Minna! Ika ga desuka?
Undine datang lagi dengan gondolanya~
Kali ini aku mempublish fic baru. Taki adalah tokoh utama dalam fic ini. Setting tempatnya di sekitar Hollywood-Los Angeles. Kemudian waktunya ceritanya diambil dari cerita setelah manga ES 21 tamat. Disitu disebutkan Taki berada di Amerika. Lalu dari situlah cerita ini dimulai.
Semoga kalian menyukainya ya! :D
Satu sisi jalan itu dikosongkan untuk syuting sebuah serial televisi ternama. Seorang artis wanita berjalan, air mata melelehi pipinya. Sementara itu kamera mengikuti langkahnya. Beberapa figuran yang berperan jadi pejalan kaki melaksanakan tugas mereka. Tiba-tiba seorang pria berambut pirang gelap dan berjanggut muncul sambil membawa bunga mawar.
"Ahaha! Kenapa bersedih, Mademoiselle?" ucapnya pada si wanita. Wanita itu tersenyum sepintas lalu melanjutkan langkahnya.
"CUT!" Sutradara berteriak lewat pengeras suara miliknya. Kamera berhenti merekam.
"Aku sudah was-was dia akan berputar lagi," ujar asisten sutradara.
"Ya, benar. Ini take ke-15, akhirnya ia tidak berputar lagi," sahut sutradara.
"Baiklah, Mr. Taki! Pekerjaanmu telah selesai!" panggil seorang wanita berkacamata.
"Ahaha! Bagaimana aktingku, bagus bukan?" pria itu, Taki, datang dan bertanya dengan penuh percaya diri.
"Aku sudah katakan kalau adegan itu tidak ada berputarnya, tapi kau terus berputar hingga scene ke-14. Bayaranmu dikurangi," jawab wanita itu ketus. Taki melengos.
"Aku akan meneleponmu kalau ada pekerjaan lain," ujar wanita itu sambil menyerahkan sebuah amplop, honor Taki sebagai figuran di episode kali ini.
"Ahaha, sankyuu, Mademoiselle Cindy!" Taki menerimanya dengan riang, ia berpamitan sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Orang yang unik. Tapi susah diatur," asisten sutradara kembali berkomentar sambil melihat Taki berjalan pergi.
Sudah sebulan Taki tinggal di Amerika, masuk ke klub amefuto Sacramento Mountain Lions, California dan tinggal di asrama pemainnya. Berhubung ia masihlah pemain cadangan dan bayarannya sedikit, ia mencari-cari tambahan dengan menjadi pemain figuran. Ia dikenalkan Bud pada orang-orang film kenalannya. Lumayan lah, sekalian mengisi waktu kalau tidak ada latihan.
Tiap awal bulan, Suzuna selalu mengingatkan kakaknya itu untuk memberi kabar—sekaligus mengirimkan uang pada orang tua mereka. Sebagai anak sulung, sudah seharusnya Taki melakukan itu, bukan?
Taki tetaplah Taki yang sering bertingkah konyol dengan kebodohannya, tapi tekadnya untuk membuktikan diri kepada orang-orang selalu mengantarnya ke hal yang menguntungkan baginya.
Pria bernomor jersey 37 itu sangat hormat pada wanita (kalau tidak mau dibilang lebay dan over confidence), tapi ia belum pernah jatuh cinta pada seorang wanita pun.
Sebuah restoran fast food 24 jam menarik minat pria berjas merah itu. Satu paket burger dengan cola kelihatannya enak.
Dengan senyum yang nggak sampai sejuta dolar sama sekali, Taki melenggang pede menuju tempat untuk memesan.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya si pegawai. Dia wanita, dengan kulit putih, rambut hitam yang dijepit ke atas, serta bola mata kelabu. Senyumnya begitu ramah.
Taki berkedip beberapa kali melihat wanita di depannya. Tapi kemudian ia menjawab, "Tolong satu burger dan satu cola, Mademoiselle…"
Sambil menjulurkan mawar properti syuting yang ia bawa tadi pada wanita itu, Taki mencari-cari name tag-nya. Tapi wanita itu menjawab duluan sambil tersenyum.
"Brenda," ujarnya, "Brenda Brooklyn."
Taki's Love Life
Chapter 1: Mademoiselle Brenda
Written by: undine-yaha
Disclaimer: Inagaki Riichiro and Murata Yuusuke
Disclaimer: Nama-nama tempat dan nama tim amefuto yang ada di dalam cerita ini bukan punya saya ^^
Taki gantian memperkenalkan diri, "Taki Natsuhiko, maksudku, Natsuhiko Taki!"
"Natsuhiko… Taki?" Brenda bertanya sambil menyiapkan pesanan, "kau orang Jepang ya? Berarti Taki itu nama keluargamu?"
"Ahaha! Benar sekali~! Kalau di Amerika, nama keluarga diletakkan di belakang. Sedangkan di Jepang, nama keluarga diletakkan di depan, iya kan! Aku memang pintar!" jawab Taki panjang lebar plus nyombong.
Tapi Brenda tidak mendengar itu sebagai kesombongan. Ia mendapat kesan kalau Taki senang melucu. Ia memberikan pesanan Taki sambil tertawa-tawa.
"Senang bertemu denganmu, Natsuhiko!" ucapnya.
"Sama-samaa!" Taki mengedipkan sebelah matanya dan mengambil pesanan itu, lalu duduk di bangku terdekat.
Brenda mengamati pria muda itu. Taki membawa suasana ceria baginya. Cukup menarik, tapi tidak. Brenda segera menutup rapat hatinya. Ada satu hal yang membuatnya merasa harus menghentikan perasaan tertariknya ini.
"Hey, Mademoiselle," panggil Taki, "apa kau sudah lama bekerja di sini?"
"Sebetulnya, baru seminggu ini," jawab Brenda ramah, "aku bertugas dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang."
Taki meminum colanya dan lanjut makan. "Aha, begitu rupanya. Apakah setiap hari kau di sini?"
Brenda menggeleng. Belum ada pembeli lagi sehingga ia bebas bercakap-cakap dengan kenalan-baru-nyentrik-nya ini.
"Senin-Jumat. Sabtu dan Minggu aku bekerja jam 1 siang sampai jam 3 sore, lebih singkat."
Taki mengangguk-angguk sambil berusaha memahami dan menghafal shift Brenda. Ia ingin bertemu dengannya lagi besok. Juga lusa. Ia tidak terlalu memikirkan alasannya; pokoknya: aku ingin ketemu Brenda lagi!
"Baiklah, aku pergi dulu ya! Aku harus latihan futbol!" pamit Taki.
Brenda terkejut. "Kau atlet futbol?" tanyanya.
Taki tersenyum sombong. "Ahaha! Memang benar! Aku seorang tight end! Lihatlah ini," ia mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi.
Brenda tertawa dan bertepuk tangan, "Wah, iya benar! Lentur sekali!"
"Ahahaaa!" Taki berputar-putar menuju pintu keluar. Seluruh pengunjung restoran melihatnya sambil berkomentar: tuh orang stres ya?
"Sampai besok, Mademoiselle Brendaa!" pamitnya heboh. Brenda melambaikan tangannya.
Beberapa detik kemudian, Brenda baru tersadar.
"'Sampai besok?'" ia mengernyit, "apa dia akan kemari lagi?
XXX
Dugaan Brenda benar. Keesokan harinya, Taki datang lagi. Juga besoknya. Dan besoknya. Entah itu membeli cola, sundae, ataupun makanan. Tak terasa Brenda jadi terbiasa dengan kunjungan Taki. Ia jadi sering tertawa akibat kekonyolannya ketika mengobrol bersama orang itu.
"Brendaaaa," suatu hari Taki merasa heran melihat wajah wanita di depannya itu. Ia berhenti memanggil Brenda dengan embel-embel Mademoiselle karena kata Brenda kedengarannya aneh.
"Uhm, ya?" sahut Brenda sambil mengambil uang kembalian untuk Taki.
"Wajahmu pucat," kata Taki. Khawatir, begitulah nadanya. Ini kali pertama ia merasakan khawatir.
Brenda tak menjawab.
"Kalau kau sakit, minta izin saja," saran Taki, "lalu aku akan mengantarmu pulang untuk beristirahat! 120% pasti kau sehat lagi!"
Brenda memaksakan senyum. Tapi beberapa detik kemudian, ia membungkam mulutnya sendiri dan lari ke dapur.
"Aha...ha?" Taki mematung kebingungan.
Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu bangku sambil memakan kentang gorengnya.
Satu menit. Dua menit. Seorang pemuda telah menggantikan posisi Brenda di kasir.
Taki cepat-cepat berdiri dan bertanya pada pemuda itu.
"Halo, Monsieur! Brenda, yang tadi di sini, sekarang dimana yaa?"
"Oh, dia tadi muntah-muntah di kamar mandi, lalu izin pulang lebih awal," jawab pemuda itu.
Taki terkejut. "Brenda sakit?" jeritnya lebay.
"I-iya sepertinya begitu," jawab pemuda itu, sweatdrop.
"Brenda sakit! Ahhahaaa, bagaimana iniii bagaimanaaa?" Taki berputar-putar penuh kepanikan.
Karena sangat menarik perhatian pengunjung (dan membuat malu), akhirnya Taki dibawa keluar oleh supervisor restoran.
"Brenda, Brenda, apa kau baik-baik sajaa?" Taki bertanya-tanya, melakukan putaran dramatis.
"Kalau kau ingin tahu, dia ada di rumahnya di Miracle Mile!" kata Supervisor itu.
"Miracle Mile?" Taki serasa mendapat angin segar, "baiklah! Thank you Monsieur Supervisor!"
Si Supervisor bersyukur pada Tuhan karena akhirnya Taki pergi dari sana.
XXX
Setelah (dengan hebohnya) berkeliling perumahan Miracle Mile, akhirnya Taki menemukan rumah Brenda.
Di kotak posnya tertulis: Brooklyn. Ada semak-semak berbunga pink yang dipotong rapi berbentuk bundar. Rumahnya berlantai satu dan memanjang dengan nuansa putih.
"Inikah rumah Brenda? Ahaha! Beautiful!" Taki berkomentar.
Taki menaiki tiga buah anak tangga menuju pintu depan dengan semangat.
Ting tong!
Ia menunggu sambil bersenandung.
Cklek! Seorang anak lelaki berumur 8 tahun muncul di ambang pintu.
"Ahaha! Apakah Brenda ada di rumah, Little Monsieur?" tanya Taki.
Bocah itu berkata, "Sebentar ya," lalu berlari ke dalam rumah.
"Ada tamu? Siapa?" Terdengar suara Brenda dari dalam rumah.
"Iya! Oom berambut pirang dan berjenggot!" jawab si bocah.
Brenda muncul. Taki tersenyum sok ganteng.
"Natsuhiko?" Brenda tercengang.
"Ahaha! Ini aku! Surprise!" sahut Taki, "hei, siapa Little Monsieur ini?"
"Dia...," Brenda terlihat bingung, "dia...anakku."
Bocah itu, Justin Brooklyn, menatap Taki dengan polos.
Taki terlihat syok. "Anak...mu?"
"Halo, Oom! Namaku Justin!" sapa Justin ramah. "Mom, Oom ini teman barumu ya?" ia bertanya polos pada ibunya.
Brenda mengangguk, segaris senyum muncul di bibirnya. Kenapa? Kenapa ia harus sedih mengakui Justin adalah anaknya? Apakah karena ia mulai dekat dengan Taki?
Mungkin saja Taki dekat dengannya bukan untuk berteman saja, melainkan melangkah ke hal yang lebih jauh. Brenda berharap kebaikan Taki selama ini adalah sesuatu yang tulus—kalaupun ketulusan itu cinta, dan Taki akan menjauh darinya, ia akan ikhlas.
"Jadi, Brenda…," Taki masih sangat terkejut, menunjuk Brenda, lalu Justin, "ternyata sudah punya anak ya…."
Ahaha, aku tidak beruntung, sepertinya. Aku datang ke rumah Brenda untuk melihat keadaannya, tapi ternyata aku mendapat kenyataan kalau dia sudah punya anak.
Kenapa hal ini harus terjadi ketika aku mulai merasakan sesuatu yang spesial padanya?
-To be continued-
Hohoho! Pendek ya? Maaf ya, namanya juga pembukaan… hehee.
Terima kasih banyak sudah membaca! Maafkan jika ada salah ya!
Jangan lupa review, kritik, saran, anonymous, semuanya boleh, akan kuterima dengan senang hati.
Ceritakan pendapat kalian tentang fic ini, ya. Apakah menarik untuk dilanjutkan?
Terima kasih! Sampai jumpa secepatnya!
