Summary : Mereka adalah para pembunuh bayaran, mereka tak pernah membunuh untuk urusan pribadi. Tapi saat salah satu dari mereka terbaring di ranjang putih rumah sakit, akankah untuk pertama kalinya urusan hati menjadi alasan untuk menumpahkan darah?
Warning: :Fanfic ini mengandung YAOI atau boyxboy love, jika tidak suka harap klik tombol back tapi jika OK tolong baca dan review ya...dan juga ada beberapa kesalahan dalam tata bahasa. Dan juga Fic ini agak gaje, jadi kalau ada yang aneh, harap dimaklumi. Dan oh ya, mungkin oh bukan, tapi pasti para karakternya agak atau sangat OOC. Dan cerita ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan cerita hetalia, saya hanya meminjam karakternya saja.
Disclaimer :Hetalia bukan punya saya, tapi milik om Hidekaz Himaruya. Jadi kalau saya bilang punya saya, jangan dipercaya ya~ itu bohong~ XD.
ENJOY IT EVERYBODY!XD
Pemuda berambut pirang itu berjalan memasuki sebuah rumah putih bertingkat yang mewah. Sebuah senyum terukir di wajahnya yang manis, seakan-akan dia baru saja mengalami suatu kejadian yang bahagia. Sebuah tas yang tergantung di punggungnnya sedikit terguncang akibat gerakan tubuhnya saat dia membuka sebuah pintu di hadapannya dan berjalan melewatinya.
"Aku pulang" seru pemuda berambut pirang itu sambil melepaskan sepatunya. Tak butuh waktu lebih dari lima detik setelahnya, sesosok manusia yang memiliki wajah yang sangat mirip dengannya memeluknya erat.
"Mattie, akhirnya kau pulang! Tolong aku~ rasanya sebentar lagi aku akan pergi ke dunia sana karena memakan makanan buatan Iggy yang sumpah…SANGAT TAK ENAK!" jerit pemuda bermata biru sapphire itu histeris.
Sedetik setelah dia mengatakan itu, sebuah panci segera mampir di kepala pemuda bermata biru sapphire itu. "Bloody hell, dasar you git! Untung aku mau membuatkanmu makanan rumahan, kan? Kau itu sudah kebanyakan makan junk food yang tidak baik untuk kesehatan itu, tahu? Kau mau mati karena obesitas?" seru pemuda Inggris pelaku pelemparan panci itu.
"Hero tak mungkin kena obesitas!" seru pemuda Amerika itu menjawab dengan pernyataan yang sungguh sangat tak nyambung dengan pertanyaan yang dilontarkan.
"Sudah kak Arthur, kak Alfred…" kata pemuda Canada bernama Matthew Williams itu sambil mencoba melerai perang mulut kedua kakaknya itu untuk kesekian kalinya. "Aku akan segera masakkan makan malam…setelah aku selesai ganti baju"
"Tolong cepat!" seru Alfred F. Jones, pemuda Amerika kakak Matthew itu dengan wajah memelas. "Aku masih belum mau mati…sang hero ini masih sayang nyawa…"
"Dasar bloody git…" gumam pemuda Inggris yang menyandang status sebagai kekasih Alfred, Arthur Kirkland, itu pelan sambil berjalan memasuki ruang tamu, diikuti oleh kekasihnya.
Matthew pun berjalan dan memasuki kamarnya. Setelah meletakkan tasnya di atas meja belajarnya, dia segera berjalan ke arah lemari pakaiannya dan mengganti baju seragam yang dipakainya dengan sebuah celana jeans hitam dan kemeja berwarna orange maple.
Saat dia baru saja menutup pintu lemarinya, dia memandang ke arah cermin. Saat itulah, di cermin bening yang dipandangnya, terpantul sosok seseorang berpakaian serba hitam di belakangnya. Dia baru saja ingin menoleh saat tiba-tiba ada sepasang lengan yang kekar mengunci tubuhnya dan menbekap mulut dan hidungnya dengan sebuah saputangan. Bau chloroform segera menguar dari saputangan itu dan menguasai sistem tubuhnya. Tidak butuh waktu lama bagi Matthew untuk jatuh lemas tak sadarkan diri.
Sosok berpakaian hitam itu segera membopong tubuh Matthew yang lemas itu ke atas ranjang dan membaringkannya di sana. Setelah itu dia segera meletakkan sebuah tas di depan jendela yang berhadapan dengan ranjang Matthew di ujung kamar.
Sosok itu segera memanjat jendela, setelah sebelumnya memandangi sosok Matthew yang tertidur itu untuk terakhir kalinya dan bergumam. "Ini…adalah balas dendamku…"
Dan sosok itu pun segera meloncat turun dan menghilang dalam gelapnya malam…
Di saat yang sama, Alfred asyik menonton televisi dan Arthur membaca buku di ruang tamu saat mereka mendengar suara pintu dibuka dan terdengar langkah-langkah kaki menuju ruang tamu. Tidak lama sesosok pemuda albino German bermata merah ruby berjalan masuk sambil menyeringai lebar.
"Halo, wahai dua makhluk gak awesome!" seru pemuda bernama Gilbert Beilschmidt itu sambil menyeringai lebar.
"Iya, selamat malam makhluk sok asem…" kata Alfred tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar televisi sementara Arthur hanya membalik halaman bukunya tanpa mengatakan apa pun.
"Ah, dasar kalian berdua gak awesome!" seru Gilbert sambil menjatuhkan tas ransel yang dibawanya dan duduk di sofa di samping Alfred. "Ngomong-ngomong dimana pacar awesomeku tercinta yang manis?" katanya.
"Matthew maksudmu? Dia ada di kamarnya, sedang ganti baju" kata Arthur dengan nada datar.
"Hmmm…gitu? Baiklah kalau begitu, aku mau ke kamar dulu" kata Gilbert dengan nada santai dan cuek tapi senyumannya yang agak…em…mesum itu jelas menyatakan maksudnya yang sebenarnya.
Alfred langsung memandang pemuda German itu dengan pandangan curiga. "Heh, Gilbert, tunggu, kau tak boleh ke atas!" seru Alfred.
"Kenapa?" seru Gilbert.
"Kau pasti mau mengintip Matt yang sedang ganti baju kan? Tak boleh! Dasar albino asem mesum!" seru Alfred.
"Teganya kau berpikiran sesuatu yang sangat tidak awesome itu padaku!" seru Gilbert dengan pandangan terkejut yang kelihatan jelas…bohong…
"Tentu aku tega! Kau itu mesum! Bersama kau kesucian adikku itu terancam dan kewajibanku untuk menjaganya!" seru Alfred sambil bangkit dari sofa yang didudukinya dan berdiri di hadapan Gilbert.
"Apa katamu? Aku yang awesome ini kau sebut mesum? Kurang ajar!" seru Gilbert dengan marah.
Arthur hanya menghela napas melihat pertengkaran dua orang di depannya itu, pertengkaran konyol antara kakak-brother-complex vs pacar-sok-awesome-padahal-asem itu memang bukan yang pertama kalinya, sudah tak terhitung lagi pertengkaran yang mereka lakukan, yang akarnya pasti selalu berasal dari satu hal, sang adik dan pacar mereka tercinta, Matthew.
Arthur baru saja menutup dan meletakkan buku yang dibacanya ke atas meja dan membuka mulut untuk menghentikan pertengkaran mulut Alfred dan Gilbert saat tiba-tiba saja…
DUARRRR!
Arthur, Alfred, dan Gilbert langsung terkesiap mendengar suara ledakan dan guncangan keras yang terjadi dalam hitungan detik itu. Mereka bertiga segera berlari ke balkon di depan ruang tamu itu dan menengok ke luar rumah mereka, hanya untuk melihat sebuah mobil pergi dari depan pagar mereka. Tiba-tiba tercium bau yang tajam, bau kain dan kayu yang terbakar…
"MATTIE!" seru Gilbert sambil segera berlari ke lantai atas rumah mereka, degup jantungnya terdengar semakin cepat, apalagi saat dia melihat asap yang membumbung keluar dari dalam kamar Matthew. Gilbert segera mendobrak pintu kayu itu hingga terbuka dan segera terbatuk saat asap dan panas api menyambutnya.
Gilbert melihat kekasihnya terbaring di atas ranjang, dikelilingi lautan api yang seolah berdansa disekitarnya. Tanpa pikir panjang, dia segera berlari ke arah ranjang itu dan menarik kekasihnya itu menjauh dari ranjang dan kamarnya. Setelah yakin mereka sudah sampai jarak aman, Gilbert segera mengecek keadaan Matthew hanya untuk menemukan beberapa luka bakar menghiasi tubuhnya…bau daging manusia yang terbakar menusuk tajam hidupnya.
"ARTIE, ALFRED, PANGGIL AMBULANS, CEPAT!" seru Gilbert panik. Arthur segera menghubungi ambulans sementara Alfred berlari ke lantai atas untuk mencoba memadamkan api di kamar adiknya, beruntung saat ambulans datang mereka sudah berhasil memadamkan api itu, sehingga tidak ada korban yang lebih banyak dan mereka juga tidak harus menjelaskan secara gamblang apa sebenarnya penyebab kebakaran dalam rumah mereka itu…
Bunyi ambulans pun langsung bergaung di kegelapan malam…
Gilbert duduk di sebelah kekasihnya yang masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang putih rumah sakit, menunggu dokter untuk kembali dan memaparkan hasil diagnosanya. Tangannya mengusap lembut wajah kekasihnya yang kini pucat itu dengan lembut, merasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan kekasihnya lebih cepat dan membuatnya terbaring di rumah sakit ini…
"Maafkan aku, Mattie…" bisik Gilbert pelan sambil mencium telapak tangan Matthew yang dipenuhi perban.
Tidak lama kemudian, seorang dokter berjalan masuk. Gilbert segera menyambutnya dan memperhatikan dengan seksama saat dokter itu memastikan kalau luka Matthew tidaklah separah kelihatannya, dengan istirahat beberapa hari di rumah sakit dia akan baik-baik saja. Gilbert segera mengucapkan terima kasih pada dokter itu dengan sopan sebelum kembali berdiri di hadapan Matthew dan mencium pipi kekasihnya itu dengan lembut dan berjalan keluar untuk menemui Alfred dan Arthur yang masih menunggu di ruang tunggu rumah sakit…
"Gilbert, bagaimana keadaan Matt?" tanya Alfred cemas begitu matanya melihat Gilbert berjalan keluar dari kamar adiknya itu. Di sebelahnya, Arthur juga memandang cemas pada Gilbert. Matthew adalah adik kesayangan mereka. Karena itu, wajar kalau mereka sangat mencemaskan keadaan adik mereka itu, apalagi…dengan keadaan adik mereka yang berlumuran darah saat dibawa ke rumah sakit ini…
"Kata dokter dia baik-baik saja, tapi…aku khawatir…dia tidak akan…sama dengan Mattie yang kita kenal…" kata Gilbert pelan sambil menggosok dahinya yang terasa sakit. Dia segera berjalan keluar dari rumah sakit, dengan Alfred dan Arthur mengikuti di belakangnya.
Di tengah dinginnya malam musim dingin kota London, Arthur, Alfred, dan Gilbert duduk di sebuah bangku di taman kota. Gilbert memejamkan matanya dan kembali membukanya setelah merasakan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya. Mata merahnya menatap langit malam dengan nanar, tanpa keinginan sedikit pun untuk memandang kemanapun selain ke arah langit malam yang dipandangnya…
"Bruder!" tiba-tiba mereka mendengar sebuah suara, mereka menoleh dan melihat dua sosok pasangan yang merupakan partner kerja sekaligus 'adik' mereka yang lain, Ludwig Beilschmidt dan kekasihnya, Feliciano Vargas. Mereka berdua masih memakai seragam sekolah mereka dan baru saja pulang dari kegiatan klub masing-masing saat mereka mendapat telepon dari Arthur soal Matthew. Mereka berdua segera menuju rumah tempat mereka tinggal untuk mencari bukti dan segera pergi ke rumah sakit.
"Ve, bagaimana keadaan Matthew?" tanya Feliciano pelan sambil memeluk lengan kekasihnya. Wajahnya, seperti wajah semua orang lain yang ada di sana, tampak cemas dan ketakutan.
"Dia akan baik-baik saja, hanya harus tinggal di rumah sakit untuk beberapa hari" kata Gilbert pelan. "Ada petunjuk?".
"Tidak ada apa-apa. Tapi jelas itu bom, hanya saja pelakunya sangat hebat, tak ada satu pun bekas bom yang tersisa" kata Ludwig dengan tenang sambil memeluk Feliciano dan membaringkan kepala kekasihnya itu di bahunya. Ludwig memang adalah seseorang yang sangat ahli dalam masalah bom, dia bisa membuat bom bagaikan membuat mainan anak-anak. Pengetahuannya mengenai masalah bom juga sangat hebat, membuatnya bisa mengidentifikasi jenis bom hanya dari sebuah bagian kecil saja.
"Saat kejadian, aku melihat sebuah mobil…berwarna merah tua, sepertinya merek BMW melaju dari pagar. Tapi karena gelap, dan juga jaraknya yang jauh, aku tak bisa melihat nomor mobilnya" kata Arthur sambil mengusap rambut pirangnya dan menghela napas frustasi. Arthur adalah pemilik ingatan fotografis, apa pun yang dia lihat, tak akan pernah dia lupakan, mungkin karena itulah dia lebih memilih untuk bekerja di garis belakang sebagai pengumpul informasi daripada bermain dengan senjata di garis depan.
"Aku akan bekerja dengan kak Arthur dan mencari mobil yang dimaksud, tapi mungkin butuh waktu lama, ve~" kata Feliciano sambil tersenyum. Feliciano adalah hacker hebat yang bisa memasuki jaringan komputer apapun dengan begitu mudah layaknya memasuki pasar swalayan. Jaringan informasi yang luas dari nama keluarga Vargas, keluarga mafia Italia terkemuka, yang disandangnya, beserta kemampuannya untuk bermain dengan komputer, menjadikannya pencari informasi yang sempurna.
"Dan saat kita menemukan pelakunya, kita akan memburu mereka!" kata Alfred sambil mengepalkan tangannya. "Akan kubuat mereka menyesal karena pernah menyentuh Matt". Pemuda Amerika ini memang lebih suka bertarung tangan kosong daripada menggunakan senjata, baginya tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar suara derak tulang yang patah dengan tangan kosong, ditambah dengan posisinya sebagai anak buah kesayangan pemimpin mafia Rusia, Ivan Braginsky, yang sama-sama suka menyiksa, membuat sifat psikopat itu tumbuh di hatinya, kalau sudah begini, hanya Matthew dan Arthur yang bisa menghentikannya.
Gilbert menghela napas, wajah kekasihnya yang tertidur di rumah sakit itu terpatri di otaknya. Hari ini…biarkan semua perhatian tertuju pada Matthew, biarkan Alfred, Arthur, Ludwig, Feliciano, dan dirinya sendiri… menemani Matthew di rumah sakit.
Penyelidikan bisa ditunda hingga besok. Besok…perburuan yang sebenarnya akan dimulai…
Dan mereka akan memastikan…sang mangsa yang terjatuh ke dalam tangan mereka tak akan pernah mendapatkan belas kasihan…
Author note:
Horee…akhirnya saya sukses bikin fanfic dengan Matthew sebagai korban! –disepakGilbertdanAlfred-
Awww…bagi penggemar Matthew, saya minta maaf~yang sebesar-besarnya karena sudah menjadikan Matthew korban bom, tapi suer~saya udah mikir bolak-balik buat korban yang pas dan nemploknya…pasti ke Matthew, bahkan teman baik saya aja ngusulin kalau Matthew tuh pantasnya jadi korban…jadi…gitu deh…-nyengirinnocent- Tak akan ada yang menyangkal kalau tokoh Hetalia yang paling gampang jadi korban penganiayaan itu pasti Matthew atau Feliciano –dilemparkejurangsamaGilbert,Alfred,Ludwig,danLovino-
Jadi…bagaimanakah fanfic baru saya ini? Bagus atau…malah fail banget? Apakah cerita ini abal banget, jelek banget, atau gimana?
Sudikah para reader sekalian untuk mereview?
Sekian.
