Genre: romance
Pairing: Yunjae (genderswitch)
Rating: M
Disclaimer:
Saya hanya meminjam nama pemeran. Cerita ini hanya fiktif, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
My Workaholic Wife
Dua tahun sudah aku menikahinya. Ia masih secantik dulu saat kunikahi. Ia memang sangat cantik. Ia adalah wanita tercantik yang pernah kutemui. Jiwaku seakan melayang meninggalkan ragaku saat pertama kali aku melihatnya. Ya, aku jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama.
Kami berdua dijodohkan. Ia adalah putri dari kenalan ayahku. Saat itu usianya tiga puluh tahun, sedangkan aku 28 tahun. Ia dua tahun lebih tua dariku.
Istriku itu adalah wanita yang sangat dingin dan serius. Ia adalah seorang wanita pekerja keras. Ia sangat ambisius dalam menjalani karirnya.
Istriku sudah menjabat sebagai manajer di perusahaan tempatnya bekerja, sedangkan aku hanya bekerja sebagai karyawan biasa. Kadang-kadang aku merasa tidak percaya diri untuk bersanding dengannya, tetapi aku mencoba untuk selalu berpikir positif.
Istriku bernama Kim Jaejoong. Ia sangat cerdas, lulusan luar negeri. Tak heran karirnya menanjak dengan cepat.
Sebenarnya aku ingin istriku tinggal di rumah saja, menjadi ibu rumah tangga. Namun, aku tidak bisa melarangnya berhenti bekerja. Ia memiliki potensi. Aku tidak ingin potensinya itu menjadi sia-sia. Selain itu, ia juga memang tidak ingin berhenti bekerja. Syarat yang ia ajukan untuk menikah denganku adalah aku tak boleh mengekangnya. "Aku tidak akan melarangmu melakukan semua kegemaranmu atau mencampuri urusan pribadimu. Kau pun tidak boleh mengekangku atau pun melarangku untuk melakukan apa pun yang kuinginkan."Saat itu aku terlalu menginginkannya, sehingga aku menyetujui syarat apa pun yang ia ajukan. "Jika kau ingin berselingkuh, aku pun tidak akan melarangmu, selama hal itu tidak merugikanku." Tak mungkin aku berselingkuh, meskipun ia mengizinkannya. Hanya dialah yang kuinginkan.
Hubungan kami memang dingin, sama sekali tidak romantis. Jika kalian bertanya apakah ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri, jawabannya ya. Ia adalah manajer yang sangat handal. Ia mengurus urusan rumah tangga dengan sangat baik. Karena ia adalah seorang wanita karir, kami memperkerjakan asisten rumah tangga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Akan tetapi, tetap saja istriku memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Ia harus yakin bahwa aku makan dengan baik, makanan yang kumakan sehat dan sesuai dengan seleraku, pakaianku dicuci dan diseterika dengan baik. Ia sangat tahu makanan apa saja yang kusukai. Untuk urusan ranjang, ia juga melakukannya dengan sangat baik. Aku puas memiliki istri sepertinya.
"Sayang, aku ada rapat malam ini. Aku akan pulang sangat terlambat." Ia tampak sangat terburu-buru. "Kau lanjutkan saja sarapanmu. Aku harus pergi sekarang."
Piringku masih setengah penuh. Aku masih belum selesai sarapan. Aku melambaikan tanganku kepadanya. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, ia sudah pergi.
Ruang makanku terasa sepi. Aku melanjutkan sarapanku sendirian. Aku ingin ia menemaniku. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kehilangan nafsu makanku. Namun, aku harus menghabiskan makananku. Makanan ini terasa sulit untuk kutelan.
.
.
.
Dengan malas aku pergi ke kantor. Aku terus memikirkan hubunganku dengan istriku. Aku ingin menghabiskan waktu berduaan dengannya, bermesraan dengannya. Kemesraan kami hanya sebatas di tempat tidur. Keluar dari kamar, ia terasa sangat dingin. Aku bahkan tidak berani memegang tangannya saat kami sedang menonton televisi. Tidak ada obrolan hangat saat makan bersama, hanya basa-basi menanyakan kabar dan pekerjaan. Aku merasa ada garis yang membatasi kami. Aku tak bisa menyeberang memasuki wilayahnya. Ia tak suka aku mencampuri urusannya.
Aku ingin pergi berlibur dengannya, hanya kami berdua, bersenang-senang. Aku tersenyum getir membayangkannya. Mana mau ia pergi berlibur. Pada akhir pekan pun ia menghabiskan waktunya untuk bekerja di rumah.
.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, istriku belum pulang juga. Apa aku harus meneleponnya? Akan tetapi, bagaimana jika ia sedang rapat? Aku khawatir aku akan mengganggunya. Aku benar-benar merasa gelisah.
Aku pun mengirimkan pesan kepadanya.
Apa rapatmu di kantor? Aku akan menunggumu di tempat parkir kantormu.
Jika kau berada di tempat lain, tolong kabari aku setelah kau selesai. Aku akan datang menjemputmu ke sana.
Ia tidak membaca pesanku. Ia pasti masih rapat.
.
.
.
Aku menunggu di tempat parkir. Sekarang hampir pukul sebelas malam. Ia belum muncul juga atau pun membaca pesanku. Mengapa rapatnya lama sekali? Aku mulai berpikir macam-macam. Apa kutelepon saja?
Terjadi peperangan dalam batinku. Aku ragu apakah aku harus meneleponnya atau tidak. Aku sangat khawatir, tetapi aku juga takut mengganggunya.
Saat aku sedang bimbang, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku merasa sangat lega saat ia meneleponku. "Aku baru saja selesai. Aku akan segera turun."
Aku menunggunya dengan sabar. Aku benar-benar merindukannya.
"Maaf, aku telah membuatmu menungggu." Raut wajahnya terlihat lelah. "Padahal kau tidak perlu repot-repot menjemputku. Aku bisa pulang sendiri."
Aku tidak menghiraukan ucapannya. "Apa kau sudah makan?" Aku mengkhawatirkannya.
"Hah? Apa?" Tampaknya ia terlalu lelah, sehingga ia kehilangan konsentrasi. "Oh, belum. Apa kau sudah makan?"
"Bagaimana bisa aku makan jika aku mengkhawatirkanmu?" Aku menarik lengannya dan memaksanya masuk ke dalam mobil. "Kita cari makan sekarang."
Ia terhenyak. Mungkin ia sama sekali tidak mengira bahwa aku akan menjemputnya. Selama ini aku selalu membiarkannya pulang jam berapa pun.
"Kau ingin makan apa?" Aku memecah kesunyian.
"Terserah kau. Aku bisa makan apa saja." Saat ia mengatakan 'terserah', itu artinya memang terserahku. Jika ia menginginkan sesuatu, ia akan mengatakannya dengan jelas. Ia tidak seperti wanita lain.
"Ini sudah larut malam. Aku tidak yakin masih banyak tempat makan yang buka," kataku.
"Kalau begitu, kita makan yang ada saja, apa pun yang bisa kita temui," sahutnya. Ia memang berbeda. Ia tidak memilih-milih makanan.
Aku mengendarai mobil dengan pelan, mencoba mencari warung makan yang masih buka. Entah mengapa aku merasa senang saat ini. Boleh kan aku menganggap ini kencan? Aku tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahku.
Suasana di dalam mobil sangat canggung. Tidak ada di antara kami yang berbicara. Ia tampak lelah. Aku tak ingin mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Ia bersandar pada jok mobil dan memejamkan matanya. Sepertinya ia memang sangat kelelahan. Ia bekerja dari pagi buta hingga larut malam.
Aku hanya bisa mencuri pandang ke arahnya sesekali, menikmati kecantikan wajahnya. Aku masih harus memperhatikan jalanan dan menemukan warung makan yang masih buka.
Setelah hampir setengah jam mencari, akhirnya aku menemukan sebuah warung ramyun di pinggir jalan yang masih buka. Hanya tinggal dua orang pelanggan yang makan di sana.
Aku menepikan mobilku. Dengan ragu aku menepuk-nepuk lengan istriku. "Jae Sayang, ayo bangun! Ayo kita makan!"
Perlahan ia membuka matanya. Ia mencoba untuk mengumpulkan kesadarannya. Jantungku berdetak kencang saat ia tiba-tiba tersenyum kepadaku.
Aku membantunya keluar dari mobil. "Kita makan ramyun saja ya."
Ia mengangguk pelan. Masih terlihat kantuk di wajahnya.
Kami memesan dua mangkuk ramyun. Tidak perlu menunggu lama, pesanan kami datang. Ah, aku sudah sangat lapar. "Kau tidak sedang berdiet, bukan?"
Ia mulai memakan ramyunnya. "Tidak, aku tak pernah berdiet."
"Oh," komentarku. Baguslah, aku tak akan merasa bersalah mengajaknya makan ramyun tengah malam.
Ia tampak mengantuk dan memakan ramyunnya dengan pelan. Sepertinya ia lebih menginginkan untuk tidur daripada makan.
"Apa kau tidak menyukai ramyunnya?" tanyaku hati-hati.
"Ramyunnya enak, hanya saja aku sangat mengantuk," jawabnya.
Aku merasa sedikit tidak enak. Seharusnya aku langsung membawanya pulang saja. "Kalau begitu, kita pulang sekarang."
"Ah, tidak!" Ia mencegahku untuk berdiri. "Kau lanjutkan saja makan. Kau pasti sangat lapar."
"Aku bisa membungkusnya dan melanjutkan makan di rumah," kataku.
Ia menggeleng. "Ramyunnya akan dingin jika kau membawanya pulang."
"Baiklah." Aku tak bisa menentang perkataan istriku. Aku pun kembali memakan ramyunku.
Ia juga kembali memakan ramyunnya sedikit demi sedikit. Aku tahu ia juga merasa lapar.
Istriku adalah orang yang sangat menghargai makanan. Ia menghabiskan ramyunnya tanpa sisa. Ia tahu betapa sulitnya mencari uang untuk membeli makanan. Di luar sana masih banyak orang yang kelaparan. Kami tidak boleh membuang makanan.
Selesai makan, kami kembali ke mobil, hendak pulang. Aku ingin istriku segera beristirahat.
"Setelah makan aku menjadi lebih bertenaga," ujarnya.
"Sekarang kau bisa tidur nyenyak karena perutmu kenyang," balasku.
Ia menggeleng. "Aku tak bisa. Aku masih ada pekerjaan. Pagi ini harus sudah selesai."
Aku merasa tidak senang mendengarnya. Aku tidak ingin ia terus bekerja tanpa henti. "Kau butuh istirahat," kataku.
"Tidak bisa." Ia menatapku dengan mata bulatnya.
Aku terdiam. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku pun tak bisa membantunya.
.
.
.
Aku tak bisa tidur. Mana mungkin aku bisa tidur jika aku tahu istriku belum tidur dan masih bekerja. Raut wajahnya sangat serius saat ia sedang bekerja.
Aku terus memperhatikannya. Ia tidak akan menyadarinya karena ia sangat fokus pada pekerjaannya.
.
.
.
Kami berdua tidak tidur semalaman. Ah, aku merasa lemas pagi ini. Namun, ia terlihat sangat segar dan sudah siap untuk pergi ke kantor. Aku juga harus bersemangat. Aku tidak boleh kalah darinya. "Apa kau pulang terlambat lagi hari ini?"
"Semoga saja tidak." Ia menyeruput kopinya.
"Aku akan menjemputmu lagi hari ini. Kita pulang bersama-sama," kataku.
Ia menatapku. "Kau tidak perlu khawatir. Aku bisa pulang sendiri."
"Apa kau keberatan jika aku datang ke kantormu?" tanyaku serius.
Ia cukup terkejut oleh pertanyaanku. Ia terlihat kikuk. "Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu."
Entah mengapa pikiran buruk terlintas di benakku. Apakah ia berselingkuh dengan seseorang di kantornya? Bosnya mungkin? "Apa kau malu terlihat bersamaku? Apa kau malu mempunyai suami yang jabatannya lebih rendah darimu?" Aku mencoba untuk bersikap tenang.
Ia tampak sangat terkejut. "Mengapa kau berkata seperti itu? Jabatanmu bukan masalah bagiku. Jika itu menjadi masalah, aku tidak akan bersedia menikah denganmu."
Emosiku mulai meletup. Ia mengingatkanku akan perjanjian pranikah kami. Ya, aku lupa bahwa aku tak boleh mencampuri urusannya. Terima kasih karena sudah mengingatkanku, Sayang.
"Aku akan mengabarimu kapan aku akan meninggalkan kantor." Ia berusaha untuk menghindari pertengkaran denganku.
Kami tidak pernah bertengkar. Selama ini aku selalu berhati-hati untuk tidak melintasi garis pembatas di antara kami. Namun, lama-lama hal ini membuatku tertekan. Aku juga mendambakan rumah tangga yang harmonis, yang penuh dengan cinta.
.
.
.
Jam kerja sudah berakhir. Rekan-rekan kerjaku sudah meninggalkan kantor. Namun, rasanya aku malas sekali untuk beranjak. Pulang ke rumah pun aku akan kesepian. Lebih baik aku bekerja lembur agar esok hari pekerjaanku tidak terlalu banyak dan tentu saja aku akan mendapatkan uang lembur. Jika ia saja bisa pulang larut malam, mengapa aku tidak?
"Kau tidak pulang, Yunho?" Atasanku keluar dari ruangannya. Ia sudah siap untuk pulang.
"Tidak, Pak. Aku akan bekerja lembur hari ini," jawabku.
"Wah, tumben sekali! Apa istrimu tidak akan menunggu di rumah? Sebaiknya kau pulang dan menghabiskan waktu bersamanya. Selagi kalian masih muda dan belum mempunyai anak, manfaatkanlah waktu kalian!" Atasanku ini adalah seorang kepala keluarga yang baik. Ia adalah suami dan ayah yang baik dan selalu memikirkan keluarganya.
.
.
.
Bekerja membuatku melupakan masalahku dengan Jaejoong. Rasanya menyenangkan juga bekerja sendirian di kantor. Aku bisa lebih fokus.
Ada pesan masuk ke ponselku. Itu dari Jaejoong.
Pekerjaanku sudah selesai. Aku bisa pulang sekarang.
Aku masih merasa emosi. Aku tidak ingin bertemu dengannya saat ini, lagipula aku mulai menikmati pekerjaanku.
Aku bekerja lembur hari ini.
Setelah menikah aku sangat jarang bekerja lembur. Aku langsung pulang setelah jam kerja usai karena aku sudah tak sabar untuk bertemu istriku. Namun, saat ini aku sedang tidak ingin melihatnya.
Beberapa menit kemudian ia membalas pesanku.
Apa kau marah kepadaku?
Dengan cepat aku membalas pesan darinya. Aku takut ia marah.
Tidak. Hari ini pekerjaanku cukup banyak.
Ia tidak membalas lagi pesanku. Semoga saja ia tidak marah.
.
.
.
Perasaanku mulai tidak tenang. Jangan-jangan ia marah kepadaku. Aku tak tahu apa yang bisa terjadi jika ia marah. Aku tak ingin membayangkannya. Aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya.
Pukul sembilan malam aku memutuskan untuk pulang. Aku merasa sangat gugup. Aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi kemarahan istriku.
.
.
.
"Aku pulang!" Aku merasa sangat gugup.
"Selamat datang!" Ia menghampiriku. Ia mengenakan apron. "Pas sekali. Masakanku baru saja matang."
Aku merasa syok. Apakah aku berhalusinasi? Istriku tidak pernah memasak pada hari kerja. Pada hari libur pun ia sangat jarang memasak.
"Gantilah pakaianmu terlebih dahulu! Aku akan membereskan meja makannya." Raut wajahnya terlihat cerah. Bukankah seharusnya ia marah?
.
.
.
Aku menatap mangkuk sup di hadapanku. Ia tidak menaruh racun ke dalamnya kan?
"Mengapa kau tidak makan? Apa kau sudah makan sebelum pulang?" tanyanya. Ia menatapku untuk menantikan jawabanku.
"Mengapa kau tiba-tiba memasak? Ada apa?" tanyaku penasaran. Aku tahu seharusnya aku tidak menanyakan hal ini dan mengapresiasi usahanya. Namun, aku ingin semuanya jelas di antara kami.
"Apa kau tidak suka masakan buatanku?" tanyanya hati-hati.
"Tidak, bukan begitu." Aku menggeleng. "Hanya saja, ini terasa aneh."
Ia menghela nafas panjang. "Aku hanya ingin meminta maaf karena telah membuatmu kesal hari ini. Maafkan aku! Tidak seharusnya aku berkata seperti itu kepadamu. Sungguh, apa yang kau pikirkan tidak benar. Aku tidak merasa malu bersuamikan dirimu. Kuharap kau tidak salah paham."
Aku tersenyum getir. "Kau tidak perlu khawatir. Aku percaya kepadamu." Aku merasa sedikit kecewa. Ia bersikap manis seperti ini hanya karena ia tidak ingin aku salah paham. Andai saja ia bersikap seperti ini setiap hari.
Suasana menjadi canggung di antara kami. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita makan!" Ia melayaniku di meja makan.
Setelah makan, aku memperhatikan dirinya yang sedang mencuci piring. Ingin rasanya aku memeluknya dari belakang, lalu kami mencuci piring bersama. Ah, sungguh romantisnya. Akan tetapi, itu hanyalah angan-angan.
.
.
.
"Apa kau ingin bercinta malam ini?" Pertanyaannya benar-benar tak terduga. Selama ini selalu aku yang meminta.
Aku merasa tidak nyaman. Ia bersikap seperti ini hanya untuk menghindari pertengkaran. Aku benar-benar tidak mood malam ini. "Apa kau menginginkannya?"
"Jika kau mau," balasnya. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Ia tidak mengatakan kepadaku apakah ia menginginkannya atau tidak.
"Aku lelah setelah bekerja lembur," kataku.
"Oh, baiklah." Ia pasti berpikir bahwa aku masih marah kepadanya.
.
.
.
Keesokan harinya hubungan kami sudah kembali seperti biasa. Ketegangan di antara kami sudah tidak ada lagi. Hubungan kami masih sedingin sebelumnya.
.
.
.
Rekan kerjaku akan menikah akhir pekan ini. Tentu saja aku harus datang ke pesta pernikahannya. "Sayang, rekan kerjaku akan menikah Sabtu ini."
"Oh, itu adalah berita bagus." Hanya sebatas itu reaksinya.
"Bisakah kau datang bersamaku ke pestanya?" tanyaku hati-hati. Ia pasti sudah menyusun agenda untuk akhir pekan ini.
"Uhm..." Ia tampak berpikir, cukup lama. "Baiklah." Sepertinya ia merasa terpaksa. Ia pasti tidak rela untuk meninggalkan pekerjaannya.
"Jika kau tidak bisa, tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri," kataku.
"Aku bisa," balasnya cepat. Ia takut aku salah paham lagi.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Pekerjaan ibu manajer pasti sangat banyak." Aku mencoba untuk lebih pengertian. Namun, sepertinya aku salah bicara. Tidak seharusnya aku memanggilnya 'ibu manajer'.
Ia tampak terluka oleh perkataanku. "Aku belum memiliki rencana apa pun akhir pekan ini, sungguh." Ia berusaha meyakinkanku. Suaranya sedikit bergetar.
Aku menjadi bingung. Apa yang harus kulakukan? Di satu sisi aku tidak ingin membuatnya merasa tidak enak. Di sisi lain aku tidak ingin merusak semua rencana yang sudah ia susun.
.
.
.
Jaejoong benar-benar bermaksud untuk mendampingiku ke pesta pernikahan rekan kerjaku. Ia membeli gaun pesta baru dengan uangnya sendiri. Ia tidak pernah meminta uang dariku untuk membeli barang-barang pribadinya. Gajiku murni kugunakan hanya untuk keperluan rumah tangga, setengah cicilan rumah, dan barang-barang pribadiku. Cicilan rumah kami tanggung berdua.
"Aku membeli gaun baru. Bagaimana menurutmu?" Ini adalah pertama kalinya ia menunjukkan barang yang baru ia beli kepadaku.
"Bagus," jawabku datar.
Ia terlihat sedikit kecewa. Mungkin ia mengharapkan pujian lebih dariku.
"Pakaian seperti apa pun terlihat bagus di tubuhmu," tambahku. Kuharap perkataanku bisa menyenangkan hatinya.
Ia tersenyum tipis. Entah ia memang merasa senang atau itu hanya sebagai ungkapan terima kasih karena aku telah memujinya. Aku tidak tahu. Aku merasa bahwa aku tidak cukup mengenalnya.
.
.
.
Jaejoong sudah terlanjur membeli gaun baru. Aku tidak bisa melarangnya untuk ikut ke pesta pernikahan rekan kerjaku. Sebenarnya aku juga merasa senang karena ia mendampingiku.
Ini adalah pertama kalinya Jaejoong bertemu dengan rekan-rekan kerjaku. Aku memperkenalkan istriku kepada mereka.
Jaejoong adalah seorang wanita yang pandai berkomunikasi dan bersosialisasi. Ia cepat akrab dengan rekan-rekan kerja wanitaku. Mereka tampak asyik bergosip.
Aku terpesona melihatnya. Aku memperhatikan dirinya yang tertawa riang bersama teman-teman wanitaku. Mereka terlihat sangat akrab, padahal mereka baru pertama kali bertemu. Mengapa ia tidak bisa seperti itu denganku? Mengapa ia sangat dingin saat bersamaku? Apakah aku membuatnya merasa tidak nyaman?
.
.
.
"Jae..." Aku ingin berbicara serius dengan istriku sepulang dari pesta.
"Hmm..." gumamnya. Ia tidak memandang ke arahku.
"Apa kekuranganku selama ini?" tanyaku serius.
Ia terdiam. Ia sama sekali tidak menduga bahwa aku akan menanyakan hal ini. "Tidak ada," lirihnya. Sepertinya ia tidak yakin dengan jawabannya. Ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
"Jae, tolong jawab dengan jujur!" Aku menatap ke dalam matanya, berusaha untuk mencari jawaban.
Ia terlihat tidak nyaman. "Tidak ada yang kurang darimu. Aku tidak mengharapkan lebih darimu." Ia berusaha menghindari tatapanku.
Aku semakin mengintimidasinya. "Jae, apa kau tidak bahagia hidup bersamaku?"
Ia tertawa kikuk. "Apa kau melihatku tidak bahagia? Apa kau melihatku menangis atau bersedih?"
Aku tertegun. Aku tidak pernah melihatnya menangis atau pun terpuruk. Ia adalah wanita yang kuat. Ia menikmati hidupnya, pekerjaannya.
Ia tersenyum sangat manis, melumerkan hatiku. "Kau tidak pernah melihatku tidak bahagia, bukan? Lalu mengapa kau berpikir bahwa aku tidak bahagia?"
"Di pesta aku melihatmu tertawa lepas bersama dengan teman-teman wanitaku. Aku tak pernah melihatmu seperti itu saat sedang bersamaku." Aku berterus terang.
Raut wajahnya berubah serius. "Itu karena kami adalah sesama wanita. Kau juga pasti seperti itu dengan teman-teman priamu, bukan?"
Tentu saja aku bisa tertawa lepas saat bercanda dengan teman-teman priaku. Aku tidak akan seperti itu saat bersama dengan teman wanitaku. Aku merasa lebih nyaman saat bergaul dengan sesama pria karena kami memiliki kesamaan dan bisa lebih mengerti satu sama lain. "Apa itu artinya kau merasa tidak nyaman saat bersamaku?"
Ia terdiam. Ia tampak berpikir. Ia sedang mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku.
"Apa aku membuatmu takut? Apa kau tidak suka bersamaku?" tanyaku. Aku merasa sedih.
"Mengapa kau berpikir seperti itu? Kau bisa lihat bahwa aku baik-baik saja," jawabnya. Aku merasa bahwa ia tidak jujur.
"Apa kau mencintaiku, Jae? Apa kau merasa terpaksa menikah denganku?" Aku terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Kami berdua dijodohkan. Beruntungnya aku karena aku jatuh cinta kepadanya saat itu juga. Perjodohan ini adalah berkah bagiku. Namun, bagaimana dengan dirinya? Dari syarat-syarat yang ia ajukan, tampak bahwa ia tidak menerima perjodohan ini dengan sukarela.
Ia masih saja terdiam. Ia tampak kebingungan.
"Dua tahun sudah kita menikah. Tidak cukupkah waktu dua tahun untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku?" Hatiku terasa sakit. "Apa yang harus kulakukan, Jae?"
"Maafkan aku, Yunho." Akhirnya ia kembali bersuara. "Maaf jika aku tidak bisa menjadi istri seperti yang kau inginkan. Sejak awal aku sudah mengemukakan kondisiku dan kau setuju untuk menerimanya. Beginilah aku."
"Kupikir hubungan kita akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, sepertinya aku tak mampu untuk mengubah keadaan." Aku merasa sangat tidak berguna. Aku adalah seorang pria, seorang kepala keluarga, tetapi aku tak mampu memimpin rumah tangga kami.
"Maafkan aku, Yunho!" Ia menunduk. "Apa yang kau inginkan? Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Aku menarik nafas panjang. Rasanya dadaku sangat sesak. "Anggap saja percakapan kita ini tidak pernah terjadi. Kita jalani hidup kita seperti biasa. Hidup kita selama ini baik-baik saja, bukan?" Aku memaksakan senyumanku.
Meskipun kami berpura-pura bahwa percakapan itu tidak pernah terjadi, tetap saja kami tidak bisa melupakan percakapan itu. Hubungan kami menjadi lebih canggung dari sebelumnya.
.
.
.
Temanku yang baru menikah sudah kembali dari bulan madunya. Ia memamerkan foto-fotonya saat berbulan madu. Ia dan istrinya tampak sangat berbahagia. Aku merasa iri. Ia dan istrinya bahkan sudah membicarakan berapa anak yang mereka inginkan.
"Yunho, kau sudah dua tahun menikah. Kapan kau akan punya anak?" Ia bertanya kepadaku. Pertanyaannya itu sangat menohok.
Aku tersenyum kaku. "Istriku masih asyik dengan pekerjaannya."
"Sebaiknya kalian tidak perlu menunda-nunda lagi. Kalian berdua tampaknya sudah sangat matang untuk menjadi orang tua," tambahnya.
Aku merasa tersindir. Aku mendambakan keluarga yang ideal. Tentu saja aku menginginkan kehadiran anak dalam pernikahanku. Akan tetapi, bagaimana dengan Jaejoong? Apakah ia menginginkannya juga?
.
.
.
Seperti biasa aku dan Jaejoong makan malam di rumah dalam kesunyian. Kami sibuk dengan makanan masing-masing. Ia tampak ragu-ragu untuk membuka topik pembicaraan denganku, sedangkan aku berpikir keras, berusaha menemukan momen yang tepat untuk memulai pembicaraan mengenai anak.
"Jae, usia kita berdua sudah kepala tiga. Kurasa sudah saatnya kita mempunyai anak," kataku langsung pada intinya.
Jaejoong tersedak. Ia meraih gelas berisi air dan meneguk isinya. "Yunho, kau tidak serius, bukan?" Ia memandangku dengan serius.
"Aku serius," ujarku datar.
Ia meletakkan sumpitnya dan berhenti makan. "Yunho, kau tahu benar bagaimana kondisi kita, bukan?"
"Ya, aku tahu," ucapku sinis. "Kau tidak perlu menjelaskannya kepadaku."
"Lalu mengapa tiba-tiba kau membicarakan anak sekarang?" balasnya.
"Dalam perjanjian pranikah kita sama sekali tidak disinggung masalah anak. Itu artinya aku tidak dilarang untuk membicarakan anak." Aku sedikit menyeringai.
"Memang tidak disebutkan secara spesifik, tetapi kita sama-sama tahu bagaimana dampaknya." Ia tidak mau kalah.
"Orang tuaku menginginkan cucu dan mereka sama sekali tidak tahu mengenai perjanjian pranikah kita." Aku berbohong. Namun, aku yakin jika lain kali aku mengunjungi orang tuaku, mereka pasti akan meminta cucu.
"Kau bisa memberikan berjuta alasan kepada mereka. Katakan saja bahwa kita belum siap dan memang pada kenyataannya kita belum siap untuk memiliki anak." Jaejoong mulai menaikkan nada bicaranya.
"Aku sudah siap," balasku santai.
"Bukan kau yang akan melahirkan, Yunho." Jaejoong memijat pelipisnya. Topik ini membuatnya stres. "Kalau begitu, katakan saja kepada orang tuamu bahwa akulah yang belum siap."
Aku tidak ingin mengalah. Aku menegaskan nada bicaraku. Sudah saatnya aku mengambil alih kendali. "Pokoknya aku ingin seorang anak!"
"Kau kehilangan akal sehatmu, Yunho. Aku tidak ingin karirku terhambat. Keinginanmu itu melanggar kesepakatan kita, Yunho. Kau berjanji bahwa kau tidak akan menghalangiku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan." Ia berani melawanku.
"Baiklah." Aku mencoba untuk terlihat tenang di hadapannya. "Aku tidak akan melanggar kesepakatan kita. Aku bisa mendapatkan anak dari wanita lain." Aku memandang tepat ke matanya, menunggu reaksinya. "Aku tidak akan melanggar perjanjian kita dan kau pun harus memenuhi janjimu. Kau tidak akan menghalangiku untuk berselingkuh."
Ia menatapku dengan tatapan tak percaya. Ia tak percaya bahwa aku akan memiliki niat untuk berselingkuh darinya. Selama dua tahun ini aku telah membuatnya percaya bahwa aku adalah pria yang setia.
Aku menyunggingkan senyuman jahat di bibirku. "Pilihan ada di tanganmu. Yang pasti aku akan mendapatkan seorang anak."
Ia terlihat marah. Aku bisa merasakan aura kemarahannya. Namun, ia berusaha menahan dirinya. "Baiklah, terserah kau saja. Kau bisa bebas berbuat sesukamu. Kau bisa meniduri wanita mana pun yang kau inginkan." Ia meninggalkan meja makan.
Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku benar-benar kecewa kepadanya. Kukira ia akan mengalah jika aku mengancam bahwa aku akan mencari wanita lain. Ia benar-benar keras kepala. Ia lebih memilih karirnya daripada aku. Ia tidak mencintaiku.
.
.
.
Sudah seminggu aku meninggalkan rumah. Pada awalnya aku menumpang di rumah temanku, tetapi lama-lama aku merasa tidak enak menumpang di rumahnya. Aku tidak tahu sampai kapan aku tidak akan pulang.
Aku menyewa sebuah kamar. Aku hanya akan tinggal sementara di sini, sehingga aku tidak perlu menyewa tempat yang luas.
Ia sama sekali tidak menghubungiku, bahkan mengirim pesan pun tidak. Berkali-kali aku berniat untuk mengirim pesan kepadanya, tetapi aku mengurungkan niatku. Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku tak boleh membuatnya berpikir bahwa aku merindukan dan mengkhawatirkannya.
Sekarang aku sangat yakin bahwa ia tidak mencintaiku. Dua tahun tinggal bersamaku pasti bagaikan neraka baginya. Aku kasihan kepadanya. Ia bertahan selama dua tahun hidup bersamaku, pria yang tidak dicintainya.
Selama dua tahun ia mengurus semua kebutuhanku. Ia melaksanakan perannya sebagai istri dan manajer rumah tangga. Pasti berat baginya melaksanakan semua itu karena ia juga harus berkonsentrasi pada karirnya.
Aku merasa bersalah kepadanya. Aku telah menghambat karirnya. Orang tuanya benar-benar tidak pengertian. Mereka menekan Jaejoong untuk menikah, padahal anak mereka itu tidak ingin menikah dan ingin mengejar karir. Namun, aku juga tak bisa menyalahkan mereka. Aku bisa mengerti perasaan mertuaku, apalagi Jaejoong adalah anak tunggal. Mereka pasti ingin melihat putri mereka hidup bahagia, berumah tangga, dan memiliki keturunan.
Aku terlalu tergila-gila kepadanya. Aku terobsesi untuk memilikinya, sehingga aku tidak peduli akan perasaannya. Seharusnya kami tidak pernah menikah. Saat ia mengajukan perjanjian pranikah itu, seharusnya aku tahu bahwa ia tidak ingin menikah dan memilih untuk mengejar karirnya.
Mungkin ia tidak mengira bahwa aku akan menerima syarat yang ia berikan, sehingga ia tak punya alasan untuk menolakku saat itu. Ia juga merasa percaya diri bahwa ia bisa memegang kendali dan membuatku menaati semua perjanjian itu.
.
.
.
Yunho:
Jae, kita bercerai saja. Kita tidak bisa melanjutkan pernikahan kita ini.
Sekilas aku tampak sangat kejam, mengajaknya bercerai melalui pesan di aplikasi ponsel. Namun, inilah yang ia inginkan. Perceraian adalah hal yang terbaik untuknya. Tidak ada lagi yang akan menghambat karirnya.
Lama aku menunggu balasan darinya. Ia belum membaca pesanku. Mungkin ia sibuk, seperti biasa.
Hatiku hancur. Aku harus melepaskannya pergi. Aku mencintainya. Aku ingin ia bahagia. Hidup bersamaku tidak akan membuatnya bahagia.
Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk darinya.
Kita tidak bisa membicarakan hal sepenting ini melalui telepon. Kita harus bertemu.
Dadaku terasa sesak. Aku tak sanggup untuk bertemu dengannya. Aku akan merasa sangat sedih jika aku melihatnya. Ia kini begitu terasa sangat jauh di luar jangkauanku.
.
.
.
Di sinilah aku sekarang. Aku duduk di hadapannya. Aku berusaha untuk tegar. Aku merasa sedikit lega karena ia terlihat baik-baik saja. Ia baik-baik saja tanpa diriku, baguslah kalau begitu. Namun, di satu sisi aku merasa sedih. Ia benar-benar tidak membutuhkan kehadiran diriku dalam hidupnya. Aku hanyalah beban baginya.
Ingin rasanya lidah ini berucap, menanyakan bagaimana kabarnya, apakah ia sudah makan, apa saja yang dilakukannya selama aku tidak ada, apakah ia merindukanku. Namun, aku harus menahannya. Aku harus menahan hasratku untuk memeluknya, mengatakan bahwa aku mencintainya, merindukannya. Aku tak bisa tidur tanpa memikirkan dirinya.
"Bicaralah!" Ia berbicara dengan nada memerintah. Ia tampak lebih berkuasa daripada aku.
"Seperti yang kukatakan pada pesanku, aku ingin menceraikanmu." Aku menghindari kontak mata dengannya. Aku merasa sangat gugup menunggu reaksinya.
Ia menyesap kopinya. Ia terlihat sangat tenang. "Bisa kau katakan kepadaku apa alasanmu?"
Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku. "Bukankah sudah jelas? Aku menginginkan anak dan kau tidak mau memberikannya."
"Bukannya aku tidak mau, tetapi tidak sekarang," ujarnya.
"Aku tidak bisa menunggu kesiapanmu yang tidak pasti. Apa kau bisa memberikan jaminan kapan kau akan siap?" Aku menekannya. "Tidak bisa, bukan? Berapa lama? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun lagi?"
Ia tidak bisa menjawab. Sepertinya ia memang tidak pernah berniat untuk mempunyai anak.
"Aku tidak bisa menunggu lagi, Jae. Aku telah menemukan seseorang." Aku berbohong. "Ia adalah teman sekantorku di divisi lain. Ia sangat menyukai anak-anak. Setelah bercerai denganmu, aku akan segera menikahinya." Aku menatapnya, menunggu reaksinya.
Jika ia mencintaiku, ia akan menahanku. Ia tidak akan melepaskanku untuk wanita lain. Ia akan mengenyampingkan egonya demi diriku. Ia akan mengalah. Namun, jika ia setuju untuk bercerai, habislah sudah. Tidak ada harapan lagi untuk kami. Itu artinya ia tidak mencintaiku.
"Baiklah. Aku tak bisa menghalangimu untuk mendapatkan keinginanmu. Aku pun harus menaati perjanjian kita. Aku juga tidak boleh menghalangi keinginanmu." Ia menyunggingkan senyuman tipis. "Selamat! Aku turut berbahagia atas rencana pernikahanmu."
Jadi, inilah akhirnya? Inikah akhir kisah kami? Hanya itu?
Ia sama sekali tidak mengajukan penolakan. Sepertinya memang inilah yang ia inginkan. Sekarang semuanya jelas. Aku lega karena akhirnya aku tahu bagaimana perasaannya kepadaku. Aku lega karena akhirnya aku membebaskannya, tidak lagi menjadi bebannya.
Kuakui bahwa aku merasa sangat sedih. Aku merasa kehilangan alasan untuk hidup. Aku tak akan pernah bisa lagi memandangi wajah cantiknya. Aku tak akan bisa lagi melihat senyuman indahnya.
Aku sangat mencintainya. Aku tak akan bisa mencintai wanita lain karena ia telah membawa hatiku bersamanya. Selamanya aku akan mencintainya. Meskipun aku hancur, aku rela, asalkan ia bahagia.
.
.
.
Aku tak mengerti mengapa aku bisa begitu mencintainya. Luka yang ia tinggalkan sangat dalam. Aku bagaikan raga tanpa jiwa, kosong.
Mengurus perceraian ternyata tidak mudah. Kami juga belum bisa memberi tahu orang tua kami. Kami tidak bisa membayangkan betapa kecewanya mereka.
Aku merasa tidak mempunyai tujuan hidup. Namun, aku harus terus menjalani hidup. Aku akan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Mungkin nanti aku akan menemukan tujuan baru dalam perjalananku.
.
.
.
Aku sedang melamun saat aku mendengar pintu kamarku diketuk. Siapa yang datang malam-malam begini? Sekarang sudah pukul sepuluh malam.
Aku terkejut melihat Jaejoong berdiri di depan kamar sewaanku dengan marah. Aku bergidik dibuatnya.
Ia masuk ke dalam kamarku sebelum kupersilakan. "Jung Yunho, kau pembohong! Aku benar-benar marah kepadamu."
Aku menatapnya bingung. Ada apa lagi? Apa yang telah kuperbuat, sehingga ia menjadi sangat marah seperti ini?
"Apa kau pikir kau bisa membodohiku, hah?" Ia balas menatapku dengan penuh amarah.
Aku mengernyitkan dahiku. "Ada apa?"
Ia tertawa dengan nada mengejek. "Aku sudah mempersiapkan diri untuk menghajar kekasihmu itu, tetapi wanita itu tidak pernah ada. Kau hanya mengarang cerita."
Aku ketahuan. Kini ia sudah tahu bahwa aku hanya mengada-ada. "Apa?"
"Aku tidak akan membiarkan harga diriku diinjak-injak. Aku bukanlah orang yang akan begitu saja membiarkan orang lain merampas milikku. Setidaknya aku harus menghajarnya terlebih dahulu." Ia masih saja terlihat angkuh.
Aku terkekeh. Lucu sekali, ia pasti tidak serius untuk menghajar kekasihku. "Andaikan ia benar-benar ada, apa yang akan kau dapatkan setelah menghajarnya?"
Ia menyeringai. "Ia akan mengingatnya seumur hidup. Itulah akibat dari merampas milik Kim Jaejoong."
Aku tertawa keras. "Memangnya kau pernah menganggapku sebagai milikmu?" Hatiku kembali tergores.
Ia menatapku sendu. Tidak ada lagi kemarahan dalam matanya. "Mungkin ini sudah terlambat. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah menjadi bagian dari hidupku selama dua tahun terakhir. Terima kasih atas segalanya." Matanya memerah. Ia berusaha keras untuk menahan air matanya. "Mungkin ini tidak ada artinya bagimu. Kau juga tidak akan peduli dan tidak ingin tahu. Namun, aku ingin mengatakannya, hanya agar aku merasa lega. Aku... aku..." Suaranya bergetar. "Hari ini aku... mengundurkan diri dari pekerjaanku dan menlepas alat kontrasepsiku." Nafasnya terdengar berat.
Tubuhku membeku. Apa yang telah ia lakukan? Pekerjaan itu adalah impiannya. Apa ia sudah gila? "Apa kau sudah gila, hah? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu? Kau sudah bekerja keras selama ini." Aku memarahinya habis-habisan. "Tidak semua orang bisa menggapai posisimu itu."
Ia tersenyum. "Kupikir aku akan menyesal setelahnya, tetapi aku justru merasa sangat lega. Aku tidak pernah merasa selega ini sebelumnya."
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanyaku. Aku merasa prihatin kepadanya. Ia telah menghancurkan cita-citanya. Pengorbananku untuknya sia-sia.
Ia mengangkat bahunya. "Aku akan mencoba untuk menata hidupku kembali." Ia menghela nafas. "Aku sudah mengatakan semua yang ingin kukatakan kepadamu. Aku harus pergi sekarang. Ini sudah terlalu malam." Ia berbalik, berjalan menuju pintu.
"Hanya itu? Apa tidak ada lagi yang ingin kau katakan?" Aku tak ingin ia pergi. Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pasti berat baginya untuk meninggalkan pekerjaannya. "Setelah semua yang kau lakukan itu, apa kau tidak ingin memintaku untuk kembali?"
Ia menggeleng. Ia tetap memunggungiku. "Aku tidak ingin menghalangi jalanmu."
"Memohonlah kepadaku!" Kurang ajar sekali diriku. Bisa-bisanya aku menyuruhnya untuk memohon kepadaku. Seharusnya aku mengucapkan kata-kata yang dapat menghibur hatinya. "Jika kau memohon, aku akan mempertimbangkannya."
Ia berbalik dengan air mata berlinang. Ia menangis tersedu-sedu.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Aku menghapus air mata di pipinya. "Sekarang sudah larut malam. Bahaya jika kau pulang sekarang. Menginaplah di sini!"
Ia berhenti menangis. Namun, ia masih belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku akan tidur di lantai," kataku.
Ia tiba-tiba memelukku. "Tidurlah bersamaku!"
Aku terhenyak. Aku merasakan sesuatu saat ia memelukku. Ah, betapa aku sangat merindukannya. Sudah lama aku tidak menyentuhnya.
Ia menatapku dengan matanya yang berair. "Kau pasti sudah tidak menginginkanku lagi." Ia melepaskan pelukannya. "Maaf, aku sudah bersikap lancang."
"Malam ini sangat dingin. Jika kau mau, aku bisa menghangatkan tubuhmu malam ini." Aku mendorongnya ke atas tempat tidur dan menindihnya. Aku sudah tak bisa menahan hasratku lagi. Aku ingin melampiaskannya malam ini. Aku menciumnya dan meraba-raba tubuhnya.
Ia tampak sama bergairahnya seperti diriku. Ia membalas ciumanku dengan buas.
Aku melucuti pakaiannya dan ia melakukan hal yang sama kepadaku. Keadaan menjadi sangat tak terkendali. "Tunggu!" Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku memakai kembali pakaianku satu-persatu.
"Ada apa?" tanyanya penasaran.
"Tunggu aku! Aku tak akan lama." Aku sudah selesai mengancingkan celanaku.
"Kau akan pergi ke mana? Apa kau akan meninggalkanku seperti ini?" Ia tampak kecewa.
"Aku harus membeli kondom," kataku.
"Untuk apa?" tanyanya. "Kita tidak memerlukannya."
"Bukankah alat kontrasepsimu sudah dilepas?" Aku mengingatkannya.
"Kau pikir untuk apa aku melepaskannya? Jangan tinggalkan aku! Aku tak ingin kau pergi." Ia merengek.
Aku benar-benar jahat. Aku terus saja mengerjainya. "Aku tak akan pernah meninggalkanmu jika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku." Aku membutuhkan kepastian. Aku ingin benar-benar yakin bahwa ia memang mencintaiku.
Ia terdiam sejenak. Ia belum pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Ia selalu mengalihkan topik pembicaraan setiap kali aku menanyakan perasaannya kepadaku. "Aku... aku mencintaimu."
Senyuman lebar menghiasi wajahku. Malam ini aku merasa senang.
"Apa kau puas sekarang?" tanyanya. "Jika kau belum puas, aku bisa mengatakannya semalaman."
Aku kembali ke tempat tidur. "Kau tidak perlu mengatakan hal itu semalaman." Aku menaruh jariku di bibirnya. "Kau bisa menggumamkan hal lain." Aku mengecupnya sekilas, kemudian berbisik. "Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu, Kim Jaejoong."
