hyoon©2016
.
My 2nd remake story, with holiday theme yay/?
.
.
CHAJATTA
"Hanya satu yang dapat membuktikan. Kau, aku, dan perjalanan ini!"
.
.
Enjoyeuuuu~
DAY 1. Fly to Home?
"Na jigeum se~ncihae!..."
Suara musik berdentum keras keluar dari sebuah headphone. Pemiliknya sedang duduk di atas koper besar berwarna merah, asyik memainkan PSP dengan kepala bergoyang-goyang mengikuti irama. Orang-orang yang lewat melirik penasaran dan berubah mengernyit saat melihat hoodie kebesaran, jeans putih diatas lutut, serta kaos kaki hitam yang jelas-jelas begitu kontras dengan sneakers putih yang dipakainya.
Sang pemilik keanehan itu tak tampak menyadari situasi di sekelilingnya. Ia asyik menendang dan memelintir Lei, lawan Jin―karakter yang sedang dimainkannya―. Jika berhasil mengalahkan Lei, ia akan mendapat gelar kehormatan baru sebagai seorang Master.
"AH!" serunya membuat sepasang suami istri lansia yang kebetulan lewat berjengit kaget. Masih tampak tak sadar, pemuda itu sekarang malah sibuk mengutuki si Jin yang tadi telat menendang dan akhirnya terkapar di balik tulisan game over.
Sambil mendesis sebal, ia mematikan PSP, memutuskan untuk melanjutkannya di pesawat agar bisa berkonsentrasi penuh. Ia lantas melirik Levi'snya. Sudah satu jam berlalu semenjak ia tiba di terminal keberangkatan internasional Beijing International Capital Airport, tetapi rombongan Together Tour, travel agent yang akan memandunya ke Korea Selatan, belum juga nampak. Pesawat seperempat jam lagi berangkat dan ia masih berada di luar. Hebat.
"Zai nali de ren...(kemana sih orang-orang)" gumamnya dengan logat cantonese yang kentara, menatap sekeliling yang ramai. Beberapa pemuda bule yang memanggul ransel besar tampak turun dari taksi dan bergegas masuk ke terminal. Ia refleks merapikan poni pirang mengkilatnya, walaupun para pemuda itu bahkan tak sempat melirik.
Ia masih memperhatikan punggung para pemuda itu―berharap bisa satu pesawat dengan mereka dan mengobrol untuk menjajal kemampuan berbahasa Inggrisnya―saat seorang pemuda lain muncul dari belakang dan menabraknya, lebih tepatnya, menabrak PSPnya. Sekarang, benda malang itu meluncur bebas di lantai terakota, "Oops, sorry,"
Sebelum ia sempat bereaksi, sepasang kekasih dengan troli penuh muatan tahu-tahu lewat dan melindas PSP itu.
KRAK!
Ia mengerjapkan mata beberapa kali.
"AAAAAAAAHH!" pekiknya begitu sadar, lantas segera berlari menuju PSPnya. Saat mendapati layar konsol kesayangannya itu retak, seketika pemuda itu merasa nyawanya terbang meninggalkan tubuh.
"Uuh, sorry, we didn't purpose to.." sepasang turis itu beralasan, lantas buru-buru minggat. Pemuda itu tak sempat mengejar mereka, ia masih dalam keadaan vacuum of soul.
Pemuda itu mengelus layar benda pipih persegi yang sekarang sudah terbagi dua secara vertikal, lalu coba menyalakannya. Warna aurora sekarang menghiasi layar dan terdengar suara rebek mirip boneka talking-chuckienya yang tak pernah diganti baterai.
"Jin...," ratapnya masygul, ling-lung.
Belum lama ia meratap, sebuah kartu tahu-tahu muncul tepat di depan matanya. Ia menatap kartu itu dan mencoba membaca tulisannya,
SParkDezign, PT
RICHARD PARK
Principal & Design Director
park_richardatsparkdezigndotca
+121xxxxx2
Pemuda itu mendongak dan mendapati seorang pria tinggi dengan mantel coklat tua ala Gu Junpyo sedang setengah membungkuk di depannya. Pria itu membuka RayBan yang dikenakan-tampak garis wajah tegas dengan mata besar dan bibir tebal sensual―lantas menggoyangkan kartu yang dijepitnya dengan jari telunjuk dan jari tengah tersebut.
Walaupun tak mengerti, pemuda itu menerimanya juga.
"Two weeks later, contact me at that number," ujarnya dengan suara berat khas rapper-rapper lawas yang biasa ia tonton di acara TV Show Me the Money, "now i'm in hurry to chase the flight."
Tak terlihat repot-repot menunggu reaksi pemuda dihadapannya, pria itu kembali mengenakan RayBan, bangkit dan menarik kopernya masuk ke antrean. Sang korban sendiri masih melongo sambil berlutut di lantai, sampai akhirnya seorang petugas menyuruhnya minggir karena dianggap menghalangi jalan.
Pemuda bersurai ash blonde itu bangkit dan kembali duduk di kopernya sambil menepuk-nepuk lutu yang kotor. Ia menatap PSPnya yang tampak menyedihkan, lalu beralhi pada kartu nama di tangan kirinya.
"Cih, dasar ahjussi norak jaman sekarang, malam-malam begiini pakai kacamata hitam segala sih." gerutunya sebal teringat gelar sang Master yang hampir dicapainya hangus begitu saja. Ia hampir menyobek kartu nama itu kalau tidak tiba-tiba sadar ia bisa meminta lebih dari sekedar PSP. Ia akan meminta PS4, konsol yang lebih mahal dari PSP butut miliknya. Nyehehehe.
Ia sedang terkekeh sendiri-mengagumi otak bulusnya―saat secara tak sengaja melihat sebuah rombongan yang dipandu seorang pria lewat di dalam terminal. Seketika punggungnya menegak, merasa mengenali sosok pemandu itu.
"Shushu!(Paman)" jeritnya membuat semua orang menatapnya. Semua, kecuali subjek yang ia panggil. Rombongan itu lewat tanpa menengok sedikit pun dan menghilang di balik tembok.
Pemuda itu segera menarik koper masuk ke antrean, menyerobot beberapa orang sekaligus. Petugas pemeriksa paspor menatapnya tak suka, tetapi ia hanya bisa nyengir bersalah. Bisa-bisa ia ditinggal rombongan kalau tak buru-buru menyusul.
Setelah lepas dari pemeriksaan x-ray, ia segera menyeret kopernya untuk mengejar rombongan yang sedang mengantre check-in.
"Zhoumi shushuuuuu!"
Serunya lagi membuat semua orang-sekarang termasuk subjek yang dipanggilnya-menengok. Pemuda itu berlari sekuat tenaga kearah mereka.
"Oh, Byun Baixian!" seru Zhoumi, seorang laki-laki awal empat puluh yang masih tampak bugar. "Kau kemana saja? Kami menunggu dari tadi! Hampir saja ditinggal."
"Aku pun menunggu dari tadii!" pemuda yang ternyata bernama Baixian itu berhenti di depan Zhoumi, lalu berusaha mengambil napas, "aku menunggu sejam!"
"Zhen de ma (masa iya)? Kau menunggu dimana? Kok tidak kelihatan?" Zhoumi masih berseru, sepertinya terbawa suasana. Orang-orang yang lewat mulai menatap kami dan berbisik-bisik.
"Di depan terminal duaa, sesuai itinerary!" balas Baixian, masih dengan napas terengah dan nada tinggi.
"Di depan? Kami semua menunggu di dalam!," seru Zhoumi, membuat Baixian melongo, "ada di itinerary!"
Baixian segera mengaduk ransel dan menarik secarik kertas HVS kumal yang terlipat delapan, lalu membukanya tak sabar.
DAY ONE
Berkumpul di dalam terminal 2 BICA pada pukul 20.30.
Baixian menelan ludah, merasa sangat bodoh karena tak membaca itinerary tahun ini dengan seksama. "Tahun lalu kayaknya di depan terminal deh, shu?" Baixian mencoba-coba.
"Memang, tapi tahun lalu kita ditegur oleh petugas, jadi tahun ini dipindah ke dalam. Peserta tour kali ini lebih banyak dari tahun kemarin Xian-ah."
Baixian mengangguk-angguk konyol sendiri.
"Mana ditelepon dari tadi nggak diangkat-angkat," keluh Zhoumi lagi, mendengus ke arah pemuda sembrono di hadapannya yang hanya bisa nyengir bersalah. Baixian segera merogoh ponsel dari saku hoodie, lantas meringis saat menemukan lima belas panggilan tak terjawab dari Zhoumi. Salahkan si alot Lei yang susah sekali ditaklukan hingga tak sadar Zhoumi menelponnya.
"Baoqian~ (maaf) ehehe " Baixian mengeluarkan pose V sign sok imutnya membuat Zhoumi melirik malas headphone besar yang terkalung di leher Baixian, sumber keladi.
"Jiben.. Meiguanxi (dasar.. ya sudah), yang penting belum ketinggalan." katanya maklum.
Baixian melipat kertas itinerary dan menyurukkannya sembarangan ke dalam ransel sebelum menarik koper menuju barisan antrean, bergabung dengan peserta tour lainnya. Rombongan Together Tour sudah membentuk antrean sepanjang lima meter dengan berbagai barang bawaan, tetapi tidak ada yang sebesar koper merah miliknya. Diiringi tatapan sebal beberapa orang karena sudah dibuat menunggu, Baixian mengambil tempat di antrian paling belakang seraya menebar senyum kikuk-yang tentu saja tak berbalas.
Ia sedang memasukkan PSP ke ransel saat merasa mengenali mantel coklat tua yang ada di depannya. Baixian mendongak, rupanya pria RayBan yang tadi.
"AH!" serunya membuat pria RayBan itu menengok sedikit ke belakang. "Ahjussi yang tadi! Ahjussi..." Baixian buru-buru mengaduk ransel untuk mengeluarkan kartu nama yang pria itu berikan. "Park Richard ahjussi!" Ya, Baixian sengaja mengganti bahasanya menyadari kebangsaan pria super tinggi di hadapannya ini. Mana lagi kalau bukan orang Korea yang menggunakan Park sebagai nama depannya, ditambah lagi mukanya yang tak menunjukkan sedikitpun gen barat seperti turis-turis yang biasa dijumpainya. Jangan tanyakan kenapa ia fasih berbahasa Korea, asal kalian tahu kalau ia juga menyandang marga Byun di depan nama Cinanya, hasil warisan sang ayah yang murni keturunan negri ginseng tersebut.
Richard mengerinyit tak suka di balik Raybannya, "Sorry?"
Gantian Baixian yang mengerinyit.
"Can you speak in English or Chinese? I Can't understand-"
Orang ini memang tak berniat menggubrisnya atau memang benar-benar tak mengerti Hangul? Lantas 'Park' itu apa...
"Shushu tak ingat? Shushu yang tadi nabrak saya, yang ngerusakin PSP saya!" Baixian mengganti bahasanya lagi, segera mengeluarkan PSP dan mengacungkannya tepat di depan wajah Richard.
Richard menatap PSP rusak yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya, lalu menyingkirkannya dari pandangan. Ia lantas melepas kacamata hitam dan menatap pemuda berisik di depannya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Bocah korban mode ini pasti hanya berusia tujuh belas tahun saja, atau mungkin kurang. Namun, tetap saja Richard tidak suka dipanggil 'om' oleh pemuda yang sudah bisa travelling ke luar negeri sendirian. Kesannya teramat sangat konotatif.
"Ya kan, shu?" seru pemuda itu lagi, membuat telinga Richard berdenging. Orang0orang sekarang sudah menatap mereka ingin tahu. Beberapa malah menatap Richard sinis.
"Jangan teriak-teriak begitu, atau semua orang akan menyangka yang tidak-tidak," desis Richard dengan suara rendah yang memang sudah rendah, membuat Baixian segera membekap mulutnya sendiri.
"Tapi, shushu memang ngerusakin PSP saya, kan? Ngaku deh, shu..." bisik Baixian, membuat Richard menatapnya tanpa ekspresi.
"No need to worry, i'll pay." Richard lantas menyadari sesuatu, "Ah, berhubung kamu juga ikut rombongan ini, akan saya ganti setelah saya menemukan ATM."
Baixian segera mengangguk senang, dalam otaknya bermunculan konsol baru yang akan menjadi PSPnya. Sementara itu, Richard sudah kembali menatap ke depan, sebisa mungkin tak berurusan lebih jauh dengan remaja labil itu.
Urusannya sendiri sudah cukup banyak.
.
.
.
.
Setelah semua orang selesai mendaftarkan bagasi, Zhoumi memandu mereka menuju ruang tunggu. Sekarang, semuanya sudah sibuk bercengkrama, berkenalan satu sama lain. Baixian sendiri sudah bisa mengingat nama semua peserta tour yang berjumlah dua puluh delapan orang dalam waktu singkat, dan sekarang sibuk dengan playlist iPod.
Secarik kertas kecil tahu-tahu muncul diantara iPod dan matanya. Baixian mendongak dan mendapati Richard sudah ada di hadapannya, menyodorkan sebuah struk dari ATM dengan tampang datar. Baixian jadi bertanya-tanya dalam hati, apa gerakan menyodorkan-sesuatu-di-depan-mata-sebelum-bicara adalah signature orang itu.
"Saya sudah transfer lima juta ke rekening yang kau berikan," kata Richard sementara Baixian menerima struk itu dan membacanya. Richard lantas mendesah. "Expensive like that, such toys only."
Baixian sedapat mungkin mengontrol ekspresinya. "Yang mahal itu segala perjuangannya, shu.. Saya sudah menempuh perjalanan jauh demi menjadi Master dan mencapai tingkat lima di seluruh gedung Tamagotchi, dan itu tidak akan bisa terganti oleh uang sekali pun."
"Terserahlah" gumam Richard, tak ingin tahu lebih jauh. Ia melangkahkan kaki untuk duduk di kursi paling belakang.
Baixian mengawasi gerakan Richard, dan saat yakin pria itu tidak sedang menatapnya balik, ia mulai mengikik tertahan. Dengan uang lima juta ini, ia bisa membeli konsol baru yang lebih spektakuler. Atau, ia bisa membelanjakannya untuk album SNSD baru di Korea nanti.
Ia sama sekali tak sadar kalau dari belakang, Richard memperhatikan punggungnya yang bergerak-gerak.
"Ternyata memang bukan segitu harganya," gumam Richard penuh penyesalan, merasa dijebak. Anak remaja jaman sekarang memang menakutkan.
Tahu-tahu, saku celananya bergetar. Richard mengeluarkan ponsel dan menatap notifikasi e-mail yang masuk. Ia menekan tanda amplop, detik berikutnya muncul sebuah e-mail.
From : kris_wu sparkdezigndotca
To : richard_park sparkdezigndotca
Subject : Orients Cafe design revision
As attached. Should be done by 24th. Come home soon, we miss u already, Yoda.
Richard menatap e-mail itu untuk beberapa saat, lalu mengehela napas. Supaya bisa ke Korea, ia harus direpotkan oleh deadline ketat selama satu minggu. Belum apa-apa, sekarang salah satu pekerjaannya itu sudah minta revisi. Kalau begini caranya, bisa-bisa RayBan tak akan muat untuk menutupi lingkar hitam di sekeliling matanya.
Sambil mendesah, Richard mengeluarkan iPad dari tas. Kris-sepupu sekaligus project director dari firma arsitektur yang dipimpinnya-seperti tidak bisa melihatnya bahagia. Kris selalu saja mencoba untuk membunuhnya, bahkan dari jaraj jauh. Richard memang menduga dirinya akan tetap bekerja walaupun dalam perjalanan, tapi ia tidak pernah menduga pekerjaan itu datang bahkan sebelum ia naik ke pesawat. Kris memang pandai dalam menyiksa siapapun, bahkan bosnya sendiri.
Richard sedang membuka attachment e-mail tadi ketika sebuah benda pirang mengilat mendadak muncul di depan iPadnya. Richard terlonjak kaget saat menyadari benda tersebut adalah kepala Baixian. Baixian sendiri asyik menatap design 3D di iPad itu.
"Whoaa.. Jihao!" komentarnya membuat Richard mengernyit, "Shushu arsitek hoo?"
Alih-alih menjawab, Richard malah menggeser posisinya ke kursi sebelah, menjauhi pemuda itu. Urusan PSP sudah selesai, harusnya tak ada urusan yang lain.
Baixian sendiri menatap Richard ingin tahu. Ia sedang merasa sangat bersemangat. Hari ini, ia akan terbang ke Korea lagi, rumahnya. Seluruh tubuhnya seperti tergelitik dan membuatnya tak bisa diam. Rasanya, ia ingin menyapa siapa saja termasuk pria di sampingnya ini.
"Kita dipanggil sama Zhoumi shushu lho," ujar Baixian lagi, membuat Richard akhirnya menoleh. Zhoumi memang sudah melambai-lambai di tengah kerumunan peserta tour.
Richard melirik Baixian yang nyengir lebar, lalu menghela napas. Setelah memasukkan kembali iPad ke tas, Richard bangkit dan melangkah ke arah rombongan, tanpa bermaksud mengikuti pemuda itu.
"Yak, sekarang saya akan mengabsen peserta tour. Berhubung rombongan kita kali ini agak besar, saya ingin membagi kelompok sesuai dengan tempat duduk di pesawat. Nanti, siapa pun yang ada di sebelah anda, itu adalah pasangan anda selama tour." Zhoumi menjelaskan sementara semua peserta mengangguk-angguk paham. "Dan, selama tour, diharapkan anda dan pasangan selalu saling mengawasi satu sama lain. Ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan."
Richard segera mengerling Baixian setelah Zhoumi selesai bicara. Entah mengapa, ia punya firasat buruk soal ini. Richard bersedia menyumbangkan iPadnya kepada siapa pun yang membutuhkan asal ia tidak satu tempat duduk dengan bocah berisik ini.
Dan, ia serius.
.
.
.
.
Ipad Richard tetap menjadi miliknya, Firasatnya sama sekali terbukti. Sekarang, bocah berisik itu sedang memasukkan ransel ke bagasi tepat di atas kepalanya.
"Eh, shushu lagi," celetuk Baixian ceria saat menemukan Richard yang sudah lebih dulu duduk. Richard sendiri tak banyak bereaksi. Ia hanya menghela napas sambil membuang pandangan ke luar jendela.
Sambil memperhatikan Richard, Baixian duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat, Baixian masih menatapnya, seperti menimbang-nimbang sesuatu. Richard sendiri bisa merasakan tatapan itu, tetapi mencoba untuk tak peduli. Ia sama sekali tidak mau memulai percakapan, dan berharap bocah ini juga merasakan hal yang sama.
"Uhmm..."
Richard hampir menepuk jidatnya sendiri saat kembali mendengar suara pemuda itu. Richard menoleh, lalu menatap Baixian sebal.
"Boleh tidak, shu, kita..." Baixian menempel-nempelkan kedua telunjuk sambil memasang tampang imut. "...tukeran kursi?"
Tampang Richard berubah datar. "Nggak."
"Kenapa?" rengek Baixian. "Saya ingin lihat citylight, shuu.."
"Begini ya," Richard membenarkan posisi duduknya untuk menatap Baixian serius, "kalau misalnya kita bertukar tempat duduk, lalu terjadi kecelakaan. Seandainya kamu tewas dalam kecelakaan itu, sedangkan saya tidak, yang akan diberitahukan tewas adalah saya dan itu bisa membuat keluarga saya terkena serangan jantung. Saya tidak mau itu terjadi."
Baixian mengerjap beberapa kali, tetapi Richard sudah kembali membuang muka. Menurut Richard, bocah berisik itu harus diberi pelajaran sesekali agar tidak terus-menerus mengganggunya.
"Shu," kata Baixian lagi, membuat Richard nenejankab mata untuk beberapa saat sebelum akhirnya menengok dengan enggan, Baixian masih tampak ceria, sama sekali tak terganggu dengan penjelasan sarkas Richard tadi. "Golongan darah shushu pasti A, deh."
Richard mengernyit. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Shushu orangnya serius, sensitif, terus kayaknya introvert gitu," jawab Baixian membuat Richard sedikit menganga.
Tak ada yang pernah menebak golongan darak dan menyimpulkan karakternya dalam sekali percobaan. Bahkan Kris, yang sudah ia kenal selama seumur hidupnya. Dan, bocah yang baru dikenalnya ini, melakukannya.
"Bener kan, shu?" tanya Baixian membuat Richard tersadar.
Richard berdeham, pura-pura tertarik pada katalok yang terselip di tempat duduk. Kalau terus meladeni Baixian, bisa-bisa bocah itu melunjak dan terus berusaha membaca sifatnya.
"Saya paham kok, shu." Baixian menepuk bahu Richard akrab. "Saya punya teman golongan darahnya A, sinisnya sebelas dua belas sama shushu. Tapi, karena saya orangnya ramah dan ceria, jadi saya tak pernah ambil pusing."
Richard menatap Baixian tak percaya, tetapi bocah itu malah balas menatapnya dengan senyuman manis. Tampak tak memedulikan tampang Richard, sekarang ia malah bersenandung sambil mengeluarkan ponsel dari saku hoodie.
Richard baru akan kembali membuang muka saat tak sengaja melihat ponsel pemuda itu. Sebenarnya, ponsel itu hanya iPhone yang sama dengan miliknya, tetapi segala benda berbentuk kepala orang dan boneka yang tergantung di sana membuatnya benar-benar tampak mengerikan.
"Apa itu?" tanya Richard refleks, tidak bermaksud benar-benar bertanya.
"Ini? Hapeku." Baixian menyodorkan ponselnya yang segera mengeluarkan bunyi gemerincing hebat, sementara Richard memfokuskan tatapannya pada kepala-kepala malang yang tergantung disana. Baixian mengikuti pandangannya. "Ah, ini? Ini Kumamon. Kalau yang ini SNSD! Girls' Generation!"
"Girls' Generatiooon, girlband korea itu loh shu, yang membernya ada sembilan! Walaupun sekarang tinggal delapan sih...*sob* terkenal banget shu! Sering datang ke Cina juga!" seru Baixian dengan mata berbinar-binar, persis sales yang baru menemukan mangsa.
Richard lantas teringat sesuatu. Kalau tidak salah, seorang di masa lalunya juga pernah menyebut nama girlband itu. Seorang itu juga menyukai girlband tersebut, bahkan sampai menempel poster seukuran peta dunia di kamarnya. Richard ingat pernah mengejeknya karena sembilan orang untuk sebuah band adalah lelucon.
"Membernya cantik-cantik bangett~ Ini aku tunjukkan. Yang ini namanya Taeyeon, leadernya. Dia paling tua tapi baby face, imut banget! Terus ini Sooyoung, si Shikshin. Dipanggil shikshin soalnyablablablablublah..." Baixian terus nyerocos, memperkenalkan masing-masing kepala yang tergantung dengan penuh semangat.
Selama beberapa menit, Richard hanya menatapnya tanpa minat. Pemuda itu masih bersikeras memperkenalkan kesembilan personil SNSD, bahkan sampai menyisipkan trivia.
"Terus ada juga satu subgrup mereka, TTS! TTS yang disini bukan teka-teki silang lho tapi-"
"Kita akan take off, matikan." perintah Richard membuat cerocosan Baixian terhenti.
"Ah! Iya benar." Baixian buru-buru mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke saku hoodie. Detik berikutnya, ia menepuk tangan, seolah teringat sesuatu. "Oh iya, shu! Kita tetap bisa lihat lewat iPod, kan?"
"Tak perlu." Richard mengencangkan sabuk pengaman.
"No problemooo. Ini sekalian kuperlihatkan konsernya..." Richard menatap gadis di sampingnya-yang sudah sibuk dengan dunianya sendiri- lalu mengehal napas berat. Ternyata, Richard benar-benar sial karena pasangan tournya adalah bocah yang selain berisik, tukang ikut campur, juga seorang korean freak. Yang terakhir inilah tepatnya yang teramat sangat tidak ia sukai. Memang berat mengakui kalau ia pun masih menyandang keturunan tumpah darah Korea dalam dirinya, marganya. Ia bahkan tak menguasai bahasa negara asalnya sendiri itu, dan ini adalah kali pertama baginya menginjakkan kaki di rumahnya sendiri setelah sekian lama menetap di Kanada bersama keluarga besarnya yang terpencar-pencar.
Richard tidak menyukai semua hal tentang Korea. Apa pun, termasuk ide untuk duduk di pesawat ini menuju ke sana. Namun, ada sesuatu yang membuatnya harus menomorduakan ketidaksukaannya dan pergi.
Sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi.
.
.
.
.
TBC!
Wuannyeoooo~ng kalian!
apa kabarnya yang lagi ujian sekolah tapi masih sempet-sempetnya buka ffn :v
btw makasi lhu udah mampir, makasih juga udah nyempet"in baca Chajatta ini.
kalo ada yang ngerasa familiar sama cerita ini,, seperti yang digaris bawahi di paling atas, ini ff remake !
so for u disclaimers, dldr :3
.
Sincerelly,
- 오 세현 -
