" u"
Sudah berapa tahun? Sudah berapa tahun mereka hidup dalam sengsara? Sudah berapa lama paru-paru ini susah untuk mengonsumsi oksigen? Sudah berapa lama pula mata kirinya tampak buram melihat satu objek?
Entahlah. Kannonzaka Doppo tidak tahu. Awalnya ia menghitung, hari demi hari, berganti bulan, hingga tahun, dan semakin lama semakin berat untuk diteruskan. Ini bukanlah masa depan yang ia cita, bukan pula kehidupan yang ia dambakan sedari kecil. Ini neraka. Doppo memang belum mati, tapi ia tahu bahwa kehidupan yang ia jalani sekarang sama halnya dengan kehidupan di neraka.
Tahun 2409, sebuah koloni luar angkasa menyerang bumi untuk dijadikan tempat tinggal baru. Peperangan itu berlangsung hingga 5 tahun lamanya, sampai umat manusia tidak sanggup lagi untuk berdiri dan memegang senjata. Di samping kekuatan fisik yang berbeda, perkembangan teknologi mereka jauh lebih maju dibandingkan umat manusia. Hingga peperangan dimenangi telak oleh para Nui—begitu sebutan para koloni luar angkasa itu.
Nui yang memimpin bumi saat ini, meninggalkan umat manusia yang tersisa setelah hari penghabisan menjadi budak. Beberapa yang tak mau mengikuti aturan para Nui dibuang ke luar dinding yang dibuat oleh Nui. Seakan menegaskan bahwa status sosial dan ras-lah yang memegang peranan dalam dunia baru. Dan manusia adalah ras terendah—bahkan dari hewan sekalipun.
Ironi.
Kehidupan ini sangat menyengsarakan.
Doppo menghela nafas pelan, duduk di atas batu dengan memeluk kedua lututnya. Celananya compang-camping, hampir tak layak untuk dipakai. Kemejanya pula tak akan sanggup untuk menahan dirinya dari cuaca panas berkepanjangan. Tapi hanya inilah harta yang Doppo miliki.
Dan seorang lagi;
"Hei."
Satu-satunya harta yang ia miliki selain pakaian yang lusuh adalah Izanami Hifumi.
Doppo mendongak, menatap ke arah pria bersurai kuning dan hijau yang baru saja datang. Hifumi mengambil tempat di samping Doppo, duduk termenung menatap padang pasir di depan.
"Kenapa di luar? Doppo tak kepanasan?" tanya Hifumi memecah keheningan. Tapi Doppo diam saja tak menjawab, memilih mengabaikan pria itu dan menatap kuku-kuku kakinya yang memanjang.
Selama tinggal di luar dinding, mereka bertahan hidup dengan tinggal di sebuah gedung tua tak terpakai. Sebenarnya gedung tua itu bekas gedung olahraga sebuah sekolah. Tapi sekolahnya sudah hancur lebur dan hanya menyisakan puing-puing yang tertimbun badai pasir beberapa waktu lalu.
"Ironi sekali, ya." Tiba-tiba saja Hifumi berkata seperti itu. Kali ini Doppo memberikan atensi penuhnya pada Hifumi. Tak ada raut wajah yang berarti, pandangan mata kosong hanya tertuju ke kelereng milik Hifumi. "Aku ingat sekali ini adalah pusat kota. Gedung-gedung tinggi ada di mana-mana. Lalu, kau ingat ada satu restoran yang baru buka? Pft- lihatlah Doppo, hanya tinggal papan nama restorannya saja yang tersisa. Entah mengapa bisa nyasar sampai kesini." Tangan Hifumi menunjuk ke satu papan nama yang setengahnya tertimbun pasir kuning panas.
"Semakin panas saja. Fuuuh. Apa para Nui itu tak bisa memberikan kita tempat tinggal untuk sekadar berteduh saja? Atau barang kali berniat memberikan sepetak laldang dan beberapa hewan agar bisa dikembang biakkan—maa, mustahil, ya." Hifumi mengeluh, dan seperti biasa Doppo akan terus mendengar. Mereka diam untuk sesaat, menikmati terpaan angin panas yang berhembus. Tapi rasanya sulit sekali untuk bernafas. Sepertinya oksigen tak lagi sudi berada di bumi.
"Hifumi, apa kau rindu hujan?" tanya Doppo.
"Doppo rindu hujan?" Bukannya membalas, Hifumi malah balik bertanya.
Doppo mengangguk. Matanya berkedip pelan, berusaha memokuskan pandangan mata kanannya ke wajah Hifumi. "Aku juga rindu baunya. Aku rindu air. Aku rindu pepohonan. Aku juga ingin berlari di tengah hujan bersama Hifumi, seperti dulu."
Hifumi diam, tersenyum lembut kemudian. "Kita pernah melakukannya dulu, ya? Aaah … aku penasaran kapan waktu-waktu itu bisa terulang lagi."
Doppo diam saja, karena ia tahu waktu seperti itu takkan bisa terulang lagi. Bahkan untuk duduk bersebelahan seperti ini, Doppo yakin esok hari mereka takkan bisa seperti ini lagi. Senyum Hifumi yang cerah, energi pria itu yang tak ada habisnya, Doppo ingin memilikinya selamanya.
Pandangan buramnya tertuju ke rambut Hifumi. Bagian atas rambutnya sedikit memutih—dulu, pernah memutih seluruhnya. Tapi Doppo bisa bersyukur bisa melihat lagi rambut cerah Hifumi sebelum tenggat waktunya. Tangannya terulur ke arah pemuda itu, mencabut sehelai rambut berwarna putih pendek—membuat Hifumi mengaduh pelan karena sedikit rasa sakitnya.
Doppo tak menghiraukan, ia terus menatap helai rambut putih itu. Hingga akhirnya terbawa oleh angin panas dan lepas dari tangan Doppo.
"Ne, Doppo ..." panggil Hifumi pelan, hilang sudah nada cerianya yang tadi sempat datang.
"Hmn?" Ia tak mengalihkan pandangannya sekalipun helai rambut Hifumi terbang. Malah kini atensinya terpusat pada tangannya, menatap ibu jari dan jari telunjuknya yang tersisa.
Tangan kanan Hifumi meraih tangan Doppo, memegang kedua jarinya yang tersisa sambil tersenyum lembut. Kepalanya ia taruh di atas lutut, sambil melihat penuh cinta ke arah Doppo.
"Aku mencintaimu," katanya tiba-tiba, membuat Doppo semakin stress saja.
"Berhenti, Hifumi."
Tapi si teman masa kecil tak berhenti, ia terus menatap ke arah Doppo. Tangannya semakin memegang erat, sesekali mengelus ruas jari Doppo yang tersisa. Aah ... sebab dirinyalah Doppo kehilangan tiga jari-nya di tangan kanan. Bahkan jari-jemari pria itu di tangan kiri sudah habis, hanya menyisakan telapak tangan saja.
"Hifumi lapar? Kau bisa makan kalau mau."
Ingin menangis, Hifumi ingin menangis ketika Doppo menyodorkan jari telunjuknya yang berharga ke bibir Hifumi. Mengelus lembut bibir kering miliknya, kemudian jari itu masuk menyentuh gigi-gigi rapi milik Hifumi.
Iya. Memang apalagi yang mau dimakan di saat keadaan sebegini buruknya? Lapisan ozon yang terkikis membuat cahaya matahari tanpa segan menerangi langsung bumi yang tandus. Hampir tak ada awan—maka tak ada pula hujan yang dirindukan Doppo. Tumbuhan dan hewan mana yang akan sanggup hidup dalam cuaca sebegini ekstremnya? Bahkan manusia pun tidak akan tahan—Doppo taktahu tinggal berapa manusia yang tersisa di bumi ini. Karena cuaca ini jugalah penglihatan mata kiri Doppo terganggu hingga pupilnya memutih.
Manusia yang terasing akan hidup dalam kesengsaraan tiada batas. Sebaliknya, mereka yang memiliki kekuasaan dan dianggap berguna akan mendapat perlindungan dari Nui untuk tinggal di pusat kota baru tempat kehidupan yang pernah Doppo dan Hifumi jalani berada. Mereka terpisah oleh dinding besar. Para Nui seakan ingin menegaskan bahwa saat ini mereka-lah penguasa bumi, bukan umat manusia.
Doppo pernah bercita-cita ke sana, pasti rasanya dingin sekali, dan banyak makanan enaknya. Namun siapa pula yang mau menerima pria menyedihkan dengan mata cacat dan tangan yang hampir habis jari-jemarinya? Selain itu ... Doppo sangat mencintai Hifumi yang masih memegang prinsip takmau diperbudak, hingga mati-matian bertahan hidup di tanah gersang yang dulunya adalah Shinjuku.
Doppo tak menyalahkan Hifumi untuk jemarinya yang habis. Doppo tak menyalahkan Hifumi yang memaksanya untuk tetap berada di sampingnya. Hanya cinta Doppo saja yang terlalu besar untuk pria itu, dan berjanji untuk terus bersama hingga akhir waktu tiba.
Hingga kemudian, Hifumi menggigit jari telunjuk Doppo, dengan kuat dan cepat, berusaha agar Doppo tak kesakitan. Tapi tetap saja pria itu meringis. Ada senyum yang terpancar dari wajah Doppo, dengan mata yang menatap penuh kerinduan ke sosok Hifumi.
"Makanlah. Masih ada ibu jariku yang tersisa untuk makan malammu nanti. Dan besok, setelah tenggat waktuku datang, tolong berbagilah tubuhku yang kurus ini pada anak-anak yang lain, ya?"
Air mata Hifumi mengalir, terus mengalir, bercampur dengan darah dari jari Doppo yang jatuh ke rahang Hifumi.
Doppo terus memandangi dengan senyum di bibir. Merasa bahagia—setidaknya ia berguna di masa akhir hidupnya. Setidaknya, ia bisa memberikan sebagian tubuhnya untuk pria yang ia cintai, memberitahu bahwa walaupun Doppo menjemput masa tenggatnya, sebagian dari dirinya ada di dalam tubuh Hifumi.
Ya, ke sembilan jarinya ada di dalam perut Hifumi.
Itu saja cukup.
Mungkin, Doppo akan mengajukan permintaan khusus kepada ketua mereka bahwa hanya Hifumi yang boleh memakan kepalanya untuk tiga hari ke depan, sampai akhir tenggat waktu untuk Hifumi tiba.
