The Adventure of Phantomhive Youngmaster
Chapter 1
Dari seluruh kasus-kasus menarik yang ditangani oleh Sherlock Holmes, sahabatku yang berotak jenius itu, ada satu kasus yang bagi kami berdua paling mustahil dan sulit diperhitungkan oleh akal sehat manusia. Meskipun kasus-kasus lainnya juga seringkali terlihat mustahil, namun kasus yang terjadi pada akhir tahun 1889 inilah yang paling mengguncangkan jiwa karena berakhir dengan sesuatu yang amat tidak terduga. Sherlock Holmes sendiri melarangku mempublikasikan kisah ini sampai kapanpun juga, namun tidak ada salahnya aku tetap menuliskan jalannya kasus ini. Hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa di dunia ini ada pula hal-hal lain yang melebihi kekuatan manusia.
"Berhentilah menembaki dinding itu, Sherlock. Nyaris sudah tidak ada lagi jengkal dinding yang tersisa setelah habis kau tembaki. Bahkan sekarang bekasnya sudah tidak bisa membentuk pola apa-apa lagi," gumamku suatu hari setelah terkaget-kaget mendengar bunyi tembakan senjata api yang sudah sangat familiar itu, keeempat belas kalinya dalam hari ini. Aku menghampiri sahabatku yang seorang detektif termasyhur itu seraya mengulurkan secangkir teh di atas cawan. Ia mengambilnya dengan setengah hati, namun tidak langsung diminumnya teh itu.
"Bosan. Bosan sekali rasanya Inggris sekarang ini tanpa Profesor Moriarty dan kejahatan-kejahatannya yang brilian. Kalau bisa ingin sekali rasanya aku membangkitkannya dari kematian di air terjun Reichenbach," jawabnya panjang lebar. Memang sifat sahabatku satu ini akan menjadi ekstrim dan menyebalkan bila tidak ada kasus yang harus ditanganinya. Bayangkan, betapa ia hanya berbaring seharian di sofa tanpa bergerak, tanpa makan, beberapa kali menembaki dinding flat dengan revolvernya, dan betapa kerasnya aku harus berusaha agar ia tidak kembali menyuntikkan kokain ke dalam tubuhnya.
"Well, yah. Lestrade akan ganti memburumu kalau kau memang bisa melakukan hal itu," sahutku tenang seraya ikut duduk di sofa favoritku, tepat di samping sofanya, dan mulai menyesap tehku sendiri. Ia menatapku dan tersenyum.
"Jauh lebih baik daripada menganggur begini, taruhan 100 poundsterling jika aku yang menjadi buronan, Scotland Yard tak akan pernah menemukanku."
"Mmhm, aku tak ikut taruhan Sherlock. Aku yakin kau yang menang soal itu."
"Ah, bahkan kau mulai tertular Lestrade, mulai membosankan."
Aku tertawa kecil.
Sebelum aku berhenti tertawa tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Mrs. Hudson muncul dari balik pembatas ruangan dengan wajah bingung.
"Sherlock, oh Sherlock, ada tiga orang yang ingin bertemu denganmu. Mereka terlihat khawatir sekali," ujar wanita pemilik flat itu. Wajahnya juga ikut terlihat cemas. Sherlock spontan beralih ke posisi duduk yang tegak dan merapikan jubah satinnya.
"Apa mereka bertiga tidak punya kartu nama untuk diantarkan?" tanya Sherlock. menggeleng.
"Kalau begitu mereka pasti para pembantu dari keluarga Phantomhive, bukankah begitu, Mrs. Hudson?" sahabatku itu bertanya lagi, kali ini sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Wanita tua bergaun ungu itu sedikit terkejut atas pertanyaan sahabatku, namun pastilah ia sudah bisa menduga-duga darimana Sherlock bisa menyimpulkan hal tersebut. Ia hanya mengangguk saja, ekspresinya pastilah bertanya-tanya apakah ia harus mempersilakan tamu-tamu itu masuk ataukah meminta mereka pulang.
"Persilakan mereka masuk, tolong, Mrs. Hudson."
Tak sampai sedetik kemudian Mrs. Hudson langsung menghilang ke balik pintu dan terdengar langkah-langkah kakinya yang ringan dan cepat menuruni tangga.
"Well?" tanyaku, sudah pasti menuntut penjelasan.
"Sudah kubilang tadi, Watson, London, bukan, Inggris sepi dan damai akhir-akhir ini, dan satu-satunya kasus janggal yang muncul di pembicaraan para Scotland Yard adalah tentang kecelakaan kereta yang dinaiki tuan muda kelurga Phantomhive yang sangatlah aneh," jelas Sherlock panjang lebar. Ekspresi bosan kekanakannya mendadak hilang dan langsung digantikan oleh seorang pria dewasa nan berdedikasi dalam pekerjaannya. Perubahan yang sangat cepat, bahkan aku gagal melihat prosesnya.
"Tapi berita itu tidak ada di media masa," protesku, seraya langsung meraih St. James Gazette terbitan hari ini yang tergeletak begitu saja di meja kopi dan membolak-baliknya dengan cepat.
"Memang tidak ada."
Aku menurunkan koran itu dari depan mukaku seketika.
"Apa?"
"Kau dengar aku Watson. Keluarga Phantomhive adalah keluarga yang amat terpandang, keluarga itu mengelola sebuah industri mainan yang pasarnya merajai seluruh Inggris, bahkan Austria, Jerman, Prancis, serta mereka masih memiliki gelar kebangsawanan, tidaklah heran Scotland Yard menyembunyikan kasus ini dari media, meskipun di masyarakat gosip sudah banyak beredar luas, aku belum tahu detilnya– nah ini dia para klien kita datang," sambut Sherlock. Tangannya terentang ke arah pintu.
Saat itu juga masuklah seorang pria tinggi kekar yang mengenakan setelan jas khas masyarakat menengah yang semi-formal dan topi pet, matanya yang biru menyembunyikan kekhawatiran. Samar-samar aku mencium bau mesiu dari tubuhnya ketika ia berjalan, tetapi aku tidak begitu yakin. Lalu masuklah laki-laki kedua, masih sangat muda, kira-kira 15 tahun, pakaiannya sederhana tapi bersih. Dan yang ketiga adalah seorang wanita berkacamata bundar yang kecantikannya langka terlihat di London, apalagi warna rambutnya yang merah muda terang. Mereka bertiga tetap berdiri di depan sofa kami.
Pria yang bertubuh lebih besar membuka mulut dan memulai pembicaraan, "Mr. Holmes... ah, itu sudah pasti anda. Begini, kami memang hanya pembantu, tetapi kami ingin meminta tolong..."
"Tentang tuan muda Phantomhive kan?"
Mereka bertiga –seperti layaknya setiap orang yang baru saja bertemu sekian detik dengan Sherlock– langsung menunjukkan ekspresi terkejut.
"Dari mana tuan tahu?" tanya pemuda yang lebih kecil, matanya berkilau penasaran. Aku hampir saja tertawa, mereka harus membiasakan diri dengan tebakan-tebakan mengejutkan dari sahabatku ini kalau mereka berniat meminta pertolongan padanya, karena aku yakin Sherlock akan banyak sekali menemukan hal-hal yang tidak pernah diduga sebelumnya. Sherlock sendiri kelihatan cukup terkesan oleh keingintahuan pemuda itu. Ia tersenyum tipis.
"Kalian bertiga adalah golongan masyarakat menengah, dilihat dari cara kalian berpakaian. Kau adalah seorang koki, dilihat dari aroma pie yang menempel, dan juga koki yang juga mantan prajurit, persis seperti Dr. John Watson disini," ujar Sherlock, menunjuk pria yang bertubuh paling tinggi, lalu melirik padaku. Aku membalas lirikannya.
"Itu benar sekali tuan, nama saya Bard Roy."
"Sedangkan kau adalah sang tukang kebun, bekas sarung tangan wol yang tidak terbakar itu jelas terlihat, dan ada tanah yang hanya bisa ditemukan di selatan London beserta pestisida di bawah kukumu. Dan wanita ini, tentu saja yang tersisa dari pasukan pengurus sebuah mansion, adalah sang maid. Kalian masih membawa mantel kalian dan tidak langsung mencari tempat duduk, karena itu bukanlah kebiasaan kalian, dan kasus yang aku dengar baru-baru ini hanyalah kasus tentang tuan muda kalian. "
Wanita berambut merah muda itu mengangguk-angguk.
"Ah... berita yang kami dengar memang tidak salah," komentar wanita itu.
"Baiklah. Ceritakan detailnya padaku, dan aku akan membantu kalian semampuku," sambut Sherlock.
"Terima kasih, Mr. Holmes, sebelum itu kami ingin memberitahukan bahwa mungkin kami tidak bisa membayar anda dengan cukup layak, tetapi kami tidak bisa membiarkan Tuan Muda Ciel menghilang begitu saja dan tutup mata atas isu-isu tidak enak yang beredar di masyarakat," tutur Mr. Bard.
"Tidak masalah, tidak masalah. Gaji kecil hanyalah suatu bayaran murah jika dibandingkan dengan hari-hari tanpa kasus. Carilah tempat duduk yang enak dan mulailah bercerita. John, bisakah kau menolongku membuatkan teh untuk mereka bertiga? Baiklah, terima kasih, kau bisa bergabung denganku kalau kau sudah selesai."
Terburu-buru sekali aku membuatkan teh untuk mereka sebab aku sendiri penasaran ingin mendengar kasus apa yang sudah terjadi pada tuan muda mereka. Untunglah saat aku membawakan baki berisi tiga cangkir teh itu mereka baru saja akan memulai ceritanya.
"Anda sudah tahu garis besar kondisi mansion Phantomhive bukan, Mr. Holmes? Tentu saja. Tuan Muda Earl Ciel Phantomhive sekarang hanya tinggal sendiri di mansion, bersama kami bertiga, seorang pengawas rumah tangga tua, dan seorang butler bernama Sebastian Michaelis. Sejak kedua orangtua Tuan Muda Ciel meninggal dalam kebakaran, kamilah yang selalu bersama tuan muda Ciel, meskipun sudah terlebih dulu bekerja di mansion, dan ia jugalah yang merekrut kami bertiga sebagai pembantu–"
"Sejak kapan Mr. Sebastian Michaelis ini menjadi butler Earl Phantomhive, Ms. Maylene?" interupsi Sherlock mendadak terdengar. Meskipun begitu, gadis maid yang dari tadi bercerita tidak terlihat terganggu.
"Saya rasa sejak tuan muda berumur sekitar sembilan tahun, tetapi kami bertiga juga tidak begitu tahu karena tidak ada yang pernah bercerita kepada kami, dan tidak pada tempatnya pula kami bertanya. Apa hal ini penting?"
Sahabatku hanya diam saja, mengatupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu seperti yang ia biasa lakukan jika sedang berpikir.
"Tidak. Silakan lanjutkan cerita anda, Ms. Maylene."
"Mm. Baiklah, Mr. Holmes. Sehari sebelum kecelakaan itu terjadi, tanggal 26 Agustus lalu, tuan muda Ciel baru saja pulang dari perjalanan yang jauh, kami tidak tahu kemana perginya tuan muda, tapi ia pulang malam hari, dengan wajah yang lebih pucat daripada biasanya, bersama Mr. Sebastian yang juga terlihat aneh, tidak melayani tuan muda Ciel dengan tersenyum seperti biasa. Tapi sebelum kami dapat mengamati lebih jauh, mereka berdua sudah masuk ke kamar tidur tuan muda Ciel, dan tepat pukul sebelas malam, Mr. Sebastian keluar dari kamar tuan muda dan melakukan tugas malam rutinnya. Kami pun tidak berprasangka apapun. Mungkin tuan muda Ciel hanya letih melaksanakan tugasnya seharian.
Esok paginya, semua berjalan seperti biasa, saya mencuci, Finny mengurus pekarangan, dan Bard –ehem, mencoba memasak sarapan. Mr. Sebastian pun pergi membangunkan tuan muda pada pukul 8.30 seperti biasa. Tetapi beberapa saat seperti itu Lady Elizabeth, tunangan tuan muda Ciel datang. Saya sendirilah yang mengetuk pintu kamar tuan muda Ciel dan memberitahukan kedatangan Lady Elizabeth. Saya rasa kesuraman dan wajah pucat tuan muda belum menghilang pagi itu, dan ia berkata pada Mr. Sebastian yang masih ada dalam kamarnya, membawakan teh pagi, agar jadwal hari itu ia sendiri yang menentukan. Setelah itu tuan muda Ciel turun ke bawah menemui Lady Elizabeth dan saya meneruskan tugas pagi rutin saya."
Nona Maylene menghentikan ceritanya, lalu menyikut Mr. Bard yang sedari tadi hanya menunduk menatap sepatunya. Pria tinggi itu tergagap sejenak, namun dengan sigap meneruskan penuturan Ms. Maylene.
"Benar semua yang dikatakan Maylene itu, Mr. Holmes. Setelah Lady Elizabeth datang Mr. Sebastian sempat menemui kami berdua, saya dan Finnian, dan memerintahkan kami agar tetap melakukan tugas kami di belakang dan jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan pada Lady Elizabeth karena ia akan pergi sebentar mengurus sesuatu. Setelah itu ia langsung menghilang entah kemana. Sementara itu sepertinya tuan muda Ciel dan Lady Elizabeth masih asyik berdansa dan mengobrol. Setelah makan siang, Lady Elizabeth pulang, dan tuan muda Ciel mengurung diri di ruang belajar. Setelah agak sore, entahlah, sekitar pukul tiga kalau tidak salah, tuan muda Ciel memanggil saya serta Finnian dan menyuruh kami menyiapkan kereta kuda karena ia akan bepergian jauh sekali. Anehnya kali ini ia tidak memberitahu kemana ia akan pergi, padahal ketika tuan muda akan pergi ke Perancis sekalipun ia selalu memberitahu kami. Setelah kereta kuda siap kami memberitahu tuan muda dan ia langsung masuk ke dalamnya, tanpa membawa barang apapun–"
"Apapun?"
"Apapun. Hanya ia sendiri. Beberapa saat kemudian Sebastian kembali dari urusannya, entah apapun itu, dan mereka siap berangkat. Anehnya... ya, anehnya, sebelum berangkat itu tuan muda Ciel seakan memberikan mansion itu pada kami. Ia berkata bahwa kami boleh melakukan apapun pada mansion itu, bahkan kami boleh menjualnya atau membakarnya. Bukankah itu keterlaluan? Kami telah menjaga dan memelihara mansion Phantomhive sejak lama, dan sekarang kami disuruh membakarnya oleh tuan muda kami sendiri? Ia juga berkata bahwa hal itu tidaklah penting, lalu mereka berdua berangkat – sebagai kusir kereta dan tuan muda Ciel di dalamnya. Kami bertiga sangat khawatir, meskipun si pengurus rumah tangga terlihat tenang. Pada pukul 4.30 kami bertiga berlari naik ke atas bukit dekat mansion Phantomhive dan melihat kereta kuda tuan muda berjalan menjauhi mansion, melewati jalan yang biasa dilewati jika hendak menuju London. Tapi yah, begitulah. Pada tengah malam dua orang petugas Scotland Yard datang dan mengabari kami bahwa kereta kuda tuan muda menabrak pagar sebuah jembatan di selatan jauh London, tepatnya di jembatan sebelum desa Brighton, namun baik mayat tuan muda dan tidak diketemukan, itu juga kalau mereka sudah mati. Jika mereka selamat pun tidak ada yang pernah melihat mereka setelah itu. Scotland Yard pun menolak memberitahukan keterangan yang lebih jauh daripada itu. Dan sekarang kami bertiga ada di sini, meminta pertolongan anda untuk mencari tahu apakah yang sebenarnya terjadi jika mereka masih hidup, atau jika mereka memang benar telah mati, dimanakah jasad mereka berada."
"Kami bertiga sudah menganggap tuan muda sebagai saudara kami sendiri, ialah yang menyelamatkan kami dari kehidupan kejam sebelumnya, dan ia tidak pernah memperlakukan kami dengan sewenang-wenang. Tolonglah, Mr. Holmes, temukan tuan muda..." Finnian, pemuda tukang kebun itu akhirnya angkat bicara, matanya berkaca-kaca penuh kekhawatiran dan permohonan yang amat sangat.
Aku telah mendengarkan kisah mereka dengan seksama dan merasakan keganjilan besar pada akhir cerita. Tidak mungkin mayat seseorang hilang begitu saja. Aku menoleh pada Sherlock. Ia juga terlihat sibuk sendiri dengan isi kepalanya.
"Menarik. Sangat menarik. Tidak, sementara ini aku belum ada lagi pertanyaan untuk kuberikan, tetapi sudah barang tentu aku akan menerima kasus ini tuan-tuan dan nona," ujar Sherlock. Bibirnya tertarik ke atas, ekspresinya berubah lagi, mirip seorang anak laki-laki yang menemukan mainan baru.
"Baiklah kalau begitu, Mr. Holmes, dan tuan–"
"Watson, John Watson," sahutku cepat.
"Mr. Watson. Kami mohon diri. Akan kami kabari lagi kalau ada perkembangan apapun. Dan anda akan kami terima dengan baik jika kelak anda berniat untuk menyelidiki mansion Phantomhive. Terima kasih atas kesediaan tuan."
Mereka bertiga menunduk dalam-dalam dan meninggalkan ruang tamu kami. Baru setelah suara langkah mereka tidak terdengar lagi aku sadar bahwa teh yang kusajikan untuk mereka sama sekali tak tersentuh. Sherlock mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil salah satu cangkir teh itu dan menyesapnya meskipun aku yakin teh itu sudah dingin sekarang.
"Mereka benar-benar khawatir John."
Aku mengangkat bahu. "Yah, sepertinya aku bisa melihatnya. Kau ingin pergi ke mansion Phantomhive dulu? Atau ke Scotland Yard? Atau jembatan tempat kecelakaan itu terjadi?" tanyaku. Dari kebiasannya aku menyimpulkan tempat-tempat itulah yang selalu didatangi pertama kali oleh sahabatku, maka dari itu aku lumayan dibuatnya bingung ketika ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak setuju.
"Bukan ketiganya, John yang baik. Pertama-tama aku harus mengirimkan suatu telegram kilat dulu sebelum memulai penyelidikan lainnya. Nah, tolong panggilkan kurir, sementara itu aku akan menulis telegram tersebut," pintanya seraya beranjak ke ruang belajar untuk menulis telegram. Aku pun bangkit dari sofaku yang biasa dan bergegas keluar flat untuk memanggilkan petugas yang ia maksud, namun aku terperanjat ketika sesosok pria tua menghalangi pintu masuk flat kami, tangannya sudah dalam posisi hendak mengetuk pintu ketika aku membukanya.
"Oh. Maaf, saya tidak melihat tuan," ujarku, mengingat nyaris saja daun pintu yang kubuka mengenai wajahnya. Namun ia hanya tersenyum ramah dan bertanya padaku.
"Apakah Mr. Sherlock Holmes ada di dalam?"
"Tentu saja. Ia sedang menulis surat. Tapi mungkin ia mau menerima anda. Saya bisa membawakan kartu nama anda padanya," tawarku. Kuamati dia, pria tua itu berumur kira-kira 60 tahun, berambut abu-abu yang disisir rapi ke belakang, kacamata monokel, dan setelan jas hitam bergaya klasik.
"Katakan saja padanya, saya Tanaka, pengurus rumah tangga mansion Phantomhive," jawabnya pendek. Entah sudah keberapa kalinya aku terkejut pada hari ini, sehingga tanpa pikir panjang aku mempersilakannya masuk dan memanggil Sherlock.
"Anda..." gumam Sherlock begitu ia masuk ke dalam ruang tamu dan melihat pria tua itu.
"Saya Tanaka, pengurus rumah tangga Phantomhive. Dan kunjungan saya tidak akan lama karena saya hanya meminta satu hal kepada anda, Mr. Holmes , sir. Tolong jangan teruskan permintaan ketiga pelayan Phantomhive yang lain untuk menyelidiki perihal kecelakaan dan hilangnya Earl Ciel Phantomhive. Hanya itu saja," tukasnya tegas dan tanpa ragu-ragu. Sama seperti ketiga pelayan yang tadi berkunjung, ia juga hanya berdiri begitu saja di depan kami berdua. Yang menarik kulihat adalah bahwa Sherlock sama terkejutnya sepertiku.
"Mengapa anda meminta hal seperti itu? Tidakkah anda juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kecelakaan misterius itu sama seperti ketiga pelayan tadi?" tanya detektif konsultan satu-satunya di dunia itu. Namun Mr. Tanaka menggeleng.
"Saya tidak tahu, Mr. Holmes, namun sebaiknya saya tidak tahu, dan begitu pula anda. Karena masalah ini akan membawa anda ke suatu area yang sama sekali tidak anda mengerti, apalagi kuasai," terang pengurus rumah tangga tua itu. Meskipun sudah tua namun matanya memancarkan keyakinan dan kepercayaan.
"Anda mengancam saya?" sergah Sherlock.
"Sama sekali tidak. Saya justru memperingatkan anda agar tidak menghadapi bahaya yang tidak perlu. Permisi, saya harus kembali ke mansion," ia membungkuk sopan, dan pergi berlalu begitu saja.
"Tidak mungkin. Kasus ini menjadi semakin aneh saja. Tolong kirimkan telegram ini, John, dan sementara itu aku akan memikirkan tindakan selanjutnya di sini. Kukira kau akan lebih tahan menghadapi udara musim gugur ini daripadaku, John," ujarnya.
"Baiklah. Kau mau kubelikan bagel panas selagi aku keluar?" tanyaku sebelum mengambil telegram yang ia tulis tadi dari meja di sebelah sofanya. Ia tidak menjawab. Begitu aku menoleh, ternyata ia sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Aku menghela napas dan berangkat mengeposkan telegram itu.
Malam harinya Sherlock Holmes belum melakukan penyelidikan apa-apa. Ia masih berpikir saja di sofa usangnya yang nyaman di depan perapian flat kami. Mungkin masih memikirkan beberapa kasus sederhana yang ia terima sebelum ketiga pembantu Mansion Phantomhive datang menemui kami. Lalu esok harinya aku sama sekali tidak mengunjungi Baker Street dikarenakan kesibukanku sebagai dokter praktik yang menyita waktu, meskipun begitu, sore harinya datang sepucuk telegram yang dialamatkan untukku dari Sherlock yang isinya memintaku agar datang saat itu juga ke 221B. Aku menebak hal ini ada kaitannya dengan kasus Phantomhive itu sehingga aku bergegas berpamitan dengan istriku dan berangkat ke Baker Street.
Ketika aku sampai di sana, sahabatku Sherlock Holmes sudah berdiri di depan tangga, mengenakan jubah tebal dan topi penahan angin musim gugur. Meskipun terlihat agak pucat, namun wajahnya memancarkan semangat yang tidak dibuat-buat.
"Wah wah, Watson. Rupanya kau terburu-buru berangkat ke sini sehingga tidak sempat memilih kereta kuda dan malah menggunakan jasa tukang kereta yang masih muda dan belum berpengalaman sehingga terlambat tujuh menit, oh, dan hampir saja jatuh ke lubang jalan yang cukup besar di New Cavendish Street," sapanya panjang lebar.
Aku mengernyitkan mataku, mencoba menebak-nebak darimana Holmes bisa menyimpulkan itu semua. Bahkan setelah sekian tahun menjadi rekannya pun aku masih agak belum terbiasa mengikuti jalan pikirannya yang secepat kereta api itu.
"Bagaimana- oh sudahlah. Apa kita akan mulai menyelidiki kasus Phantomhive itu?" aku bertanya penasaran seraya berusaha memegangi topi yang memang tidak cocok dipakai dalam cuaca berangin seperti itu. Ia mengangguk.
"Kita akan mengunjungi Phantomhive Manor."
"Sekarang?"
"Ditambah waktu perjalanan maka kita akan sampai di sana pada malam hari. Lalu kita akan menginap di penginapan di dekat sana. Sebab menurutku, kita akan membutuhkan banyak waktu untuk berkeliaran di sekitar Manor demi memecahkan misteri yang tidak sesederhana kelihatannya ini. Ayo kita berangkat sekarang, Watson. Lebih cepat kita meninggalkan tempat berangin ini, lebih baik," ujarnya cepat. Kemudian ia memanggil salah satu kereta kuda yang akan membawa kami ke stasiun.
Sesampainya di stasiun Surrey Hills ternyata kami sudah dijemput oleh Mr. Bard Roy yang mengendarai kereta kuda. Bisa kulihat aura militer yang tak asing bagiku, karena aku sendiri mantan prajurit perang yang pernah bertugas di Afghanistan. Meskipun begitu wajahnya yang ramah menyambut kami dan mempersilakan kami untuk masuk ke dalam kereta.
"Selamat malam, Mr. Holmes, kami baru saja menerima telegram Anda. Wah, meskipun Mr. Tanaka terlihat tidak begitu senang akan kedatangan Anda namun Anda akan tetap diterima dengan baik di Phantomhive Manor," pria berambut pirang pendek itu menghela kereta kuda dengan bersemangat, sementara aku dan Holmes justru agak menggigil kedinginan mengingat angin yang lebih kencang di pinggiran kota seperti ini.
"Terima kasih Mr. Bard. Kami hanya akan melihat-lihat sebentar dan untuk malam ini kami akan menginap di penginapan saja," tolak Sherlock halus.
"Yah, baiklah, terserah pada kalian saja jika kalian merasa nyaman begitu. Kami hanya ingin kasus ini selesai. Ah- tapi jangan ragu-ragu untuk bertanya atau meminta bantuan pada kami jika memang diperlukan."
Sisa perjalanan menuju Phantomhive Manor bisa dibilang agak menakutkan, jika tidak mau dibilang membosankan. Hanya derap kaki kuda yang menapak jalan berkerikil yang menemani perjalanan kami. Kegelapan dan hawa dingin serta angin yang menekan agak menyerupai keadaan di rawa Dartmoor, tempat sebuah kasus yang amat mengerikan pernah terjadi. Lampu minyak di sisi kereta menerangi sisi jalanan dengan pendar kekuningan lemah. Bisa kulihat di sisi jalanan terdapat sungai kecil yang menggenangi reruntuhan-reruntuhan kecil bangunan, juga tanaman-tanaman yang tumbuh dengan liar. Aku menoleh pada sahabatku. Ternyata ia sedang mengamati reruntuhan-reruntuhan itu dengan ketertarikan lebih.
"Katakan padaku, Mr. Bard, apakah sebelumnya pernah terjadi kebakaran besar di daerah ini?" tiba-tiba sahabatku yang berwajah tirus itu bertanya dengan antusias kepada Mr. Bard yang masih sibuk dengan kendali kuda.
"Ah, benar sekali perkiraanmu itu, Mr. Holmes. Dan bukan hanya sekedar kebakaran besar biasa saja, namun Phantomhive Manor itu sendirilah yang terbakar habis sekitar tiga tahun lalu. Phantomhive Manor yang akan Anda kunjungi sekarang ini adalah bangunan baru yang dibangun setelah bangunan mansion yang lama terbakar. Reruntuhan-reruntuhan yang anda lihat di sekitar sini adalah sisa-sisa bangunan malang tersebut," koki itu menjelaskan panjang lebar.
"Apakah kebakaran itu terjadi sebelum kalian direkrut oleh keluarga Phantomhive?"
"Ya. Kami bertiga mulai bekerja di mansion baru. Tapi lucu sekali yang anda katakan, Mr. Holmes, sebab Tuan Muda Ciel hanyalah sebatang kara saja dalam keluarga Phantomhive saat itu, sedangkan yang merekrut kami bertiga adalah Mr. Sebastian sendiri," timpal Mr. Bard.
Aku hanya diam saja mendengarkan percakapan ini. Sherlock pastilah sudah mencurigai adanya sesuatu yang tidak beres, bisa kulihat dari raut mukanya yang berubah keras.
"Tetapi sebaiknya kita bicarakan saja di dalam mansion, Mr. Holmes dan Mr. Watson, kita sudah sampai, dan angin dingin ini membuat otakku tidak bisa berpikir."
Koki yang kelihatannya seorang perokok berat itu mempersilakan kami turun di sebuah bangunan megah yang tampak mencolok di tengah-tengah kegelapan pedesaan. Terletak tepat di atas sebuah bukit kecil, mansion ini bagaikan sebuah kastil pertahanan pada abad pertengahan. Sulit dipercaya bahwa sampai beberapa minggu yang lalu pemilik mansion sebesar ini adalah seorang anak yang bahkan belum menginjak masa remajanya, namun sudah berhasil mengelola industri mainan yang merajai Inggris. Di bagian depan mansion terdapat sebuah taman labirin indah yang berpusat pada sebuah air mancur dari pualam putih. Sementara hanya sebagian kecil dari jendela-jendela mansion yang memancarkan cahaya dari dalam, sedangkan yang lainnya gelap.
Kami mengikuti Mr. Bard masuk melalui pintu utama, langsung melewati lobi depan, tidak diragukan lagi tempat dilangsungkannya pesta-pesta dansa para bangsawan, dan langsung menuju ruang tamu. Di sana Ms. Maylene sudah menunggu dengan kereta makanan berisi kue-kue dan cangkir-cangkir berisi teh panas yang mengepul. Mr. Finnian juga berdiri di samping Ms. Maylene, jari-jari bersarung tangan wol kasarnya memainkan topi jerami dengan gugup. Mr. Bard mempersilakan kami duduk.
"Nah, terima kasih atas tehnya, Ms. Maylene. Nyaman sekali bukan akhirnya bisa duduk di dekat perapian pada malam yang dingin seperti ini, Watson? Saya langsung saja perihal kedatangan saya ke mansion ini. Saya ingin diijinkan untuk mengamati beberapa hal di rumah ini, dan mungkin setelah itu menanyakan beberapa hal lagi kepada kalian," tanpa basa-basi sahabatku itu langsung mengutarakan apa yang ingin ia lakukan untuk mengumpulkan data demi penyelidikannya.
"Tentu saja Mr. Holmes, secara resmi mansion ini telah dihibahkan kepada kami, para pelayannya, dan anda dipersilakan untuk memeriksa bagian manapun," kali ini Ms. Maylene yang angkat bicara.
"Termasuk kamar Earl Phantomhive muda dan kamar Mr. Sebastian juga?"
"Semuanya kami serahkan pada anda, meskipun di kamar Sebastian tidak ada apa-apa dan tidak ada yang berubah juga di kamar Tuan Muda Ciel," ujar pelayan wanita itu agak ragu. Bisa kulihat mereka bertiga begitu berdedikasi pada tuannya, jika tidak mana mungkin ketiga orang yang diwarisi mansion sebesar ini secara legal memilih tetap menjadi pelayan demi menjaga satu-satunya peninggalan keluarga Phantomhive?
"Benarkah itu? Tidak ada yang berubah? Baiklah akan kulihat sendiri kamar-kamar itu."
Ucapan terima kasih serentak terdengar.
Tidak sampai beberapa menit kemudian aku dan Sherlock Holmes telah berjalan mengikuti Ms. Maylene yang membawa kami mengelilingi mansion, sesuai permintaan sahabatku yang ingin melihat denah keseluruhan dari mansion bangsawan itu. Sesuai dugaanku bahwa bangunan mansion tersebut memang luas sekali, diperlengkapi dengan perpustakaan pribadi, ruang kerja untuk sang tuan muda, ruang makan yang mewah dan ruang duduk, meskipun kamar-kamar tidur kosong kebanyakan mendominasi isi bangunan. Terlihat sekali bahwa mansion ini didekor dengan selera yang amat tinggi, sebab hanya perabot-perabot mewah dan mahal sajalah yang kulihat. Serta di salah satu ruang kerja aku melihat tumpukan mainan dan makanan ringan berlogo Phantomhive, terdiri dari permen-permen mahal, boneka-boneka binatang yang terbuat dari kain mahal, juga miniatur prajurit-prajurit perang dan set catur berkilauan.
"Wah, wah, Earl Ciel Phantomhive muda ini memang pandai mengurus bisnis keluarga, ya. Bayangkan anak semuda itu sudah berhasil mengontrol pabrik besar dan mendapatkan keuntungan besar. Coba lihat ini, Watson," detektif konsultan itu mengambil sebuah boneka kelinci dari tumpukan mainan di atas karpet dan menyerahkannya padaku. Aku mengamatinya dengan seksama.
"Kain katun impor Mesir dipadukan dengan sutra Persia, terbaik di dunia. Tentu saja, semua orang tahu bahwa mainan Phantomhive Co. adalah yang terbaik sekaligus yang termahal di Inggris, Sherlock, impian masa kecil setiap anak," ujarku seraya mengingat-ingat bahwa toko mainan di Northumberland selalu penuh oleh anak-anak yang merengek pada orangtuanya setiap kali ada produk Phantomhive yang diluncurkan ke pasaran.
"Benar, tuan-tuan. Mainan-mainan ini adalah contoh produk dari pabrik yang dikirimkan untuk diperiksa terlebih dulu oleh Tuan Muda Ciel. Hanya produk yang ia setujui saja yang boleh dibuat secara massal dan dijual ke pasar," terang Ms. Maylene.
"Memang dibutuhkan seorang anak untuk membuat mainan, bukan begitu?"
Kemudian kami memeriksa kamar Mr. Sebastian Michaelis. Seperti kata ketiga pelayan itu, di kamar ini sama sekali tidak ada sesuatu yang aneh. Kamar sederhana biasa seperti layaknya kamar seorang pelayan. Namun sahabatku justru mengeluarkan kaca pembesarnya dan mulai meneliti hampir seluruh bagian ruangan itu dengan seksama, mulai dari tempat tidur, lemari pakaian, baskom air, jendela yang ternyata menghadap ke taman belakang, dan meja kecil di samping tempat tidur. Setelah puas ia kemudian kembali keluar dari kamar itu dan bertanya pada maid yang mengantarkan kami berkeliling.
"Sungguh menarik sekaligus agak membingungkan, kondisi kamar ini. Apakah Ms. Maylene yang biasanya membereskan kamar ini?"
"E-eh... tidak, Mr. Holmes. Tidak ada seorangpun dari kami bertiga yang berani memasuki kamar ini. Mr. Sebastian pun biasanya tidak pernah meninggalkan kamar ini dalam keadaan tidak terkunci, kecuali sekarang ini," jawab wanita berambut merah muda terang itu.
"Lalu apa ada yang menyentuh kamar ini setelah kecelakaan itu?"
"Sama sekali tidak ada, tuan. Begitu juga kamar tuan muda."
"Kalau begitu mari kita sekarang mengunjungi kamar Earl Phantomhive muda," ujar sahabatku dengan wajah gembira seperti biasanya jika ia menerima suatu kasus yang menarik.
Kemudian kamipun menuju ke sayap kiri mansion tersebut. Setelah melalui lorong yang dibiarkan kosong tanpa hiasan lukisan seperti yang lazimnya dilakukan oleh keluarga keturunan bangsawan untuk mendekorasi rumah, kami tiba di depan sebuah pintu besar. Ms. Maylene mengeluarkan kunci dari saku celemeknya dan membuka kamar itu. Kosong dan sepi. Ya, kosong dan sepi serta suram adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan ruangan itu. Meskipun status sang pemilik kamar yang adalah seorang putra bangsawan kaya, pemilik industri mainan terkemuka, dan sekaligus seorang anak yang belum beranjak dewasa memungkinkannya untuk mengatur kamar ini sesuai dengan keinginannya sendiri, namun ini terlalu- kosong.
Four-poster bed bertirai ungu yang telah agak berdebu dan lemari pakaian besar yang terbuat dari kayu serta meja teh kecil di samping ranjang pada bayanganku jelas tidak cocok bagi Earl Phantomhive. Mungkin bangsawan muda ini memiliki gaya hidup yang lebih sederhana daripada yang sempat kukira.
Sherlock Holmes pun mengernyitkan mata.
"Apakah ada barang yang menghilang dari kamar ini, Ms. Maylene? Barang berharga misalnya?"
Ms. Maylene menggeleng pelan, lalu beranjak ke lemari pakaian besar di sudut kamar dan membukanya, memperlihatkan setelah-setelan berukuran kecil yang elegan dan terbuat dari bahan yang mahal.
"Sama sekali tidak ada. Saya hapal semua setelan yang dimiliki oleh Tuan Muda Ciel, bahkan termasuk gaun muslin merah muda yang dipakainya dalam sebuah kesempatan yang agak aneh, namun tidak ada yang menghilang kecuali satu setel tuxedo resmi berwarna hitam yang dipakai Tuan Muda saat kepergiannya hari itu... Oh!" maid itu menjerit pelan, seakan teringat sesuatu. Lalu ia menyeberangi ruangan dan memeriksa laci meja teh di samping ranjang dengan terburu-buru diikuti oleh sahabatku.
"Cincin itu! Cincin itu tidak ada! Tuan Muda Ciel membawanya!" seru Ms. Maylene setelah mengaduk-aduk isi laci.
"Cincin?" aku bertanya bingung.
"Cincin yang saya maksud adalah cincin perak bertatahkan safir biru yang amat indah dan besar yang selalu dipakai Tuan Muda Ciel di saat-saat penting. Dalam kesehariannya cincin itu biasanya tidak ia pakai dan disimpan di dalam laci ini," jelas wanita itu.
"Apakah cincin itu memiliki arti khusus?" tanya Sherlock lebih lanjut.
"Ya, tentu saja. Cincin itu adalah simbol dari keluarga Phantomhive, diwariskan turun-temurun pada pewaris sah keluarga. Dan... saya kira ada satu benda lagi yang hilang dari kamar ini. Saya memang tidak memperhatikannya sebelumnya, tapi ketika Mr. Holmes bertanya..."
Nona itu menunjuk ke samping meja teh.
"Tongkat jalan berhiaskan kepala anjing yang juga khas milik keluarga Phantomhive. Tongkat itu juga ikut dibawa oleh Tuan Muda Ciel. Ya... ya... saya baru ingat tentang tongkat itu."
Holmes bergumam perlahan. "Baiklah. Hal itu bisa berarti sesuatu namun juga bisa tidak berarti apa-apa," ujarnya singkat, dan sejenak kemudian ia sudah tenggelam lagi dalam pikirannya sendiri.
Penyelidikan kami hari itu selesai tepat pukul sebelas malam, ketika sahabatku minta diantarkan ke penginapan The White Swan di desa terdekat dari pedalaman Surrey yang sepi itu. Kami sudah hendak keluar dari pintu depan ketika tiba-tiba Mr. Tanaka keluar turun dari tangga dan menghampiri kami.
"Wah wah, Mr. Sherlock Holmes yang termasyhur. Harusnya dari reputasi Anda saya sudah bisa menebak bahwa anda tidak akan meninggalkan kasus ini meskipun sudah diminta baik-baik," kata pelayan tua berwajah bijak itu pada kami. Bisa kudengar sedikit sindiran dalam nada suaranya. Hal ini membuatku sedikit menaruh kecurigaan padanya. Apakah dialah dalang sesungguhnya dibalik kecelakaan misterius ini?
"Ah, Mr. Tanaka, tentunya anda bukan asli orang Inggris ya, namun aksen Anda sempurna sekali, namun tolong maklumi saja bahwa membongkar kasus seperti ini merupakan suatu kemewahan bagi saya, dan jujur saja, kemewahan seperti itu akhir-akhir ini sudah langka didapatkan," jawab Holmes panjang lebar. Sepertinya meskipun ia dalam keadaan cacat sekalipun kasus ini tak akan pernah ia lepaskan, begitulah sifat sahabatku itu.
"Baiklah. Saya mengerti bahwa alasan anda melakukan penyelidikan ini adalah karena murni rasa penasaran dan tidak ada maksud tidak baik yang tersembunyi di baliknya. Oleh karena itupun saya tidak akan mengganggu Anda. Namun ada satu yang harus Anda camkan baik-baik, Mr. Holmes yang terhormat..." pria tua itu mencondongkan tubuhnya untuk berbisik tepat di telinga sahabatku. "Bahwa 'musuh' yang Anda cari kali ini mungkin bisa lebih buruk daripada Mr. James Moriarty."
Sherlock Holmes terkesiap.
"Darimana Anda mendengar tentang Profesor Moriarty?" tanyanya setelah hilang rasa terkejutnya. Jarang-jarang aku melihatnya seterkejut ini, dan mengingat bahwa nama sang konsultan kriminal itu tidak diketahui banyak orang kecuali di kalangan dunia hitam, wajarlah bila ia terkejut ketika nama itu disebutkan oleh seorang pelayan biasa. Ya, Profesor Moriarty, otak dari hampir seluruh kejahatan yang luar biasa di London, dengan jaringan yang tersebar layaknya jaring laba-laba yang mencengkeram mangsa tanpa ada satu kesempatanpun untuk kabur, laki-laki jenius yang sekarang jasadnya telah tertidur di air terjun Reichenbach di Swiss berkat jasa dan pengorbanan Holmes yang luar biasa berdedikasi.
Dan sekarang Mr. Tanaka sang kepala pelayan membicarakan kriminal yang lebih buruk dari Profesor Moriarty? Ooh, aku tidak bisa membayangkan apa yang berkecamuk dalam kepala sahabatku.
Berlawanan dengan ekspresi Holmes yang mendadak bersemangat dan agak menuntut, Mr. Tanaka justru melangkah mundur dan tersenyum misterius.
"Itu adalah misteri lain yang harus Anda pecahkan sendiri, Mr. Holmes. Bukankah Anda suka misteri?" ujarnya sambil membungkuk dalam-dalam dan meninggalkan kami di ruang depan.
Sejenak Sherlock terdiam.
"Wah wah, semakin membingungkan saja misteri ini jadinya, Watson. Ayo kita ke penginapan dan beristirahat agar esok pagi bisa kita manfaatkan untuk memeras otak memikirkan kasus ini," ajaknya seraya mengambil mantel dan berjalan menuju ke kereta kuda yang telah menunggu kami di halaman.
"Aku jadi mencurigai kepala pelayan tua itu," komentarku begitu kami sudah berada di udara luar.
"Nah, tapi kita tidak bisa apa-apa sebelum kita mendapatkan data-data baru, sobat. Namun sama denganmu, aku juga mau tidak mau jadi ikut mencurigai Mr. Tanaka. Terutama tentang pengetahuannya akan Profesor Moriarty. Beberapa pejabat Scotland Yard saja bahkan tidak tahu menahu tentangnya."
"Sepertinya besok akan menjadi hari yang sibuk," aku menggumam seraya merapatkan jubah untuk melawan angin malam.
"Ya. Jembatan tempat kecelakaan itu akan menjadi tujuan kita esok pagi. Istirahatlah yang baik, Watson, bisa apa aku tanpa penulisku?"
Bersambung.
(a/n : Saya sepertinya harus memberikan catatan bahwa semua tempat dan nama daerah yang saya cantumkan di fanfiksi ini ada yang memang fiksi dan memang eksis di dunia nyata, tetapi meskipun nama-nama tempat yang saya cantumkan, misalnya Surrey, New Cavendish Street, dll memang ada, namun saya tidak yakin bahwa penggunaan saya sudah tepat. Terutama karena saya tidak menemukan keterangan tentang nama daerah tempat Mansion Phantomhive berada. Oleh karena itu jika ada yang bisa memberikan keterangan lebih akan saya terima dengan senang hati. Lalu timeline di fanfiksi ini juga agak saya ubah, karena kasus Ciel ini terjadi pada tahun 1889 sementara Profesor James Moriarty baru meninggal di air terjun Reichenbah pada kasus The Final Problem tahun 1894.)
