Re-write, Re-edit, Re-Publish
Kenapa? Karena odes akan berusaha memberikan yang terbaik. Yoosshh
.
.
Untuk siapapun, yang pernah merasa sakit hati karena cinta...
#LastLove bagian 1
SasuSakuIta
Om MK punya Naruto
T
Romance, hurts/comfort
odes
.
.
.
#warning : jangan dibaca terlalu menghayati. Odes gak tanggung kalo kalian terkena patah jantung, sakit lambung dan sebagainya~
.
.
.
Kenapa aku tak segera mati saja?
Aku menengadahkan kepala keatas saat merasakan ada rintik hujan yang jatuh menyentuh kulitku. Semula hanya satu dan dua, juga begitu lembut hingga nyaris tak terasa, namun makin lama makin terasa semakin menyakitkan seiring dengan derasnya hujan yang turun mengguyur bumi, hari ini.
Aku berjalan gontai. Persis zombie. Pandangan mataku ke depan namun menerawang kosong. Berkali-kali bibirku menggumamkan kata-kata yang tak mampu orang lain dengar. Aku terus saja melangkah menerobos rinai hujan meski orang lain disekitarku lebih memilih berteduh di pinggiran toko mengingat lebatnya hujan yang turun.
Tapi aku tak peduli, perih yang kurasakan saat rintik hujan membentur kulit mulusku tak kuhiraukan lagi. Begitupun dengan udara dingin yang terasa menusuk setiap sendi tulangku. Ini mungkin hujan terakhir, sebelum musim dingin tiba keesokan hari.
'Aahhh musim dingin.. kau tiba disaat yang tepat, kau datang disaat hatiku pun membeku karena cinta.'
Cinta... kau sudah memilih pergi dari hidupku. Kau telah memilih menikamku dengan sembilu berkaratmu. Hingga aku jatuh terjengkang di atas tubir jurang, antara percaya dan tidak lagi pada indahnya kehidupan ini.
Aku hanya melangkah tanpa tujuan. Aku mengikuti kemanapun langkah kaki membawaku. Sekalipun ke neraka, aku bisa terima. Aku sudah lelah hidup di dunia. Rasa sakit ini membuatku berpikir kehidupan di alam sana akan menjanjikan sesuatu yang lebih baik daripada terus menderita di dunia.
Hingga tanpa sadar, kakiku membawaku ke sebuah rumah. Rumah sahabat karibku, Yamanaka Ino. Entah mengapa dalam keadaan kacau seperti ini, aku justru datang ke rumahnya. Aku hanya tak siap kembali ke rumah. Tempat dimana segala kenanganku dengannya tersimpan rapi disana.
Ino segera keluar rumah setelah mendengar bel yang kubunyikan dengan susah payah. Tubuhku mulai terasa kaku karena rasa dingin yang menyusup hingga tulang.
"Kami-Sama! SAKU CHAN... apa yang kau lakukan?" Teriak gadis berambut panjang itu sambil menerobos hujan untuk memelukku yang tampak jatuh terduduk di depan gerbang rumahnya. Ino mendekapku erat. Bisa kurasakan jika sahabat karibku itu menangis melihat kondisiku.
"Apa yang terjadi? Bukankah kau sedang berkencan dengan Itachi senpai?" tanya Ino dengan nada khawatir. Tangannya mengusap helaian merah mudaku lembut.
Deg~
ITACHI Nii~
-00000-
.
.
Nama itu, sekarang menjadi kata yang terlarang bagiku. Karena hanya mendengar nama itu disebut saja, sudah membuatku kembali meringkuk seharian di dalam gelungan selimut. Lalu aku akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendonorkan airmataku pada bantal tidur yang kudekap erat untuk meredam isak tangisku.
Nama itu.. telah mengisi hatiku, hidupku selama 2 tahun terakhir. Nama yang selalu kusebut sebelum aku terlelap. Nama itu bagai mantra ninabobo pengantar tidur bagiku. Hanya dengan mengucapkannya saja, aku merasa dia selalu ada dan menjagaku sebagai miliknya.
Ino, sahabat karibku khawatir sekali melihat kondisiku yang tidak stabil seperti ini. Sudah 2 hari berlalu dan yang kulakukan hanya berbaring dan menangis, tanpa menyentuh makanan ataupun menceritakan apa yang kualami pada orang lain.
Rasanya terlalu menyakitkan jika harus mengulang kembali cerita itu. Sungguh... rasanya aku tak mampu.
Ino mulai membujukku lembut untuk menceritakan masalahku. Karena yang dia tahu pada hari itu aku memang sempat berkata padanya jika akan pergi bersama kekasihku, Uchiha Itachi.
Dan saat itu, aku mengatakannya dengan nada bangga dan bahagia. Seperti yang selalu kulakukan selama 2 tahun menjalin kasih dengan pewaris dari klan Uchiha itu.
Namun, hari itu juga menjadi hari terakhir, hari terakhirku bersamanya...
=FLASHBACK MODE ON=
Aku sudah menunggunya cukup lama di cafe tempat biasanya kami berjumpa. Aku gusar, aku takut dia terlambat dan membuat kami harus mengundur jadwal nonton film yang sudah menjadi incaranku sejak lama.
Aku terus menerus melihat jam dengan gelisah. Kakiku pun menendang nendang sudut kaki meja untuk meredam kegusaranku. Namun rasanya tak juga banyak membantu.
Lalu aku melihatnya, berjalan dari kejauhan sana. Menerobos ramainya lautan manusia di seberang jalan. Aku tersenyum lebar dan ceria. Pangeranku sudah datang.
Pemuda tampan dengan helaian raven sepanjang punggung yang diikat model kuncir kuda itu berjalan menghampiriku. Wajahnya yang tampan sempura, dengan gaya pakaian khas orang berada itu membuat semua mata tertuju padanya. Kekasihku itu memang sosok yang mudah sekali mencuri perhatian orang lain.
Itachi Nii duduk di meja depanku. Wajahnya terlihat datar saja. Dia memang seperti itu. Berwajah sedingin es, namun hatinya sangatlah lembut dan hangat.
Aku mulai mengomel karena keterlambatanyya, namun dia menanggapiku biasa saja. Dia justru sibuk melirik ponselnya yang sejak tadi ditaruh di atas meja.
Hampir 5 kali dalam satu menit dia melirik handphonenya. Sesuatu yang tidak biasa dia lakukan. Aku mulai curiga, ada yang tidak beres dengan kekasihku itu.
Bahkan sampai saat kami menonton film, perhatiannya pun tak fokus padaku, dia justru sibuk mengutak atik gadgetnya itu. Entah dengan siapa dia sedang berhubungan, namun kelihatannya serius sekali.
Aku tak tahan lagi, aku kesal dan marah dia mengacuhkanku. Padahal ini kan waktunya kami berkencan.
Aku mengambil handphone yang sedang dipegangnya saat dia lengah. Seketika, dia menatapku marah,
"Kembalikan... " ujarnya dengan menjulurkan tangannya. Meminta barangnya itu dkembalikan. Namun aku menggeleng sambil menjauhkan diri dari tangannya.
"Tidak mau... tidak sebelum kau memberitahu apa yang terjadi. Ada apa Nii chan ?" Tanyaku padanya. Dia tampak marah kepadaku yang telah lancang mengambil barang pribadi miliknya.
"Kembalikan sekarang, Sakura...!?" pinta Itachi nii. Nadanya mulai meninggi.
Aku menggeleng kuat. "Tidak mau!" jawabku lagi, tidak mau kalah dengannya.
"KEMBALIKAN !" Sentaknya langsung ke arahku. Gelegar suaranya membuatku kaget, juga takut. Dia sebelumnya tak pernah menggunakan nada seperti itu padaku atau orang lain. Tapi tampaknya kali ini dia benar-benar marah.
Akhirnya aku menyerahkan gadget berwarna hitam itu padanya dengan ekspresi kesal juga takut.
Tiba-tiba, meluncur dari bibirnya kalimat yang seolah membuatku ingin mati saja ketimbang mendengarnya.
"Sakura... kita putus saja!" Ucapnya dengan nada paling tegas yang pernah kudengar seumur hidupku.
=FLASHBACK END=
-00000-
.
.
Waktu adalah sesuatu yang paling kejam di dunia. Dia tak mengenal kata berhenti ataupun jangan. Dia terus berputar mengelilingimu, mengajakmu berdansa bersamanya meski engkau letih dan ingin berhenti sejenak.
Yaaa, aku ingin waktu berhenti bergerak. Aku ingin waktu berhenti saat kami masih bersama, merajut asa di atas cinta yang sama. Namun seperti berharap hujan di gurun pasir tandus, itu akan menjadi sesuatu yang tak mungkin terjadi dan dilakukan.
Sudah seminggu sejak Itachi Nii memutuskan hubungan kami secara sepihak. Aku tak mengerti sebenarnya ada masalah apa sampai dia tega memutuskan hubungan kami begitu saja. Tanpa penjelasan sama sekali.
Kalimat terakhir yang aku dengar dari bibirnya adalah " Kita putus saja...".
Wanita mana yang rela hubungan yang sudah berjalan sejauh ini hancur begitu saja tanpa adanya riak atau ombak yang menerjang. Selama ini aku selalu menjaga hatiku hanya untuknya. Aku pun selalu menjaga diriku untuk menjadi pendamping yang pantas bagi pewaris klan ternama itu.
Namun, apa aku tak pantas? Apa keberadaanku mengganggunya? Memberinya aib serta noda? Aku sungguh tak mengerti apa yang sedang terjadi. Duniaku terasa hancur dan berantakan dalam sekejap.
Nii chan... andai kau tau bagaimana perasaanku saat ini. sakit Nii chan.. Tak bisakah kau mengerti sedikit saja, bahwa aku sungguh mencintaimu? Apa perasaanku ini tak pernah sampai padamu selama 2 tahun kita menjalani kisah cinta kita?
Nii chan, kenapa kau tega menusukku dengan sembilu berkarat yang racunnya terasa meremukkan jiwa? Apa salahku Nii chan? Apa kurangku selama menjadi pendampingmu?
Bicaralah Nii chan.. tak bisakah kita bicara baik-baik? Tak bisakah kau pikirkan lagi ucapanmu itu? Aku tak bisa Nii chan, aku tak sanggup kehilanganmu. Tidak jika tanpa penjelasan seperti ini.
Berulang kali aku mencoba menghubungimu, untuk menanyakan sebabnya, namun tak pernah sekalipun kau membalas usahaku. Apa bagimu sekarang, menjadi temanmu pun aku sudah tak berhak?
Kami-Sama... cobaanmu ini sungguh sulit kujalani. Aku tak bisa melihat apa-apa di depan sana. Dan kenapa rasanya bernafas pun sungguh sulit dan menyakitkan?
Selama hampir 2 minggu, aku terus tinggal di rumah sahabatku, Yamanaka Ino. Dia satu-satunya yang mengerti kondisiku saat ini dan mau menerima serta merawatku, dia berusaha menguatkanku. Tak jarang, kami menangis bersama sampai jatuh tertidur.
Tak ada yang bisa kulakukan. Yang mampu kukerjakan hanyalah menangis dan meratapi nasib. Sungguh aku benci dengan kelemahanku ini. Namun, aku tak kuasa melawan rasa sakit yang menghujamku bertubi-tubi setiap kali kenangan indah kami membayang di pelupuk mataku.
Hingga hari ini, Ino ada janji kencan dengan kekasihnya, Sai. Aku tidak ingin mengganggu meski dia nyaris membatalkan kencannya demi menemaniku. Aku tidak ingin menjadi benalu dalam kisah cinta sahabatku. Sakit ini... cukup aku saja yang merasakan.
Akhirnya, aku putuskan untuk kembali ke rumahku saat Ino pergi berkenan. Bagaimanapun, aku tak bisa selamanya menumpang tinggal di rumah Ino meski sahabatku itu dan kedua orangtuanya tidak keberatan.
Saat masuk rumah, kesedihan itu kembali menyeruak, bagai angin yang menerpa keras wajahku. Menamparnya hingga aku merasa kesakitan.
Kakiku melangkah menuju kamar pribadiku, kubuka pintunya perlahan. Segalanya masih sama seperti 2 minggu lalu, saat terakhir aku berada di kamar ini.
Kamar ini menjadi semacam kotak pandora bagiku, tempat segala kenangan bersama mantan kekasihku itu, segalanya berada disini. Mulai karcis nonton bioskop, barang-barang pemberiannya sampai foto kami berdua saat bahagia dan susah bersama.
Aku terjatuh duduk di lantai, gelombang kenangan bersama Itachi nii yang datang menerpa seketika membuatku roboh tak berdaya.
Aku menangis sesenggukan sambil meringkuk di lantai kamarku. Berulang kali, kata yang keluar dari bibirku hanya namanya saja.
Nii chan... nii chan,,, nii chan...
Entah berapa puluh kali nama itu kusebut, kupanggil namun dia tak jua datang. Kusebut namanya, namun tak juga melegakan.
Pikiranku kosong. Jiwaku hambar. Aku sudah merasa lelah, sangat lelah untuk terus hidup di dunia tanpanya, rasa sakit karena kehilangannya sungguh memporak porandakan hati dan jiwaku.
Lalu, entah bujukan dari mana asalnya, tanganku tiba-tiba saja sudah menggenggam cairan pembersih lantai yang biasanya tergeletak disudut kamar karena aku malas membersihkan kamarku.
Gemetar, kugenggam botol cairan kimia berbahaya itu.
Nii chan, hidup tanpamu.., tak ada artinya. Lebih baik aku mati saja...
Kutenggak langsung cairan berwarna biru pekat dan berbau menyengat
perutku mual dan tenggorokan ku rasanya seperti terbakar,
Aku memuntahkan kembali cairan itu. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti terbakar. Nafasku mulai sesak. Setiap sendi tubuhku sakit. Aliran darahku seperti bergejolak diatas bara api.
Sakit... Pedih... Perih...
Tolong aku, Nii chan..
.
.
.
TO BE CONTINUE~
