My Lovely Butler-kun!

By : Yuuki Azusa

Kuroko no Basuke Fanfiction

Desclaimer : KnB milik Fujimaki Tadatoshi-san

Rated : T

Genre : Romance, Drama, Comedy

Pair : MayuAka, NijiAka, KuroAka

Warning : AU, OOC, genderbend, typo(s), No Yaoi, bahasa non baku.

Summary : Untuk pertama kalinya, Akashi Seishiina menentang perintah sang ayah yang absolut dan kabur dari rumah. Sayangnya, sang Putri tidak bisa apa-apa setelah ia jauh dari rumahnya. Satsuki sebagai teman yang baik menawarkan bantuan. "Sei-chan, mau nggak pura-pura jadi cowok?"

*Happy Reading!*


Episode 1

"Ayolah Akashi-sama, sebentar saja! Kami hanya ingin berfoto sebentar lagi saja denganmu."

"Tapi, tadi aku kan sudah menuruti keinginan kalian. Sekarang biarkan aku pergi!"

"Satu kali lagi saja, Akashi-sama! Kami mohon!"

Akashi Seishiina tidak habis pikir. Sejak kapan kata-katanya tidak lagi absolut untuk para pemuda atau yang bisa dibilang fansclub pemujanya yang saat ini sedang berusaha menahan dirinya. Sejak bel istirahat berbunyi, Seishiina terus terjebak di dalam lautan pemuda yang berusaha meminta foto bersama dengan dirinya. Padahal, Seishiina sudah meladeni mereka, tapi mereka terus meminta. Lama-kelamaan Seishiina kesal juga. Niat awal keluar kelas ingin pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang kosong dengan makan bersama kedua sahabatnya, malah digagalkan oleh sekumpulan pemuda dengan kurang ajarnya.

Seishiina ingin sekali menghajar mereka. Namun, ia menahan dirinya. Ia tidak mau mencoreng nama baik dirinya dan keluarganya. Bisa gawat jika namanya masuk ke dalam daftar siswi bermasalah karena terlibat perkelahian dan menghajar siswa yang merangkap teman-temannya sendiri sampai K.O. Mau ditaruh dimana muka ayahnya yang terkenal itu.

Akashi Seishiina adalah putri seorang pejabat yang memegang peran penting dalam perekonomian serta pemerintahan Jepang. Akashi Masaomi, nama ayahnya. Sosok yang tampan, tegas, absolut, serta dihormati dan disegani banyak orang. Keturunan keluarganya semua bernasib sama seperti dia. Dan semua itu juga diturunkan pada putrinya, Akashi Seishiina. Kecantikan, kehormatan, kekayaan, kecerdasan, kesempurnaan, semuanya dimiliki oleh Seishiina.

Tapi, menjadi orang populer tidak selamanya menyenangkan. Ada juga saat-saat dimana Seishiina merasa tidak nyaman bahkan tidak aman dengan keadaannya. Fansclub yang anggotanya adalah pemuda-pemuda berotak tidak normal sedang mengepungnya. Persetan dengan pembentuknya, Seishiina tidak mau tau. Yang jelas, ia ingin segera melarikan diri dari kerumunan cowok gila ini.

"S-sebaiknya kalian segera hentikan…"

Cicitan seseorang yang entah berasal darimana menghentikan sejenak kegiatan yang tengah dilakukan Seishiina bersama para fans-nya. Mereka celingak-celinguk dan akhirnya terlonjak saat menemukan sosok imut bersurai biru sedang berdiri dengan pakaian ala idol. Blus manis dengan rok mini kotak-kotak dengan kombinasi warna merah dan hitam, paha putih mulus yang tertutup stocking hitam hingga paha, bando bermotif dan berwarna sama dengan roknya, serta sedikit riasan di wajah yang membuat waja cantiknya menjadi lebih beauty.

Semua speechless dengan mulut menganga plus liur yang mengeces melihat malaikat jatuh yang kedua berada di hadapan mereka.

"T-Tetsuya…" Seishiina bahkan hanya bisa tergagap melihat salah satu sahabatnya yang ganteng disulap menjadi secantik ini.

Ya, malaikat jatuh yang dimaksud para pemuda gila fans Seishiina itu adalah Kuroko Tetsuya, pemuda imut yang termasuk jajaran sepuluh cogan yang diincar banyak siswi—bahkan siswa sekalipun. Omong-omong, Tetsuya menduduki peringkat kelima karena wajah dan tubuh shota-nya.

Tetsuya melangkah mendekati Seishiina sambil membisikkan sesuatu.

"Akashi-san, kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka sadar."

Seishiina hanya mengangguk. Ia memilih ikut saja setelah Kuroko menarik paksa tangannya sebelum para pemuda gila dibelakang sana sadar. Sayangnya, mereka kurang cepat melarikan diri. Para pemuda gila itu terlanjur sadar dan mengejar mereka. Parahnya lagi, sekarang mereka lebih mirip seperti zombie gila yang kesetanan. Tetsuya dan Seishiina merasa sedang berada dalam adegan film Train to Busan.

"Tetsu-kun, Sei-chan, sini!"

Mata Tetsuya menangkap sosok gadis pinky dengan tubuh bohay memberi isyarat padanya untuk bersembunyi di gudang. Tetsuya segera berbelok dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan mungil Seishiina.

Setelah keduanya berhasil masuk ke dalam gudang, gadis pinky aka Momoi Satsuki—sahabat Seishiina yang kedua—segera mengunci pintu rapat-rapat. Dua orang dipojok sana terduduk lelah sambil mengatur napas mereka setelah lari marathon, menyelamatkan diri dari kumpulan zombie.

"Haaah~ Aku nggak ngerti apa yang ada di otak mereka semua. Kenapa bisa mereka menahanmu dalam kerumunan manusia seperti tadi? Gimana kalau nanti kamu mati kehabisan napas? Emangnya mereka mau tanggung jawab?"

Satsuki menggerutu sambil menghampiri Seishiina.

"Jadi maksudnya, kamu nyumpahin aku mati gitu?"

Satsuki tertawa. "Bukan begitu, Sei-chan. Aku hanya khawatir padamu."

Seishiina tersenyum. "Terima kasih sudah menolongku, Satsuki." Matanya pun dialihkan dan menatap Tetsuya.

"Aku masih nggak ngerti kenapa kamu berpakaian seperti ini, Tetsuya," ujarnya. Tetsuya tersentak. Ia baru sadar dirinya tampil memalukan di hadapan sang Tuan Putri.

Tetsuya mendesah frustasi. "Aku terpaksa berpakaian seperti ini untuk menolongmu. Salahkan saja Momoi-san. Ini semua idenya," adunya.

Satsuki menggembungkan pipinya, tidak terima jika hanya ia yang disalahkan. "Salahmu sendiri kenapa punya wajah imut dan cantik seperti cewek. Lagipula, kamu juga nggak nolak."

"Gimana aku mau nolak, kamu aja seenaknya langsung maksa aku untuk ganti baju."

"Karena aku tau kamu pasti bakal mau melakukan apa aja demi menyelamatkan Sei-chan. Aku benar kan?"

Tetsuya terdiam mendengar ucapan Satsuki. Memang tidak salah sih. Ia tidak bisa membantahnya. Tetsuya pasti akan melakukan apa saja jika terjadi sesuatu yang buruk pada gadis spesialnya. Ia tidak akan tinggal diam, sekalipun jika ia harus bertransformasi menjadi seorang cewek.

"Sudahlah, kalian ini malah bertengkar. Yang penting sekarang aku sudah keluar dari kerumunan cowok tidak berguna itu kan?" ujar Seishiina melerai. Dalam hati, ia sangat bersyukur karena memiliki dua sahabat yang sangat baik padanya. Walaupun Seishiina populer, Seishiina belum benar-benar memiliki sahabat yang tulus berteman dengannya. Kebanyakan dari mereka hanya menginginkan harta dan keterannya. Hingga akhirnya, Seishiina bertemu dengan mereka berdua. Kuroko Tetsuya dan Momoi Satsuki. Bagi Seishiina, mereka adalah sahabat terbaik yang akan ia jaga seumur hidupnya.

"Kau yakin kau baik-baik saja kan, Akashi-san?" Tetsuya masih mengkhawatirkannya ternyata. Seishiina hanya mendengus sambil tersenyum tipis.

"Iya, aku baik-baik saja. Terima kasih ya, Tetsuya."

Seishiina tersenyum lembut sekali. Mau tidak mau mengundang senyum sangat tipis di wajah pemuda imut berambut sebiru langit musim semi itu. Salah satu ekpresi yang jarang sekali diperlihatkan oleh pemuda manis minim emosi itu.

"Jaa, karena kalian sudah sangat baik padaku, bagaimana kalau kita makan di kantin sekarang? Aku yang traktir."

Tetsuya dan Satsuki saling lempar pandang sekaligus senyuman. Rezeki datang tidak boleh ditolak. Mana mungkin mereka menolak tawaran makan secara cuma-cuma itu.

"Tentu saja, ayo kita pergi!"

Ketiganya beranjak meninggalkan gudang setelah mendengar seruan girang dari Satsuki.

"Tapi sebelum itu, biarkan aku ganti baju dulu," Tetsuya dari belakang menginterupsi.


Udara sore ini cukup sejuk. Cocok sekali dimanfaatkan untuk menghilangkan stres dengan sekedar berjalan-jalan keluar rumah. Seperti yang tengah dilakukan pemuda bersurai sekelam malam itu. Setelah suntuk dengan pelajaran yang diterimanya di kelas tadi, Nijimura Shuuzou—nama pemuda itu—memutuskan untuk jalan-jalan sore mengelilingi taman kampusnya. Universitasnya ini adalah salah satu universitas elit di Jepang. Karena itu mereka memiliki taman yang indah, megah, dan mewah yang bahkan hampir menyamai taman pusat kota.

Shuuzou duduk di salah satu kursi taman. Memilih duduk sendirian sambil menikmati novel yang dibacanya. Headphone terpasang di kedua telinganya, melantunkan melodi klasik yang membuat hatinya tenang dan fokus pada bacaannya. Shuuzou mengabaikan lalu-lalang para mahasiswa atau dosen yang lewat di sekelilingnya.

Sayangnya, itu tidak bertahan lama hingga seorang gadis bersurai abu datang mengacaukan fokusnya.

"BAA!"

Gadis abu itu berteriak tepat setelah tangan usilnya melepas headphone yang dikenakan Shuuzou. Shuuzou mendengus sebal, kegiatan sorenya dikacaukan si hama.

"Lagi-lagi kau membaca novel tua yang membosankan itu," cibir si gadis sambil mengenangkan headphone milik Shuuzou. "Dan juga apa-apaan lagu klasik ini? Seleramu kuno sekali."

"Apa yang ingin kubaca dan kudengarkan sama sekali nggak ada hubungannya denganmu kan? Semua ini bukan urusanmu," sinis Shuuzou.

"Semua yang berhubungan denganmu adalah urusanku."

Gadis itu melepas headphone dan meletakkannya di kursi. Ia duduk di sebelah Shuuzou. Wajahnya ia dekatkan dengan wajah Shuuzou hingga ia dapat merasakan hembusan napas Shuuzou.

"Karena kamu adalah pacarku."

Shuuzou mendecih sambil sedikit terkekeh. Apa yang dikatakan oleh gadis di hadapannya ini memang benar. Haizaki Shouko, adik tingkat yang sudah mengenalnya sejak SMP ini adalah pacar diam-diamnya Shuuzou. Kenapa diam-diam? Karena Shuuzou tidak boleh ketahuan pacaran oleh siapapun, apalagi kedua orang tuanya.

Shuuzou berasal dari keluarga elit yang terhormat. Semua hal dalam hidupnya telah ditentukan oleh orang tuanya sejak ia lahir. Bahkan sampai jodoh dan cita-citapun Shuuzou tidak dapat memutuskannya sendiri. Shuuzou tidak lain adalah boneka orang tuanya. Karena itu, sebelum sepenuhnya menjadi boneka, Shuuzou ingin bersenang-senang menikmati masa mudanya.

"Jadi, apa yang kamu inginkan sampai membawamu menemaniku kemari? Dan juga, gimana kamu tau aku ada disini?" Shuuzou telah mengalihkan atensinya sepenuhnya pada gadisnya itu. Ia tidak mau membuat gadisnya ngambek lagi karena diacuhkan seperti beberapa minggu lalu.

"Salah ya jika aku merindukan pacarnya yang baru kembali setelah dua minggu menghilang?"

Shuuzou menarik Shouko dalam pelukannya. Tangannya iseng mengelus puncak kepala Shouko. Memang dua minggu yang lalu, Shuuzou sibuk dengan urusan bisnis bersama sang ayah hingga ia harus pergi ke Seoul tanpa sempat pamitan pada sang kekasih.

"Maaf aku pergi tanpa pamitan. Ayahku terlalu mendadak hingga aku nggak sempat mengabarimu," ujar Shuuzou.

"Maaf aja nggak cukup mengobati rasa kecewaku padamu, tau."

Shouko merajuk. Inilah yang paling merepotkan. Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau Shuuzou harus menuruti semua yang Shouko minta.

"Jadi, apa yang harus kulakukan agar kamu mau maafin aku?"

Shouko menatap Shuuzou manja. "Temani aku makan sore ini."

Dan hanya jawaban 'Ya, tentu saja' yang bisa Shuuzou keluarkan dari mulutnya.


Lonceng di pintu masuk kafe berbunyi, tanda ada pengunjung yang datang. Sosok butler bersurai hijau yang tengah sibuk mengelap gelas menoleh pada temannya yang tengah bersantai ria di depan meja bar.

"Aomine, ada pelanggan yang datang. Cepat kau layani mereka," titahnya.

"Heeh~ Bukannya sekarang giliran Kise?" butler bersurai biru gelap menjawab malas.

"Aku sudah bekerja keras sejak tadi, kenapa masih aku yang disuruh terus?" butler bersurai emas protes tidak terima.

"Kalian nggak boleh seperti ini! Kalau kita sampai kehilangan pelanggan karena sifat malas kalian, kalian mau tanggung jawab?"

Barista dari balik konter memarahi ketiga butler tadi. Wajah garangnya sukses membuat ketiganya ketar-ketir.

"Nggak perlu sampai memarahi mereka begitu, Yukio. Tamunya hanya aku dan Shouko," ujar Shuuzou. Ia menghampiri sang barista yang langsung berdiri lalu membungkuk hormat, disusul dengan tiga butler yang tadi sempat cekcok.

"Selamat datang, Shuuzou-sama, Shoukou-san," butler Yukio menyapa mereka dengan sopan.

"Kau ini masih saja kaku denganku. Sudah kubilang berapa kali, nggak usah panggil aku dengan –sama segala. Aku kan seumuran denganmu," ujar Shuuzou sambil terkekeh.

"Tidak sopan memanggil atasan hanya dengan nama. Bagaimanamu juga, Anda adalah pemilik kafe ini," Yukio menjawab profesional. Shuuzou mendengus.

"Kau ini membosankan ya, Yukio."

Shouko yang sejak tadi diabaikan ikut nimbrung bersama Shuuzou dan Yukio.

"Yukio-san, mana Chihiro. Aku mau dilayani sama dia," ujar Shouko.

"Mayuzumi-san ada di dapur. Biar kupanggilkan. Tunggu sebentar ya, Shouko-chan," ujar si butler pirang.

Shouko tersenyum. "Arigatou, Ryouta-kun."

Tak lama kemudian, sosok butler bersurai abu dengan wajah tanpa eksperi plus tatapan bak ikan mati muncul. Ia mendengus begitu tau harus melayani siapa.

Shouko yang melihat kedatangan sang butler langsung berseru senang sambil melambaikan tangannya.

"Onii-chan, aku datang!"

Walau hanya ditanggapi dengan anggukan seadanya oleh si butler abu.

"Mou~ Kenapa tanggapanmu seperti itu? Nggak senang ya kalau adiknya datang?" Shouko merajuk, kesal dengan respon sang kakak.

Mayuzumi Chihiro adalah kakak dari Haizaki Shouko. Mereka bukan saudara kandung, melainkan saudara angkat. Mereka satu ayah beda ibu. Karena sakit hati melihat sang ayah menikah lagi setelah ibunya meninggal dunia, Chihiro memutuskan mengganti marganya dan menggunakan marga ibunya sebagai nama marganya. Ia tidak mau menggunakan nama Haizaki. Walau begitu, bukan berarti ia benci dengan ibu dan adik tirinya. Ia hanya kecewa pada ayahnya.

"Kau mau pesan apa?" Chihiro bertanya dengan suara plus ekspresi super datar. Shouko tambah kesal.

"Mou~ Layani aku seperti kau melayani tamu lain!"

"Tapi caraku melayani memang seperti ini kok."

Shuuzou tertawa melihat pertengkaran kecil dua bersaudara itu. Ia tak habis pikir kenapa gadisnya yang tomboy bisa manja sekali hari ini.

"Sayang, kakakmu memang seperti itu," ujar Shuuzou untuk melerai keduanya.

"Apa maksudmu? Kakakku melayani pelanggan lainnya dengan wajah datar begini? Kenapa bisa dia jadi butler disini? Para butler disini kan harusnya punya kharisma seperti nama kafenya, Sweety Prince."

"Tapi memang begitu kenyataannya. Chihiro punya daya tariknya tersendiri sehingga dia bisa jadi butler disini. Ya nggak?"

Shuuzou meminta pendapat Chihiro, namun tidak dijawab apapun. Chihiro malah mengacuhkannya dengan lanjut melayani adiknya.

"Dasar, dia masih belum berubah ya," gumam Shuuzou. Saat dirinya tengah sibuk memperhatikan Shouko dan Chihiro, ponsel pintarnya bergetar tiba-tiba. Sebuah panggilan masuk dari sang Ayah.

Shuuzou segera menjawab panggilan tersebut. Mengabaikan panggilan dari sang ayah bukanlah sesuatu yang baik dilakukan. Shuuzou tidak mau mati muda. Jalan hidupnya masih panjang.

"Shouko, sepertinya aku nggak bisa menemani kamu. Ada urusan mendadak yang haru kulakukan dengan ayahku," ujar Shuuzou. Dalam hati, ia merutuki ayahnya yang selalu saja mengambil kesempatan berharga saat dirinya sedang bersama gadisnya.

Ada sirat kecewa dari kedua manik abu itu. Sungguh, Shuuzou tidak mau melihatnya. Itu hanya akan menyakiti hatinya.

"Tapi, kamu kan sudah janji…" suara Shouko memelan. Shuuzou tau Shouko kecewa padanya.

"Maaf, Sayang. Aku…"

Shuuzou tidak bisa melanjutkannya. Alasan apapun yang akan ia katakan, Shouko tidak akan mau mendengarnya.

"Biarkan Shuuzou-sama pergi, Shouko. Sebagai gantinya, aku akan melayani sesuai keinginanmu," Chihiro menyeletuk tiba-tiba. Berusaha menengahi masalah diantar Shuuzou dan Shouko. Chihiro memang tidak pandai bereskpresi, namun dia sangat dapat diandalkan untuk membaca situasi.

"Aku sama sekali nggak bermaksud merebut kencanmu dengan Shuuzou-sama. Aku hanya nggak mau Shuuzou-sama kena masalah dan berdampak buruk bagi keuanganku bulan ini," ujar Chihiro.

Shuuzou tau itu hanya alasan. Chihiro terlalu tsundere untuk mengakui baha sebenarnya dia ingin membantu Shuuzou.

Shouko berubah pikiran. Ia memutuskan untuk mengalah lagi kali ini dan membiarkan Shuuzou pergi.

"Ok, Shuuzou boleh pergi. Tapi sebagai gantinya, kau harus mau menjadi Shuuzou untuk hari ini, Onii-chan," tegas Shouko.

Ya, itu menerimanya memang bukan ide yang baik, tapi Chihiro tidak punya pilihan lain selain menurut saja.

"Dan untuk Shuuzou, pastikan kamu mencari hari pengganti untuk kencan kita yang gagal hari ini."

Shuuzou mengangguk mantap. "Sudah pasti, sayangku."


"Oh, akhirnya kau sampai juga, Onii-sama."

Suara datar dan dingin itu menyambut kepulangan Shuuzou. Tepat setelah pemuda berusia 19 tahun itu membuka pintu, Shuuzou dihadiahi pemandangan seorang gadis cantik bersurai hitam seperti miliknya tengah duduk anggun sambil menyeruput secangkir teh. Gadis itu adalah Nijimura Tatsuki, adik yang setahun lebih muda darinya.

"Otou-sama sudah menunggumu sejak tadi. Sebaiknya segera temui beliau sebelum beliau marah," ujar Tatsuki.

Shuuzou tak menjawab. Ia segera pergi menuju ruang kerja ayahnya. Tanpa Tatsuki bilang pun, Shuuzou sudah tau akibatnya jika membuat sang ayah menunggu terlalu lama.

Shuuzou mengetuk ruang kerja sang ayah. Setelah mendapat izin untuk masuk, Shuuzou segera melangkahkan kakinya menuju ruangan dengan atmosfer yang sangat berbeda itu. Sosok pria paruh baya yang tampak mirip sepertinya duduk di depan meja kerja. Mata tegasnya menelisik Shuuzou.

"Jadi, apa yang ingin Otou-sama katakan padaku?" Shuuzou bertanya dengan hati-hati, tidak mau sampai membuat sang ayah naik darah karenanya.

"Sebaiknya kau segera beristirahat karena besok adalah hari yang penting untukmu."

Shuuzou mengernyit. Hari penting? Memangnya besok hari apa? Ulang tahunnya?

"Apa maksud Otou-sama?"

Dan selanjutnya, jawaban yang disampaikan sang ayah sama sekali tidak menyenangkan untuk didengar. Ya, tibalah saatnya. Saat dimana semua kebahagiaan kecil Shuuzou akan direnggut.

"Besok adalah hari pertunanganmu. Setelah kau bertunangan dengan Putri tunggal dari keluarga Akashi, kau tidak bisa bermain-main lagi."

Shuuzou sudah tau kalau hari ini akan tiba. Namun, Shuuzou tidak menyangka akan secepat ini.

Menurut silsilah keluarga, Shuuzou ditakdirkan menikah dengan Putri tunggal Keluarga Akashi. Bukan hanya silsilah keluarga, tapi karena hubungan bisnis juga. Kepala keluarga Akashi, Masaomi pernah meramal bahwa anak pertama yang terlahir di keluarga Nijimura adalah seorang anak laki-laki yang akan ia jodohkan dengan anak perempuan yang akan lahir di keluarganya. Dan benar saja. Tepat setelah dua tahun Nijimura lahir, Nyonya Akashi melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga mereka pun sepakat menjodohkan mereka.

Walau begitu, Shuuzou ingin sekali menentang takdirnya. Ia tidak mau menikah dengan wanita yang tidak dicintainya. Sayangnya, sampai kapanpun ia tak akan bisa menolak takdirnya. Karena Shuuzou sudah terlanjur menyerah dengan takdirnya sendiri.

"Apa ini tidak terlalu cepat Otou-sama? Maksudku, aku tidak tau seperti apa gadis yang akan bertunangan denganku. Aku takut tidak dapat bersikap baik padanya nanti." Shuuzou mencari cara untuk mengulur waktu.

"Sayangnya kita tidak punya banyak waktu untuk itu. Kau harus langsung bertunangan dengannya saat nanti bertemu dengannya."

Sang ayah menyodorkan sesuatu pada Shuuzou. Sebuah foto.

"Hanya foto itu yang bisa kuberikan agar kau mengenalinya. Seishiina-chan sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan sempurna."

Memang benar apa yang ayahnya katakan. Gadis dalam foto itu memang sangat cantik. Surai merah sepinggangnya terurai anggun, kedua mata merah yang tampak tegas namun menyimpan kehangatan, serta senyum manis yang sangat indah. Gadis itu bak jelmaan Tuan Putri dari negeri dongeng ataupun Malaikat Jatuh dari surga.

Namun, mau secantik apapun dia, Shuuzou tetap tidak bisa menerimanya. Sudah ada seseorang di hatinya. Walau Shouko tidak secantik Nona Akashi, Shouko tetap gadis yang dipilih sendiri olehnya untuk mengisi hatinya.

"Kau mungkin merasa belum pernah bertemu dengannya, walau pada kenyataannya kau selalu bertemu dengannya saat kau masih kecil dulu."

Shuuzou mencoba mengingat masa kecilnya. Sayangnya, tidak ada sedikitpun rekaman tentang wajah gadis itu dalam otaknya.

"Kau boleh kembali ke kamarmu sekarang. Beristirahatlah dan bersiap untuk besok."

Shuuzou pun kembali ke kamarnya dengan langkah gontai.


"Terima kasih sudah mengantarku ya, Tetsuya."

Seishiina turun dari motor Tetsuya. Setelah mengerjakan tugas hingga larut malam di rumah Satsuki, Tetsuya memutuskan untuk mengantar Seishiina pulang. Tidak baik seorang gadis pulang sendirian malam-malam. Sekalian Tetsuya mau modus juga sebenarnya.

"Kamu yakin hanya sampai sini saja?" Tetsuya menatap Seishiina khawatir. Gadis itu tetap tidak mau diantar sampai rumah berapa kalipun Tetsuya membujuknya. Seishiina hanya tidak mau tertangkap basah oleh sang Papa. Bisa gawar nanti.

"Iya, nggak papa kok. Sekali lagi makasih banyak ya."

Setelah mengulas senyum manis untuk Tetsuya, Seishiina berbalik menuju rumahnya diujung komplek. Sebenarnya, Seishiina tidak takut pulang sendirian. Bagaimanapun, dia adalah seorang Akashi. Ia dididik ilmu bela diri untuk melindungi dirinya untuk berjaga-jaga jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Jika ada yang berani menyentuhnya sedikit saja, jangan harap bisa pulang dengan keadaan utuh.

Seishiina berhasil sampai di rumah tanpa diketahui siapapun. Ia mengendap-endap menuju kamar, tidak mau sampai ketahuan sang Mama atau Papa karena pulang terlalu larut. Sayangnya, semua anggota keluarga Akashi absolut, begitu juga sang Mama. Dengan mudah, beliau menemukan Seishiina yang sedang mengendap menaiki tangga menuju kamarnya.

"Kenapa baru pulang selarut ini, Sayang?"

Dan Seishiina hanya bisa kicep karena dirinya ketahuan. Dengan gerakan kaku, ia berbalik menatap Akashi Shiori, sang Mama.

"Aku… habis kerja kelompok, Ma."

Seishiina menelan ludahnya gugup saat melihat senyum bak malaikat namun dengan maksud iblis terselubung yang diulas sang Mama.

"Heh~ Benarkah? Apa Mama bisa mempercayaimu? Kamu nggak habis berkencan dengan temanmu yang berambut biru itu dan diantarnya pulang sampai depan komplek kan?"

Seishiina tau Mamanya sedang menebak. Hampir seluruh tebakannya benar, kecuali soal kencan. Seishiina tambah membeku saat sang Mama menghampirinya dan menepuk kedua pundaknya.

"Hahaha, nggak usah tegang begini, Sayang. Mama hanya bercanda. Mama percaya padamu kok."

Seishiina hanya bisa menghembuskan napasnya lega saat tau ternyata sang Mama hanya bercanda. Walau ia tau setengah ucapan sang Mama adalah serius.

"Oh ya, Sayang. Sebelum kamu istirahat, Papa ingin bicara denganmu di ruangannya. Mama antar kamu sekarang ya."

Seishiina mengernyit tidak mengerti. Pembicaraan sepenting apa yang ingin Papanya bicarakan dengannya?


"Jadi Papa, kau ingin bicara denganku?"

Setelah diantar sang Mama menuju ruang kerja Papa, Seishiina langsung menghadap sang Papa. Tidak biasanya wajah sang Papa seserius ini.

Seishiina merasa sesuatu yang akan didengarnya bukanlah hal yang baik.

"Ya, tadinya Papa ingin bertanya alasan kamu pulang larut malam ini. Tapi sepertinya, itu bisa dibicarakan lain waktu. Sekarang, Papa hanya ingin kamu segera beristirahat dan tidak melakukan kegiatan apapun lagi. Besok adalah hari yang penting untukmu.

Seishiina kembali mengernyit. Hari penting? Apalagi sekarang?

"Memangnya besok hari apa?"

Hatinya dag dig dug melihat mata sang Papa memicing. Ekspresinya tiga kali lipat lebih serius.

"Besok adalah hari pertunanganmu."

Seishiina melongo. "Hah?"

Persetan dengan gelar jenius atau Einstein kedua yang diterimanya, otaknya langsung berhenti bekerja saat itu juga.

"HAAAH?!

Dan mulutnya hanya bisa mengeluarkan teriakan yang memekikan telinga.

Bersambung…


Author's note :

Aku tidak tau apa ini. Ini hanya sebuah tulisan liar yang kuketik berdasarkan ide yang kudapat malam-malam. Aku tidak bertanggung jawab dengan segala keanehan yang ada XD.

Lagi-lagi, aku membuat genderbend karena belum yakin dengan cerita Sho-Ai apalagi Yaoi. Beberapa karakter selain Akashi juga kubuat jadi perempuan disini. Haizaki dan Himuro contohnya.

Ada tiga pair disini. MayuAka, NijiAka, dan KuroAka. Dari ketiga pair diatas, salah satunya adalah pair utama. Apa kalian bisa menebaknya?