what should i say here? *totally have no idea*
"Teme~" seorang pemuda berambut pirang merengek pada pemuda yang ada di sampingnya. Saat ini mereka sedang menunggu guru yang akan mengajar di kelas mereka. Meski mereka sudah sangat mengerti kalau guru mereka yang satu itu tidak akan pernah datang tepat waktu.
Pemuda yang duduk di samping si pirang itu hanya menoleh tanpa mengatakan sepatah kata pun. Menatap si pirang lekat seolah meyakinkan durian (?) yang ada di sampingnya kalau dia mendengarkan.
"Teme~" kata si pirang sambil menggembungkan pipinya seolah belum yakin kalau pemuda berambut raven di sampingnya sedang mendengarkan.
"Hn," akhirnya si raven menjawab.
"Kau mendengarku? Kalau aku bicara pelan-pelan kau masih akan mendengarkanku?"
"Hn,"
"Umm, ano…" si pirang terlihat ragu. Dia tidak yakin kalau sahabatnya itu tidak akan mengeluarkan reaksi yang tidak diinginkannya kalau dia mengatakan apa yang ingin dia katakan sekarang.
"Aku mendengarkan, dobe." Kata si raven karena si pirang tidak juga mengatakan apa-apa.
Akhirnya si pirang merasa tidak sanggup mengatakannya. Si pirang itu menutup matanya—takut akan reaksi teman sebangkunya—sambil menunjukkan dua helai kertas yang agak tebal dengan warna merah menyala.
Si raven tidak memperhatikan apa yang dipegang orang yang ada di sampingnya. Bagaimana bisa kau memperhatikan hal lain kalau ada seseorang yang sangat menarik hatimu dan dia tidak dalam keadaan yang akan membentakmu karena memandangnya terlalu lama? Sebenarnya si pirang itu tidak menarik. Dengan kulit tan lembutnya yang eksotis, matanya yang terpejam terlalu rapat membuat lekuk-lekuk serupa bekas luka yang melintang di kedua pipinya—yang sebenarnya juga tetap terlihat meski matanya tidak sedang tertutup, dan yang paling membuat si raven tidak bisa mengalihkan pandangannya adalah bibir merah muda yang seakan memintanya untuk mendekat. Umm, mungkin si pirang itu memang menarik—dalam cara yang hanya dimengerti oleh si raven.
Karena merasa tidak mendapat respon yang diperkirakan, si pirang itu membuka sebelah matanya. Mendapati kalau si raven samasekali tidak memperhatikan apa yang seharusnya dia perhatikan.
"Bukan wajahku, teme," si pirang mengingatkan pasangannya tentang apa yang seharusnya dia perhatikan. Membuka matanya dan mendelik pada orang yang sedang dipandangnya.
"Hn, dobe." Si raven mengalihkan pandanganya pada apa yang dipegang pasangannya. Kertas merah yang berjumlah dua itu melambai tidak berdosa. "Apa itu, dobe? Tiket nonton? Kau mengajakku berkencan?"
Si pirang memiringkan kepalanya dengan bingung. Kemudian menyadari kalau dia memegang kertasnya dengan arah yang salah sehingga yang raven lihat hanyalah kertas merah kosong tanpa tulisan atau gambar apapun. Akhirnya dia pun membalik kertas itu.
"Kau tidak pernah lelah, dobe." Kata si raven setelah menyadari apa yang dipegang dobe-nya. "Kau tau aku tidak akan ikut. Dan Sakura bisa menemanimu kalau kau benar-benar tidak ingin datang sendiri."
"Tapi…," si pirang mulai menggigit bibir bawahnya dengan cara yang si-raven-pun-tak-tau-kenapa-itu-begitu-menggoda, "Sakura akan mengatakan aku banci kalau tau aku akan datang. Dan, kalau saja kau belum tau, Sakura akan datang dengan Ino, Karin, dan Hinata."
"Salahmu sendiri mengatakan kalau cowok yang menyukai Amaterasu itu banci."
Umm, Amaterasu itu nama sebuah band yang sedang in di Konoha, setting daripada fic ini, dan yang membuat band ini begitu in adalah karena vokalis-gitaris-nya yang tampan-kelewatan. Setidaknya itu yang dipikirkan si pirang pada awalnya. Sebelum dia benar-benar mendengarkan apa yang dinyanyikan band itu.
"Mana aku tau kalau aku juga akan menyukainya! Lagipula ternyata Toru tidak seburuk yang kupikirkan. Jika dia berhenti menyeringai seperti setan, tentunya."
Toru itu nama vokalis-gitaris yang dibahas tadi. Di tiket warna merah yang dipegang si pirang itu juga terlihat fotonya. Rambutnya blonde dengan aksen coklat dan model spiky yang membuat para gadis tak bisa berhenti mengaguminya, matanya tak kalah misterius dan dalam daripada warna ruby, dan kulitnya yang pucat membuatnya benar-benar seperti anak baru di keluarga Cullen—yang maen vampire suck itu lho! Apa twilight? *dibantai penggemar twilight*—Tidak heran si pirang mengira band itu hanya mengandalkan tampang Toru untuk menggaet penggemar.
"Kau tinggal mengatakan kau salah dan pergi bersama gadis-gadis gila itu."
"Kau sudah menolakku lima kali, teme. Tidakkah kau merasa ini sudah saatnya untukmu menerima ajakanku?" mata si pirang yang biasanya biru biasa saja mulai bersinar-sinar dengan ajaib. Biasanya itu akan membuat siapa saja melunak dan melakukan apapun. Tapi si raven tidak akan pernah mau menjadi yang biasanya.
"Kalau kau mengajakku berkencan, aku tidak akan menolakmu. Tapi menonton konser? Kau yang paling tau betapa aku membencinya." Si raven mulai frustrasi dan mengembalikan pandangannya pada buku yang tadi dibacanya sebelum si pirang mengajaknya bicara untuk mengajaknya menonton konser Amaterasu.
Si pirang memutar bola matanya. Kembali menunjukkan matanya yang berliur (?) tadi tepat di depan mata obsidian si raven, si pirang berkata, "Aku akan mengajakmu berkencan kalau kau menemaniku kali ini. Bagaimana? Aku tidak akan pernah bisa mengatakan pada Toru betapa seringaiannya menyebalkan kalau kau tidak mau menemaniku. Kau berubah pikiran?"
"Hn."
Si pirang itu bukan orang kebanyakan yang akan mengartikan semua 'hn' si teme dengan 'iya'. Dia sangat mengerti dari tatapan mata si raven kalau si raven tidak mengubah keputusannya.
"Teme~"
"Hn?"
"Kita tidak pernah pacaran dan kau selalu memintaku mengajakmu berkencan,"
"Hn."
"Kalau aku bilang itu kencan apa kau akan menemaniku?"
"Tidak."
"Apa yang harus kulakukan agar kau mau?"
"Katakan saja pada semua Mistress itu kalau cowok yang menyukai Amaterasu bukan banci dan pergilah dengan mereka. Aku tidak akan datang di konser apapun."
Mistress itu nama fans club Amaterasu. Nama itu dipilih karena kayaknya mirip ma Amaterasu (?).
Si pirang itu cengok. Apa sih yang membuat si raven yang ada di sampingnya begitu membenci konser? Memangnya ada penyakit concertphobia? Tapi dia tau Mistress dan si pirang juga tau kalau ada beberapa lagu Amaterasu yang nangkring di playlist iPod si raven.
Sebelum kecengokan si pirang berlanjut, guru yang seharusnya sudah datang sejak setengah jam yang lalu akhirnya menampakkan dirinya di kelas yang di atas pintunya tertempel label XIa5.
"Naruto!" seorang gadis pink—rambutnya—memanggil sambil mengejar pria berambut pirang yang sedang berjalan dengan partner raven nya—iya, mereka orang yang ada di scene yang sebelumnya—menuju gerbang sekolah. Yeah, bel pulang sekolah memang sudah mengijinkan mereka untuk pulang.
Pria berambut pirang yang merasa namanya dipanggil menoleh—sebenarnya si raven juga ikut berhenti—, memandang gadis pink—sekali lagi, rambutnya—yang sekarang sedang terengah-engah pada arah pandangnya.
"Ada apa, Sakura?" tanyanya setelah yakin gadis pink—inget kan, rambutnya?—itu mampu mendengar suaranya tanpa gangguan dari engahannya (?) sendiri.
Sakura mulai berdiri tegak. "Apa kau ada acara malam minggu ini?"
Naruto terlihat berpikir, "Kenapa menanyakan itu?"
"Sai memberiku sepasang tiket nonton gratis dan aku tidak akan bisa memakainya. Jadi, kau mau? Mungkin Sasuke bisa menemanimu," katanya sambil melirik pria raven—ini juga rambutnya—di samping Naruto.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan malam minggu?"
"Kau lupa kalau Amaterasu akan menggelar konser? Ah, ya, kau bukan penggemar Amaterasu jadi mungkin kau tidak tau. Tapi sebagai seorang Mistress sejati, aku tidak akan melewatkan konser ini!" kata Sakura dengan semangat berkobar.
Naruto mendengus. Heran kenapa dia begitu bodoh untuk pernah mengatakan soal yang banci-banci itu. Tapi sekarang? Dia hanya meraih tiket yang ada di tangan Sakura.
"Teme, kau masih tidak akan menolak jika aku mengajakmu kencan? Aku menawarimu sekarang." Naruto memandang Sasuke yang masih seolah tak peduli dengan dua cecunguk (?) di sekitarnya.
Sasuke mengangguk. Mata Sakura melebar. "Jadi kalian benar-benar sudah pacaran?" Sakura mulai bersiap-siap menyebarkan berita itu ke semua fujoshi di sekolahnya ketika Naruto menjawab,
"Belum. Teme menolakku lagi. Dan kau dan fujoshi-fujoshi itu mengira kami akan jadian? Katakan pada teme ini untuk menerima ajakan-selain-kencan-ku." Naruto mengucapkan ini dengan nada kesal. Sasuke hanya memutar bola matanya. Sakura mulai mendelik pada Sasuke seolah berharap itu membuat Sasuke segera jadian dengan Naruto. Apa si yang membuat fujoshi lebih bahagia selain pasangan idolanya memberikan fan service yang real?
Setelah mereka tinggal berdua, maksudnya setelah Sakura membiarkan Sasuke dan Naruto pergi, mereka berjalan berdua menuju rumah mereka yang memang searah.
"Ne, teme, kau benar-benar akan melakukan apa yang diminta Sakura? Maksudku menemaniku. Umm, menerima ajakanku."
"Hn,"
"Menonton Amaterasu?"
"Bukannya tadi kau mengajakku kencan di malam minggu?"
"Kau kan tau aku hanya tidak ingin Sakura tau kalau aku juga akan ada di sana. Teme, ayolah. Tidak ada yang salah dengan datang ke konser Amaterasu, kan?"
"Tidak jika kau tidak mengatakan cowok yang menyukai Amaterasu itu banci. Aku tidak berkencan dengan banci."
"Tapi kau mengangguk jika yang kumaksud kencan adalah memakai tiket Sakura tadi,"
"Hn,"
"Apa bedanya?"
"Kau tidak mengajakku untuk melihatmu mengagumi orang lain."
"Teme…" entah kenapa saat ini wajah Naruto terasa panas. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan cinta. Tapi apakah masih kurang jika orang yang kau sayangi selalu ada di sampingmu di saat kau membutuhkannya? Ya, mereka menganggap itu cukup. Status memang tidak penting, kan?
Sasuke menghentikan langkahnya saat menyadari Naruto berhenti dan tertinggal beberapa langkah darinya. "Kau kenapa, dobe?"
Naruto memandang mata obsidian dari pria yang sedang dipandangnya (?). "Persetan dengan Toru dan seringaian menyebalkannya. Kita kencan malam minggu ini. Kau sungguh-sungguh saat mengangguk tadi, kan?"
"Hn, tentu saja."
Setelah itu Sasuke menggenggam tangan Naruto dan mengantarnya pulang. Tidak peduli dengan orang-orang yang mengernyit atau terkikik menyadari tangan mereka bertaut satu sama lain.
a.n.
umm, ini pertama kalinya publish fic di FFn. rasanya aneh. kaya perasaan kalo lagi buang sampah sembaranga. tapi, she bangga kok jadi warga negara indonesia. (lho?) maksudnya, bukannya orang indo emang suka buang sampah sembarangan? intinya, she gak mau dibilang salah gara-gara nyampah di sini. no. she gak salah. *ditimpuk*
btw,
disclaim, meskipun selama ini she menganggap setiap idola adalah milik fans nya, yang ini kayaknya tetep harus diakui sebagai kepunyaan penciptanya... *gak mau nyebut nama* *digebuk yang bikin manga*
anyway, review if you don't mind..
=^.^=
