Konoha yang sibuk, meski di malam hari.

Satu kalimat itu sudah menjelaskan segalanya. Kota metropolitan yang menjadi persinggahan para investor dan turis dari berbagai negara, membuatnya menjadi kota yang selalu ramai bahkan di tengah malam sekalipun. Anekdot sekalipun dibuat dengan bunyi sebagai berikut : "Konoha bahkan masih bisa hidup ketika seluruh penduduk aslinya berpindah ke Suna yang sunyi dan berada di tengah padang pasir sekalipun", katanya. Who knows?

Tak ada yang tak bisa ditemukan di kota itu; bisnis, politik, perdagangan, pendidikan, dan segala aspek yang dibutuhkan kehidupan seolah berkumpul menjadi satu disana. Orang bilang, bahkan barang ilegal sekalipun diperdagangkan—dengan diam-diam tentunya, namun antusias pembelinya begitu membuncah tatkala di Konoha. Khas kota metropolitan, huh?

Begitu pula saat malam hari, dimana waktu istirahat bagi orang yang seharian lelah bekerja dan belajar, memutuskan mencari hiburan duniawi sekaligus orang yang memanfaatkan kesempatan dengan menawarkan hiburan tersebut berkumpul. Meski kedudukan matahari telah digantikan rembulan sejak beberapa jam yang lalu, jalan raya dan pertokoan—bahkan bar dan pachinko sekalipun—yang ada sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan kehilangan manusia yang hilir-mudik, entah apa saja tujuan mereka.

Lalu, di antara sekian banyak orang itulah seorang pemuda—tidak, ada seorang lagi yang menemaninya, berjalan di belakangnya, penuh dengan tatapan awas—menyusuri jalanan ramai Konoha sebelum kemudian berbelok ke gang sempit yang menghubungkan beberapa bar kecil nan kumuh, kedai makan yang tidak mampu mengontrak di tempat yang lebih strategis lagi, dan bagian belakang pertokoan besar. Langkah keduanya mantap, ditambah dengan suara 'tok, tok' menggema yang berasal dari sepatu pantofel kulit mahal yang mereka kenakan menambah kesan 'tinggi hati' bagi orang-orang yang mereka lewati; well, jangan lupakan raut dingin kedua pemuda yang terlihat sepantaran tersebut beserta jas dan jubah hitam mereka. Beberapa pemilik kedai kecil yang mengamati lekat-lekat kehadiran mereka bahkan berlekas-lekas menutup kedainya, mengerti dengan apa yang akan terjadi.

Itu adalah pemandangan semenit sebelum suara sepatu-sepatu pantofel berhenti bergaung di ujung gang tersebut dan dilanjutkan dengan sekali suara letusan senjata api diperdengarkan.


.

.

From Whte to Dark

[A Replacement Fanfiction for Wounded Animal]

.

.

A Naruto's Fanfiction

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: flat storyline! AU, AR, OOC, typo(s), boring, etc!

.

.

Enjoy

.

.


"Lagi-lagi persaingan antar geng."

Gumaman Hatake Kakashi merupakan salah satu adegan final sebelum seluruh petugas kepolisian Konohagakure mengangkut apa yang manusia namakan sebagai 'mayat' dan bubar, bergegas kembali menuju kantor masing-masing, begitu pula dengan pria berambut perak tersebut. Bersama seorang perempuan yang membantunya mencatat beberapa hal di tempat kejadian perkara—begitu mereka menyebutnya, langkah kakinya gontai menuju mobil khusus yang hanya mereka yang memiliki ijin saja yang mampu menaikinya.

"Hatake-san, kupikir belakangan ini semakin sering terjadi kasus semacam ini, dimana bahkan pemimpin geng yang seharusnya bersembunyi di kantor mewah mereka meregang nyawa di gang kotor seperti ini... apakah menurutmu akan ada sesuatu yang terjadi di kota ini?"

"Sesuatu selalu terjadi di antara mereka," Kakashi kembali menggumam—atau begitulah yang orang dengar karena masker yang selalu ia kenakan semenjak sebuah insiden meninggalkan bekas robek di wajahnya, "dan aku bertaruh bahwa tahun ini mereka sedang memperebutkan hal paling besar, yang bahkan mungkin Pemerintah dan Kepolisian Pusat pun tidak berani mengurusinya."

"Maksud Anda?"

Kakashi menoleh sebentar sebelum kemudian menyalakan mobil yang kini ia dan perempuan itu tumpangi.

"Mungkin akan ada pertumpahan darah akibat perang terbuka antar geng seperti yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, Sakura."

.

.

Terdapat beberapa rumah mewah dan kantor-kantor besar di sudut kota Konoha yang dipenuhi hiruk-pikuk. Sebenarnya orang akan menyebutnya sebagai kawasan elit, mengingat pemilik-pemilik rumah tersebut yang memiliki status dan andil di berbagai sektor penting yang menyangkut kelangsungan negara Konohagakure. Kau bisa memilih; para pejabat negara yang berperan aktif turun-temurun semenjak jaman nenek dan kakek buyut mereka, pemilik perusahaan dan direktur kaya yang tidak puas bertempat tinggal di apartemen yang berada di tengah kota, jenderal-jenderal militer yang sudah tua dan mungkin malah telah usai masa baktinya, dan para ketua kelompok hitam.

Oh, ayolah, nama paling belakang itu tak mungkin terlewat, bukan? Di setiap tempat yang memiliki cahaya, disanalah ada bayangan; orang jaman dulu pernah mengatakannya. Jadi, meski Konoha memiliki berbagai aturan ketat mengenai ilegalitas suatu kelompok yang bertujuan merusak susunan harmonis masyarakat dan melakukan kegiatan yang mungkin meresahkan orang awam, beserta unit-unit keamanan yang senantiasa bertugas 24 jam mengawasi kejahatan yang tak lelah juga beredar di Konoha, kelompok itu tetap ada. Bahkan mungkin berjaya.

"Karena itulah aku menyukai kota ini."

Kalimat bertujuan menyindir terlontar dari mulut seorang pemuda yang tengah mengamati pemandangan yang tersaji dari balkon lantai dua mansionnya. Dengan seorang lagi pemuda pirang yang mendengarkan khusyuk seolah ia tengah mendengar sebuah misa dari seorang Uskup Agung, ia tak memotong satu katapun, bahkan untuk mengalihkan perhatiannya ke lain hal; ia duduk tenang di sofa yang tak jauh terletak di tengah ruangan dan mendengarkan setiap kalimat yang dikatakan pemuda yang memiliki iris sehitam batu obsidian tersebut.

Pemuda yang sama, yang tadi malam menembak kepala seorang pesaingnya tanpa rasa kasihan sedikitpun; bahkan matanya tak berkedip melihat darah mengalir deras dari mayat yang ada di depannya. Pemuda yang begitu dingin, bahkan pada anak buahnya sekalipun. Pemuda yang dikenal orang sebagai salah satu harapan negara karena bakat dan kejeniusannya beserta statusnya sebagai klan Uchiha yang merupakan salah satu klan yang berperan besar dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Konohagakure...itu sebelum dia 'berubah jalan' dan 'tersesat' menjadi seseorang yang bahkan mungkin sudah menjadi buronan utama badan intelijen negara, jika saja Itachi Uchiha yang memiliki andil besar dalam dunia perpolitikan tidak campur tangan.

Singkatnya, model penjahat sejati mungkin sudah melekat dalam diri Sasuke Uchiha.

"Dua minggu lagi, dimana kita akan menerima barang itu," lanjutnya lagi, bercerita pada pemuda yang masih menyimaknya, "kita akan menerima 'sang malaikat'. Dan sampai saat itu tiba, sebisa mungkin kita harus mengurangi jumlah geng yang ada di Konoha ini. Jika tidak..."

"Jika tidak?"

Sebuah kalimat tak sabar akhirnya terucap dari mulut pemuda pirang tersebut.

" Jika tidak," pemuda Uchiha itu menoleh dengan tatapan tajam yang ditunjukkannya semalam, "Konoha akan menjadi medan perang antar geng dan mungkin saja hancur seperti halnya negeri Iwa."

"Lalu apa maksudmu dengan 'sang malaikat' yang akan sampai ke Konoha dua minggu lagi?"

Senyum dingin merekah di paras tampan Sasuke.

"Kau akan tahu nanti. Itu adalah senjata pertama yang diciptakan Hashirama Senju yang digunakan oleh Konoha dua puluh tahun yang lalu, dan disempurnakan oleh Tsunade Senju. Dan 'sang malaikat' telah selesai, menunggu untuk kembali digunakan."

"Digunakan? Untuk apa?"

"Tentu saja digunakan untuk kembali membunuh, Uzumaki Naruto. Menurutmu untuk apa lagi?"

.

.

Kantor unit rahasia negara, ANBU. Sama sekali tidak terlihat seperti sebuah kantor yang ditempati oleh orang-orang elit yang diseleksi khusus guna ditunjuk sebagai orang-orang 'serba-bisa' dalam hal-hal yang berhubungan dengan negara: politik, militer, ekonomi. Semua harus bisa mereka lakukan...termasuk dengan menangani kelompok hitam yang saat ini berjaya di Konoha dan bahkan tidak ada satu pihak dari Pemerintah maupun Kepolisian sekalipun yang tidak berani ikut campur. Yah, inti kasarnya, mati di garis depan dan belakang adalah tugas mereka.

"Makanya, forehead, kau harus menyelesaikan kasus penembakan ketua geng ini secepat mungkin sebelum kita mati di garis belakang!"

Sakura mengernyit bingung melihat sahabatnya mencak-mencak sedari pagi dengan beberapa file di tangannya, bolak-balik keluar masuk ruang kerjanya untuk mengganti file satu dengan yang lainnya dan berakhir frustasi di saat makan siang mereka. Yah, tidak mungkin juga tiap orang tidak emosi jika sepagian dipenuhi dengan tugas bolak-balik antar ruang kerja sementara perut masih kosong, kan?

"Tenanglah, pig, kau tidak akan mati di garis belakang kalau kau sempat lari," jawaban santai Sakura sembari menggigit hotdog yang ia beli bersama Ino semenit tadi. Tak ada sedikitpun rasa takut di mata gadis itu; sebagai gantinya, manik emeraldnya berbinar dengan antusias. Si Haruno Sakura yang tak pernah kenal takut. Atau begitulah panggilan rekan dan atasannya yang selalu melihat sepak terjangnya—bahkan kriminal kelas S pun menghindari kasus yang mungkin menjadi tanggung jawab Sakura akibat otak cemerlang dan kekuatan maha dahsyatnya yang mampu menghajar beberapa pria dengan tangan kosong, seperti yang pernah ditunjukkannya saat ia meringkus kawanan geng motor berbadan besar dua minggu yang lalu. Jika tidak percaya, Asuma dan Kakashi dengan senang hati dapat mengungkapkan segala detil kejadian tersebut dari awal karena merekalah yang menjadi saksi mata sekaligus penonton yang menyimak dengan baik meski seharusnya mereka ikut dalam aksi peringkusan tersebut—yah, begitulah mereka.

Tapi sayangnya, kejadian tersebut sudah lama berlalu dan kasus penembakan inilah yang sekarang menjadi konsentrasi gadis pink itu.

"Kau harusnya mulai mendata siapa saja kelompok hitam yang masih tersisa sampai saat ini, Sakura! Kau tahu, aku disemprot Sarutobi-sama gara-gara datamu yang setengahnya salah—jangan sok memasang wajah lupa, dia kepala divisi kita, tau!"

"Aku sudah mendatanya, tahu! Kau harus tahu perasaanku, Ino...ketika kau mencatat 'kelompok A' tadi malam sebagai kelompok yang tersisa dan keesokan harinya kau menemukan ketua-nya tergeletak mati di dalam parit, menurutmu kau harus bagaimana? Rasanya aku mau protes pada orang yang membunuhnya. Setidaknya dia harus menunggu sehari-dua hari hingga data yang kukeluarkan dibaca oleh Sarutobi-sama, tau!"

"Masa bodoh, yang menangani kelompok hitam di kota ini kan kau dan Kakashi, baka!"

Bibir mengerucut segera terbentuk di wajah imut Sakura, dan dengan sekali lahap ia menyelesaikan makan siangnya. "Aah, sudahlah! Bagaimana jika kita bersantai sejenak dengan berbelanja? Bukannya kau juga butuh baju baru untuk acara kencanmu dengan Sai?"

"Jangan mengalihkan perhatian! Dan soal belanja, kutunggu kau di taman yang biasa dua jam dari sekarang, oke?"

"...dasar pig."

"Apa katamu?"

.

.

Uchiha bungsu itu bosan. Setelah melewatkan beberapa hari dengan melihat darah dan mendengar desingan peluru yang ditembakannya sendiri, ia merasa jenuh. Ditambah dengan Naruto yang sekarang entah berada dimana, melakukan bisnis atas perintahnya sementara ia hanya membaca di perpustakaannya.

Pemuda berambut emo itu bosan setengah mati.

Jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja kayu kokoh yang berada di depannya, berpikir hendak melakukan apa ia hari ini; well, ia tidak mungkin menemani Ibunya, Mikoto, berbelanja bersama Bibi Kushina—adik ibunya yang sekaligus menjadi Ibu dari Naruto, bukan? Hell, menemani kedua wanita itu berbelanja sama saja dengan menjadi korban gosip dan mode mereka—terakhir kali ia menemani keduanya berbelanja, Sasuke merasa dijadikan manekin yang berganti pakaian dari satu toko ke toko lain. Dan seorang Sasuke tidak mungkin menemui Itachi jika bukan untuk urusan penting, meski kakak sedarah satu-satunya itu kini tengah menyelonjorkan badannya di tepi kolam renang tanpa merasa berdosa sedikitpun. Gengsi (dan nalurinya) mengatakan untuk tidak berurusan dengan sang Kakak di kala tidak membutuhkan.

Atau dia akan menjadi emosi level dewa akibat keusilan saudaranya satu itu.

Yap, positif Sasuke tidak akan mengganggu waktu luang Itachi (demi kewarasannya sendiri). Oh, dan jangan menyuruhnya untuk mencari sang Ayah, Fugaku. Dia akan berakhir menjalani serangkaian perkuliahan mendadak akibat perbedaan jalan pikir mereka.

Memandang grandfather clock yang kembali berdentang, Sasuke beranjak dari kursinya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore dan ia sama sekali tidak ingin melewatkan waktu santai berharganya hanya di dalam perpustakaan, ia harus melakukan sesuatu!

Menghembuskan nafas sembari meraih kunci mobil dan ponselnya, Sasuke pun keluar dari rumahnya sebelum semenit yang lalu bertanya pada Suigetsu yang berjaga di ruang khususnya.

"Oi, Suigetsu. Kemana perginya Ibuku dan Bibi Kushina?"

"Ah, tadi beliau berdua mengatakan hendak berbelanja di tengah kota seperti biasa, Sasuke-sama!"

Sepertinya sang Uchiha bungsu lebih memilih dijadikan manekin oleh Ibu dan Bibinya ketimbang menghadapi kakak dan ayahnya.


.

.

"dan itu adalah saat-saat sebelum mereka bertemu".

.

.


TBC...