Une paire d'yeux

Seventeen © Pledis Ent

All Cast © Agensi masing-masing (?)

WARN! : YAOI, Alternate Universe!, OOC, TYPO


.

.

.


Semenjak kasus Mingyu dan Wonwoo sudah mereda, Jihoon juga sudah selesai dari aksi merajuknya. Hanya sebenarnya masih ada satu masalah lagi di Olympus.

Rupanya pengusiran Seungcheol masih meninggalkan dendam bagi Junhui. Memang awalnya semua tampak baik-baik saja, kedua-duanya tidak saling menyinggung atau melanggar batas. Tapi semenjak Mingyu jelas-jelas terlihat berani melawan Seungcheol dengan menculik anaknya, Junhui mulai bertindak.

Berbeda dengan Mingyu, Junhui ini lebih menyukai bertindak diam-diam. Dia memang tidak pernah menyuarakan pikirannya keras-keras belakangan ini, dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda dia akan memberontak atau melawan Seungcheol.

Justru itulah masalah bagi Seungcheol, kepalanya sakit hanya dengan memikirkan apa yang mungkin dilakukan Junhui. Seungcheol sudah menunggu perang besar, pemberontakkan hebat, dan sebagainya. Tapi Junhui tetap bergeming.

Hal ini agaknya membuat Seungcheol jadi sedikit paranoid. Jauh di dalam kepalanya yang agung, dia tahu bahwa akan ada saat di mana para Olympian akan memberontak dan menjatuhkan takhtanya atau bahkan mencincangnya seperti Seungcheol mencincang ayahnya.

Walaupun beberapa Olympian lainnya masih tampak santai dan bersikap seperti biasanya, sisanya terlihat mencurigakan saat pertemuan. Junhui diam dan tidak meledak marah saat Seungcheol memerintahnya. Jeonghan juga diam dan tidak lagi mengungkit urusan selingkuhan Seungcheol.

Soojung juga sepertinya tampak diam dan berpikir untuk dirinya sendiri, dia yang paling menakutkan karena dia lebih cerdas dari siapapun di ruang singgasana itu. Minseok tampaknya juga mulai kehilangan selera dalam musiknya. Dia hanya akan menatap kosong ayahnya dan menggumamkan kalimat acak bagi dirinya sendiri.

Olympian lainnya masih tetap sama. Soonyoung? Well, ya seperti Soonyoung. Dia akan duduk tenang dan mencatat tapi sayap di kakinya akan terus mengepak berisik. Jisoo rasanya tidak mempedulikan apapun kecuali ada laporan tentang perang. Hansol tetap bergeming dan berbau arang. Chan memainkan anggur-anggurnya. Sohee dan Seungkwan tetap sama.

Ini mengganggu Seungcheol dan kadang membuatnya takut, jika mereka benar-benar memberontak maka tamatlah dia.

.

.

.

Dua minggu setelahnya, kabar mengerikan terdengar kemana-mana. Junhui, Jeonghan, Soojung dan Minseok memberontak dan membuktikan keparanoid-an Seungcheol menjadi nyata.

Seungcheol agak kesal, harusnya dia tahu bahwa dia tidak boleh lengah. Tapi selama ini dia salah. Dia terus menerus mencurigai Junhui, merasa bahwa pemberontakkan pasti datang dari Dewa Laut itu. Seungcheol mengirimkan Soonyoung untuk membuntuti dan melaporkan keanehan.

Tapi laporan Soonyoung selalu sama, tidak ada apapun yang harus dikhawatirkan tentang Junhui.

Sialnya, pemberontakkan ini datang dari Jeonghan. Junhui memang sudah ingin memberontak dan mengambil kesempatan terbaiknya saat Jeonghan mengeluh.

Jeonghan––yang seperti biasanya mengeluhkan tingkah laku suaminya akhirnya kehilangan kesabaran yang mungkin memang sangat sedikit. Setelah pertemuan selesai, dia menepikan Junhui, Soojung, dan Minseok. Setelah memastikan beberapa Olympian yang takut atau yang rasanya akan memihak Seungcheol sudah pergi, mereka mulai berbicara.

Jeonghan berkata, "Kupikir sudah saatnya Raja turun tahta, kan?"

Junhui mengangkat bahu, "Kupikir kau tidak akan pernah mengatakannya. Kukira kau suka menjadi Ratu?"

Jeonghan mengabaikan kesinisan komentar Junhui dan menghadap ke dua Olympian lainnya.

Soojung tersenyum dingin, "Kadang memang ada kalanya kupikir bahwa Raja harus turun. Dia agak… ehm? Kurang cocok memimpin."

Minseok hanya mengangguk. Mungkin dia juga takut salah berkomentar dan disambar petir ayahnya. Dia tidak menyukai gagasan bahwa dirinya harus gosong.

Jeonghan kembali berkata dengan nada tidak sabar, "Kita tidak bisa bercakap-cakap lama sebelum Raja datang. Kita juga tidak bisa bertahan lama-lama di bawah kepemimpinan dia yang semena-mena. Kita akan memberontak malam ini."

Junhui mengerutkan alis, "Kau yakin? Kau memang pemikir yang sangat menyenangkan."

Istri Seungcheol itu memutar bola mata dan menggerung kesal, "Kau mau ikut atau tidak?"

"Jika itu artinya aku bisa melihat si bungsu memohon ampun, aku ikut." Junhui mengangkat tangan dengan gerakan menepis di udara yang berlebihan. Pasti dia sudah amat sangat menunggu saat-saat seperti ini. Senyumannya sangat lebar sampai Jeonghan bingung kenapa senyum itu belum merobek pipi si Dewa Laut.

Kemudian mereka mendengar langkah kaki mendekat, semuanya diam.

"Malam ini," Jeonghan berbisik dan melambaikan tangan––menghilang dengan iringan cahaya.

Tiga cahaya lain menghilang dengan cepat setelahnya.

.

.

.

Malamnya, keadaan Olympus kacau. Seungcheol diikat di kamarnya dengan tali ajaib––entah apa yang bisa membuat Dewa Petir hebat itu tidak bisa mengeluarkan dirinya. Sebenarnya dia bisa saja meledakkan tali itu dengan petir, tapi dia kan terikat ke sana. Jika dia memang meledakkannya, maka kulitnya juga pasti akan gosong terbakar.

Jeonghan menatap suaminya itu dengan tatapan puas tapi takut, "Maaf, suamiku. Mungkin ini sudah saatnya kau beristirahat dari tugasmu."

Seungcheol hanya mampu menjawab dengan erangan dan geraman, dagu agungnya terikat dan membuatnya tidak bisa membuka rahang.

Junhui menatap wajah adiknya dengan senyum tipis sebelum berkata, "Kau selama ini berpikir bahwa aku akan memberontak kan, adik manis? Sebenarnya ini ide istrimu. Aku hanya duduk manis selama istrimu memaparkan idenya yang sebenarnya amat sangat singkat. Omong-omong, kau mau melihat buku baruku? Junhui si Petualang Laut. Sesuai janjiku, aku menyelesaikannya dengan sangat cepat. Akan kukirimkan kau satu buah kapan-kapan. Kuyakin kau akan suka pada penggambaran ular laut. Aku menggambarnya selama dua hari dan kehabisan tinta berkali-kali. Telekhines ini membantu, tapi tidak banyak. Mereka malah seperti pengganggu—"

Soojung memutar bola mata, "Diam. Kupikir lima detik lagi aku mendengar celotehanmu, aku akan kehilangan kewarasan dan terjun ke laut."

Junhui melempar tatapan mencela pada Soojung yang menganggu pidato kemenangannya.

Seungcheol lagi-lagi hanya mengerang. Dari raut wajahnya, ketara sekali dia sedang memaki dalam erangannya.

Junhui tertawa pelan, "Oh? Apa? Iya, aku tahu. Kau juga tidak menyangka, kan? Kurasa buku Junhui si Petualang Laut itu akan jauh lebih laris dibandingkan puisi musikal buatan Minseok."

Minseok menatap Junhui seolah Dewa Laut itu sudah gila. Minseok berkata, "Tentu saja tidak. Astaga, siapa juga yang akan membaca kisah kau bertemu ular laut? Mereka akan memilih mengetahui bagaimana caranya bermain musik, melukis wajahku, memahat patungku, dan juga menyanyikan namaku."

Junhui tertawa mengejek sebelum membalas, "Untuk apa juga mereka memahat patungmu? Bentuk wajahmu jelas tidak menarik untuk dipahat."

"KAU BILANG APA?!"

Sebelum Minseok mampu melemparkan liranya ke hidung mancung Junhui dan Soojung kehabisan napas karena terbahak-bahak, Jeonghan menengahi mereka. Jeonghan berkata dengan nada kesal, "Kalian memperdebatkan hal konyol sekarang?!"

Minseok menatap Jeonghan, wajahnya masih merah karena marah. Dewa Cahaya itu menggerung, "Dia menghina wajahku."

Jeonghan menghela napas, "Dan aku akan memastikan wajahmu menjadi lebih tidak menarik lagi jika kau tidak bisa diam."

Junhui terbahak sampai nyaris terjungkal. Jeonghan berbalik menatap wajah Dewa Laut itu dan menggumam dengan nada mematikan, "Kau juga diam jika kau masih menyayangi semua gambar ular lautmu."

Serentetan geraman rendah keluar dari kerongkongan Raja. Mungkin makian, mungkin juga kutukan, atau mungkin juga seruan jengkel karena dilupakan dalam keadaan terikat.

Jeonghan menatap suaminya lagi, "Beberapa hari kau terikat dan kami semua akan punya pemimpin baru. Jangan salah, aku memang mencintaimu. Tapi kadang kau juga mencintai orang lain. Nah, nikmati keadaan ini untuk merenungkan betapa banyaknya kesalahan dan dosa yang kau timbulkan."

Jeonghan kemudian membawa Junhui, Soojung, dan Minseok keluar dari sana.

.

.

.

Setelah pintu berdebam menutup, Seungcheol menggeram lagi. Kali ini geramannya menarik perhatian seorang Nereid, Thetis. Dia masuk dan nyaris terjungkal kaget saat menemukan sang Raja terikat dan menggeram-geram sebal.

Dari wajah sang Raja, Thetis rasanya langsung tahu siapa yang mengikatnya. Junhui dan Jeonghan.

Hal ini membuatnya ragu-ragu. Jika dia membebaskan Seungcheol, maka saat Junhui tahu, dia yakin sekali dia akan dihukum. Tapi jika tidak, maka saat Seungcheol sudah lepas, dia juga akan dihukum.

Thetis benar-benar berharap tadi dia mengabaikan geraman itu dan berlalu saja dari sana.

Setelah beberapa menit berpikir dan berusaha mengabaikan sepasang mata biru yang menerornya dari seberang ruangan, Thetis memutuskan untuk membebaskan Seungcheol. Untuk keselamatan dirinya sendiri, Thetis meminta Seungcheol berjanji agar tidak memusnahkan para pemberontaknya, dan Dewa Langit itu dengan wajah masam mengiyakan.

Well, setidaknya Junhui tidak akan menghukum dan mengutuknya menjadi karang laut.

Ketika Thetis pergi, Seungcheol menerjang masuk ke ruang singgasana yang sedang dalam keadaan rapat. Ya, setelah itu keadaan menjadi kacau.

Kacau? Ehm, intinya Seungcheol mengamuk dan menjatuhkan hukuman di sana-sini. Petir-petirnya dilemparkan kemana-mana dan setelah amukan Raja itu reda, dewa-dewi pemberontak diseret kehadapannya dengan wajah tercoreng abu dan jubah gosong.

Entah bagaimana, Soojung bisa terbebas dari hukuman. Mungkin Seungcheol sebenarnya takut pada anaknya yang satu itu atau mungkin Soojung berhasil meyakinkan ayahnya bahwa dia tidak bersalah.

Sisanya dalam masalah besar. Seungcheol bahkan menghukum istrinya sendiri. Dia menggantung Jeonghan di atas kehampaan Khaos dengan seutas tali, membiarkan istrinya memikirkan perbuatannya dan ancaman untuk buyar selamanya.

Well, setelah beberapa minggu akhirnya anak berbakti Jeonghan, Hansol berusaha membebaskan ibunya. Tapi Dewa satu itu malah berakhir dengan nasib yang lebih malang lagi setelah Seungcheol memergokinya.

Seungcheol melempar Hansol ke bumi. Membuatnya lumpuh selama beberapa waktu––waktu yang cukup bagi Dewa Pandai Besi itu untuk meratapi nasib buruk yang diterima karena sudah berbakti pada ibunya.

Tapi setelah beberapa lama, Seungcheol akhirnya membebaskan Jeonghan. Mungkin sang Raja akhirnya merindukan ocehan istri tercintanya atau butuh pendamping yang bisa membantunya mencatat anggaran kerajaan. Mereka berbaikan dan tahu pada akhirnya Seungcheol akan selingkuh lagi. Ah, romantisnya.

Sementara Minseok dan Junhui ditarik keabadiannya dan dihilangkan kekuatannya. Mereka berdua dihukum paling berat. Seungcheol memaksa mereka menjadi budak bagi seorang pria Troya. Minseok berakhir dengan menjadi peternak dan Junhui ditugaskan membangun tembok mengelilingi kota itu.

Begitu hukuman mereka berdua selesai, mereka kembali menjadi dewa lagi. Well, mereka juga masih memperdebatkan buku siapa yang lebih laris selama beberapa waktu.

Setidaknya, segalanya kembali normal di atas sana.

.

.

.

Di Dunia Bawah, Mingyu menarik napas panjang dan kembali menatap kalender di mejanya. Dia menghitung dalam hati untuk setiap tanda silang yang menutupi angka-angka di sana. Mingyu membalik setiap lembar yang sudah penuh dengan tanda silang, menghela napas di setiap gerakkannya.

Ketika dia sampai di lembar yang kosong, Mingyu berhenti dan mengerjapkan matanya. Ok, masih ada sekitar sebulan lagi sebelum Wonwoo kembali ke Dunia Bawah.

Ini sudah beberapa tahun semenjak pernikahan mereka dan Mingyu tetap masih akan terus menghitung hari sampai Wonwoo kembali ke sisinya. Setiap kali Wonwoo harus berada di atas, Mingyu akan merindukannya.

Sebenarnya, Mingyu sendiri belum pernah merasakan apalagi menggunakan kata merindukan. Segala hal tentang cinta dan kebersamaan rasanya bertolak belakang dengan bagaimana kehidupan sehari-harinya.

Tanpa sadar, Mingyu bangkit dengan lunglai. Kepalanya terasa berat saat mengingat betapa banyak hal yang harus dikerjakan olehnya hari ini. Tahun lalu saat Wonwoo masih menghabiskan waktunya di Dunia Bawah, dia mengubah taman kecilnya.

Well, sekarang nyaris tidak bisa lagi dikatakan sebagai taman kecil, luasnya bertambah empat kali lipat. Istrinya itu menambahkan berbagai bunga dan tumbuhan baru, membuat jalan setapak kecil, memagari taman kesayangannya itu, dan bereksperimen dengan batu mulia untuk menumbuhkan pohon baru.

Sebelum Wonwoo naik ke atas, dia meminta Mingyu untuk mencarikan seseorang–mayat hidup–yang bisa mengurusi tamannya seperti Askalaphos yang sekarang sudah berubah wujud menjadi cicak. Setelah pencarian membosankan dan melelahkan, akhirnya toh Dewa Dunia Bawah itu menyerah juga.

Tidak ada satupun makhluk-makhluk di sini yang rasanya bisa mengurus taman itu sebaik Askalaphos. Pada akhirnya, Mingyu belajar bagaimana merawat taman demi Wonwoo dan sedikit harapan agar kalimat pertama Wonwoo saat kembali ke bawah bukanlah kau tidak merawat tamanku, ya?.

Hal ini membuat pekerjaan Mingyu bertambah padahal dia masih dalam tahap merombak Dunia Bawah habis-habisan.

Beberapa minggu lalu, Mingyu sudah memaksa Soonyoung untuk membantunya. Dia telah membuat dewa kecil dengan sayap berisik di kedua kakinya itu setuju untuk membantu para arwah yang tersesat.

Tidak banyak arwah yang bisa menyeberangi sungai Styx, mereka biasanya hanya tersangkut ke sisi fana sungai itu tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Mingyu sudah menolak ide Soonyoung untuk membagikan peta gratis pada para arwah yang baru mati, itu akan menambah pengeluaran yang tidak perlu.

Setelah Dewa Pembawa Pesan itu sudah berjanji, Mingyu akhirnya menemukan… ehm… apa? mungkin pelayan yang akan membantunya. Erinyes atau Furies atau apalah namanya itu bersedia menjaga barisan para arwah sebelum dan sesudah penghakiman.

Mereka adalah tiga nenek-nenek bersaudara dengan wajah mengerikan dan.. ehm.. bau kematian yang pekat––ini kata Wonwoo.

Maka dari itu, dua pertiga tahun yang kali ini terasa sangat cepat berlalu. Soonyoung jadi sering bolak-balik semenjak Seungcheol memerintahkannya untuk terus mengabari apa yang terjadi di Olympus pada Dunia Bawah semenjak pemberontakan yang terjadi.

Hal ini mengakibatkan frekuensi kemunculan Soonyoung menjadi lebih sering dan lebih menyebalkan. Dewa itu akan muncul begitu saja, di mana saja, tidak peduli Mingyu sedang apa, dan bagaimana suasana hatinya.

Kadang ada sebagian dari dirinya yang ingin mencengkeram sayap kecil di kedua kaki Soonyoung dan merengutnya sampai lepas. Tapi sebagian dirinya yang lain akhirnya mulai terbiasa dengan sayap itu dan juga mulai menikmati setiap gangguan-gangguan yang dikirimkan para Olympian yang di atas.

Satu-satunya Olympian yang masih menolak berkirim Soonyoung padanya adalah Jihoon. Well, kalau yang ini Mingyu juga tidak kaget lagi. Dewa itu juga menolak mengakui Mingyu sebagai anggota keluarganya. Dia jelas tidak mengundang Mingyu ke acara besar keluarga mereka, kayak Mingyu bakalan datang saja.

Pintu kantornya menjeblak terbuka dengan sangat cepat dan sosok mungil bersayap berisik melompat masuk untuk kesekian kalinya dalam hari itu. Mingyu menghela napas dan menatap senyum Soonyoung dan bertanya, "Apa lagi kali ini?"

Soonyoung melompat-lompat mendekat dengan semangat berlebihan yang membuat Mingyu kesal.

Dewa kecil itu berkata, "Raja Seungcheol mengirimkan pesan dengan ramah. Isinya adalah hallo saudaraku. Aku hanya ingin bertanya bagaimana keadaan di bawah sana? Kudengar kau sedang mencari semacam hakim untuk arwah di Dunia Bawah, kan? Bagaimana kriteria pencarianmu? Raja, kan? Well, aku hanya ingin bilang kalau aku ingin Raja yang kau pilih nanti adalah anakku. Itu saja. Kau boleh membalas pesanku, kok. Jangan hanya karena masalah biaya, kita kehilangan kontak. Selesai. Kau mau membalas, Tuan Mingyu?"

Tanpa sadar, sosok tinggi itu mendesah panjang. Adiknya yang satu itu kadang perlu belajar menghormati batas kekuasaannya.

Soonyoung masih menunggu jawaban dengan pena di tangan dan alis terangkat.

Mingyu mengangkat bahu dan berkata, "Catat balasanku. Kabar Dunia Bawah baik, setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Untuk masalah anakmu sebagai hakim mungkin aku akan setuju, toh nyaris semua raja Yunani adalah anakmu. Benar, kan? –gunakan nada lebih pelan di sini agar terkesan mengejek. Oh, dan juga itu adalah hal terakhir di Dunia Bawah yang boleh kau campuri urusannya. Setelah ini aku akan mengutukmu jika kau berani mencoba memberiku saran menyebalkan, aku jauh lebih pintar darimu. Satu lagi, aku tidak membalas semua pesanmu bukan karena biaya. Aku hanya tidak merasa perlu, lagipula aku jauh lebih kaya darimu. Salam, Mingyu."

Soonyoung berdeham dan menatapku, "Terima kasih, Tuan Mingyu. Biaya—"

Mingyu memotong dengan nada sebal, "Seperti yang sudah kubilang ratusan kali, bagian keuangan tolong. Oh, dan pastikan kali ini pintu kantorku tertutup atau mungkin saja aku akan mencabik sayap kecilmu dan melemparkanmu dari atas tebing terdekat."

Seperti dugaannya, Soonyoung tidak tersinggung. Dia malah tersenyum, "Kadang kupikir udara segar akan bagus untukmu, kau tahu."

"Jangan bercanda, selera humorku sedang padam. Lagipula ini Dunia Bawah, udaranya di manapun sama saja."

Soonyoung mengangkat bahu dan melompat keluar sambil menggumamkan kalimat untuk dirinya sendiri. Kali ini dia tidak lupa menutup pintu.

.

.

.

Kali berikutnya Mingyu keluar, pemimpin Dunia Bawah itu menemukan dirinya sendiri sedang menjelajahi sungai-sungai dan daerah sekitarnya. Sebenarnya dia sedang membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya kembali bersemangat dan mungkin menghilangkan kesuramannya sedikit.

Biasanya itu menjadi kerjaan Wonwoo. Tapi dengan keberadaannya di atas sana, jelas mustahil bagi dewa pencinta bunga itu untuk membuatnya bersemangat lagi.

Mingyu berjalan tanpa arah dan tidak mempedulikan hormatan dan sapaan para penghuni Dunia Bawah. Pikirannya sedang kusut dan dia rasa hanya Wonwoo yang bisa mengembalikan sedikit kewarasannya.

Kemudian sesuatu tertangkap oleh hidung Mingyu, wangi yang aneh dan belum pernah tercium di Dunia Bawah. Wangi ini mengingatkan Mingyu pada sesuatu yang segar, seperti pertama kalinya ia keluar dari kerongkongan ayahnya. Wow.

Dia mengikuti wangi itu dengan keadaan setengah sadar. Membiarkan indra penciumannya menuntun dirinya sampai ke sebuah cabang sungai. Airnya biru gelap dan terlihat mengalir dengan tenang, batu-batu hitam legam bertebaran di sisi sungai itu.

Saat dirinya semakin dekat dengan sungai itu, Mingyu mulai mendengar berbagai suara aneh. Awalnya hanya bisikan yang kemudian berubah menjadi gumaman aneh, lalu akhirnya rintihan.

Saat itulah Mingyu menyadari dia ada di mana, pinggiran sungai Cocytus. Well, sungai yang satu ini jelas tidak berbahaya dibandingkan empat sungai lainnya. Tapi ini Cocytus, sungai rintihan. Jelas para arwah sekalipun tidak berusaha meluruskan pikiran dengan berkunjung ke sungai rintihan ini.

Mingyu menggelengkan kepala, berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia baru akan melangkah pergi ketika sesosok makhluk tertatap olehnya. Mingyu memerhatikannya dengan lebih jelas.

Kali ini dia menyadari bahwa makhluk itu adalah Naiad, penghuni sungai Cocytus. Rambutnya panjang dan bergerak indah saat angin bertiup ke arahnya. Sosok itu mengenakan gaun Yunani kuno berwarna hijau pucat yang terlihat ringan. Ketika ia berbalik, Mingyu bisa melihat mata hitam bulat dan juga hidung mancung.

Makhluk itu menatap Mingyu dengan wajah kosong tanpa ekspresi. Mingyu jadi bertanya-tanya kenapa makhluk itu tidak takut atau hormat padanya.

Gadis itu memasang senyum lebar dan Mingyu merasa tubuhnya macet. Belum pernah ada makhluk yang tidak takut padanya, bahkan tidak juga Wonwoo.

Ah, Wonwoo.

Nama itu membuat Mingyu sedikit sadar, dia mengerjap bingung menatap gadis itu.

Gaun hijaunya mengembang saat gadis itu bangkit dan berjalan mendekati Mingyu dengan langkah ringan. Dia berhenti beberapa langkah di depan Mingyu dan wangi segar itu kembali menyerang seluruh penciumannya.

Wangi itu mengingatkannya pada kenangan akan kelegaan, sesuatu yang lebar, udara yang terbuka, dan untuk sesaat Mingyu lupa pada dirinya sendiri. Dewa Dunia Bawah itu hanya menatap gadis itu dengan kosong.

Sampai akhirnya saat Mingyu berkedip dan menyadarkan dirinya, dia berani membuka mulut, "Kau siapa?"

Naiad itu tersenyum lebih lebar, "Mereka memanggilku Tzuyu."

Yang lebih tinggi mengerutkan dahi, "Kau Naiad? Mereka?"

Senyum gadis itu sedikit menurun saat dia mengangkat bahu dan bergumam, "Begitulah."

Mereka terdiam dan Mingyu menghirup wangi segar aneh itu lagi. Isi kepalanya mendadak kacau dan sosok suram itu bertanya lagi pada si Naiad bernama Tzuyu itu, "Wangi aneh ini dari kau?"

"Well, begitulah. Tapi ini bukan sejenis sihir. Aku diciptakan begini. Entahlah. Semacam kelebihan aneh, ya?"

Wangi itu menyerangnya dan Mingyu menemukan dirinya tertawa gugup, "Ya, unik. Kau menarik."

Tzuyu mengangkat alisnya yang melengkung sempurna, "Aku?"

Campuran wangi dan senyuman Naiad itu membuat Mingyu sendiri pusing. Seperti dia sedang tersedot ke dalam air dan bingung apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa terus menghirup wangi itu dan merasa lebih pusing dari sebelumnya.

Tzuyu kali ini bertanya, "Kau Mingyu, kan? Raja Dunia Bawah?"

Mingyu kehilangan kata-kata dan hanya mengangguk. Dia memerhatikan bagaimana merahnya bibir Tzuyu dan juga gerak-geriknya yang teratur. Gadis itu tersenyum lagi dan pandangan mereka bertemu.

Mingyu menarik napas dan bergumam, "Kau adalah makhluk paling menarik yang pernah kutemui."

Dilihatnya Tzuyu tersipu-sipu.

.

.

.

Mingyu segera menyadari betapa dia sangat menikmati waktu yang dia habiskan bersama dengan gadis ini. Tzuyu adalah gadis yang ceria dan memiliki banyak hal yang bisa dibahas. Mingyu kagum pada sepasang mata hitam bulat yang terlihat sangat dalam dan menyenangkan. Wangi aneh di sekelilingnya itu juga mulai mempengaruhi Mingyu dan bisa dibilang mulai membuatnya nyaman sedikit.

Senyumnya juga jarang luntur, kecuali saat mereka membahas kehidupannya.

Sudut-sudut bibir Tzuyu menurun saat sosok tinggi itu melontarkan pertanyaan, "Bagaimana rasanya menghuni sungai Cocytus? Aku tidak menyangka kau bahkan masih tersenyum saat kau berada sepanjang hari bersama rintihan parah arwah?"

Ok, apakah lelucon Mingyu berlebihan? Atau apakah selera humor Mingyu memang aneh?

Butuh waktu beberapa detik sampai Naiad itu menjawab, "Well, sebenarnya tinggal di sini tidak semenyenangkan itu. Semua Naiad lain juga tidak berbeda dari Cocytus, mereka juga suram dan sebagainya."

"Kau tidak suka kesuraman?"

Pemilik bau segar itu mengangkat bahu, "Tidak. Aku bahkan berharap suatu saat nanti aku bisa tinggal di atas. Katanya di sana menyenangkan dan terang."

Mingyu terkekeh kering, "Siapa yang bilang?"

"Rintihan." Tzuyu menunjuk ke aliran sungai yang tenang.

Ini pertama kalinya Mingyu merasa kasihan, pertama kalinya dia ingin menolong.

"Kau tahu, aku bisa membawamu ke atas sana."

"Benarkah?"

Mata hitam itu berbinar saat menatap Mingyu. Mingyu merasa jiwa hitam miliknya meleleh sedikit dan kekusutan pikirannya mulai berkurang. Saat Naiad itu tersenyum, sesuatu dalam perut Mingyu bergejolak.

Mingyu tertawa gugup, "Baiklah, kapan kau mau pergi?"

Dia tersenyum dan menjawab dengan nada ceria, "Sekarang kalau boleh. Well, sebenarnya aku ingin tetap di Bawah jika kau menginginkan aku."

Butuh beberapa detik bagi Raja Suram itu untuk memikirkan apa yang diucapkan Tzuyu barusan. Saat dilihatnya Mingyu tidak menjawab, senyuman Naiad itu luntur.

Mingyu tidak mengerti, "Apa?"

Tzuyu tampak seperti melamun saat menjawab, "Mereka bilang aku bisa menjadi Ratu Dunia Bawah."

"Siapa?"

Mingyu merasa pusing dan tidak mengerti sama sekali. Kepalanya terasa berkabut dan gadis di depannya ini terlihat seperti lentera yang terang. Seluruh perhatian Mingyu hanya terpusat pada gadis itu dan juga wangi aneh yang bergulung-gulung di sekeliling mereka.

Tzuyu tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis.

Keheningan menggantung dan jauh di dalam hati Mingyu, dia tahu bahwa Tzuyu tidak akan berbicara duluan. Maka Mingyu berdeham, "Mungkin kita bisa pergi sekarang."

"Bagaimana caranya?"

Tidak ada jawaban lain yang bisa dipikirkan Mingyu, "Aku bisa menggendongmu."

Kali ini senyuman Tzuyu lebih terlihat seperti senyuman kemenangan.

.

.

.


TBC

.

.

.


Halo! Ada yang kaget tiba-tiba pename ini nongol lagi padahal baru selang dua hari?

Makasih ya yang udah review di fic Underneath, aku senang Reviewnya panjang-panjang dan unyu-unyu. Cuap-cuap gak jelas itu aja masih direview. Aku sayang kalian! :')

Ini sequelnya! Muahahahahahahha. Dan mungkin aku bakal jadiin fic ini kumpulan oneshot kehidupan dewa-dewi mereka. Nah, jadi aku buka dulu dengan ini.

Plis jangan tabokin aku karna ulah Mingyu disini.

Sebenernya sih aku gak tau kronologis kejadian di Yunani secara tepatnya itu gimana, aku gatau kejadian ini terjadi sebelum atau sesudahnya. Jadi aku cuman menimpa-nimpa cerita aja, aku cuman mencari kejadian yang cocok aja buat diceritain. Ini bahasa aku bisa dimengerti gak ya (?)

Maafkan juga keOOCan yang ada ya, entah kenapa aku selalu minta maaf karna OOC (?)

Jadi, gimana dengan chap ini?

Mind to RnR?