Saat Midorima membuka mata, yang tersisa dari takdirnya hanyalah aroma kayu manis yang kuat dan selembar sapu tangan sutra berbordir mawar biru.

.

...*...

.

Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi.

Saya tidak mendapat keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning: BL, fluff, AU, OOC, miss typo(s) etc.

Selamat membaca ^^

.

...*...

.

Midorima selalu percaya pada kekuatan takdir.

Itulah alasan mengapa dia sudi menyibukkan diri tiap malam mempersiapkan barang-barang yang diprediksi akan membantu memuluskan jalan takdirnya. Dia tak peduli pada pandangan miring orang lain akan kebiasaannya yang dianggap eksentrik, karena dia tahu apa yang ditakdirkan untuknya akan menjadi miliknya.

Itulah pula alasan mengapa dia sudi menjelajah seluruh kota di tengah malam untuk mendapatkan kucir rambut berhias boneka beruang biru muda yang sedang populer di kalangan gadis berusia tujuh tahun. Karena Oha Asa mengatakan jika dia akan bertemu dengan 'Sang Takdir' jika dia membawanya hari ini.

Dan sungguh, mungkin ini kali pertama Midorima ingin menghina takdir yang selama ini selalu disanjungnya.

Sang Takdir? Omong kosong besar.

Akashi mengernyitkan alis, menyelesaikan permainan shogi yang sepertinya tak dinikmati lawan mainnya. "Jadi, bukannya bertemu dengan orang yang ditakdirkan, kau justru bertemu dengan... orang mesum?"

Midorima ingin menyanggah pernyataan Akashi. Namun, dia sendiri tak dapat menyebutkan istilah lain untuk seseorang yang mencium orang lain saat orang itu tertidur dan kabur setelahnya. "Takdirku tak ingin bertemu denganku."

"Kau yakin benar dia takdirmu," Akashi membereskan papan shogi-nya. Sadar Midorima tak akan bisa fokus berapa lama pun mereka bermain. Kalah dalam sepuluh menit pertama? Jika Midorima sudah kembali ke kesadarannya, dia pasti akan kesal. Akashi memandang teman masa kecilnya serius. "Dia bisa jadi hanya orang sial yang kalah taruhan dan dipaksa mencium orang asing. Kebetulan kau ada di sana, sedang tertidur dan..."

"Kalau begitu, kekalahannya adalah bagian dari takdir," Midorima memotong dengan ketus. "Aku tidak pernah tertidur di kelas. Takao juga tidak pernah seiseng itu, bersekongkol dengan seluruh kelas meninggalkanku di ruang seni. Ini semua adalah bagian dari takdir itu sendiri. Inilah jalan takdir untuk mempertemukan kami."

Akashi menghela napas atas kekeras-kepalaan teman masa kecilnya. Sesungguhnya, tak peduli sesering apapun Midorima bicara tentang takdir, Akashi tak pernah bisa mempercayainya. Menggantungkan hidupnya pada posisi bintang dan seorang cenayang? Terlalu menggelikan. Untuk mengembalikan kewarasan temannya, Akashi kembali bicara. "Dan sekarang, kau kacau karena 'takdir' yang kau nanti-nanti itu. Kau bahkan tak tahu apapun tentang orang itu."

"Aku tahu."

Tersenyum mengejek, "Katakan padaku, apa yang kau tahu."

Midorima memejamkan matanya. Mengingat-ingat kembali suasana ruang seni yang hening dan angin sepoi-sepoi berembus dari jendela yang terbuka. Langkah kaki yang sengaja dihaluskan, dan sapuan halus jari yang menyingkirkan rambut di dahinya. Beberapa usapan lembut, dan Midorima merasakan rambut asing yang bukan miliknya membelai pipinya.

Midorima berbisik pelan, "Rambutnya pendek dan halus..."

Sesuatu yang lain menyapu pipinya, kulit, lembut dan lembab; sepasang bibir. Bergerak-gerak membentuk kalimat yang tak tersuarakan, namun Midorima dapat merasakannya, 'Maaf, aku mencintaimu,'. Dan saat sepasang bibir itu menjauh, Midorima dapat mencium aroma yang menguar dari sosok itu.

"... parfum beraroma rempah-rempah yang dia gunakan di belakang telinganya..."

Butuh beberapa detik bagi Midorima untuk membangunkan dirinya dari tidur. Namun, saat dia bisa membuka mata dan menegakkan tubuhnya,sang takdir sudah menghilang. Hanya meninggalkan suara sepatu yang bergaung samar, aroma kayu manis di udara dan ...

"... dia gemini."

... sapu tangan sutra berbodir mawar biru tergeletak di lantai, sebagai ganti kuncir boneka beruangnya yang lenyap dibawa pergi.

Akashi masih memandangnya dengan tatapan simpatik, "Kau tidak berencana mengendusi tiap gadis gemini dengan rambut pendek di sekolah bukan?"

Midorima hanya diam.

"Tolong, katakan padaku kau tidak benar-benar berniat melakukannya."

"Pilihan apa lagi yang kupunya?"

"Melupakannya?"

"Itu bukan pilihan." Midorima bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari ruang dewan siswa. "Karena, takdir tak akan terjadi jika kita tidak bertindak."

Akashi menghela napas panjang. Sedikit banyak, dia tahu jika inilah yang akan terjadi. Lima belas tahun pertemanan dengan Midorima bukan sekedar angka semata. Kekeras-kepalaan temannya sudah begitu melegenda, kata-kata tidak akan dapat mencairkan tekadnya. Akashi hanya bisa berkata, "Jangan membuat masalah yang tak bisa kau atasi."

Midorima berhenti saat membuka pintu, menoleh sejenak. "Ah, aku lupa bilang... aku tak yakin jika orang itu pasti perempuan."

Akashi merasa Midorima pasti akan terlibat di masalah yang tak bisa diatasinya.

.

...*...

.

Kise tidak bisa fokus.

Sungguh, dia pasti sudah gila. Gila, sinting, edan, tidak waras, apapun istilahnya.

Dia mencium Midorima Shintarou.

Empat kata itu saja sudah sanggup meledakkan sisa-sisa logika di otaknya, pipinya terbakar seolah ada bara ditempelkan di sana. Dadanya berdegup kencang, membuat napasnya terasa sesak dan kepalanya pusing.

"Oh, Tuhan...," gumamnya sambil menekan kepalanya makin dalam ke bantal. "Apa yang telah kulakukan?! Aku pasti sudah gila... kurasa aku harus pergi ke psikolog sesegera mungkin sebelum aku mulai melakukan hal-hal sinting lainnya."

Kise mencoba menata kembali isi kepalanya yang kacau. Namun, dia hanya dapat merangkai kata-kata konyol seperti yang biasa anak SD gunakan untuk karangan musim panasnya.

Kise Ryouta mencium Midorima Shintarou.

Kise Ryouta.

Mencium.

Midorima Shintarou.

Di pipi tentu saja, Kise belum segila itu sampai berani mencuri bibir seseorang yang tertidur. Namun, sungguh... bahkan dalam mimpi terliar pun Kise tak berani memikirkan kemungkinan hal seperti ini terjadi. Dia merasa sudah cukup puas untuk memandang dari jauh, mengagumi, mencari tahu informasi-informasi kecil, dan jatuh makin dalam pada Midorima.

Jangankan mencium, dia bahkan tak punya cukup nyali untuk sekedar menyapa.

Kise mengangkat tangannya menyentuh bibirnya yang sedikit sakit akibat kulumannya sendiri. Tekstur pipi Midorima masih terasa jelas di sana, tak peduli sudah berapa kali Kise menggigiti dan menggosok bibirnya. Pipi itu kasar, kulitnya sedikit lebih kering dari milik Kise, dan bekas cukurannya tadi pagi tak sehalus miliknya. Dan rasa hangat yang tak familier itu, rasa hangat yang tersalurkan dari bibir ke seluruh tubuh, membuatnya menggigil saat dia meninggalkannya.

Kise ingin berteriak untuk menyalurkan rasa frustrasi, namun dia tahu dua kakak perempuannya tidak akan mengapresiasi dengan baik.

Pemuda pirang itu berusaha meruntutkan kembali kejadian yang terasa kacau dan bertebaran tak teratur di otak. Dia harus mulai dari mana?

Ah, pagi ini dia ada pekerjaan, pemotretan membosankan untuk brand pakaian ibunya yang tak bisa ditunda. Sesungguhnya, dia ingin bersekolah. Kamis selalu menjadi hari favoritnya, ada pelajaran olahraga di pagi hari, dia bisa memandang Midorima yang duduk di dekat jendela dari lapangan. Kise berusaha menyelesaikannya secepat mungkin agar bisa kembali ke sekolah sebelum jam makan siang, ada satu lagi momen yang tak boleh dilewatkannya.

Masuk melewati gerbang belakang, dia sengaja memilih jalan itu karena (sekali lagi) ini adalah hari Kamis. Yang artinya, kelas 2-3, kelas Midorima baru saja menyelesaikan pelajaran seninya. Jika Kise beruntung, mungkin dia bisa mencuri pandang saat Midorima dan teman-temannya kembali ke kelas.

Namun, dia tak seberuntung itu.

Atau setidaknya, itulah yang dia pikirkan...

.

...*...

.

Kise bersembunyi di balik pohon, mengawasi siapa pun yang keluar dari gedung tempat ruang seni berada.

Midorima tidak ada di sana. Tidak bersama para gadis yang berceloteh nyaring membicarakan gosip terbaru. Tidak bersama kutu buku-kutu buku serius yang berjalan menunduk. Tidak pula bersama gerombolan anak laki-laki yang tertawa keras.

Tapi ada Takao Kazunari, teman baik Midorima, di sana, terbahak-bahak bersama beberapa anak laki-laki lain. Biasanya, Takao dan Midorima selalu bersama, tak terpisahkan (kadang Kise cemburu setengah mati pada Takao karena hal itu). Adalah kejadian langka melihat mereka tanpa satu sama lain.

Belum ingin menyerah, Kise mendekati kelompok itu.

Takao Kazunari bukan teman baiknya. Namun, Kise pernah beberapa kali membantu mengumpulkan para gadis untuk kencan kelompok yang diikuti Takao. Tentu saja dengan maksud tersembunyi. Takao adalah seseorang yang banyak bicara, dan sejak menjadi teman baik si eksentrik, Midorima Shintarou, nyaris semua kisahnya berputar pada Midorima. Sumber informasi yang sempurna tanpa menimbulkan kecurigaan yang tak perlu.

"Hei," Kise mengajaknya tos saat Takao melewati pohon tempatnya bersembunyi. "Bolos?" tanyanya, berpura-pura tak pernah menghafal jadwal kelas tetangganya tersebut.

"Aku bukan super model yang bisa bolos dengan sesuka hati. Tap,i aku juga pasti akan lebih memilih bolos kelas seni jika aku punya cukup nyali," katanya sambil tertawa, menyambut tos Kise. Anak laki-laki lain yang bersamanya menyingkir, tampak terintimidasi dengan kedatangan tiba-tiba sang model. "Apa yang kau lakukan di sini? Menghindari para penggemar gilamu?"

Kise hanya mendengus pelan menimpali pertanyaan Takao. "Kau sendiri terlihat seperti seseorang yang baru bersenang-senang, bukan menghabiskan jam-jam membosankan di ruang seni."

"Selalu ada cara untuk membuat kelas menyenangkan, kau tahu?"

Kise menyimpulkan, salah satu kejahilan kekanakan Takao sudah dilakukan pada Midorima. Tak ada hal lain yang bisa membuat Takao lebih senang dibanding kemenangan-kemenangan kecil atas temannya. Namun, Kise berusaha untuk tidak menunjukkan rasa ingin tahu, "Kau akan dikeluarkan dari sekolah jika mengacau di ruang seni. Meski tidak berguna, barang-barang itu punya harga."

"Sampai kapan kau akan menganggapku sebagai pengacau besar?" Takao menggeleng-gelengkannya dan memasang wajah malaikat polos tanpa dosa. "Aku hanya membiarkan seseorang yang tengah lelap tidur siang untuk tidur sedikit lebih lama. Tidakkah aku orang baik?"

Kise tak dapat mencegah dirinya untuk menoleh ke gedung tempat ruang seni berada. Midorima tidur di sana. Pikiran itu membuat dadanya terasa hangat. "Kau membuang waktuku untuk cerita membosankan."

"Hei!" Takao memprotesnya. "Akan sangat menarik untuk melihat reaksinya saat dia bangun dan menyadari tak ada siapa pun di sana."

"Apa usiamu tujuh tahun?"

"Sialan."

Kise mencoba mengalihkan pembicaraan. "Beberapa gadis dari Sekolah Putri X mengajakku karaoke minggu depan. Kau punya berapa teman yang bisa pergi?"

Takao menggelengkan kepalanya, berpura-pura simpatik. "Hei, kau harus mulai belajar mencari teman laki-laki."

"Tidak bisa?"

Takao tersenyum lebar, menepuk pundak Kise. "Berapa orang mereka?"

"Tujuh atau delapan."

"Kukabari kau besok."

Dengan itu, Takao dan kelompoknya berlalu, berjalan menuju kantin sambil mendiskusikan seberapa manisnya anak-anak dari Sekolah Putri X. Kise tetap berdiri di tempatnya. Dia tahu, dia harus segera ke kelasnya dan makan siang bersama beberapa gadis yang akan dengan senang hati membagi bekal—seperti biasa. Namun, langkah kakinya membawa Kise ke gedung yang baru ditinggalkan Takao.

Pimikiran jika ada Midorima di sana menggodanya seperti setan menggoda Eve memakan apel terlarang. Dan fakta jika Midorima sedang tidur membuat Kise tak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat pemuda yang ditaksirnya dalam keadaan lengah.

"Mungkin ini takdir," gumam Kise sambil meremas saputangan yang ada di sakunya.

Dia bukan tipe laki-laki yang senang membawa saputangan ke manapun, apalagi yang terbuat dari sutra dengan bordiran mawar biru. Namun, saat pagi ini ibunya menunjukkan puluhan saputangan oleh-oleh bulan madu ke sekian, Kise mau tak mau teringat akan perkataan Oha Asa semalam (acara yang diikutinya hanya karena dia tahu Midorima tergila-gila pada ramalan cenayang itu).

'Gemini, keberanian adalah kunci untuk meraih apa yang kau inginkan. Saputangan berbordir akan mengeluarkan keberanian dari dalam dirimu, lebih besar daripada yang dapat kau perkirakan.'

Beberapa jam ke depan, Kise menyadari jika keberanian yang dikeluarkan benda itu akan TERLALU BESAR untuk ditanggungnya. Namun, di tengah hari musim gugur, Kise memantapkan langkahnya menuju ruang seni.

Midorima yang tertidur di sudut ruangan terlihat begitu polos dan lembut. Nyaris terasa aneh karena Kise biasa melihatnya dengan ekspresi serius yang tak terpatahkan. Tak ada dahi yang berkerut, tak ada alis yang mengernyit, tak ada bibir yang mendecih tak senang. Midorima tampak begitu polos dan lembut.

Kacamatanya diletakkan di meja sementara dia duduk bersandar di dinding. Kepalanya terkulai di satu sisi, dan tangannya terlipat di dada. Dengan posisi tidur yang setidak nyaman itu, Kise bertanya-tanya bagaimana bisa Midorima terlihat begitu pulas.

Si pirang tertawa pelan. Selirih yang dia bisa saat menyadari rambut depan Midorima diikat dengan kucir beruang biru muda besar.

Benda keberuntungan cancer hari ini. Apakah kau kelelahan setelah mencarinya semalam?

Tentu saja, Kise yakin bukan Midorima yang mengikatkan benda itu ke kepalanya sendiri. Mungkin Takao yang melakukannya sebagai kejahilan tambahan.

Kise tak tahu setan apa yang menggerakkannya hingga dia memiliki pikiran untuk mendekat dan melepaskan kucir itu. Berjalan tanpa suara, dia membungkuk di hadapan Midorima yang masih pulas tertidur, tampak tak sadar akan entitas baru di ruangan tersebut.

Dia benar-benar kelelahan, pikir Kise sambil perlahan menyentuh rambut Midorima. Rambut itu tebal dan halus. Tidak sehalus rambutnya yang dimanja perawatan, tentu saja. Tetap saja rambut itu terasa halus, menari dan lepas di antara jari-jari Kise, meluncur menutupi dahi Midorima.

Kise merapikan poni yang terbang tertiup angin itu dengan jari-jarinya, sebisa mungkin mengembalikan ke tatanan rambut Midorima yang rapi tanpa cela. Namun, saat memandang wajah yang tertidur itu, Kise merasa dirinya hilang dalam pikirannya sendiri.

Aku mencintaimu, kau tahu? Dia ingin meneriakkan kalimat itu.

Aku mencintaimu hingga hati ini terasa begitu bahagia hanya dengan melihat sekilas bayanganmu.

Aku mencintaimu meski aku tahu jika aku tak akan bisa lebih dekat denganmu dari sekedar pengagum.

Aku mencintaimu.

Dan meski kini kau begitu dekat, hingga jari-jariku bisa menyentuhmu...

Kise menyapukan jari-jari itu ke pipi Midorima.

... sesungguhnya kau begitu jauh, di luar jangkauanku.

Saat Kise sadar, dia mendapati bibirnya sedang memberi kecupan lembut di pipi Midorima.

Dan dia tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Sepertinya dia kabur secepat yang dia bisa. Panik bukan kepalang atas apa yang telah diperbuatnya.

Ketika kesadaran Kise mulai kembali, dia sudah di rumah, salah satu kakak perempuannya mengomel atas ketidakhadiran Kise di sekolah. Kise tak mendengarkannya. Di tangannya tergenggam ikat rambut beruang warna biru.

Dia baru saja mencium Midorima Shintarou.

.

...*...

.

Sungguh, Kise mempertimbangkan untuk mati saja.

Atau mungkin, merengek pada orangtuanya untuk pindah ke belahan bumi yang lain tempat di mana Midorima Shintarou tak akan pernah menemukan makhluk hidup bernama Kise Ryouta.

Malam telah larut. Kise sudah berjalan berputar-putar di kamarnya ratusan kali, menggelinding di kasurnya ribuan kali dan mengoceh pada dirinya sendiri jutaan kali untuk mencoba menghabiskan tenaganya. Namun, tubuhnya masih begitu bersemangat, begitu hidup, seolah ciuman itu memacu setiap selnya untuk lebih aktif, seperti doping. Tidur sepertinya hanya akan menjadi rencana semata.

Kise menghentikan kegiatannya yang jelas tak berguna, sekali lagi mengusap bibirnya. Ciuman itu nyata. Kise bahkan tak sengaja membawa kabur kucir boneka beruang Midorima. Gadis-gadis yang mengidolakannya bisa menangis jika tahu pangeran mereka tidak lebih dari sekedar orang mesum yang menciumi orang yang sedang tidur.

Pemuda itu berbisik ngeri, "Dia... tidak menyadarinya kan?"

Oh Tuhan, Kise lebih memilih untuk terjun langsung ke neraka saja dibandingkan harus berhadapan dengan Midorima jika sampai pemuda itu tahu Kise telah menciumnya...

Tunggu, apakah Midorima tahu siapa Kise? Sepertinya tidak. Pemuda itu tampaknya tidak tertarik dengan gosip sekolah. Tentu saja, dia tidak akan mungkin tahu Kise meski Kise dapat dikatakan pangeran nomor satu di sekolah mereka. Pemikiran ini menenangkannya sekaligus membuatnya kesal, dia ingin Midorima tahu siapa dia!

Tapi, Takao tahu siapa Kise. Dan Takao adalah teman baik Midorima. Jadi mungkin saja...

"Kau harus tetap positif, Kise." Kise menepuk pipinya beberapa kali hingga merah di sana berubah diakibatkan rasa sakit. "Dia tidak menyadarinya. Yang tahu tentang kejadian ini hanyalah kau dan Tuhan. Besok, segalanya akan berjalan seperti biasa dan kau bisa kembali mengamatinya dari jauh, seperti seorang stalker, seperti... biasa."

Kise memandang kucir boneka beruang yang tergeletak di atas meja riasnya, berbisik pelan, Membeo kata-katanya sendiri "... seperti biasa," dan hatinya terasa ngilu.

Malam itu, Kise tidak dapat tidur meski bibirnya terus merapalkan mantra 'seperti biasa'.

Dia tak benar-benar yakin apakah dia menginginkan hal itu.

.

...*...

.

Ya, esok harinya segalanya terjadi seperti biasa. Matahari terbit dari sebelah timur, langit biru cerah, dan daun-daun yang mulai kecokelatan. Kakak-kakak perempuannya bertengkar tentang lipstik dan ayah ibunya bermesraan di dapur seperti pengantin baru. Seperti biasa...

OMONG KOSONG!

Apanya yang seperti biasa? Kise bahkan belum memasuki gerbang sekolah saat Midorima menarik paksa tangan kirinya, mengendus lehernya dan berteriak.

"Aku tahu, kau yang menciumku kemarin, kan?!"

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku! Dasar sinting!"

Tolong beri tahu Kise bagaimana caranya dia bisa langsung terjun ke neraka.

.

...TBC...

.

A/N:

Halo, setelah dua tahun hiatus, Hime Hoshina memutuskan untuk kembali menulis. Aku merasa tulisanku sedikit kaku dan aneh (Apakah ini efek skripsi?). Doakan semoga cerita ini bisa update setiap hari Selasa.

Sebenarnya sudah lama aku sangat suka pada MidoKise, tapi sepertinya ini kali pertama aku menuliskannya sebagai FF. Aku ingin menulis kisah-kisah manis untuk mereka (karena selama ini aku hidup dalam dunia tulis menulis yang bergaram.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Salam,

Hime Hoshina.

Wonosobo, 7 Mei 2019.

.

.

.

Side Story (AkaKuro):

Kuroko masih duduk di kursinya saat Midorima keluar dari ruang dewan mahasiswa, meninggalkan Akashi yang hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkah teman masa kecilnya.

Pemuda berambut biru muda yang sudah sejak awal ada di sana (dan tampaknya tidak disadari kehadirannya oleh Midorima), masih berusaha menekuni buku Panduan Shogi Untuk Pemula, Kelas 3 Tahun yang dipinjamkan Akashi padanya. Namun, dia menyerah. Sepertinya shogi memang bukan bakatnya.

Sesungguhnya, Kuroko sudah terbiasa diabaikan, bayangannya tipis, dan dia tahu benar hal itu. Namun, Midorima biasanya menyadari keberadaan Kuroko dalam sepuluh menit pertama. Memberikan ekspresi 'aku tidak terkejut melihatmu di sana' yang jelas-jelas palsu sebelum kembali mengabaikan Kuroko. Namun, satu jam berlalu dan Kuroko sepertinya benar-benar transparan di mata Midorima Shintarou.

Kuroko memandang Akashi yang kembali merapikan papan shogi-nya, "Permainan buruk?"

"Dia sama sekali tidak fokus. Pikirannya berada di tempat lain." Akashi menghela napas panjang sebelum tersenyum tipis pada Kuroko, "Kurasa itu wajar mengingat apa yang terjadi padanya hari ini."

Kuroko mengangguk dalam diam. Memikirkan cerita Midorima yang didengarnya, entah ini dapat disebut menguping atau tidak. Kuroko memandang Akashi sejenak sebelum bertanya, "Apakah itu buruk jika yang mencium Midorima-kun adalah laki-laki?"

"Buruk?" Akashi membeonya seolah tidak mengerti arti kata tersebut. Pemuda berambut merah itu hanya mengangkat bahu sembari menyimpan kembali papan shogi-nya. Kuroko hanya bisa mengamati punggungnya. "Midorima adalah seseorang yang mempercayai takdir. Kurasa, dia akan bisa menerima apapun yang dia yakin takdir berikan padanya."

"Bagaimana denganmu sendiri, Akashi-kun?"

"Aku tidak mempercayai takdir."

Kuroko menutup buku yang tengah dibacanya, berdiri dari kursinya.

"Namun," Akashi masih tetap berbicara, menoleh dan tersenyum. "Jika aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, aku sendiri tak bisa mencegahnya, bukan?"

Kuroko mengedipkan mata besarnya beberapa kali sebelum mengangguk menyetujui. Senyum samar terkembang di wajahnya saat dia berkata, "Akashi-kun, bolehkah aku meminjam buku ini? Aku ingin segera bisa bermain shogi melawanmu."

.

... TBC (?) ...

.