Suara ketikan terdengar di seluruh penjuru kamarku yang bisa dibilang kecil ini. Baris demi baris kata aku ketikkan di laptopku yang berwarna biru muda, sama seperti warna langit. Kedua bola mataku terlihat berkilat karena pantulan cahaya dari laptopku sangatlah terang. Aku menarik napas panjang dan sedetik kemudian air mataku terjatuh karena kelopak mata bawahku sudah tidak sanggup untuk menampungnya lagi.

"Kkh."

Aku berhenti mengetik dan memundurkan kursiku yang kira-kira umurnya sudah sekitar empat tahun menjadi milikku ini. Aku mengeluh di dalam hatiku setelah membaca ulang kata-kata yang sudah aku ketik. Kenapa aku harus mengetik kata-kata yang bisa mengingatkanku kepada hal itu? Aku langsung menekan tombol delete dan menghapus semua kata-kata yang sudah aku tulis.

Mataku menatap kosong microsoft word yang tertampang di layar bersih laptopku. Jari telunjukku berada di atas tombol delete tanpa melepasnya. Aku tidak peduli apabila tombol itu akan rusak jika terus-menerus aku tekan, aku hanya ingin semua paragraf yang ada di microsoft itu menghilang. Aku tidak peduli apapun asalkan diary yang baru saja aku tulis itu menghilang.

Kriet.

Aku memutar kepalaku dan menatap sosok yang berdiri di depan pintu kamar kecilku. Lily-nee menatapku dengan khawatir. Apa aku membuatnya khawatir lagi seperti yang biasanya aku lakukan?

"Rin, apa kamu menangis lagi? Sekarang apa yang membuatmu menangis?" Lily-nee melangkah mendekatiku dan memegang kedua bahu milikku.

"Daijoubu dayo, Lily-nee." Aku mengangkat ujung bibirku dan tersenyum kecil untuk meyakinkan Lily-nee agar Lily-nee tidak mengkhawatirkan aku lagi. Aku melihat Lily-nee tersenyum kecil dan menghapus air mataku lalu meninggalkanku sendiri di kamarku.

Aku menghela napasku perlahan dan menutup laptopku setelah meng-shut downlaptop lamaku itu. Melirik jam yang terpajang di dindingku, aku langsung berdiri dari kursiku dan mengambil jaket biruku. Setelah keluar dari kamarku dan keluar dari rumahku, aku langsung berlari menuju bukit yang berada di dekat rumahku.

"Indahnya!" Aku berdecak kagum melihat taburan bintang-bintang yang terlihat seperti melindungiku dari langit. Jam sembilan malam memang jam yang tepat untuk melihat bintang-bintang dari bukit. Ini sudah menjadi kegiatan sehari-hariku mulai dari kemarin.

"Indah, bukan?"

Aku menolehkan kepalaku dan melihat sosok laki-laki berambut pirang yang diikat menjadi ikatan kecil. Tapi setelah aku mengedip, sosok laki- laki itu menghilang dan digantikan oleh sosok kucing kecil berbulu coklat tebal yang baru saja aku pelihara minggu lalu. Aku tertawa kecil dan memeluk kucing itu dengan lembut. "Jadi ingat kejadian itu, ya?"

Memori

By: Lixryth Rizumu

Disclaimer: Yamaha Corp

Pairing: Kagamine Rin and Kagamine Len

Rate: T

Genre: Romance, Friendship.

Word: 3040 (story only)

Warning: Typo, All Rin POV, Alur cerita diambil dari anime CLANNAD ~after story~/ CLANNAD season 2 di episode 5 dan juga 6.

4 tahun sebelumnya.

Aku mengedipkan mataku berkali-kali saat sinar matahari berkeliling mengunjungi mataku. Silau, tentunya. Aku menguap pelan dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolahku yang bisa dibilang sekolah terfaforit. Setelah selesai membersihkan badanku dan mengenakan baju seragamku, aku menyisir rambut pirang pendekku dan menjepit poniku dengan empat buah jepit berwarna putih yang seingatku Lily-nee membelikannya pada saat ulang tahunku yang ke 10. Iris biru terangku melihat sejenak pita putih yang biasanya selalu aku kenakan di atas kepalaku. Aku menggelengkan kepalaku dan bergumam, "Tidak, Kagamine Rin, sekarang dirimu sudah kelas dua SMA."

Aku keluar dari kamarku untuk menuju ke meja makan dan mengambil jatah rotiku yang sudah diberi selai stroberi dan melahapnya seraya mengenakan sepatu sekolahku. "Lily-nee, ittekimasu!"

Aku melangkahkan kakiku dan melihat kedua kakiku yang dengan kerasnya menghentakkannya kepada trotoar yang aku langkahi. Aku berdecak kecil ketika aku sadar bahwa kaus kakiku panjang sebelah. Aku menghentikan langkahku, membungkuk dan menaikkan kaus kaki sebelah kananku.

"Kagamine-san?"

Aku membalikkan badanku dan melihat laki-laki dengan tubuh ideal dan rambut berwarna biru gelap yang baru saja memanggilku. Kulihat laki-laki itu tersenyum kecil kepadaku. Aku bisa merasakan kalau pipiku memanas saat ini. Kuakui, aku memang menyukai Shion Kaito-san yang terkenal sangat baik di sekolahku.

"Shion-san? Kebetulan sekali. Bagaimana kalau kita berangkat bersama-sama?" tawarku.

"Boleh saja." Aku tersenyum senang dan melangkah beriringan dengan Shion-san.

Hening. Itu yang aku rasakan ketika berjalan dengan Shion-san. Tapi aku menyukai kedamaian ini daripada keributan. Aku merutuk di dalam hatiku ketika melihat sekolah sudah ada di depan mataku. Karena kalau sudah sampai, berarti aku tidak akan bersama Shion-san lagi.

"Kalau begitu, aku duluan Kagamine-san!" Shion-san melambaikan tangannya pelan kepadaku dan melangkah duluan di depanku. Semenit kemudian, banyak laki-laki yang mengerumuninya. Ya, Shion-san memang disukai oleh teman-temannya karena kebaikannya.

"Ya!" Aku membalas lambaian tangan Shion-san dengan senang.

"Riiin!"

Aku tersentak kaget dan membalikkan badanku. Dua orang perempuan yang memiliki rambut hijau terang pendek dan juga rambut merah yang diikat dua datang menghampiriku. Gumi dan Teto, sahabat sehidup dan sematiku. Hanya mereka berdua yang mengetahui rahasiaku bahwa aku mengagumi seorang Shion Kaito.

"Gumi, Teto, pagi!" Aku melambaikan tanganku dan menunggu Gumi dan Teto yang berusaha menyusulku yang berada di depannya.

Setelah berhasil menyusulku, Gumi memelukku dengan erat dan terlihat... menyengir? "Apa aku salah melihat atau kamu memang berjalan bersama Kaito-kun?" Teto terlihat tertawa kecil melihat wajahku yang mulai memerah. Aku mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa aku memang berjalan bersama Shion-san. "Sudah aku duga! Ternyata kamu mulai berani melakukan pendekatan ya! Berjuanglah, Rin!"

Aku tersenyum senang setelah Gumi melepaskan pelukan eratnya. Aku mengacungkan jempolku dengan mantap. Yosh! Aku akan berusaha!

Pulang sekolah.

Aku sedikit demi sedikit mengintip dari depan gerbang. Aku melihat Shion-san berjalan menuju gerbang. Setelah menarik napas dengan panjang, aku keluar dari tempat persembunyianku dan menatap pemuda idamanku itu. "Ah, Shion-san! Apa kamu juga baru mau pulang?"

Shion-san terlihat kaget karena aku tiba-tiba keluar dari depan gerbang. Tapi sedetik kemudian, senyum tertampang di wajah tampan Shion-san. Aku bisa merasakan jantungku berdetak dengan keras. "Ah, Kagamine-san. Ya, aku baru saja mau pulang." Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir tipis itu langsung tertangkap dengan jelas oleh gendang telingaku. Satu komentar, suaranya sangatlah indah.

"W―wah, kebetulan sekali! Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang ber―"

"Siapa anak dibelakangmu?" Aku sedikit terkejut karena tiba-tiba Shion-san memotong kata-kataku. Karena bingung dengan ucapannya, aku memutar tubuhku dan melihat anak yang kira-kira seumuranku dengan rambut pirang yang diikat kecil. Satu pertanyaan, siapa anak itu? "Seragamnya berbeda dengan seragam kita. Apa mungkin dia pacarmu? Kalau begitu, sepertinya aku mengganggu. Sampai nanti."

Shion-san terlihat berjalan menjauhiku. "E―eh? Tu―tunggu dulu!" Aaah! Shion-san salah sangka! Bagaimana ini!

"Um, Kagamine Rin-san, 'kan?" Suara laki-laki berambut sama denganku itu membuyarkan kekesalan di dalam hatiku.

"Haah?" Aku membalikkan badan kurusku dan menatap tajam laki-laki itu. "Siapa kamu?" tanyaku dengan nada ketus.

Senyuman lebar tertampang di bibir tipis lelaki itu. "Katsuki Len. Apakah aku terlihat familiar di matamu?" Katsuki Len? Siapa itu? Aku sama sekali tidak pernah mengenalnya.

.

"O―oi! Matte! Matte yo, Rin-san!"

Aku menutup kuping kiriku dengan tangan kiriku untuk menghilangkan suara laki-laki bernama Len itu dari telingaku. Aah! Dia mengacaukan semuanya! Aku harus pura-pura tidak kenal dengannya! Kalau dia merasa tidak aku pedulikan, pasti dia akan pergi dan tidak mengacaukan hariku untuk kedua kalinya! Ya, kau pintar Kagamine Rin!

"Rin-san! Matte kudasai!"

Aku membalikkan badanku setelah kesepuluh kalinya anak itu memanggil namaku! Jujur saja, aku tidak suka dikejar-kejar oleh orang yang mengetahui namaku secara tiba-tiba dan mengacaukan rencana spektakuler yang tadinya akan aku lakukan. "Apa?"

Len terlihat mengatur napasnya yang terdengar membara karena mengejarku yang baru saja berjalan dengan kecepatan turbo... mungkin? "Matte!"

Aku mengepalkan tangan kananku dan meninju dagu laki-laki dengan tampang seperti penguntit itu sampai terdengar erangan kecil dari bibirnya. "Mana mungkin aku menunggu orang yang sudah mengacaukan rencanaku!"

Len terlihat mengelus dagunya dan berdiri tegak di depanku agar aku tidak bisa melangkah menjauh dari anak pendek ini. "Katakan dulu permohonanmu!"

"Permohonanku?"

Len mengangguk dengan mantap. "Itulah tujuanku datang kemari. Aku akan mengabulkan permintaan apapun darimu sebagai rasa terima kasih atas yang sudah pernah kamu lakukan padaku dulu! Kalau aku belum mengabulkan permintaanmu, aku tidak akan pulang."

Aku menatap kesal anak yang tidak berhenti mengikutiku ini dan menekan keningnya dengan menggunakan jari telunjukku. "Kalau begitu, permintaanku adalah agar kamu menghilang dari hadapanku sekarang juga!"

"Eh?"

Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan mendengus, "Kenapa? Tidak bisa?"

Len menyatukan kedua jari telunjuknya dan mengembungkan pipinya. "Itu memang permintaan, tapi aku tidak menyukai permintaan itu, bisakah kamu mengubah permintaanmu itu dengan permintaan yang lain? Padahal kamu senang padaku sewaktu dulu. Kenapa sekarang kamu ingin aku pergi? " Aku menghela napas panjang dan memutuskan untuk mendengarnya.

.

Aku mendudukkan badanku di kursi yang ada di dekat taman. Len mengikuti di belakangku dan ikut duduk di sebelahku. Aku mengoyang-goyangkan kakiku dan menatap lurus kepada sungai yang ada di depanku.

Len membuka mulutnya dan mulai berbicara. "Waktu itu aku masih menduduki sekolah dasar. Kalau tidak salah, saat itu kamu ingin menjenguk ibumu dan menemukanku di halaman rumah sakit. Kamu selalu menyemangatiku. Apa kamu ingat? Aku duduk di kursi roda dengan kucing yang tertidur di pahaku."

Aku menjentikan jariku. "Ah, aku ingat!"

"Benarkah?"

"Tapi aku tidak melakukan sesuatu yang spesial deh! Bukankah kita hanya berbincang-bincang saja?" Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Seingatku sih, kita memang hanya berincang-bincang saja, tidak melakukan hal yang lain. Memangnya apa ya, yang membuat Len sangat ingin berterima kasih kepadaku?

"Itu tidak benar!"

Aku menaikkan sebelah alisku dan menatap Len dengan penasaran. "Memangnya apa yang sudah aku lakukan?"

Len menaruh jari telunjuknya di dagunya, terlihat seperti sedang berpikir. "Aaa, wasureta." Aku menepuk keningku setelah mendengar ucapannya. "Tapi aku sangat berterima kasih kepadamu. Maka dari itu, aku ingin mengabulkan permintaan apapun yang akan kamu minta."

Aku tertawa kecil di dalam hatiku. Kalau dia tidak ingat apa yang sudah aku lakukan kepadanya, kenapa dia sangat ngotot untuk mengabulkan apapun permintaan dariku, ya? Aku menatapnya lurus. "Kalau begitu, belikan aku es krim, dengan begitu kamu bisa kembali ke rumahmu dengan tenang."

Len mengembungkan pipinya untuk kedua kalinya. "Dengar ya, aku bisa mengabulkan permintaan apapun, karena aku mempunyai semacam kekuatan yang bisa melakukan hal itu. Jadi, jangan menyia-nyiakannya dengan permintaan yang sederhana. Aku diberi tahu oleh seseorang mengenai kekuatanku ini."

"Memangnya siapa yang memberitahumu?" tanyaku semakin penasaran. Dia jadi terdengar seperti lampu ajaib yang bisa mengabulkan segala permintaan saja.

Len kembali berpikir dan tersenyum kecil. "Etto, wasureta."

Gah! Anak ini benar-benar aneh. "Maaf, tapi aku tidak percaya dengan hal ajaib seperti itu. Terima kasih sudah mampir untuk membalas budi. Jaga dirimu baik-baik, ya!" Aku beranjak dari dudukku dan melambaikan tangan kananku.

"Matte!"

Aku menghela napas dengan keras, semoga anak itu tidak akan datang menggangguku lagi! Tapi, aku punya firasat buruk nih.

.

Esoknya.

"Ah, ohayou!"

Aku menghentikan langkahku dan mengepalkan tangan kananku. Aku meniup pelan tangan kananku yang aku kepalkan dan memukulkannya kepada kepala berambut pirang yang diikat kecil. "Jangan menguntitku, BODOH!" Anak yang dikenal bernama Len itu mengeluh kesakitan sementara aku menepuk-nepukkan tanganku.

"Rin, siapa anak itu?" tanya Teto dan mengintip Len dari belakang punggungku. Aku dapat merasakan napas Teto di leherku.

"Uah! Jangan-jangan kamu sudah berpaling dari Kaito-kun, Rin? Kalau begitu sepertinya kita berdua mengganggu. Jadi tenang saja, aku dan Teto akan segera menghilang dari sini! Bye!" Gumi dengan segera menyeret Teto dan menghilang dari hadapanku dan Len.

"Kenapa kamu harus datang menggangguku, sih! Gara-gara kamu, Teto dan juga Gumi salah paham, tahu!" Aku menginjak punggung kaki kanan Len dengan menggunakan tumit kananku. Aku dapat mengetahuinya, pasti injakan dariku itu sangatlah sakit.

"Ah, aku tahu! Rin-san menyukai Kaito-san, ya?" tanya Len dengan muka polos dan menyebalkan miliknya itu. Kenapa anak ini menyebalkan sekali, sih? "Kalau begitu, bagaimana kalau permintaan Rin-san adalah kalian menikah di masa depan nanti?"

Ya ampun, anak ini idiot atau apa, sih? "Tidak bisa."

Len terlihat terkejut dan juga bingung atas ucapanku. "Eh? Nande?" tanyanya masih dengan tampang polosnya yang menyebalkan itu. Walau sebenarnya sih, menurutku wajahnya itu sangatlah manis. Tapi, jangan berpikir yang macam-macam dulu! Aku tidak menyukai pemuda yang lebih pendek lima belas senti daripadaku ini! Tidak mungkin aku menyukainya!

Aku mendengus pelan dan memalingkan mukaku dari tatapan bodoh dari anak aneh ini. "Kamu tidak boleh mengatur perasaan cinta orang lain. Kalau kamu mengaturnya, sama saja dengan dia tidak mencintaiku sama sekali. Maka dari itu, kamu tidak bisa melakukannya."

Sebenarnya sih, aku menginginkan permintaan itu untuk terkabul. Tapi yah, seperti yang sudah aku katakan, kalau dia mengabulkan permintaanku yang tadi itu, sama saja dengan Shion-san tidak mencintaiku dengan setulus hatinya, tapi dengan rasa terpaksa dan mencintaiku tanpa perasaan. Bukankah itu sakit kalau benar-benar terjadi pada kita?

Aah! Kalau memikirkan jika suatu saat hal itu atau aku akan ditolak terjadi, pasti sakit sekali rasanya. Seperti tertusuk ribuan duri. Lebay sih, tapi biasanya rasanya memang seperti itu. Aku sering melihatnya dalam drama, tapi kenapa harus air mata yang keluar jika hal itu terjadi? Ah, aku menanyakan hal yang tidak masuk akal. Lupakan sajalah!

.

Pulang sekolah.

"Rin-san! okaeri!" Aku membalikkan badanku dan menggeram ketika yang ada di depan mataku adalah alien dari luar angkasa dengan kedua antenanya yang selama ini selalu mengganggu hariku yang harusnya mewah menjadi suram. Yah, kalian tahu bukan siapa alien tersebut? Tentu saja bocah pendek bernama Katsuki Len itu!

Entah untuk keberapa kalinya, aku mengepalkan tanganku erat-erat dan memukul puncak kepala anak kecil itu untuk entah keberapa kalinya dengan sangat keras, tentunya! "Jangan menungguku di depan gerbang setiap saat, BODOH!" Aku meniup pelan tulang jari-jariku yang terlihat―di imajinasiku―mengeluarkan asap abu-abu.

"Rin, kelihatannya kamu merasa sangat terganggu dengan pria kecil ini, ya?" Teto menepuk pundakku dan melihat Len dengan perasaan simpatik.

"Len-kun, 'kan?" Gumi mengacak-acak rambut pirang milik Len hingga terlihat acak-acakan dan mencubit kedua pipi Len. Mereka terlihat seperti kakak beradik saja.

Teto mengikuti Gumi untuk mengacak-acak rambut pirang Len yang kini terlihat berantakan saat ini. "Len-kun, dengar ya, Rin sudah memiliki pujaan hatinya. Kalau Kaito-kun melihat ini, bisa ga―"

"Apa ada yang memanggilku?"

Aku membalikkkan badanku dan melihat Shion-san berdiri tegap di depanku sambil menjinjing tas coklat miliknya. Gawat! Bisa-bisa Shion-san salah paham!

Shion-san terkejut melihat Len yang ada dibelakangku dan sedetik kemudian, senyuman yang selalu aku kagumi miliknya itu berkembang di bibir tipisnya yang selalu mengucapkan hal yang baik. "Ah, dia 'kan pacar Kagamine-san! Kenalkan padaku, ya?"

Gah! Dia sudah salah paham! Bagaimana ini? "D―dia bukan pacarku! Dia... err, bagaimana aku menjelaskannya, ya?" dan siang itu terasa sangat panjang karena aku mengoceh untuk mencari alasan terus-terusan.

1 jam kemudian.

Aku meregangkan tanganku ke udara dan menghela napas pelan. "Shion-san percaya engga ya, kalau aku ini memang bukan pacarmu?" Langit sore pun menggantikan langit biru yang bertaburan dengan awan putih. Aku menggoyang-goyangkan kakiku dengan pelan.

"Tenang saja, Shion-san pasti akan percaya dan menyukaimu! Aku yakin itu!" Aku menoleh dan melihat kedua mata biru milik Len yang terlihat sangat bercahaya. Aku tertawa kecil melihat kelakuannya yang kelihatan seperti anak sekolah dasar itu.

Awalnya aku mengira dia menyukaiku. Bukannya ge-er, hanya saja dia terlalu memaksa dan ingin sekali membalas perbuatanku dulu. Dan juga, hampir setiap waktunya dia habiskan bersamaku. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengira seperti itu, bukan?

.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihat langit dari jendela kelasku. Suram. Tentu saja, hujan selalu membuat langit terlihat sangat suram. Ya, hari ini hujan turun dengan derasnya. Dan hal yang aneh adalah: entah mengapa aku ingin sekali melihat gerbang―singgasana Len―di luar. Aku hanya ingin berlari keluar dengan memakai payung di atas kepalaku dan melihat keluar gerbang.

Kalau mengingat-ingat tentang gerbang luar, menurutku sepertinya hari ini Len tidak akan mampir ke sini, deh. Soalnya hari ini hujan. Memangnya ada ya, orang yang memaksakan pergi menemui seseorang hanya untuk mengabulkan permintaan orang lain tersebut? Mungkin ada, kalau orang itu sudah gila.

Aku tersentak kaget ketika sebuah tangan kecil menepuk pundakku dengan pelan. Teto. Ketika aku edarkan pandanganku ke ruang kelasku, ternyata kelasku sudah kosong melompong. Apa aku melamun sepanjang jam pelajaran terakhir? Aku menatap Teto lagi sebelum akhirnya Teto menyampaikan padaku bahwa dia akan pulang tanpaku. Aku hanya mengangguk dan keluar dari kelas lalu berjalan di koridor sekolahku. Aku baru sadar, ternyata sekolahku besar juga, ya?

Aku membuka payung berwarna merahku dan memakainya untuk melidungi kepalaku. Aku berjalan dengan sesekali memainkan air yang menggenang di tanah. Saat aku melihat ke depan gerbang, aku menghela napas melihat Len yang berdiri di depan gerbang tanpa melindungi dirinya menggunakan payung maupun jas hujan.

Aku membagi payungku kepada Len yang sepertinya sedang melamun. "Kamu mau sakit, ya?"

Len menolehkan kepalanya dan memandangku dengan bingung. Anak ini benar-benar bodoh! Sudah tau hujan, kenapa masih menungguku dengan basah kuyup begini? Apa dia tidak takut dimarahi orang tuanya, ya?

Aku menarik pergelangan tangan Len dengan keras agar anak bodoh ini mengikutiku. "Ikut aku." perintahku. Len hanya diam tanpa mengeluh kesakitan karena genggamanku. Aku membawanya masuk ke dalam lingkungan sekolahku dan mencari kelas yang kosong. Setelah mendapatkan kelas yang kosong, aku mendudukkan Len di kursi dan aku mengeringkan rambut pirang anak aneh ini menggunakan handuk kecil yang aku bawa untuk pelajaran olahraga hari ini. Dan untung saja guru olahragaku tidak hadir dan kita hanya berlari, jadi aku tidak perlu menggunakan handuk untuk mengelap keringatku. Dan karena keberuntungan itulah aku tidak perlu mencarikan Len handuk yang bersih.

"Uah!" keluh Len karena aku mengeringkan rambutnya dengan sangat kasar.

Aku berkacak pinggang dan mencubit kedua pipinya. "Kenapa kamu tidak membawa payung?"

Len mengembungkan pipinya yang baru saja aku cubit dengan keras sehingga ada bekas memar merah di pipinya yang sekarang menggembung itu. "Aku tidak menyangka kalau hujan akan turun. Padahal kemarin cuacanya cerah terus-menerus."

Aku menghela napas dan mengacak-acak rambutnya. "Kalau begitu kenapa kamu tidak menghentikan hujannya saja? Kamu bisa melakukannya, bukan?" tanyaku.

Len menolehkan kepalanya dan melihatku lurus. "Tidak bisa! Aku hanya bisa melakukannya sekali dan permohonan itu hanya untuk Rin-san saja." Len memajukan bibir mungilnya dan menatapku dengan wajah konyolnya itu.

Aku menghela napas dan melemparkan Len jaket biru dan celana yang sepasang pemberian dari sekolah yang kebetulan aku bawa hari ini. "Nih, pakai. Aku ada urusan dulu sebentar. Kalau kamu mau menugguku, tunggulah di gerbang, oke?" Aku melihat Len mengangguk dan akupun keluar dari ruangan kelas itu. Uh, firasatku kok memburuk, ya?

.

Aku melangkah dengan cepat menuju gerbang. Dasar Rin bodoh! Bagaimana kamu bisa keasyikan dengan urusan OSIS-mu dan lupa kalau Len sedang menunggumu di depan gerbang? Memang sih, hujannya sudah reda, tapi 'kan, kasihan juga kalau dia menunggu dengan lama seperti itu?

Aku berlari di lapangan sekolahku dan akhirnya aku sampai di gerbang. Sambil mengatur napasku yang terdengar bergemuruh, aku menolehkan kepalaku ke kiri dan melihat Len yang sedang memeluk tas plastik berisikan bajunya yang basah. "Gomen, Len. Aku tadi terlalu keasyikan sampai-sampai aku lupa denganmu." Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah Len yang terlihat... pucat? Apa yang terjadi padanya? "Len? Ada apa? Apa kamu benar-benar sakit karena kehujanan?" tanyaku dengan penasaran.

Len menatapku seakan dia baru sadar bahwa aku ada di sampingnya sekarang ini. Kedua bola mata Len yang biasanya terlihat bercahaya kini terlihat sangatlah gelap dan murung. Len menggeleng dengan pelan sebagai jawaban dari pertanyaanku. Kalau bukan karena dia sakit, lalu karena apa?

To Be Continued.

Semua ide cerita ini aku ambil dari CLANNAD ~after story~ episode 5 dan 6 karena kisah cinta Sagara Misae dan Katsuki Shima itu romantis dan bikin aku terharu bengeeet! Dan aku ini membuat fic dengan kisah yang sama dengan mereka dengan tokoh vocaloid. Dan juga ada tambahan yang aku buat sendiri. Soalnya agak susah kalau buat dari versi Rin POV, tapi aku pingin nyobain aja biar engga sepenuhnya nyontek dari animenya. Hehe. Dan juga, disini nama Len aku samakan dengan Katsuki Shima.

Dan bagi yang sudah menonton anime-nya, pasti sudah tau kelanjutannya, ya? Jadi, kayaknya untuk fic ini bakal sepi dengan review, deh. Ahaha.

Ini fic keduaku di fandom ini, jadi kalau ada kesalahan mohon dimaklumi, ya. Dan jangan lupa untuk mengkritik dan me-review, ya! See you in the next chapter! Bye bye!