Saat itu aku terbaring lemah di atas salju. Lukisan alam yang didominasi nuansa putih bersih menghampar indah di sekelilingku. Aku terdiam. Tak sanggup mengambil alih kuasa atas tubuh, saat rasa sakit itu menjalar perlahan di kulit leherku. Darah yang seharusnya hangat itu terasa mengering dan membeku, meliputi lapisan indera perabaku. Aku tidak takut. Tidak. Mata itu. Bola mata keperakan yang menatapku dingin—meski tersirat campuran rasa takut dan cemas terbayang sekilas, tetapi selama ada itu, aku tidak takut.
Mata itu hanya menatapku dalam kegemingan. Darah yang terpercik menodai moncong putihnya adalah darahku—yang baru saja mengalir deras dari leherku. Aku hanya diam. Mata itu seolah membiusku. Mata serigalaku. Dan entah kenapa, rasanya begitu damai. Aku ingin tidur. Tidur yang sangat panjang. Dan kedua mataku tertutup.
.
Naruto by Kishimoto-sama
Shiver by Maggie Stiefvater
Padang Salju by aya-na rifa'i
Kado kecil untuk my beloved sister a.k.a. Park Gyu Mi
.
.
"Melamun saat berjaga, alasan bagus untuk lembur malam minggu ini, Saku," goda Ino sambil menyenggol bahu Sakura yang duduk di sebelahnya. Nurse-station saat ini tampak lengang hanya dengan Ino dan Sakura yang berjaga.
"Aku tidak melamun, Ino," bela Sakura. Ia memandang hampa lorong-lorong rumah sakit yang tampak lengang di jam-jam seperti saat ini. Waktu besuk sudah selesai, tak nampak banyak orang yang berlalu lalang di sepanjang koridor tempat mereka berjaga.
"Jujur saja, Sakura. Melamun apa? Serigala berbulu putih itu lagi?" Ino berbalik, menatap langsung kedua mata giok Sakura. "Oh ayolah! Kau itu terlalu terobsesi pada serigala, Sakura."
"Aku tidak terobsesi!" kata Sakura hampir pada seruan. Sesaat kemudian ia tersentak sadar, "Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membentakmu. Hanya saja, aku tidak terobsesi. Ok! Aku hanya senang—hobi, atau apalah kau menyebutnya." Sakura nampak bingung. Lagi-lagi topik tentang serigala begitu menyinggungnya. Ia hanya ingin dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya, bahwa menyukai serigala itu bukan hal yang aneh—bukan obsesi yang salah.
Ino memandang tak enak pada Sakura. "Sudahlah. Aku yang salah. Maaf.—Omong-omong, bagaimana dengan dokter Sasuke?" goda Ino sambil menatap jahil pada Sakura. Kedua tangannya membentuk tanda hati di depan dadanya, mengusungkannya ke hadapan Sakura.
"Apaan sih?"
"Jangan pura-pura, aku tahu kau pasti sadar kalau dokter kita yang tampan itu menyukaimu." Ino semakin gencar menggoda Sakura.
"Ngaco!" Sakura berdalih. Ia berbalik mengalihkan pandangan ke jendela di belakangnya. Kedua matanya memperhatikan hamparan salju yang mulai menumpuk di jalan-jalan melalui kaca bening yang tampak buram karena dihiasi embun. Toko-toko sepanjang jalan Konoha mulai tampak menghias gerai-gerai mereka dengan lampu-lampu dan dekorasi khas Natal.
Selalu seperti ini di penghujung November...
Dan Sakura mampu mengingat padang saljunya dengan jelas. Padang yang terbentang indah ditutupi hamparan salju putih, dengan pohon-pohon oak di pinggirannya, memagari padang saljunya dari dunia luar. Kicau burung-burung gereja melengkapi padangnya—dirinya, dan serigala putihnya. Selalu seperti itu. Selalu dengan serigala putih bermata perak yang menatapnya di padang itu—padang salju yang sama—di bulan Desember.
Sakura menghapus embun di kaca jendelanya dengan telapak tangannya. Matanya masih memandang jalan-jalan di luar melalui jendelanya. "Ya ampun! Lihat Sakura! Orang yang kita bicarakan sedang menuju ke sini!" bisik Ino.
Sakura membelalakkan matanya ke arah Ino—menghentikan gerakan menghapusnya. 'Siapa yang membicarakan Sasuke? Kau sendiri yang membicarakannya—aku tidak ikut.'
Dari ujung koridor nampak Sasuke—dokter tampan yang menjadi bahan perbincangan Ino—berjalan di sepanjang koridor lantai tiga, tempat mereka berjaga. Sasuke masih mengenakan jas dokternya, nampak kemeja bergaris-garis kebiruan berada di balik jas dokternya. Sebelah tangannya ia masukan ke kantung celana hitamnya. Bunyi sol sepatu pantovelnya yang beradu dengan lantai menjadi latar suasana koridor yang nyaris sunyi. Perlahan ia mendekat, berjalan menuju nurse-station tempat dimana Ino dan Sakura sedang berjaga.
Sasuke berjalan tanpa menoleh ke arah nurse-station, melewati Sakura dan Ino tanpa sapaan ringan sedikitpun meski hanya untuk sekedar sopan santun. Satu langkah, dua langkah, tiga, dan ia berbalik—berjalan kembali menuju nurse-station.
"Sakura, bisa ke ruanganku sebentar sore ini sebelum pukul lima? Aku ingin kau membawakan catatan kesehatan pasien kamar nomor 23, Tuan Sarutobi."
"Aaa… Baik, Dok," jawab Sakura.
"Hn," kata Sasuke, sambil melangkah menjauhi nurse-station, berbalik menuju lift yang terletak di ujung lorong.
Ino menatap punggung Sasuke yang semakin menjauh. Ia terkikik pelan sebelum akhirnya tertawa—berusaha tetap menjaga suaranya agar tak terlalu kencang. "Kau lihat kan, Saku! Sasuke itu menyukaimu tahu."
"Kau hanya mengada-ada." Sakura malas menanggapi godaan ini. Disibukkannya dirinya dengan membaca tumpukan dokumen di meja jaga. Sesekali matanya melirik ke arah luar jendela yang mengarah langsung menuju jalan. Salju yang terhampar. Musim dingin. Ia menyukainya. Sakura tersenyum tipis.
"Akui sajalah, kau juga menyukainya kan?" Ino salah mengartikan senyuman Sakura.
"Tidak." Sakura mulai membalik-balik file dengan jari-jarinya. Sesekali ia menghirup teh hangat miliknya.
"Sasuke itu tampan loh, Saku."
"Terus?"
"Dia juga dokter. Dokter dengan huruf D kapital, doookkk... teeerrrr," kata Ino semakin gencar. Ia masih terkikik.
"Bodoh. Gelar Sasuke itu d kecil. Dia kan dokter bukan doktor. Kau tidak pernah belajar singkatan gelar apa?" Sakura menatap Ino dengan pandangan kesal campur geli.
"Aha! Sebegitu perhatiannya kau dengan gelar Sasuke!"
Sakura tahu ia tak akan menang berdebat dengan Ino, karena itu dibalasnya Ino hanya dengan lirikan diam-aku-tidak-mau-ini-dilanjutkan. Ino hanya mengangkat bahunya.
.
.
Ino telah pergi meninggalkan nurse-station—jam jaganya sudah berakhir. Matsuri—yang berjaga menggantikan Ino—hanya menatap tumpukan catatan di mejanya tanpa mengajak bicara Sakura. Seorang gadis berambut hitam datang tergopoh-gopoh—nyaris berlari jika saja ia tak ingat sedang berada di rumah sakit—Matsuri sedikit mengangkat wajahnya dari tumpukan catatan yang dibacanya.
"Maaf, Sakura-san. Aku telat."
Sakura hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Shizune-san. Kalau begitu, aku tinggal dulu ya." Sakura keluar dari nurse-station, mempersilahkan Shizune masuk untuk menggantikannya. Setelah berpamitan dengan Matsuri—hanya anggukan singkat—Sakura pergi sambil membawa catatan kesehatan Sarutobi di tangannya.
Koridor lantai lima—tempat ruangan Sasuke berada—nampak lengang. Jam besuk baru dibuka kembali pukul enam sore. Sakura baru saja keluar dari lift, ketika kedua matanya menagkap sesosok gadis berambut hitam panjang dengan bola mata keperakan. Mata itu...
Sakura masih memperhatikan si gadis misterius, sebelum dentingan pintu lift yang akan tertutup menyadarkannya. Buru-buru ia berbalik—berjalan menuju ruangan Sasuke—berusaha melupakan apa yang baru saja ia lihat, gadis misterius dengan mata yang begitu familiar—mata serigalanya.
Sakura menatap arsip kesehatan milik tuan Sarutobi di tangannya. Berkali-kali ia cek ulang, meyakinkan dirinya bahwa arsip itu sudah lengkap—tidak ada yang tertinggal. Perlahan ia mengetuk pintu ruangan dokter Sasuke. Matanya memandang koridor yang tadi dilaluinya. Ia masih setengah berharap sosok gadis itu akan muncul kembali. Perasaan aneh tiba-tiba menjalarinya saat kedua matanya menangkap sesosok pria bermantel tebal keluar dari kamar nomor 401. Mata itu. Lagi. Mata berwarna keperakan. Mata yang terasa familiar—lebih kuat dari pada saat ia bertemu gadis itu, seolah ia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya—mata dengan bola mata keperakan itu. Dulu. Dulu sekali.
"Masuk."
Perkataan Sasuke membuyarkan lamunan Sakura. Ia kembali menghadap pintu, saat ia berbalik ke arah koridor—pria misterius bermata keperakan itu sudah tidak ada. Kecewa, Sakura berbalik ke arah pintu. Membukanya perlahan sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan Sasuke.
"Permisi, Dokter. Saya membawakan arsip kesehatan milik tuan Sarutobi," kata Sakura.
"Hn. Taruh saja di atas meja."
"Baik." Sakura meletakkan arsip itu di atas meja kerja Sasuke. Ia sudah bersiap keluar ruangan ketika suara Sasuke menahannya.
"Tunggu!"
"Eh? Ada yang bisa saya bantu lagi, Dok?" Sakura membalik tubuhnya, sambil tetap berdiri di ambang pintu, menunggu perkataan Sasuke selanjutnya.
Sasuke diam. Tampak terlihat pergulatan batin di wajahnya, ia seperti bimbang, antara mengatakan atau menahan perkataan yang ingin dikatakannya. Kedua mata Sakura memandang Sasuke dengan penuh tanya. "Bisakah. Mmm…" Sasuke tahu ini sulit, rasanya tenggorokan menjadi kering, lidahnya kelu walau hanya untuk berkata, "bisakah kau menemaniku makan malam ini?"
Sakura diam di tempat. Apakah ini sebuah ajakan kencan? Atau hanya…
"Kau tahu, kau tak usah merasa terpaksa." Sasuke tampak kikuk. "Kau bisa menolak jika kau sudah memiliki acara malam ini."
"Baik, baik, Dok." Sakura tersenyum. Entah kenapa hatinya sekilas mengharapkan pria bermata keperakanlah yang mengajaknya malam ini.
Sasuke tersenyum tulus. "Ku tunggu kau pulang."—Sakura menganggukkan kepalanya. "Oh ya, Sakura!"
"Hmmm?"
"Panggil aku, Sasuke." Sasuke menatap wajah Sakura dengan canggung. "Hanya Sasuke, tanpa embel-embel dokter," tambahnya. Tampak seulas senyum tulus di sudut bibirnya.
Sakura tersenyum di ambang pintu. Ia mengangguk sebelum pergi keluar dari ruangan Sasuke. Dan ketika matanya memandang koridor, ia setengah berharap menemukan pria bermata keperakan. Tapi yang ia temukan hanyalah koridor kosong. Sakura menghela napasnya. Dan untuk kedua kalinya, hatinya mengalami kekecewaan.
.
.
Neji Hyuuga baru saja keluar dari pintu utama Konoha Hospital saat sebuah mobil Porsche hitam berhenti di depannya. Suara kaca mobil yang diturunkan disusul dengan seraut wajah pucat seorang gadis yang nampak di balik kemudi. Tanpa menunggu lebih lama, Neji langsung melompat masuk ke dalam mobil itu. Gadis itu membawanya pergi menjauhi Konoha Hospital.
Neji menghela napasnya dengan berat. "Berhenti."
Seolah tidak mendengar—atau memang tidak mau mendengarkan—gadis itu tetap saja mengemudikan mobilnya. Ia tampak berkonsentrasi dengan jalan raya yang cukup padat. Neji mengerti. "Ku bilang berhenti, Hinata."
Hinata—gadis itu—tetap berpura tak mendengarkan perintah Neji. Hingga suara Neji kembali menegurnya. "Hinata, berhenti membaca pikiranku!"
Hinata menginjak rem mobilnya secara mendadak. Menimbulkan guncangan kecil, disusul rentetan bunyi klakson mobil-mobil di belakang mobilnya. Neji menatap tajam Hinata. Ia benar-benar kesal dengan kelakuan adiknya saat ini. Hinata menepikan mobilnya ke pinggir jalan, memberikan akses bebas pada para pengendara di belakangnya. Hinata balik menatap tajam kedua mata Neji.
"Kalau kau tak ingin aku membaca pikiranmu, maka hentikan pikiran tentang melindungi gadis itu!"
"Aku tidak mengerti maksudmu." Neji berhenti menatap Hinata, ia mengalihkan pandangannya ke tepi kiri jalan. Pohon-pohon cemara buatan dengan hiasan khas Natal memenuhi pandangannya.
"Bohong!" Hinata mendengus kasar. "Kau tahu dengan jelas apa yang ku maksudkan. Gadis itu—gadis yang kau tandai. Kau pasti tahu maksudku!"
"Aku tidak menandainya!" Emosi Neji mulai tersulut saat Hinata membahas penandaannya pada gadis itu. Hal yang paling dibencinya seumur hidupnya: menandai gadis itu di jalan hidupnya.
"Kau yang menandainya. Kau yang menimbulkan luka di leher gadis itu. Kau harus menyelesaikannya, Kak!"
"Diam!"
Hinata mendengus pelan. Ia membuang mukanya ke arah lain—selain ke arah wajah Neji. Ia benci jika harus terlibat pembicaraan ini lebih lanjut. Tapi ia harus. Harus. Jika tak ingin kehilangan kakaknya selamanya.
Hening yang cukup lama menyelimuti mereka, sebelum Neji membuka suaranya. "Maaf," kata Neji. Ia mengerti Hinata mengkhawatirkannya. Bulan ini adalah bulan November terakhirnya—dalam wujudnya yang sekarang. Dan ia tidak akan pernah lagi bertemu Hinata—semua keluarganya. Selamanya. Jika ia melepas gadis itu.
"Ku mohon, Kak. Ubahlah gadis itu!" Hinata menatap sendu wajah Neji. Ia menyayangi Neji. Dan ia tak ingin Neji berubah. Ini kesempatan terakhirnya. Besok sudah awal bulan Desember. Dan jika sampai akhir Neji belum mengubah gadis itu, Neji akan menghilang. Selamanya dalam bentuk serigalanya.
Neji diam. Kedua matanya menatap kosong jalan di depannya. Salju-salju tampak menumpuk di jalanan, mengingatkannya pada padang saljunya—padang dimana ia selalu menatap gadis itu dari kejauhan. Gadis berambut sewarna sakura di musim semi. Gadis yang ia tandai—Neji sedikit menahan napas ketika mengingat hal itu.
"Kak!" panggil Hinata.
"Aku... tidak ingin meneruskan pembicaraan ini, Hinata," kata Neji pelan.
Hinata nampak ingin menginterupsi perkataan Neji, sebelum akhirnya menutup kembali mulutnya yang sudah terbuka. Ia menelan kembali perkataan yang sedianya akan diutarakannya. Ia paham: Neji berhak memutuskan pilihannya untuk hidupnya sendiri. Namun, ia akan selalu berusaha agar Neji bisa tetap bertahan dengan bentuk manusianya. Jika Neji tidak bisa ia bujuk, maka gadis yang ia tandailah yang akan Hinata coba bujuk.
.
.
Tumpukan salju masih menumpuk di jalan-jalan, tak peduli seberapa besar usaha para petugas pembersih salju di jalan berkali-kali membersihkan salju-salju itu. Suasana menjelang natal selalu penuh dengan keceriaan, begitu pula suasana hati Sasuke saat ini. Ia bersenandung kecil mengikuti irama jazz yang diputar di tape Jaguar hitamnya. Matanya sesekali melirik sembunyi-sembunyi pada gadis yang duduk di sampingnya melalui kaca spion. Gadis berambut merah jambu pucat itu nampaknya tak sadar jika sedari tadi dirinya dijadikan objek lirikan sembunyi-sembunyi Sasuke. Ia masih nampak berkonsentrasi membaca novel fiksi—tentang gadis yang mencintai vampire.
"Membaca saat di perjalanan itu tidak baik, Sakura," kata Sasuke.
Sakura mengangkat matanya dari novel yang dibacanya, kedua matanya bersirobok dengan kedua mata Sasuke yang tengah memandangnya melalui kaca spion.
Sasuke mengalihkan pandangannya dari kaca spion dan menatap kedua mata Sakura langsung. Ia tersenyum tipis. Hanya senyum tipis sebelum kembali mengalihkan padangan ke arah jalan. Sakura tertawa kecil. Ada sedikit perasaan meletup-letup di dadanya saat melihat senyum itu. Perasaan yang hampir sama dirasakannya jika bertemu serigalanya di bulan Desember. Seketika tawa Sakura lenyap, digantikan perasaan bersalah di hatinya. Perasaan bersalah seperti mengkhianati serigalanya.
Perubahan air muka Sakura nampaknya tertangkap oleh kedua mata Sasuke. "Ada apa?"
"Tidak—aku tidak apa-apa."
"Kau tidak kelihatan baik." Sasuke memandang Sakura—membagi konsentrasi menyetirnya sambil sesekali memandang Sakura. "Apa kau yakin akan pergi makan malam denganku? Atau kuantar kau pulang saja?" tawar Sasuke.
"Tidak. Aku tidak apa-apa." Sakura tersenyum menenangkan, mencoba bersikap bahwa semuanya baik-baik saja, walau sekelumit perasaan aneh—seolah merasa bersalah atas penerimaan ajakan makan malam Sasuke—masih menggelayuti hatinya.
"Oke." Sasuke menatap Sakura dengan intens sebelum berkata, "tapi berjanjilah, katakan padaku jika ada sesuatu yang mengganggumu."—Sakura tersenyum tipis sambil mengangguk kecil. Sesaat timbul dalam pikiran Sasuke untuk menggenggam tangan Sakura, tapi ditepisnya pikiran itu.
Sasuke kembali berkonsentrasi mengemudikan Jaguarnya. Ia hendak membawa Sakura makan malam di sebuah restoran sushi ternama dekat apartemennya—Apartemen Konoha.
Yakiniku-Resto adalah sebuah restoran ternama di Konoha. Restoran yang sarat dengan suasana tradisional Jepang itu tampak memesona dengan gaya interior dan dekorasinya yang kental dengan kebudayaan Jepang. Sakura sedikit kikuk ketika melangkah memasuki restoran itu. Ia nampak seperti gadis yang salah kostum dengan hanya berbalut kaus biasa dibalik mantel coklat selututnya dengan celana jeans yang dikenakannya.
"Sasuke," panggil Sakura.
"Hn."
"Kau tahu, sepertinya aku salah kostum." Sakura rasanya ingin menyembunyikan diri di balik ketiak Sasuke saat menyadari hampir semua pengunjung restoran itu memakai yukata khas Jepang atau setidaknya pakaian resmi—bukan kaus dan jeans seperti dirinya. Ia memandang Sasuke yang mengenakan kemeja beraksen garis-garis biru dengan celana bahan hitamnya. "Kau tak bilang, jika akan mengajakku ke sini," gerutu Sakura pelan. "Aku malu, Sasuke."
Sasuke tersenyum simpul mendengar gerutuan kecil Sakura. Ia menepuk-nepuk pelan punggung tangan kanan Sakura. "Tenanglah. Ada aku."
Sakura menatap langsung ke arah kedua mata Sasuke. Sasuke balas menatapnya. Dari sorot matanya, nampak keyakinan dan kelembutan. Sakura tak berkata apa-apa, hanya mengangguk kecil dan tanpa sadar menggenggam erat tangan Sasuke. Sasuke tersenyum tipis. Ia balas menggenggam erat tangan Sakura, menuntun gadis itu menuju meja yang terletak di sudut kanan ruangan. Sakura memilih duduk di kursi sebelah jendela. Matanya nampak memperhatikan salju-salju yang masih turun menghiasi malam Konoha.
"Kau ingin pesan apa?" Pertanyaan Sasuke mengalihkan pendangan Sakura dari luar jendela. Sasuke melirik Sakura sebelum kembali melihat-lihat menu di buku menu restoran ini.
Sakura mengambil salah satu buku menu di meja, ia ikut membolak-balik buku menu, memilih-milih makanan apa yang akan dipesannya. Mata hijaunya nampak tertarik pada menu seafood. "Mmm... aku yakiniku seafood satu porsi."
Sasuke menaikkan alis kanannya. "Kau yakin hanya satu porsi?"
"Eh?" Sakura nampak berpikir makna dari perkataan Sasuke. Ia membelalakan matanya setelah paham maksud perkataan Sasuke. "Sasuke! Aku kan tidak rakus!"—Sasuke sedikit tertawa mendengar nada bicara Sakura yang kelewat serius menanggapi pertanyaannya. Ia menghentikan tawanya ketika Sakura mulai memasang tampang kurang suka. "Maaf, aku hanya bercanda."
"Ya. Omong-omong, kau sendiri pesan apa, Sasuke?"
"Aku sama saja denganmu," jawab Sasuke.
Ada jeda yang cukup lama di antara mereka setelah Sasuke memanggil pelayan untuk memesan pesanan mereka. Tak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan lebih dulu. Sakura nampak canggung memulai percakapan lebih dulu dengan Sasuke. Sedang Sasuke nampak terlalu takut memulai sebuah topik percakapan. Sampai akhirnya Sasuke memutuskan untuk memulai.
"Sakura."
"Ya?"
"Apa kau merasa terpaksa menemaniku malam ini?" Sasuke menanti jawaban Sakura dengan tatapan sedikit khawatir. Ia takut jika ternyata gadis yang kini duduk di hadapannya terpaksa dengan ajakan makan malamnya.
Sakura tersenyum tulus sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tentu saja tidak, Sasuke." Sakura diam, sebelum melanjutkan, "omong-omong, maaf, tapi aku ingin tahu, ada hal apa sehingga kau mengajakku makan malam?—Itu maksudku, kau tahu kan, kita, maksudku kau dan aku. Sebelumnya kita tak pernah errr... sedekat ini. Apa..."
Sasuke diam, menunggu perkataan Sakura selanjutnya.
"...kita seperti sedang..." Sakura nampak kesulitan menyampaikan perkataannya. "...berkencan?" Sakura ingin menenggelamkan wajahnya di balik mantelnya. Ia sama sekali tidak bermaksud berkata seperti itu. Awalnya ia hanya ingin mempertanyakan alasan Sasuke mengajaknya makan malam, tetapi entah kenapa saat ini ia merasa dirinya lah yang sepertinya ingin mengklarifikasi bahwa makan malam ini adalah sebuah kencan.
Sasuke tersenyum tipis, ia menarik tangan Sakura di atas meja, menggenggam tangan itu dengan lembut. "Aku tidak keberatan jika ini disebut kencan."
"Eh?"
Demi apa pun, Sakura merasa dirinya sangat malu dengan keadaan saat ini. Apa benar seorang Sasuke Uchiha—dokter yang menurut Ino paling tampan di dunia—mengingankan kencan dengannya? Sakura mengalihkan pandangannya dari kedua mata hitam Sasuke yang menatap intens matanya. Alih-alih membalas tatapan Sasuke, ia menatap mutiara keperakan yang menghiasi ujung taplak meja. Tiba-tiba ia teringat akan bola mata serigalanya, dan sekelumit perasaan bersalah kembali menggeluti hatinya.
"Ada apa?"
"Aaa... Tidak, tidak ada apa-apa." Sakura mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya.
Bulan Desember tiba begitu cepat. Esok adalah awal bulan Desember. Dengan salju yang turun dengan lembut, dengan lampu-lampu dan hiasan khas Natal, dengan serigala berbola mata keperakan yang selalu mengamatinya dari sana—padang saljunya.
.
.
Hyuuga Hinata tampak mengawasi para abdi klan Hyuuga yang kini tengah berjaga-jaga di depan kamar sang kakak—Hyuuga Neji. Hari ini adalah hari pertama di bulan Desember. Perubahan sang kakak menuju sosok serigalanya pasti terjadi sesaat lagi. Ketika sinar matahari telah mucul di ufuk timur, maka Neji sudah dipastikan akan berubah menjadi serigala.
Hinata termenung, tak terganggu—atau mungkin sebenarnya hatinya sangat terganggu—oleh pekikan kesakitan Neji yang kini mulai bertransformasi menjadi serigala terdengar dari dalam kamarnya. Lolongan serigala yang terdengar dari dalam kamar Neji menandakan ia telah bertransformasi seutuhnya menjadi serigala saat ini. Lolongan pilu yang terasa menyayat hati pendengarnya.
Hyuuga adalah salah satu klan kuno yang masih hidup sampai saat ini. Klan yang dikabarkan memiliki suatu tradisi kuno berbahaya yang mengakibatkan meninggalnya—lebih tepat disebut menghilang—satu per satu orang yang dekat dengan klan tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan klan Hyuuga harus menyingkir dari masyarakat. Hinata tersenyum miris. Ia tahu dengan pasti apa yang terjadi pada orang-orang hilang itu. Mereka mengubahnya. Mengubah orang-orang itu menjadi seperti mereka. Menandai orang-orang itu sebagai pendamping mereka.
Bulan Desember adalah bulan yang ditakuti oleh Neji. Karena di bulan itu lah—bulan kelahirannya—ia akan berubah menjadi wujud serigalanya. Selalu seperti itu sejak usianya mencapai akil baligh—8 tahun bagi klan Hyuuga. Meskipun ia tak kehilangan rasa menusiawinya dalam wujud itu, tetap saja, serigala adalah serigala, dan ia tak menyukai wujudnya.
Begitu pula dengan Hinata, ia selalu takut jika bulan Juli datang. Bulan dimana ia akan berubah menjadi serigala setiap matahari terbit. Ia takut, ia benci jika harus mengingat wujudnya kala itu. Dulu. Sebelum ia menemukan pendampingnya. Mengubah pendampingnya menjadi makhluk sepertinya.
"Apa yang kau pikirkan, Hinata?"—Hinata merasakan sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya.
"Bukan apa-apa, Naruto."
Pemuda pemilik tangan kekar itu mengeratkan pelukannya pada Hinata. "Katakanlah jika ada sesuatu yang membuatmu khawatir."
Hinata menatap langsung kedua mata biru milik pemuda itu. "Naruto, apa kau mencintaiku?" Hinata nampak terlalu takut mendengar jawaban Naruto, ia menundukkan wajahnya setelah menanyakan hal itu.
Naruto tersenyum tulus. Ia angkat dagu Hinata hingga kedua mata mereka kembali bersirobok. "Lebih dari apa yang kau rasakan padaku."
Keheningan melanda mereka sebelum Hinata kembali bertanya dengan lirih. "Kau tidak menyesal telah ku—" Hinata merasa ada sesuatu yang mencekat di tenggorokannya. Berapa kali pun ia telah memaksa Neji menerima takdir mereka, ia tetap merasa berat jika ia yang harus melakukannya terhadap orang yang dicintainya. "—ubah?"
Naruto tertawa kecil sambil mengacak-acak lembut rambut panjang Hinata. "Bodoh. Aku tidak akan pernah menyesal telah mengenal dan mencintaimu."
Hinata tersenyum. Ia tahu, keputusan tidak salah dengan mengubah Naruto ke jalannya. Dan ia pun yakin jika Neji pun tidak salah dengan menandai gadis berambut merah jambu itu sebagai pendampingnya. Neji harus merubah gadis itu sebelum bulan ini berakhir, atau Neji tidak akan pernah menjadi manusia lagi. Ia harus melakukan sesuatu untuk menolong Neji, meski Neji mungkin akan membencinya, ia tak peduli. Neji harus bahagia dengan gadis itu. Harus.
"Naruto?"
"Ya?"
"Mau kah kau membantuku melakukan sesuatu demi Kak Neji?"
"Tentu. Dengan cara?"
Hinata berbisik lembut di telinga Naruto, "lukai Kak Neji hari ini, dan aku yang akan meneruskan lanjutannya."
Naruto diam. Ia tahu persis apa yang akan dilakukan pasangannya itu. Hinata pasti akan terus mencoba mempengaruhi Neji agar mengubah gadis yang ditandai Neji menjadi seperti mereka. Namun ia tak menyangka jika sekeras ini usaha Hinata demi Neji.
"Hinata, apa kau ya—"
"—demi Kak Neji, Naruto," potong Hinata dengan nada memohon. "Kak Neji tidak akan mengubah gadis itu, jika bukan gadis itu sendiri yang memintanya. Kak Neji terlalu takut gadis itu kecewa dengan apa yang seharusnya terjadi. Kak Neji hanya terus memandangi gadis itu dari padang saat bulan Desember tiba. Aku yang harus menyadarkan gadis itu tentang keadaan Kak Neji. Ku mohon Naruto." Hinata mengakhiri perkataannya dengan menatap penuh permohonan pada Naruto.
Naruto menghembuskan napasnya dengan pelan. "Bagaimana dengan gadis itu, Hinata? Kau tidak memikirkan perasaannya?"
"Kau kecewa telah ku ubah?" Nada suara Hinata berubah, hampir meyerupai nada orang yang tersakiti.
"Bukan—bukan begitu. Hanya saja, gadis itu berhak memilih jalan hidupnya sendiri."
"Aku tahu. Tapi Kak Neji terlalu takut memberikan pilihan pada gadis itu." Hinata mengalihkan padangannya ke arah kamar Neji yang mulai sepi dari lolongan. "Maka dari itu, aku yang akan mengantarkan pilihan pada gadis itu."
.
.
Sakura menatap mobil Sasuke yang mulai menjauh dari rumahnya. Semenjak acara kencan dadakannya dengan pria bermata sekelam malam itu, Sasuke mulai mengantar jemput dirinya. Ada sedikit rasa bersalah menyarang di hati gadis berambut merah muda itu, mengenai hubungan yang kini dijalaninya dengan sang dokter tampan. Hubungan yang sebenarnya tak menunjukkan status apa-apa di antara mereka, meski sebagian penghuni rumah sakit—para dokter dan perawat—mengetahui kedekatannya dengan Sasuke. Terlebih mengingat perkataan Ino di rumah sakit tadi siang.
'Kau tahu, apa ku bilang? Sasuke itu menyukaimu tahu!'
Jika benar Sasuke menyukainya. Rasanya terlalu jahat jika ia terus-terusan memberikan perhatian pada Sasuke, padahal rasanya pada pria itu dapat dibilang tak begitu jelas. Samar. Sakura sendiri ragu, apa sebenarnya ia mencintai pria itu? Sekelebat bayangan serigala bermata keperakan melintas di benaknya. Sakura menghela napasnya dengan berat.
Sakura menaiki undakan batu di depan rumah kecilnya yang hanya ditinggali oleh ia dan Sasori, kakaknya. Sementara ini, ia hanya tinggal sendiri, mengingat Sasori masih dalam tugas di Suna. Gadis yang memiliki tanda luka di lehernya itu menyalakan lampu ruang tengah rumahnya dan ia begitu terkejut ketika mendapati ada seseorang—bukan, melainkan seekor serigala berbulu putih yang bulu putihnya kini tak lagi bersih. Ada noda-noda darah terpercik di sekitar kaki depan sebelah kanannya. Sakura menutup mulutnya dengan tangannya, berusaha mencegah suara yang sedianya ingin diteriakkannya.
Sakura hanya terpaku di tempat mengamati keadaan serigala putih itu. Ia yakin, ini adalah serigalanya—yang sering menatapnya dari balik pohon oak di hutan belakang rumahnya. Ada sebuah perasaan yang membuncah di dalam hatinya, seperti perasaan lega melepas rindu yang begitu dalam ketika melihat serigala itu. Darah yang semakin lama semakin banyak merembes menodai bulu putih serigala itu menyadarkan Sakura.
"Astaga!"
Buru-buru ia ke dapur, mengambil sebaskom air hangat dari dispenser, sebotol obat merah, sebungkus kapas putih dan segulung perban dari kotak obat. Dengan hati-hati Sakura mengobati serigala yang kini nampak tertidur begitu saja—dengan luka—di atas karpet ruang tengahnya. Perlahan ia mendekati serigala itu.
Sakura mulai memerban luka serigala itu dengan hati-hati. Namun nampaknya ikatan simpul di ujung perban itu sedikit mengusik tidur serigala itu. Dengan cepat, serigala berbulu putih itu bangkit dan menggeram ke arah Sakura. Sakura yang cukup terkejut, jatuh terduduk ketika mendengar geraman serigala itu. Pangkal kaki depan serigala itu yang terbalut perban sedikit miring menopang tubuh binatang itu. Mata peraknya yang tadi berkilat tajam dan penuh amarah, berangsur-angsur melembut setelah melihat siapa gadis yang kini berada tepat di hadapannya.
Sakura berangsur-angsur memulihkan keterkejutannya. Kedua mata jadenya menatap dalam—tatapan penuh keriduan—pada bola mata keperakan milik serigala putih itu. Bola mata yang selalu menghantuinya sepanjang bulan Desember. Perak yang bersinar.
Serigala itu menghentikan geramannya. Ia hanya diam membalas tatapan kerinduan Sakura dalam keheningannya. Tanpa ragu Sakura mengulurkan tangannya ke arah serigala itu. Ia bisa merasakan serigala itu sedikit berjengit saat tangan Sakura hendak menyentuh bulu punggungnya, tapi serigala berbulu putih itu tak sedikit pun menolak atau menghindar. Dan kini Sakura menyentuh bulu-bulu halus serigala itu. Benar-benar menyentuhnya.
Siluet sinar matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat, menyadarkan sosok serigala itu akan perubahan wujudnya. Dengan cepat serigala itu berbalik—siap lari ke luar dari keadaannya saat ini : dengan Sakura yang masih menyentuhnya. Namun Sakura yang menyadari gelagat tubuh serigala itu menahannya. Tanpa ragu gadis bermata jade itu mendekap serigalanya.
"Jangan! Jangan pergi!" Gadis itu mengeratkan dekapannya. Membenamkan wajahnya pada bulu punggung serigala itu. "Ku mohon," katanya dengan nada lirih. "Ku mohon tetaplah di sini. Setidaknya sampai lukamu sembuh."
Matahari telah tenggelam sepenuhnya. Perlahan Sakura merasakan sosok dalam dekapannya mulai bergerak-gerak. Ada keanehan—seperti sesuatu yang berubah dalam sosok serigala itu. Sakura menegakkan wajahnya, memandang serigalanya tanpa berkedip. Sosok yang secara perlahan berubah, bukan lagi serigala dengan bulu putih di sekujur tubuhnya, melainkan sesosok manusia.
Mulai dari bulu-bulu yang menghilang seolah masuk ke dalam tubuh, bentuk kaki depan yang mulai berubah menjadi tangan manusia, hingga kaki belakang binatang itu memanjang menjadi sepasang kaki manusia. Sakura secara refleks melepaskan dekapannya, menatap penuh dengan keterkejutan ke arah sosok serigala putihnya yang kini telah sempurna menjadi sosok manusia—pria bertubuh kekar tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Serigala itu benar-benar berubah dari sosoknya sebelumnya, kecuali matanya. Mata itu tetap sama. Perak.
Keheningan melanda mereka berdua. Sesaat mereka berdua saling menatap langsung ke arah kedua mata mereka masing-masing. Sakura merasa canggung melihat pemandangan pria tanpa busana di hadapannya.
"Aaa... Aku akan mengambilkan pakaian dulu untukmu," katanya seraya beranjak bangkit dari duduknya, berjalan menaiki tangga menuju kamar Sasori di lantai dua.
Neji—sosok pria itu—mengamati ruangan di sekelilingnya. Ruangan yang selalu ia lihat luarnya di setiap bulan Desember. Yang selalu mejadi latar belakang pertemuannya dengan Sakura saat bulan Desember. Suara langkah kaki di anak tangga, mengalihkan pandangan Neji pada Sakura yang muncul dari arah tangga.
"Mmm... Ini," kata Sakura sambil berbalik, ia memberikan sebuah kemeja panjang kotak-kotak berwarna coklat tua dan sebuah celana jeans yang kelihatannya ukurannya cukup untuk tubuh Neji.
Neji menerima kemeja dan celana pemberian Sakura.
"Aku akan pergi ke luar dulu selama kau err... memakai baju," kata Sakura masih dengan posisi membelakangi Neji.
"Tunggu," cegah Neji. "Cukup berbalik, aku tak akan lama."
"Aaa... Baiklah."
Hanya berselang lima menit, Neji telah selesai memakai kemeja dan celana pemberian Sakura. Neji memandang punggung Sakura. Neji tersenyum tipis. "Berbaliklah, aku sudah selesai."
Sakura membalikkan tubuhnya, ia kini dapat melihat sosok Neji yang terbalut kemeja milik Sasori. Kemeja itu nampak sedikit kekecilan di tubuh tinggi Neji. Sakura merasakan pipinya memanas mengingat apa yang telah dilihatnya sebelum ini—Neji tanpa busana. Sakura menggigit-gigit kecil bibir bawahnya, menahan rasa malunya. Neji yang nampaknya mengerti akan perasaan Sakura berusaha menenangkannya.
"Tenanglah. Aku mengerti kau tidak bermaksud melihatku—"
"—kau serigala itu kan?" Sakura memotong perkataan Neji. Sejujurnya ia tak ingin membahas hal ini. Namun ia tahu, ia harus tahu semuanya. Mengenai serigalanya juga—pria ini.
Neji terdiam. Ia memandang Sakura langsung ke dalam kedua mata gadis itu. Menilai apakah Sakura—gadis yang ditandainya—akan mampu menerima kenyataan jika ia adalah keturunan Hyuuga. Klan yang digariskan menjadi serigala di setiap bulan kelahiran mereka. Tepat setelah matahari muncul di ufuk timur.
"Maaf—maaf jika pertanyaanku tidak sopan. Aku, aku hanya ingin memastikan kau adalah serigala itu, bukan pencuri atau apa—"
"—kau?"
"Ya?"
"Hanya ingin memastikan hal itu?"
"Tentu," jawab Sakura sambil tersenyum.
Neji memandang Sakura dengan heran. Sakura hanya takut jika ia bukan serigala itu. Ia bahkan kelihatan senang jika seandainya Neji memang serigala—serigala putih yang selalu memandanginya di bulan Desember.
"Kau tidak takut jika aku melukaimu?"
Sakura hanya menggelengkan kepalanya, perlahan ia mendekati Neji dan kini ia tepat berhadap-hadapan dengan pria itu. Sakura menatap kedua bola mata keperakan Neji dengan dalam. Jemari-jemari kecil Sakura menelusuri tulang pipi Neji, mengelusnya perlahan. Neji menutup matanya, takut jika apa yang kini ada di hadapannya hanyalah sebuah ilusi. Ilusi yang akan menyakitinya ketika ia tahu bahwa semuanya hanya semu.
"Jangan—jangan tutup matamu," kata Sakura.
Neji membuka kedua matanya perlahan. Tatapan lembut Sakura yang bersirobok dengan kedua mata peraknya meyakinkannya bahwa semua yang kini dialaminya bukan ilusi. Ini nyata. Senyata jemari Sakura yang semakin intens membelai tulang pipinya. Senyata tangannya sendiri yang kini mulai menarik Sakura semakin rapat dengannya. Senyata jemari tangannya yang kini menyentuh dagu Sakura dengan lembut, mendekatkan wajahnya pada wajah Sakura. Kini hembusan napas Sakura terasa begitu memabukkan Neji, aroma tubuh Sakura begitu memenuhi dan membekas dalam indera penciumannya-meski telah menjadi sosok manusia, indera penciuman Neji tetap masih setajam ketika ia berwujud serigala. Begitu pun dengan Sakura. Ia merasa Neji lah, pria yang selama ini ia cari. Neji semakin mendekatkan wajahnya, ia sudah tak bisa menahan keinginannya. Ia ingin memiliki Sakura-gadisnya. Ia merunduk, satu dari tangannya telah memeluk pinggang Sakura. Ia bersiap mencium bibir ranum Sakura, sebelum sebuah kenyataan menghentikannya. Ia tak ingin Sakura menjadi seperti dirinya.
Neji menjauh dari Sakura, melepaskan dekapannya pada gadis itu. "Maaf," katanya lirih.
To be continue...
Aaaaa... Tetehhhh gomen kalo fic-nya abal pisan. T.T#pundung
Epy B'day ya teteh, moga di usianya yang semakin matang ini, coughcepetnikahcough #plakk...
Maap telat teh.-_-
Hihihi... semoga panjang umur, sehat selalu, dan menghasilkan yang terbaik dalam hidupnya. Amin... :) #peyukpeyuk#
Makasih juga buat kakak gue yang cuantikkkk aka DiamondCrest yang udah mau ngebeta-in setengah dari fic ini.:p muachhh...
Ripiu yak? :D
