuah koper dan tas ransel berisi alat-alat melukisnya, ketika ayah menyatakan kalimat itu.

"Berbalik sekarang atau jangan pikir kau masih anakku lagi."

Kupikir Itachi akan menyerah, aku tahu dibanding aku, dia lebih menyayangi keluarga ini. Senyumnya dan ibu ibarat sebuah pelangi yang melebutkan arti sebuah hujan. Tapi tidak, aku salah. Itachi tersenyum getir sembari menatap ibuku terluka. Ia melepaskan tangan ibu yang tertaut di lengan kanannya dengan lembut kemudian memeluk ibu erat. Tanpa berkata apa-apa—

Ia pergi

Aku hanya bisa menghela nafas begitu tahu semua kebangkrutan ini diakibatkan Madara, pamanku sendiri. Aku tak tahu harus bilang apa. Kesal, dongkol, kecewa, dan marah meraung-raung di otakku hingga rasanya kepalaku akan pecah. Tapi aku tahu aku harus meredam itu semua. Aku putuskan untuk mencari jalan keluar dan yang terpenting memulihkan kondisi ibu dulu.

Dan yang terpikir saat itu adalah menghubungi keluargaku. Aku punya banyak sanak family, setidaknya itu yang kulihat saat pesta natal di rumah terakhir. Keluarga Uchiha bukanlah keluarga yang besar tapi cukup bergengsi. Aku mendatangi kediaman mereka. Dan aku terperangah.

Tak ada satupun dari mereka yang membukakan pintu untukku. Setelah tahu kebangkrutan ayahku, mereka seolah tak mengenalku dan ibu. Penolakan dan tatapan sinis mengiri langkahku beranjak dari gerbang rumah mewah mereka. Aku terkejut bukan main. Dimana senyum manis dulu itu? Bukankah dulu mereka dekat dengan ayah dan ibu? Bukankah dulu mereka sering mengirimkan paket natal untuk kami?

Ah iya, itu dulu ketika ayahku berada di atas mereka. Ketika keluargaku memegang posisi tertinggi seorang Uchiha. Saat semua penolakan itu meluncur deras dari mulut-mulut tak berperikemanusian mereka, sesungguhnya aku ingin merobeknya, menjadikannya lalapan Fleky—anjing peliharaanku—mungkin. Tapi sedetik kemudian aku menyadari, itu semua hanya akan menyulitkan kami, menjatuhkan kami lebih jauh lagi. Sekali lagi, kepalaku berdenyut-denyut pening. Ternyata aku selama ini buta. Lagi-lagi, hidup terasa sangat rumit.

***

"Ibu… makanlah" pintaku. Tanganku telah terulur, menyuapi beliau untuk makan. Tapi tidak ada respon sama sekali. Ia hanya menatap lurus ke depan, tanpa nyawa. Aku mengedarkan pandanganku ke rumah sangat mungil yang kami tinggali saat ini. Aku yakin sekali ini merupakan bekas gudang atau rumah seorang gelandangan. Dinding-dindingnya kusam dan sangat kotor, lantainya pun tak semua yang 'dialasi' semen. Rumah ini hanya punya satu kamar dan satu kamar mandi. Sekali mengamati kau sudah tahu bahwa ini tidak pantas untuk ditinggali lagi. Tapi mau bagaimana, sisa uang di dompetku—kartu kredit, atm, dan segala tabunganku disita—hanya cukup untuk ini.

"Ibu… makanlah. Kau belum makan dari kemarin." bujukku. Aku berusaha keras untuk membuat suaraku terdengar sedikit lembut. Tapi ternyata tangisan yang keluar. Dan untuk kesekian kalinya, aku mendaratkan tanganku di pelipis, kepalaku pusing sekali.

Tok.. tok.. tok…

Aku mengarahkan tatapanku ke pintu. Kemudian beranjak mendekatinya sambil mengira-ngira siapa yang bertamu, bukankah kami sudah dicampakkan?

"O!"

Gadis di hadapanku ini mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia sedikit melirik ke belakangku. Kemudian raut wajahnya yang ceria tiba-tiba jadi muram.

"Jadi sudah ditempati?" gumamnya.

Ia kemudian memandangku lalu tersenyum minta maaf. Setelahnya membungkukkan badannya.

"Maaf mengganggu. Aku penghuni rumah ini sebelumnya" ucapnya ramah.

"Hn"

"Maaf sudah menganggu waktu anda, Tuan. Aku pikir rumah ini belum ada pemiliknya." Ia lalu memutar tubuhnya bermaksud pergi. Aku baru saja hendak menutup pintu ketika ia mendekat.

Ia sedikit berenggut, menatapku penuh harap.

"Tuan, Anda tahukan ini sudah malam?" Aku mengangguk, kalau jam ku tidak salah beberapa menit lalu baru saja pukul sembilan.

"Dan Anda lihat sendirikan kalau jalanan sudah gelap?" Hanya orang bodoh yang tidak tahu itu.

"Dan biasanya di jalanan gelap kita akan menemui hal yang terkadang kita tidak pernah tahu" Alisku mulai bertaut, kenapa gadis ini membuang waktuku dengan pertanyaan bodoh seperti itu sih?

"Dan Tuan lihat sendirikan, aku wanita?" Aku mulai berpikir dia itu seorang sales penjual kacamata.

"Apa maumu?" ucapku to the point. Dan firasatku mulai tidak enak saat kulihat segurat cerah di wajahnya.

"Izinkan aku menginap tuan, kumohon" dan malamnya aku harus merelakan badanku tidur di sofa reot karena sekali lagi sebuah alasan; 'saya perempuan'.

Jangan berpikir orang kaya itu pemalas. Justru karena mereka kaya mereka akan bangun lebih awal supaya pendapatan mereka tidak dipatok oleh ayam lain. Aku terbiasa dengan hidup yang disiplin. Aku memang tuan—dulu—tapi sekalipun aku tidak pernah merepotkan para maidku untuk membangunkanku karena kesiangan. Waktu, jadwal, dan kegiatanku teratur oleh sebuah schedule yang tak cacat waktu. Tidak heran bukan, pukul lima aku sudah berada di dapur mungil. Walaupun kau mungkin tertawa dengan wajahku saat ini.

"Aku harus memasak apa? Dan bagaimana caranya?" pikirku. Yang ada di hadapanku hanya kompor kecil dan beberapa alat dapur lain, jangan bayangkan oven ataupun alat memasak yang canggih di sini.

Aku melirik ke kiri, belanjaanku pagi ini dengan uang sisa kontrak rumah. Hanya bisa membeli beras, 2 potong ikan kaleng, sayur yang entah apa namanya, dan beberapa bumbu dapur. Aku hanya bisa menghela nafas, harusnya aku membeli hal lain, bisa masak apa dengan bahan-bahan ini? Kenapa tidak beli Spage—bodoh! Mana cukup uang?

Tiba-tiba aku merasakan helaan nafas di leherku. Aku tidak pernah percaya soal hantu, tapi ini?

"Tuan! Anda ingin memasak?" Sejak kapan hantu bisa bicara? Eh, tunggu!

"Jangan mengangetkan" kataku datar sembari menatapnya tajam. Ia tampak sedikit ketakutan, hey! Ini lucu juga.

"Maaf, Tuan" ia membungkukkan tubuhnya sedikit. Dan aku tidak begitu peduli, aku kembali ke belanjaanku.

"Anda ingin memasak sesuatu?" tanyanya dan aku tidak menjawab. Kupikir ia akan kesal tapi tampaknya tidak. Ia malah tersenyum lalu berjalan ke arah belanjaan.

"Anda pasti berbelanja kemarin ya?" Dan aku hanya menatapnya datar.

"Lihat, Tuan! Sayurnya sudah layu! Dan ikan kaleng tidak baik karena ibu Anda kan sudah cukup tua. Lebih baik membeli ikan yang lebih segar, Tuan. Anda bisa membelinya pagi-pagi. Itu lebih baik untuk ibu Anda, Tuan. Karena kandungan dari ikan segar da—"

"Berhenti" perintahku. Aku yakin kalau aku diam saja ia bisa mencerocos selama 5 jam.

"Ah… maaf, aku jadi banyak bicara" cengiran kuda menurutku.

Tanpa memikirkannya lebih lanjut, aku mengeluarkan bahan-bahan itu dari kantong kreseknya walaupun belum jelas hendak memasak apa.

"Tuan…" ya ampun, apa lagi?

"Biarkan aku memasak!" Dan aku cukup terkejut. Aku menoleh ke arahnya, tampaknya ia serius walau senyum memuakkan itu belum juga lepas dari wajahnya.

"Sebagai ucapan terima kasih. Ya?" aku hendak menolak ketika suara ibuku mengangetkanku.

"Sakura, kau sudah bangun?"

Aku terlonjak. Ini kali pertama, setelah musibah itu, ibuku berbicara. Aku menatap gadis merah jambu itu lekat-lekat. Ia tersenyum lembut sembari membantu ibuku melangkah.

Bagaimana bisa?

To Be Continue