Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei
.
Warning : OOC, typo(s), mainstream, etc.
.
Tidak ada keuntungan materiil yang diambil dari pembuatan fanfiksi ini.
Happy reading!
.
.
.
Katakanlah dia penyendiri. Karma tidak menyangkalnya. Toh, memang benar ia tidak suka bergaul dengan teman sekelasnya, ia lebih sering memisahkan diri. Menjauh dari orang-orang yang bahkan tidak berani bicara secara terang-terangan padanya.
Dia tidak membenci. Karma sama sekali bukan orang seperti itu. Apa pun yang orang-orang pikirkan tentangnya itu tidak penting, mereka juga hanya dianggapnya sebagai angin lalu yang akan mampir selama tiga tahun dalam masa remajanya. Tidak lebih.
Yang Karma tahu, tujuannya hanya satu mengapa ia tetap berada di Kunugigaoka. Tidak lain untuk menantang dan mengalahkan Asano Gakushuu, satu-satunya orang yang ia anggap rival di bidang akademis. Bisa dibilang Karma hanya bermain-main, dan Asano adalah mainan paling menarik setelah pelatihan pembunuhannya setahun terakhir dinyatakan lulus.
Tidak ada alasan lain kecuali hanya karena Asano. Karma berpikir selama pemuda genius itu ada ia akan baik-baik saja. Persepsinya salah.
Memang menyenangkan terus menempel dan saling menjatuhkan bersama Asano, ia merasakan kesenangan melihat wajah kesal pemuda itu. Tapi jauh lebih besar dari kesenangan itu adalah perasaan menginginkan kembali masa-masa tahun terakhir SMP-nya terulang. Ah ya, Akabane Karma terjebak dalam perasaan melankolis itu. Rindu.
Dan ketika perasaannya membuncah diiringi harga diri yang terlampau tinggi untuk mengakuinya ia hanya akan berlari ke bangunan lama kelas E. Kadang sempat dan di kadang-kadang yang lain disempat-sempatkan. Gengsinya terlalu besar untuk lebih dulu menghubungi teman lamanya, ia hanya bisa memendam dan mengenang.
Waktunya tidak bisa ia sia-siakan untuk melanjutkan kebiasaan membolosnya. Ia sedang memegang pisau keduanya, musuh abadinya juga selalu berhadapan dengannya tanpa sedikit pun menurunkan tensi kewaspadaannya. Sedikit saja Karma lengah, ia bisa terdepak dengan mudah dari posisi satu yang sangat sulit diperjuangkan atau mendapat tempat kedua dengan rasa malu yang besar.
Karenanya Karma mencari cara lain untuk meredamnya, dengan kembali ke gunung dan bangunan kelas End. Sayangnya tidak semua yang ia inginkan berjalan lancar, termasuk keinginan kecilnya itu. Karma mengutuk Asano yang dilahirkan tidak jauh sama liciknya dengan dirinya.
"Mau melepas rindu lagi, eh? Seharusnya kau tidak usah repot-repot masuk ke Kunugigaoka jika tidak mampu. Kau tidak harus menahan perasaanmu demi aku, Akabane," ucap Asano provokatif.
Karma mendengus. Seperti biasa, tangannya masuk ke dalam saku celana. "Aku tidak kerepotan, Asano-kun. Dan aku harus masuk ke sini, karena aku hanya di sini untuk mengalahkanmu. Kau duduk saja dan melihatku berada di atasmu. Jaa na."
Karma menegakkan punggungnya. Ia melangkah menjauh dari halaman belakang SMP Kunugigaoka. Rencananya untuk kembali mendaki gunung dan menghabiskan jam kosong di salah satu dahan pohon di hutan gagal karena Asano. Lagi-lagi gara-gara pemuda itu.
.
.
.
Asano tahu, setiap keberadaan Karma lenyap dari gedung sekolah saat-saat jam belajar sendiri atau di waktu makan siang pemuda itu hanya akan ditemukan di satu tempat. Agak jauh dari kompleks gedung SMA Kunugigaoka, gunung milik kelas E yang dibeli setelah kelulusan mereka.
Sejak dalam kelas yang sama dan mulai diam-diam mengamati rivalnya itu, Asano mulai memahami sedikit demi sedikit Akabane Karma. Awalnya ia tidak percaya, tapi sepertinya dugaannya memang benar kalau pemuda itu kesepian tanpa teman-temannya di kelas E.
Asano sedikit banyak tahu perasaan menyesakkan itu.
Kadang dia sengaja muncul di hadapan Karma, terlintas harapan konyol pemuda berjuluk setan merah itu akan mengajaknya ke tempat rahasia. Tapi Karma tetaplah Karma, dengan segala rivalitas di antara mereka itu jelas hal mustahil. Dan Asano bukan anak yang lahir dengan sifat merengek sebagai bawaannya. Jadinya ia lebih banyak diam-diam mengikuti Karma daripada meminta.
Dan cerdiknya dia tidak pernah ketahuan oleh Karma. Atau mungkin Karma yang mulai menurun ketajaman instingnya? Entahlah.
Tapi Asano penasaran. Apa yang dilakukan pemuda itu sendirian di hutan? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya, mengusik ketenangannya dan menuntunnya mengorek lebih jauh soal pemuda bersurai merah menyala itu.
Asano menemukan jawaban. Karma dilanda rindu.
Dia tidak tertawa. Dia juga tidak merasa menang tahu titik lemahnya. Asano penasaran, tapi saat menemukan jawaban ia tidak puas. Asano merasa tersisih, keberadaannya tidak cukup menyibukkan Akabane Karma. Pemuda itu masih terpaku pada hal lain, padahal Asano kira masa sekolahnya kali ini lebih menggairahkan dengan adanya saingan.
Karma merepotkannya, tentu saja. Persaingan nilai mereka tidak semudah menerima dan pasrah dengan kemenangan yang lain, lebih dari itu. Harga diri. Hanya saja keliaran Karma sedikit melunak. Karma tidak sepenuhnya menjadi Karma yang Asano harapkan.
Gedung kelas E, dia tidak pernah benar-benar pergi ke sana.
Setiap ia ada kesempatan membuntuti Karma, pemuda itu tidak pernah mencapai bangunan tua di puncak bukit tersebut. Jika tidak di kolam renang buatan, air terjun, atau gua di kedalaman gunung, Karma hanya berada di dahan pohon untuk tidur, Asano selalu berakhir di tempat-tempat itu. Pernah sekali Karma sampai di halaman depan gedung kelas E saat ia mengikutinya, tapi dia tidak ke sana, hanya mengamati dari jauh, dan ia mengamati lebih jauh lagi dari tempat Karma.
Dirinya tidak lupa pernah mengatakan ingin diceritakan kisah guru mereka, Koro-sensei. Tapi Karma tidak pernah melakukan itu, ia juga memiliki kadar gengsi yang sama tingginya dengan Karma untuk meminta Isogai atau anak kelas E lain untuk memberitahunya. Tujuannya mengikuti Karma mulai berubah, dari hanya sebatas rasa penasaran yang mengganggu menjadi secuil rasa ingin mengenal pada guru yang sosoknya dianggap monster tersebut.
Asano berharap jika mengikuti Karma ia mendapatkan bekas-bekas jejak dari makhluk itu. Cerita singkat dari ayahnya yang tidak mau menjelaskan banyak tidak memuaskannya. Hanya deskripsi gurita kuning besar dengan wajah bodoh tidak membuatnya mendapatkan yang ia inginkan.
Asano ingin lebih. Bahkan sampai lupa Karma seratus kali lebih mengenal gunung itu ketimbang dia yang hanya datang beberapa kali dalam misi penguntitan. Dia melupakan fakta ditangkap basah olehnya.
Syuuut.
Hampir saja pipinya tergores batang kayu lancip yang dilemparkan terarah dari belakang. Asano menoleh kaget. Karma sedang berdiri pongah dengan seringai ingin menghakiminya. Sejenak tadi Asano merasa dirinya kucing yang tertangkap basah mencuri ikan.
"Aku terkesan kau peduli padaku sampai jauh-jauh mengikutiku ke sini. Tapi aku tidak membutuhkan itu," ujar Karma. Ia melompat turun dari salah satu batang pohon yang agak rendah. "Kukira hanya perasaanku saja kalau aku hanya diikuti. Ternyata aku tidak salah. Nah Asano-kun, kau bisa dikenakan pasal atas tindakan tidak menyenangkan. Jadi, apa pembelaanmu?"
Asano memalingkan wajah. Ia tidak suka saat Karma berjalan mendekat ke arahnya. Dia tidak bisa menyiapkan alasan rasional untuk menyangkal.
"Kukira kau tidak jadi pergi ke sini."
Alis Karma terangkat, ia terkejut. Tapi wajahnya berekspresi senang layaknya memenangkan jackpot setelah banyak bermain judi. "He... Asano-kun sudah menjadi stalker. Jadi kau selalu kemari setelah membuatku pergi ya?"
"Tidak ada larangan yang menahanku. Kenapa aku tidak boleh ke sini?" tantangnya.
"Tanda di sini mengatakan kalau ini adalah area terlarang. Tidak ada yang diizinkan memasukinya."
"Kenapa tidak kau peringatkan itu pada dirimu?"
Karma berkacak pinggang. "Karena ini adalah milik kami. Aku merasa bertanggung jawab jika ada penyusup yang mencoba masuk."
Asano berjengit, tidak terima dikatai seorang penyusup. "Kau pemiliknya. Itu benar, sebaiknya kau belajar memperlakukan tamu dengan baik."
"Tidak perlu jika itu kau."
Asano mendengus. Ia memperhatikan sekitar. Hanya ada halaman sekolah biasa, dengan rumput yang tumbuh liar dan beberapa tanaman mati. "Bahkan tidak ada papan target di sini. Apa kalian benar-benar berlatih membunuh?"
Karma melompati pagar pembatas mengikuti Asano yang lebih dulu menerobos. Ia berjalan di depan dan mengeluarkan kawat kecil yang jadi kunci utamanya sebagai akses masuk bangunan.
"Kami sudah melewati tahap dasar seperti itu di bulan-bulan awal. Apa asyiknya menembak target yang tidak bergerak? Jangan sok menilai kami," balas Karma. Ia berkutat dengan kawatnya pada gembok pintu. Setelah terbuka ia berbalik. "Sebaiknya kau berhati-hati, aku juga tidak tahu jebakan apa yang mereka pasang untuk membunuh gurita itu. Aku tidak akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi. Bukan aku yang mengajakmu, kau yang mengikutiku," tegas Karma.
Asano diam-diam membatin pemuda itu sebagai seorang tsundere.
Mereka memasuki lorong. Sejauh yang Asano lihat itu hanya bangunan kelas biasa. Semua perabotannya biasa, suasananya biasa. Ia merasa sedikit kecewa.
"Ini kelas biasa," ujarnya setelah Karma membuka pintu kelas. "Tapi cukup bersih untuk bangunan yang ditinggalkan."
"Kami juga belajar di sini, tentu saja ini hanya kelas biasa. Tempat ini selalu dibersihkan teman-temanku saat mereka ada waktu luang," jawab Karma.
Ia menuju pojok kelas. Di barisan paling belakang setelah meja Hara Sumire kosong, ada bekas goresan di lantai kayu. Kotak Ritau dulu berada sudah dibereskan, tapi gadis AI itu selalu rutin menghubungi mereka.
"Tempat ini sudah dibersihkan, tidak mungkin kau menemuka pisau atau pistol," ucap Karma yang melihat Asano mengecek-ngecek laci meja.
Pemuda itu menyeringai. "Kalian hanya anak biasa, huh. Pantas masuk kelas E, seharusnya tidak membawa barang seperti ini ke sekolah."
Asano melambaikan buku majalah dewasa pada Karma. Pemuda itu terkekeh pelan.
"Pasti milik Okajima," ucapnya. Karma berjalan ke bekas mejanya sendiri. "Ini mejaku. Dari belakang sini aku berhasil melukai beberapa tentakel kakinya dan sedikit menghancurkan mentalnya untuk sesaat."
Asano diam mendengarkan.
"Dia pernah sekali menjadi guru yang sibuk dan membosankan, saat terus-menerus membanjiri kami dengan pelajaran hanya untuk membuat kelas E masuk lima puluh besar."
"Tapi kalian gagal."
Karma menoleh tidak suka. "Tapi aku tidak."
"Tapi tujuan gurumu itu gagal."
"Yah, itu memang benar. Dia menyesalinya, karena tidak memakai teknik yang benar pada kami. Tapi dia membayarnya kemudian. Kau ingat? Kelas A kalah dalam perebutan nilai tertinggi di beberapa mata pelajaran dan kami semua berada di lima puluh besar."
Asano tersinggung. Karma berhasil mengomporinya. "Dan kau kalah jauh dariku saat itu."
Karma berkedut kesal. Ia dibalas dengan telak. "Setidaknya kami mendapat liburan di Pulau Selatan. Meskipun itu tidak bisa disebut sebagai liburan."
"Terlihat kalian sangat menikmatinya."
"Tentu saja." Karma tersenyum lebar. "Setelah semua hal yang terjadi kami pantas menikmatinya."
"Setelah semua yang terjadi?" Asano mengulang.
"Yeah. Teman-teman kami diracun dan hampir mati, kami dipaksa mengambil penawarnya dan melawan para pembunuh bayaran profesional saat guru kami dalam kondisi sekaratnya," ungkap Karma. Dia sengaja tidak meralat kalau itu bukanlah racun. Tentu saja dia ingin terlihat hebat.
"Terdengar hebat. Apa peranmu?"
Karma menyeringai girang. "Aku mengalahkan satu dari mereka seorang diri. Ah, aku juga menjadi otak dari strategi kami."
Asano diam mengangguk.
"Saat pemberitaan mengenai guru kami dibuat tidak benar, saat itulah kami bertindak layaknya seorang assassin. Kami melawan elite militer dari departemen pertahanan. Kami menang, tapi orang lain malah mengacau. Lalu... kau tahu kelanjutannya."
"Saat mendengar berita itu, untuk pertama kalinya aku merasa simpati pada kalian," ungkap Asano. "Tapi kau terlihat sangat menyukai berada di kelas E, juga teman-temanmu."
"Karena ada hal menarik yang diberitahukan padaku saat masuk ke kelas ini."
"Kenapa kau tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih baik? Atau pergi ke tempat murid nakal berkumpul. Kau salah satu dari mereka," kata Asano.
"Karena di sini ada mainan yang juga menarik."
Asano mengerutkan keningnya.
"Itu kau," tuding Karma. Ia berjalan ke pintu yang masih terbuka. "Keluar. Tur pribadimu sudah selesai. Kau berhutang susu stroberi padaku untuk ini."
Ctak.
Karma mengaduh. Keningnya merah gara-gara Asano melemparkan peluru BB yang didapatnya dari sela lantai kayu tepat ke arahnya. Asano menyeringai senang.
"Oh, aku punya bakat. Mungkin aku harus ikut kelas pembunuhan itu dulu," ujarnya melenggang melewati Karma yang berdiri di ambang pintu. Nadanya jelas sangat senang. "Aku ingin melihat ruangan lain."
Setelah menutup pintu, Karma mensejajari Asano. "Tidak ada tempat spesial. Hanya ruang guru, laboratorium, gudang dan toilet. Cepat pergi dari gedung ini."
"Aku ingin lihat laboratoriumnya. Mungkin ada hal menarik."
Tapi Asano berhenti di tengah lorong saat melihat kerusakan pada dinding. Ada tambalan yang kentara di sana. Karma tahu yang dilihat pemuda itu.
"Itu ulah Kepala Sekolah, tapi dia kembali dengan kekalahan setelah gagal menghancurkan tempat ini."
"Ya. Aku sangat ingat wajahnya ketika menunggu di tempat parkir. Aku harus berterima kasih pada guru itu untuk ini," balas Asano. "Di mana laboratoriumnya?"
Karma mengerlingkan mata, ia tidak percaya benar-benar menjadi tour guide-nyaAsano. "Di depan, pintu sebelah kanan. Tidak ada yang menarik di san—ah, tidak. Pernah ada kejadian menarik di sana."
"Kisah heroikmu lagi?" sindir Asano.
Karma tertawa. "Ini tidak bisa disebut sebagai kisah heroik. Dan bukan tentangku. Seorang gadis memberikan racun pada guru kami secara terang-terangan. Itu lucu, kupikir. Tapi juga sangat berani."
"Kelihatannya dia..."
Kata-kata Asano terpotong saat membuka pintu geser laboratorium. Di sana, seorang gadis berkepang dua masih memakai seragam sekolah tengah berkutat dengan berbagi macam cairan kimia. Tasnya tergeletak di sisi meja lain dengan buku-buku rumus yang terbuka. Rambutnya sedikit berantakan, tapi terkesan lucu dan imut. Kacamatanya sedikit melorot, membuat mata ungunya kelihatan.
Untuk sesaat Asano lupa sedang berada di bangunan tua yang lusuh saat melihat penampakan bak malaikat di matanya itu.
" ...gadis yang menarik."
"Tentu saja. Karena itu aku mengincarnya. Tidak akan kubiarkan dia direbut orang lain walaupun sekolah kami berbeda," ucap Karma senang. Tapi ia setengah bingung melihat Asano hanya mematung. Seharusnya pemuda itu menyahuti perkataannya meski dengan ejekan.
Karma berjalan mendekat.
"Ada ap—Okuda-san?"
Gadis itu terkejut, ia mendongak. "Eh?! Karma-kun! Dan... Asano-kun?" Dia menelengkan kepalanya gagal paham memikirkan alasan tepat mengapa dua orang itu bisa bersama. "Maaf, aku tidak sadar kalian ada di sini."
Karma menyingkirkan Asano untuk bisa masuk. "Kenapa kau ada di sini? Apa yang kau lakukan? Membuat racun lagi?"
Okuda menggeleng. "Aku hanya ingin mencoba beberapa rumus," jawabnya. "Sekolah melarangku melakukan penelitian pribadi karena itu berbahaya, jadi aku meminjam kunci pada Isogai-kun. Tapi saat aku ke sini pintunya sudah terbuka, aku langsung ke laboratorium untuk mencoba hal baru tanpa mengecek apakah di dalam ada orang. Aku ceroboh sekali, kan bisa bahaya kalau ada penjahat di sini."
Karma tersenyum. "Okuda-san, bicaramu sudah lancar dan tidak gugup. Kau pasti belajar banyak."
Okuda malu-malu. "Karena Koro-sensei mengatakan aku juga harus baik di bidang bahasa."
"Jadi kau gadis yang diceritakan Akabane? Kau hebat, bisa membuat racun saat masih SMP." Asano masuk ke pembicaraan.
"Terima kasih. Aku juga pernah membuat peluru dari sianida, kugunakan untuk meracuni Seo-san waktu itu."
Asano menahan tawa.
"Okuda-san kau tidak harus menceritakan itu," ucap Karma. Bagaimana pun ia ingat kalau Seo merupakan teman dekat Asano, bawahan sebenarnya.
"Tidak apa, tidak apa. Aku tertarik denganmu, bisakah kau menceritakan lebih banyak tentang dirimu?" ujar Asano. Ia mengulurkan tangan tanda perkenalan. "Kau bisa memanggilku Gakushuu."
Okuda menyambutnya. "Okuda Manami."
Asano tersenyum. "Kita akan segera menjadi dekat Okuda-san."
Karma berkedut kesal. "Oi! Kau menantangku?!"
Asano berbalik. Alisnya terangkat satu dan bibirnya tersenyum miring. "Aku tidak pernah ingat bersumpah menjadi bawahanmu. Maaf saja, aku bukan orang yang taat dan tahu terima kasih."
"Kau—"
"Sepertinya Karma-kun akrab dengan Asano-kun. Aku senang kalian menjadi teman baik."
"Kami bukan teman baik!"
"Ara?"
.
.
.
"Aku tidak akan menyerahkan dia," ujar Karma sambil mengamati punggung Okuda yang menjauh dan berbaur dengan rutinitas jalan raya.
"Aku juga tidak berniat mengalah," balas Asano. Ia menghadap Karma setelah melihat Okuda hilang dari tikungan. "Tapi Akabane, sepertinya hari ini kau banyak bernostalgia," ucap Asano. Nadanya mengejek.
Karma berkedut kesal, tapi tidak bisa membalas. "Cih!"
"Itu tadi cerita yang bagus. Aku sedikit iri."
"Tentu saja kau harus iri. Aku ini lebih hebat darimu Asano-kun."
Asano berbalik pergi. "Bermimpilah. Aku jelas berada di atasmu."
"Kau yang sebaiknya segera bangun."
.
.
.
Owari.
