"Karma Akabane, aku tahu kau ada didalam,"

"Bayar uang kos hoe—"

"Minggu depan jika tidak kau bayar—silahkan kemasi barangmu."

Dugh...

Dugh...

Dugh...

Rambut merah menyembul dari balik tembok tempat pemuda bernama Karma itu bersembunyi.

Karma kembali jongkok.

Ibu kosnya memang mengerikan—padahal wajahnya cantik dan punya body yang aduhay.

Untung pintunya gak jebol ditendang tadi.

Helaan nafas berat meluncur dari bibirnya ketika ibu kosnya sudah pergi.

Menjadi mahasiswa rantauan ternyata semengerikan ini.

Tiap tanggal tua selalu menjadi bencana.

Dan apalah orang tuanya ini yang ngambek nggak mau kirim uang ke dia.

"Itu pelajaran buat kamu,"

"Uang untuk jatah tiga bulan dihambur-hamburin." papanya berang diseberang telepon.

Karma ingin mewek jika mengingatnya.

Ayolah dia anak tunggal—paling tidak dia dimanjakan kek. Lah ini dia malah dianak tirikan.

Nasib anak nakal.

Dikeluarkannya HP china miliknya—bibirnya cemberut begitu mengecek sisa pulsa yang tinggal 300 perak.

"Mae—telepon balik sekarang atau majalah pornomu kubuang."

Send.

Bibirnya tersenyum lebar begitu nama Maehara langsung tertampang dilayar HPnya.

"Halo."

"Karma—please jangan dibuang, sumpah cuma tempat kosmu yang gak ada inspeksi dari pemilik kos, ya ya."

"—aku mengandalkanmu."

Karma yakin diseberang sana Maehara sudah panik bukan main.

Mengerjai temannya satu ini memang bikin suasana hati jadi baik.

"Kalau begitu jemput aku di kosan"

"Hah? aku sudah di kampus."

"Yaudah, wassalam buat majala—"

"Oke, aku kesana,"

"Ngomong-ngomong Karma.."

"Ya."

"Kalau mau nebeng, lain kali bilang dulu,"

"—nggak usah sok sok an tsundere kayak gini."

klik.

Telepon sudah dimatikan.

Sialan.

.

.

.

Ansatsu Kyōshitsu — Yūsei Matsui

.

WARNING : HOMO, GAJE, TYPO, OOC.

.

Om ganteng x Karma

.

.

.

.

"Ma, Karma—lepas oe." Maehara meringis jijik, matanya melihat sekeliling. Beberapa mahasiswi cekikikan kearahnya.

"Ma— lepas dong, aku nggak mau dikira homoan sama kamu." katanya lagi, sayang yang bersangkutan masih kekeuh memeluknya dari belakang.

"Emang udah yampe?" tanya Karma sembari melepas helmnya, pipinya ditempelin dipunggung Maehara. Mencoba mencari kehangatan.

Brrr—dingin kalo pagi naik motor, biasa juga naek angkot.

"Uda—"

"Yaudah aku pergi dulu," potong Karma cepat. Tubuhnya bangkit dari motor dan menyerahkan helmnya pada Maehara.

"Entar telepon ya kalau udah mau pulang, pulsa aku abis soalnya." Karma nyengir kemudian berlalu.

Maehara mengelus dadanya sabar.

Kok bisa ya dia temenan sama setan merah itu dulu.

.

.

.

Ini hari senin.

Dan Karma ada kelas hingga malam. Maehara udah telepon katanya dia pulang sore karena dosennya cuti melahirkan.

Mau disuruh jemput lagi, Maehara udah bikin janji sama gebetannya—Isogai.

Dia pulang naek apa dong entar?

Naik angkot?

Jalan kaki?

Bingung.

Pingin bolos, tapi nanti dia diamuk papanya lagi karena udah pernah kena D.O.

"Kalau kamu berulah lagi, mending kamu pulang kekampung dan nikah sama anaknya pak RT."

Karma bergidik, membayangkan perkataan papanya benar-benar terjadi.

Biarpun anaknya pak RT itu cantik, ia tak kan sudi menikah dengan anaknya yang udah janda itu.

Amit-amit.

Lagian dia kan sukanya pisang—bukan buah apel belah setengah.

Alias Homo.

Karma jadi laper dan haus memikirkannya.

Dielusnya perut ratanya.

Ingin beli nasi ayam tapi mahal.

"Mbak, mie gorengnya satu sama air putihnya dua gelas ya." Pesannya. Mbak penjaga kantin memandangnya sebentar.

"Masnya, mentang-mentang air putih gratis mintanya dua gelas." Mbaknya geleng-geleng. Karma nyengir gak tau malu.

"Tanggal tua Mbak."

"Yaudah masnya duduk dulu, nanti mbak antar." Karma mengangguk dan memberikan senyum paling ganteng dan duduk pada kursi kantin yang kosong.

Tak lama pesanannya datang.

"Ini mas."

"Makasih ya mbak cantik." godanya—padahal homo.

"Kalo mas mau jadi pacar mbak, masnya tiap makan disini mbak gratisin deh." Mbaknya balik ngedoda. Karma tersenyum kaku.

"Maaf mbak, saya nggak terima sogokan." jawabnya, padahal dalam hati sudah menjerit 'aku mau mbak'.

—demi kelangsungan hidup selama sebulan biar dia nggak makan mie goreng terus.

"Yaudah ya mas, mbak pergi dulu."

Karma menghela nafas, kemudian menyantap mienya cepat berhubung lima belas menit lagi dia udah ada kelas.

"Coba angkat kakimu." sebuah suara berat khas lelaki tiba-tiba mengintrupsi acara makannya.

"Apaan si—" ucapannya terhenti ketika mendongak dan mendapati lelaki bermata violet memandangnya tajam—Karma merasa meleleh ditatap seperi itu.

Radar homonya langsung mendeteksi.

Sayang, lelaki didepannya gak menunjukkan tanda-tanda agar radarnya menyala.

—berarti dia bukan homo.

Yah, padahal ganteng.

"Ada apa ya Om?" tanyanya berubah kalem, siapa tau Omnya langsung belok.

Karma bingung, Om didepannya masih diam gak merespon.

Dilirik piringnya—mie gorengnya tinggal sesendok lagi.

Dilirik pula Om didepannya.

Karma jadi dilema, milih merhatiin mienya atau Om ganteng itu.

Milih salah satu aja kok ribet banget ya.

"Angkat kakimu." Omnya bicara lagi. Karma mengerutkan dahinya.

Perasaan dia nggak nginjek uang atau apapun deh atau jangan-jangan dia nginjek kotoran hewan dan si Om ngeliat terus bermaksud ngingetin.

Omnya baik banget.

Karma mengangguk dan mengangkat kedua kakinya di kursi.

Mata emasnya melihat kebawah dan mendapati hewan entah apa itu sudah gepeng—dan mati disana.

Dilihatnya Om didepannya.

"Om." panggilnya. Ia bergidik ngeri ketika wajah Om ganteng itu mengeras menahan marah.

"Kamu harus tanggung jawab." katanya dengan suara baritone yang sungguh sexy.

Karma kok merasa jijay sama pikirannya yang ngalor ngidul gak jelas.

"Tanggung jawab apa Om? perasaan kita baru bertemu hari ini." katanya protes. Baru bertemu udah disuruh tanggung jawab.

Apa kata papanya nanti?

"Itu kamu nginjek hewan peliharaan saya." nadanya mulai meninggi, tangan kokohnya menunjuk pada hewan—yang setelah Karma yakini sebagai lipan dibawah sana.

Karma turun dari kursinya dan berdiri menantang didepan Om ganteng itu.

Ganteng-ganteng kok aneh—punya hewan peliharaan berbisa gitu.

"Dengar ya Om,"

"Harusnya Om salahin lipannya kenapa ada dibawah, kan jadinya keinjek." lanjutnya percaya diri.

Dia gak salah, yang salah kan si lipan.

"Saya gak mau tahu, balikin lipan saya."

"Oke." Karma menyahut. Tangannya menyendok mie dipiringnya dan memakannya cepat.

Sendok ditangannya ganti menyendok lipan dibawah sana dan menyodorkannya pada Om didepannya.

"Nih, lipannya Om." Karma yang masih jongkok mendongak untuk melihat ekspresi Om ganteng itu.

Garang tapi tetep ganteng.

Belum sempat meneguk ludahnya, Om ganteng itu sudah mengambil dompet Karma yang menyembul dari dalam tasnya yang berada di atas meja.

"Dompetmu saya ambil,"

"Ambil saja, nggak ada isinya juga." balasnya sengit.

Omnya menyeringai.

"Oh ya?" katanya kemudian berbalik pergi meninggalkannya yang masih jongkok persis orang bego—padahal pinter.

"Loh—Om kok nggak dibalikin dompetnya,"

"Ommm—" Karma merana begitu menyadari KTP, ATM, KTM, bon hutangnya dan SIMnya Maehara ada disitu.

Ditambah gantungan dompetnya yang adalah kunci kos kosannya.

Mampus.

Gak mungkin kan dia minta kunci cadangan ke ibu kosnya yang udah nagih uang kos tadi pagi.

Bisa gembel langsung dia malam ini.

Karma celingukan mencari keberadaan Om ganteng itu.

Tapi nihil.

Sms Maehara aja deh.

—tapi nggak ada pulsa.

Tisu mana tisu.

Karma pengen nangis.

.

.

.

tebece mbak—

.

.

Ya kali si mbaknya muncul lagi sebagai penjaga kantin—hmmm sudah kuduga :3

Aaaaa ini udah agak panjang :v

Chapter dua mungkin bagiannya Maehara ya, kali kali ganti :3

/gak janji