ilegal
[Assasination Classroom © Matsui Yuusei]
ungained-profit fic. mainly dorky friendship. setting: normal school life.
.
.
Maehara menepi dari arena lapangan setelah ngos-ngosan lari dua putaran. Bukan karena lelah—eh, itu juga sih—tapi sosok yang dari tadi mematung menghadap dinding beton sekolah sambil memainkan ponsel menarik atensinya untuk buyar dari pemanasan jam olahraga.
"Karma?" nama itu dilantun sedikit tersengal, "lagi ngeratapin nasib ya? Bukannya kelasmu tadi ke lab biologi?"
Karma membuka masker dan membiarkannya bertengger sepanjang rahang. "Rio sms. Katanya tungguin depan tempat biasa."
Maehara baru ngeh. "Dia telat lagi? Semangat ya, Base Mendarat."
"Yee, bantuin napa."
"Masih ada tiga putaran lagi nih. Entar kalo Karasuma-sensei balik, terus aku belom kelar kan berabe."
Tulungangkatbang- ringtone panggilan masuk berdering.
"Halo?" Karma menempelkan ponsel ke kuping. Sebelah tangan lainnya menuding tanah, atau bahasa lainnya; Mae, stay.
Maehara kecut.
"Karmaaa, kamu di manaa?"
"Aku di depan tembok biasanya—yang ada sulur-sulurnya itu."
"Enggak kelihatan, elah. Sulurnya yang sebelah luar dibabat sama tukang kebun."
"Bentar, bentar. Aku teriak aja ya?"
"Oke, buruaan. Ada anak anjing ngeliatin aku terus nih."
Karma menutupi layar ponsel. "Mae, sekarang kamu teriak."
"Ha? Kok aku sih?—dan kenapa harus teriak."
"Kamu kan lagi jam olahraga, teriak-teriak di lapangan gini kan nggak masalah. Nah, kalo aku yang teriak entar kedengaran guru BK yang lagi patroli dikirain aku bolos kelas gimana."
Kan emang situ bolos, Maehara membatin.
"Rio nggak tahu kita di sebelah mana—ayo dong, Mae."
"Aku harus teriak apaan nih?"
"Terserah udah."
Rese. "BULE RESEEEEE."
"MAE-CHAN! MAE-CHAN, KAN!? MANA KAMU, SINI MUNCUL JANGAN SEMBUNYI WOII!"
"BULE RESE, BULE RESE, BULE RESE!" Jadi seperti mantra jampi-jampi karena diulangi berkali-kali. Maehara begitu, sambil melompat-lompat kesana-kemari. Rio, dari balik tembok ikut bolak-balik kesana-kemari mengikuti sumber suara cempreng.
"Mae, jangan kambuh di sini." Karma menyuruh anak itu diam. "Inget, kamu masih ada tiga putaran lagi."
Maehara kicep.
"Halo, Karma. Yang bener dong. Si Mae nih malah muter-muter."
"Bentar. Oiya. Aku lempar sesuatu keluar aja ya?"
"Ooh, oke. Buruan. Ada om-om ngeliatin aku terus nih."
Karma menutupi layar ponsel. "Mae, sekarang kamu lepas baju."
"HAAA? KOK GITU?—dan kenapa harus lepas baju."
"Lempar ke seberang biar Rio tahu kita di sebelah mana. Masa iya aku lempar batu atau sepatu; kalo kena kepala Rio gimana. Nah, kamu kan pake kaos olahraga, kotor dikit enggak masalah kan."
Maehara ngedumel dalam hati. Dia celingukan kanan-kiri sebelum menyingkap kaos atasan olahraganya.
"Tuh." Kaos itu terbang dan tersangkut di atas tembok beton.
"Oh, aku lihat! Kaosnya… Mae-chan ya ini?"
"Yaudah, buruan manjat."
"Bentar, bentar, Karma! Ada satu problem lagi."
"…apaan?"
Maehara tidak bisa dengar apa yang dibicarakan Rio dari seberang telepon, tapi entah kenapa hawa tidak enak mulai menyisir badannya yang topless.
"Err, aku nggak pake daleman."
"… Rio."
"Yes?"
"Kamu tuh cewek bukan sih? Kalo ngomong jangan blak-blakan dong."
"Gyaa- kejam banget."
"Hmm.. sekarang gimana-"
Karma tiba-tiba saja tatapannya serius, memandang ke sini, ke arah Maehara. Dan cowok itu tiba-tiba merasa ingin pulang saja ke barisan kelasnya tanpa menunggu kaos olahraganya balik. "…apa?"
"Seribu tahun sekali aja, plis."
"APANYA?" Maehara siaga satu.
"Enggak lama, kok."
"Oi, Karma. Jangan deket-deket, aku masih doyan cewek dan ngeharem, plis- GYAAAMMMPPHH-"
"Jangan teriak-teriak, kampret! Kalo ada yang denger nanti dikiranya enggak-enggak!"
"HHHMMMPRRRRCCHHHNN!(baca: pelecehan!)"
Intinya, maksud dari adegan ini cuma Karma ingin mengambil alih celana training Maehara dan melemparkannya ke seberang tembok untuk dipakai Rio.
Adegan selesai.
Dan Maehara tepar.
Lemparan Karma melambung tinggi. Celana training itu tidak perlu nyangkut di atas tembok beton dan langsung sampai ke tangan Rio.
"Lho? Mae-chan-nya?" Tadi kaos, sekarang celana—lah?
"Udah makanya buruan."
Rio angkat bahu setelah sambungan telepon putus. Celana training Maehara dipakai—roknya masih terpasang di pinggang. Gadis itu mengambil ancang-ancang jarak sekian meter dari tembok, lari sprint, dan melompat sampai perutnya tersangkut di puncak tembok beton.
"Ada guru nggak?"
"All Clear."
Rio sedikit kesulitan memindahkan kaki-kakinya ke seberang.
"Bisa nggak?"
"Jagain situ dong, kujadiin base mendarat, ya."
Bandara kali base mendarat.
"Yaudah gih, sini."
Tangan Rio menopang di puncak tembok beton kuat-kuat dan badannya disaltokan jatuh ke depan. Kaki-kakinya yang pertama kali menimpa pundak Karma—atau lebih tepatnya menghantam—sebentar sampai Rio bersalto lagi supaya bisa langsung berdiri di tanah.
Karma berkedip-kedip. Anak itu tergeletak—Rio berhasil membuatnya jatuh—di tanah, masih mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Ahaha, sori sori. Sakit ya?"
"… Banget." Badannya mati rasa tidak sedikitpun bergerak—cuma dadanya saja naik-turun butuh bernapas.
"Karma soriiii. Oiya, ini kaosnya Mae—mana anak itu- MAE-CHAAN!" Rio buru-buru menghampiri cowok di bawah pohon yang keadaannya miris seperti baru saja selesai dianuanu. "YAOLOOHH TEMENKU PADA KENAPAA."
"Nakamura Rio, Akabane Karma, Maehara Hiroto—kalian bertiga lagi. Nggak bosan-bosan ya buat ulah?"
Rio menoleh patah-patah. "Eh, ada ketos."
"Kalian bertiga ke BK, sekarang. Dan Rio—kamu telat, kan? Pelanggaranmu lebih berat." Di belakang si ketua OSIS Asano Gakushuu, barisan patroli guru bimbingan konseling mengantri ibarat disuguhi tangkapan besar. Siapa lagi kalau tangkapannya bukan para pembuat onar kelas kakap se-sekolahan.
"Eh, ketosnya bawa pasukan."
a.n. iya tamat. gamau tau pokonya tamat /kabur
/tetiba balik HHNNGG mereka lutca ya kalo disatuin kaya ada rendang-rendangnya gituuu /kabur lagi
p.s. spiderman di civil war happyvirus banget yhaaa:'))))) dan endingnya gemesingemesgemess rasanya pengen karungin steve terus mor ajak jalan-jalan cari udara seger gdi:'))
omake
"Oke, sekarang kalian berpasangan dua-dua buat peregangan tubuh."
Yang lain segera membentuk formasi berdua-duaan, tapi Isogai celingukan sendiri persis orang hilang. Sepertinya ada anggota kelas mereka yang raib entah siapa.
Sugaya yang baru memulai peregangan tangan, berbaik hati menyampaikan keadaan genting ini ke guru yang bersangkutan. Suaranya keras dan lantang mengundang semua kepala menoleh ke arah yang dituju Sugaya. "Pak, ada yang jomblo."
Isogai menoleh ke sumber suara itu, s-lo-w-mo-ti-oon. "Eh, tahik kamu."
