"Sebagian orang berdoa agar bisa menikahi orang yang me reka cintai, doaku beda: semoga aku mencintai orang yang aku nikahi"
Kami bertemu...
... ketika salju pertama turun di malam natal dua tahun silam.
Aku berdiri di depan pintu gereja yang terbuka lebar. Terpaku pada sosok yang mempesona di depan sana. Membiarkan satu per satu orang keluar dari gereja melewatiku yang diam.
Angin berhembus membelai rambut hitamnya yang terurai sebahu. Ujung bibirku tertarik menuju dua arah yang berlawanan sehingga membuat garis lengkung yang simetris. Tangannya yang berbalut kaos tangan wol berwarna biru meraup tumpukan salju di bawah kakinya, melemparnya keatas sehingga membuat rambutnya dipenuhi butiran salju yang dingin namun menyenangkan. Lalu dia berputar-putar sambil menengadahkan kepalanya menikmati sentuhan salju yang turun membelai wajahnya di bawah sinar rembulan yang lembut. Dia tertawa senang, tapi suaranya teredam oleh syal biru yang menutupi hidung hingga lehernya.
Ketika suasana dalam gereja berubah sunyi, dia berbalik dengan mata bulat yang berbinar. Nafasku tertahan ketika dia melangkah pelan mendekati gereja. Aku masih diam, tak bergerak seinchi-pun. Dia berhenti sejenak di depanku, memandang bingung seolah bertanya; kenapa orang ini tidak pergi seperti yang lain?
Dia membungkuk kecil, kemudian dengan langkah ringan memasuki gereja.
Aku membalikkan badan perlahan mengikuti pergerakannya. Dia bersimpuh di depan patung suci itu, menangkup kedua tangannya dan mulai berdoa dengan khidmat. Aku tercengang, kenapa dia baru berdoa ketika semua orang sudah pergi?
Tanpa sadar, langkah kaki membawaku mendekati sosok dengan balutan mantel warna coklat brownis itu. Sampai akhirnya, dia selesai dan berdiri dengan tegak di kakinya. Matanya membola ketika mendapati aku yang menjulang tanpa suara sejak tadi di belakangnya.
"Anda membuatku terkejut, Tuan" bisiknya padaku.
Tiba-tiba sebuah benjolan di tenggorokanku hadir. Oh Tidak! Aku kehilangan kata-kata.
Dia berkedip dan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. "Tuan? Anda baik-baik saja?" suaranya menyapa indera pendengarku lagi. Aku mengambil nafas dan mengeluarkan suaraku dengan deheman kecil. Aku memandangnya sebelum berbicara lebih lanjut,
"Maaf, tapi kalau boleh aku tahu.. kenapa kau tidak ikut berdoa ketika semua orang berdoa?"
Pancaran malu menguar dari mata bulat itu. Jari telunjutknya yang tak lagi tertutup sarung tangan itu, menggaruk pelipisnya, kikuk.
Dia melirik lagi pada patung suci di belakangnya, "Aku tidak ingin menyusahkan-Nya. Ia pasti kerepotan karena banyaknya permintaan dari orang-orang yang berdoa tadi. Aku memilih berdoa sendiri karena Ia pasti akan mendengarkan doaku dengan baik, sehingga permohonanku akan benar-benar terwujud".
Konyol.
Aku nyaris melepaskan rasa geli di perutku menjadi sebuah tawa. Namun kepolosan di matanya membawaku pada perasaan kagum dan memuja yang membuncah. Kenapa dia begitu indah?
Dia terkekeh pelan dan memandangku tanpa keraguan seperti sebelumnya. "Aku harus pulang sekarang, Tuan? Emmm..."
"Kim Jongin. Jongin"
"Ah ya, aku harus segera pulang Jongin-ssi". Ulangnya seraya memasang kembali sarung tangan itu.
Aku dengan ragu-ragu bertanya padanya, "Kau pulang dengan siapa? Dan siapa namamu?". Dia tersenyum manis dengan mata berbentuk bulan sabit, "Do Kyungsoo. Aku selalu naik bus jika kesini" ujarnya begitu anggun.
Bagus!
Aku mengumpulkan keberanianku lagi untuk berbicara padanya. "Kebetulan aku membawa mobil, aku bisa mengantarmu", ku harap dia mau menerima tawaranku. Tiba-tiba rona kemerahan di pipinya timbul, membuatku merasa senang bukan main. Apakah itu adalah pertanda bagus?
"Apa tidak masalah?" tanyanya begitu pelan. Aku mengangguk semangat dan mengajaknya keluar gereja, "Tidak. Tentu saja tidak!" apa suaraku menandakan aku sedang bahagia?
Aku menoleh kebelakang dan memandang kagum pada patung besar suci di depan sana. Hatiku bergetar dengan irama yang menyenangkan. Aku tertawa pelan sambil mengedipkan sebelah mata pada-Nya.
"Hal yang paling menakjubkan di dunia ini adalah ditemukannya umat manusia yang saling menghargai, yang tumbuh dalam kedalaman, keindahan serta kesenangan. Pertumbuhan cinta antar dua insan manusia adalah hal yang paling luar biasa; ia tidak dapat ditemukan dengan mencarinya atau dengan mengharapkannya. Ia datang atas izin Tuhan"
.
.
"Cinta sama ketatnya seperti berakting. Jika kamu ingin mencintai seseorang, berdirilah di sana dan lakukanlah. Jika tidak, kamu tidak punya pilihan lain"
Takdir.
Itu, adalah yang aku percaya selama hidupku.
Bagaimana aku bisa terlahir? Bagaimana aku tumbuh tanpa seorang Ibu? Bagaimana kini aku menjadi orang yang tinggi? Bagaimana aku bisa bahagia hanya dengan Ayah? Bagaimana aku bisa memiliki teman yang baik dan peduli padaku? Dan...
... bagaimana aku disatukan dengan ikatan perjodohan pada gadis yang bernama Do Kyungsoo?
Aku terkejut ketika Ayah bilang, kami memiliki jadwal makan malam di salah satu rumah kolega bisnisnya. Seingatku aku tak menerima undangan makan malam satupun selama seminggu.
Saat kakiku bergerak memasuki rumah itu, mataku tiba-tiba terpaku pada seorang gadis berbalut gaun biru tua sebatas dada dan menjuntai memutupi kakinya. Rambutnya digelung sedemekian rupa sehingga mempertontonkan leher putihnya yang jenjang.
"Dibanding terpanah oleh anak panah atau tombak, terpanah cinta sungguh lebih menyakitkan"
Klise memang, tapi aku membenarkan ungkapan itu. Jantung dan hati ku terasa sakit karena rasa mendamba yang begitu besar.
Semuanya berjalan begitu saja,
Aku menikahi gadis itu satu tahun lalu. Betapa bersyukurnya aku ketika si gadis menjadi wanitaku, menjadi pendampingku, menjadi teman seumur hidupku.
Dia duduk bersandar pada dadaku. Sesekali jemarinya membalik lambaran buku cerita roman yang usang sebab dia sudah membacanya berulang kali. Bibirnya akan tersenyum ketika membaca bait demi bait yang dia suka. Aku menunduk menatap wajahnya yang selalu membuatku terpesona.
Apa kata yang pantas untuk menggambarkan sosok wanita ini?
Cantik?
Hmm,, cantik yang mendefinisikan lebih dari sekedar ungkapan umum kata dari kata 'cantik'.
"Dia cantik. Dia cantik karena caranya berpikir. Dia cantik karena sinar matanya yang berpijar saat dia berbicara tentang hal-hal yang disukainya. Dia cantik karena kemampuannya untuk membuat orang lain tersenyum, bahkan ketika ia sedang sedih. Tidak, dia bukan cantik karena hal yang sifatnya sementara seperti penampilannya. Dia cantik, hingga kedalaman jiwanya".
Dia mendongak dan menatap lurus padaku. Lama pandangan kami bertaut. Kyungsoo buru-buru meletakkan bukunya di atas meja di samping tempat tidur. Kemudian dia melemparkan diri sehingga duduk dipangkuanku.
Tangannya meraba garis wajahku perlahan. Nafasnya berhembus tepat di atas hidungku. Aku terpejam menikmati gelenyar hangat yang timbul karena rangsangan sentuhannya.
"Kim Jongin~" bisiknya begitu halus. Bibirku bergetar ketika dia dengan sengaja meniup bibirku. Mataku terbuka pelan, dan mendapati wajah cantiknya yang menggoda.
Kyungsoo mengalungkan kedua tangannya di leherku. Dia membelai pelan rambut belakang dan tengkukku. Wajahnya sengaja didekatkan ke wajahku, dia berbisik lagi...
... "Aku menginginkan baby~"
Sekilas wajahnya menjadi sendu. Aku ingat betapa rapuhnya dia ketika kami kehilangan calon bayi 9 bulan yang lalu. Dokter yang memvonis dia tak bisa lagi mengandung benar-benar memperkeruh keadaan. Tapi dia,
Kyungsoo,
wanitaku, adalah sosok yang kuat dan tegar. Kendati ada kalanya dia mengeluh padaku.
Ku tatap sayang isteri tercintaku. Ibu jari dan telunjukku mengapit dagunya, mengangkatnya pelan hingga dia tak lagi menunduk sedih.
Perlahan tapi pasti aku mengatakannya,
"Aku juga, sayang" lalu dengan tepat, bibirku memagut bibir Kyungsoo, menyesap lembut merasakan manisnya bibir plum itu. Aku dan dia terbuai dalam lautan nafsu.
"Dalam mimpi dan dalam cinta, tidak ada yang tidak mungkin"
.
.
.
.
END
Hallo gaes:" lama tak jumpa~
Fafa bawa shortfic fluffy nih,semoga suka ya:v dan untuk LwBK chapter 4 sorry nih lagi-lagi ngaret, terhalang tugas, kegiatan ekskul dan praktek mingguan cuy TT_TT
Udah, begitu aja. Bye:v
Mind to review?
