MY SECOND FIC, PRESENT:
..."Kalau kau tidak masuk Gryffindor, kamu tak akan dapat warisan," kata Ron, "Tapi tak ada paksaan kok..."
"Ron!" Hermione nyaris berjengit. Lily dan Hugo tertawa, tapi Albus terlihat tenang. "Dia cuma bercanda,"
Tapi Ron sudah menangkap tatapan Harry dan mengangguk ke sebuah titik. Uap kereta yang mengepul lalu menipis dan tiga orang terlihat berdiri. Draco Malfoy dan Istrinya, yang Harry lupa namanya, pokoknya awalan As atau Ar, mengapit anaknya. Kemiripan anak itu dengan ayahnya hanya bisa disaingi oleh kemiripan Albus dan Harry.
Draco menyadari keberadaan keluarga besar itu, menatapnya, mengangguk singkat dan berpaling pada anaknya lagi.
"Jadi itu si kecil Scorpius," kata Ron pelan. "Pastikan kamu menang melawannya dalam tiap ujian, Rosie. Syukurlah kau mewarisi otak ibumu,"
"Astaga, Ron!" bentak Hermione. "Jangan kau buat mereka jadi musuh, masuk sekolah saja belum!"
"Maaf, kau benar," kata Ron lagi, "Tapi jangan terlalu akrab dengan dia, Rosie. Kakek Weasley tidak akan pernah memaafkan kalau kau menikah dengan Darah Murni,"
Kemudian James muncul kembali, mengabarkan dengan susah payah kalau anak angkat ayahnya, Teddy Lupin, merayu Victoire.
"Oh, baik sekali kalau mereka menikah!" bisik Lily senang. "Teddy betul-betul akan jadi keluarga kita!"
"Dia sudah datang makan malam kira-kira empat kali seminggu," kata Harry, "kenapa tidak kita tuntaskan saja dengan mengundangnya tinggal di rumah? Kurasa Andromeda tak keberatan..."
"Yeah! aku tidak keberatan sekamar dengan Al... Teddy bisa pakai kamarku!" James berkata antusias.
"Tidak, kau hanya boleh sekamar dengan Al kalau aku ingin rumah kita dihancurkan,"
Harry melihat jam bekas kepunyaan Gideon Prewett-nya, waktu sudah menunjukkan pukul 11, lalu Ginny menitipkan salam untuk Neville, si profesor Herbologi dan kepala asrama Gryffindor, pada anak tertuanya.
James berlari duluan masuk kereta, Albus sedang diberi kebiasaan perpisahan oleh kedua orang tuanya.
"Sampai jumpa di hari Natal," kata Ginny setelah menciumnya.
"Bye, Al!" ujar Harry, ketika putranya memeluk tubuhnya. "Jangan lupa Hagrid mengundangmu minum teh Jum'at nanti. Jangan bermasalah dengan Peeves. Jangan berduel dengan siapapun sebelum belajar caranya. Dan jangan biarkan James mengerjaimu,"
"Bagaimana kalau aku masuk Slytherin?" bisik Albus khusus ditujukan pada ayahnya.
Harry paham kalau Albus tidak bisa terus menyembunyikan kekhawatirannya akan hal itu, karena yang dirasakan Al pernah ia rasakan saat ia seumurnya. Harry berjongkok lebih rendah dari Albus, menatap mata hijau warisan Lily yang hanya ada padanya.
"Albus Severus," kata Harry pelan supaya hanya terdengar oleh Albus dan Ginny, "kamu diberi nama seperti dua nama kepala sekolah Hogwarts, salah satunya adalah Slytherin dan dia mungkin adalah orang paling berani yang pernah Ayah tahu,"
"Tapi misalnya aku masuk-"
"-maka asrama Slytherin akan mendapat seorang murid hebat bukan? Tidak akan jadi masalah buat kami, Al, pasti. Tapi kalau itu penting buatmu, kamu akan bisa memilih Gryffindor. Topi Seleksi memperhatikan pilihanmu juga."
"Benar begitu?"
"Waktu Ayah dulu, ya begitu," kata Harry tersenyum.
Harry bisa melihat rasa takjub di wajah Albus akan hal yang baru pertama dia ceritakan ke anak-anaknya baru saja.
Pintu-pintu gerbong terbanting menutup, peluit terdengar semakin keras untuk terakhir kalinya, dan Albus segera melompat ke dalam kereta. Dia dan Rose segera menjulurkan leher memandangi sekelilingnya.
"Kenapa mereka semua memandangi kita?" tanya Albus.
"Tidak perlu dirisaukan," sahut Ron. "aku yang mereka pandangi. Aku sangat terkenal,"
Albus, Rose, Lily, dan Hugo tertawa karenanya.
Kereta mulai bergerak dan Harry berjalan disisinya, memperhatikan wajah kurus anaknya yang penuh kegembiraan murni dalam Hogwarts Express yang berancang-ancang. Harry terus tersenyum dan melambai sepuasnya, meski hatinya agak berat melihat anaknya menjauh dan akan mulai jarang melihatnya...
Jejak uap terakhir menguap di udara musim semi yang segar dan datang mendadak. Kereta membelok di tikungan. Tangan Harry masih melambaikan salam perpisahan.
"Dia akan baik-baik saja," gumam Ginny, seraya menatapnya.
Tanpa sadar Harry menurunkan tangannya ke bekas luka yang melegenda di dahinya, yang tidak pernah sakit lagi selama sembilan belas tahun terakhir. Ginny memandang Hermione yang tersenyum dan Ron memandang santai dia dengan kedua tangan panjangnya di saku jubah.
"Ya, aku tahu."
Semua baik-baik saja, di sana, tentu.
-oOo-
Disclaimer: Miss J. K. Rowling.
Mimpi memang seperti sangat nyata jika terlalu panjang dan jelas, tapi begitu bangun itu tetap saja hanya mimpi
- CHAPTER 1: MIMPI BAGINYA -
"Lihat! Dia melambai-lambai, pasti di mimpinya dia juga sedang melambai, sambil tersenyum seperti itu lagi," setelah mendengar itu, Harry mendengar Ron tertawa. "Aneh sekali... Lucu,"
"Shh, Ron!" kata Hermione. "Harry, kau sudah terbangun?"
Harry baru sadar kalau matanya tertutup, dan dia berusaha membukanya, entah kenapa agak berat matanya dibuka seperti sudah sembilan belas tahun tertutup terus seperti itu.
Begitu berhasil cahaya matahari musim panas langsung menerpanya tepat di wajah, dari sebuah jendela yang terbuka gordennya seperti tidak wajar jika ada di sana.
Ia mengerjap dan mengernyit, tapi walaupun pandangannya berbayang-bayang dia tahu kalau Ron dan Hermione ada di kedua sisi tempat tidurnya, memandangnya seolah memandang anak mereka yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.
Ingin pandangan lebih jelas, dia menjulurkan tangannya ke sisi kiri, sisi Hermione, ke sebuah meja berlaci tepat di samping ranjangnya yang sudah dia ketahui tempatnya dengan sangat pasti.
Tapi begitu meraba beberapa kali di sana dan yakin sudah semua permukaan ditelusurinya, Harry tidak juga menemukan kacamata bulatnya itu.
"Di mana kacamataku?" gumamnya, tidak terlalu berharap apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kacamata itu langsung mencantel mendadak di tempat itu seharusnya berada, seketika pandangan Harry jelas seperti biasanya. Dan dia melihat tangan Hermione ditarik mundur, membuatnya langsung sadar bahwa Hermione yang memakaikan kacamatanya.
"Oh, terima kasih," gumam Harry. Ia melihat Hermione mengangguk kecil, lalu dia mengambil posisi duduk di tempatnya tidur sebelumnya, bersandar pada kepala ranjang besarnya.
"Sepertinya mimpimu bagus, sobat," kata Ron dengan seringaian yang membesar.
"Hah, apa?" gumam Harry tidak mengerti.
"Kamu... Mimpi." kata Ron dengan lebih jelas supaya Harry paham, tidak mempedulikan apapun. "Kutebak di mimpimu kau melambai pada seorang gadis kan, Harry, mengaku saja... mungkin dia itu adalah Veela..."
"Apa maksudmu?"
Hermione berusaha bertukar pandang bingung dan cemas pada Ron, yang sayangnya tidak sependapat.
"Memangnya kau mimpi apa?"
Harry memandang Ron tidak mengerti. "Mimpi?"
Ron mulai agak bingung juga akan kelambatan daya tangkap sahabatnya itu yang sepertinya jelas menurun.
Hermione yang sudah paham itu dari awal mengatakan kecemasannya, "Apa ada yang aneh di mimpimu, Harry? Kulihat kamu seperti merasa aneh di mendengar sesuatu dari perkataan Ron,"
Harry berusaha menyambungkan semua jaringan kehidupannya untuk berpikir yang entah kenapa sangat kaku, benar-benar seolah habis dibekukan hidup-hidup selama puluhan tahun. Tapi Ron yang tidak setuju yang menjawabnya,
"Oh, ayolah, Hermione... masa-masa mimpi aneh ala Voldemort sudah berakhir. Dia sudah mati." kata Ron pasti. Ia sudah sangat terbiasa mengucapkan nama itu sesudah kematiannya. "Sekarang saatnya kita menuai benih yang kita tanam, memetik buah keberhasilan yang pasti manis, atau apalah... Ok, lupakan kata mutiara atau ungkapan pepatah itu... Ayo, ceritakan mimpimu, Harry!"
Harry mulai mendapat ingatannya lagi. Inti dari kata-kata Ron dan maksud dari mimpi yang memang dialaminya, Mimpi yang panjang sekali kalau begitu, sudah tercerna se-yang diperlukan untuk menjawab repetan Ron.
Harry sudah berancang membuka mulutnya untuk menjawab, ketika Ron dengan gesit memotongnya lagi.
"Oh, apa ini mimpi yang diceritakan di antara laki-laki saja, tidak ingin didengar Hermione..." katanya, tidak melihat delikan Hermione yang biasanya membunuh lalat dalam radius terdekat, "bisa kan Hermione, tinggalkan kami berdua," lalu dengan polosnya menambahkan dalam bisik yang terdengar, "Nanti kuceritakan,"
"Oh, Dewasalah sedikit lagi, Ron," sahut Hermione setengah sabar setengah jengkel. "Harry baru akan bercerita... ayo, Harry, apa yang diimpikan olehmu? Siapa?"
Harry benar-benar merasa seperti anak kecil yang sedang dipaksa meminum ramuan obat yang pahit. Tapi melihat keseriusan dan rasa penasaran yang besar di kedua wajah sahabat terbaiknya itu dan tidak ada tanda Ron akan menyela perkataannya lagi... Dia mengalihkan pandangan ke arah pintu keluar kamarnya, yang dulunya milik Sirius, walinya, di Grimmauld Place nomor 12.
"Aku melambai pada anakku," jawab Harry. "Aku memimpikannya."
Harry tidak perlu memastikan untuk mengetahui sejauh mana dagu Ron jatuh atau seberapa panjang alis tebal Hermione melengkung, karena dia sangat bisa untuk membayangkannya.
Ketika meliriknya, dua orang itu sedang saling pandang dengan ekspresi berlapis-lapis tak tentu.
"Hanya itu yang kuingat..." kata Harry datar.
"Itu keren..." Ron nyaris berseru, "kau bisa melihat masa depan? ketika kau sudah punya anak? apa ini yang dinamakan Ramalan Mimpi, Hermione?" ia diam, lalu melanjutkan, "apa kau er, dengan-"
Harry tahu apa maksud Ron yang alisnya terangkat mencoba membuatnya mengerti. Dan sepertinya iya, Harry tidak begitu ingat bagian itu. Yang dia ingat sangat jelas adalah Ron dan Hermione sudah mempunyai dua anak dimimpinya. Tidak mengerti kenapa, dia tidak ingin menceritakan hal itu pada dua sahabat di hadapannya tersebut.
Hermione tidak menjawab pertanyaan Ron yang ditanyanya. Lalu Harry melihat mata Hermione masih menatapnya lekat tidak terpuaskan oleh jawaban Harry.
"Percayalah, hanya itu yang kuingat, tidak ada lagi yang lain," katanya datar lagi pada Hermione.
Setelahnya, berwaktu-waktu kemudian, keheningan canggung yang jarang tercipta, hampir tak pernah, menyelimuti ruangan mereka bertiga bernapas.
Ron nampak jelas menahan sesuatu pertanyaan yang sudah menggantung di langit-langit mulutnya, karena setiap dia membuka mulut pelan, yang dilakukannya ada tiga kali, tak pernah ada yang tersuarakan dan terdengar telinga normal manusia, telinga Harry.
Sampai suara Mrs Weasley dengan lantang menyeruak dari lantai bawah. "SARAPAN SUDAH SIAP... KALIAN YANG DI ATAS SEGERA TURUN, ITU PUN KALAU MAU MAKANANNYA TIDAK HABIS OLEH ORANG LAIN..."
Harry mengangkat alis pada Ron dan Hermione, mereka seolah terbius oleh Harry yang tak melakukan apa-apa.
Ron segera tersentak sadar, ia berpaling pada pintu, dan mengatakan, "Itu Mum... dan, Harry, lupakan yang tadi, kau bisa menceritakannya lain kali kalau sudah ingat..." lalu melanjutkan dengan nyengir, "Ayo, segera turun ke bawah... Kurasa kau akan terkejut saat itu, Harry..."
Harry penasaran pada itu.
"Cepat beres-beses di penampilanmu..."
Dan Ron sudah beranjak berdiri, berbalik badan, berjalan membelakangi ranjang ke pintu keluar... Mungkin baru tiga atau dua langkah, Ron mendadak berhenti, kemudian berbalik badan seolah suatu organ dalam tubuhnya tertinggal di tempat dia sebelumnya duduk.
Namun Hermione yang tidak ikut Ron berdiri dan masih nyaman di sisi ranjang Harry mendului Ron berkata,
"Selamat ulang tahun, Harry!" katanya senang.
"Apa?"
"Yeah, selamat ulang tahun yang ke-18, Harry," seru Ron berjalan ke Harry lagi. "aku hampir saja lupa mengucapkannya, kau sudah dalam usia kerja seperti kami saat ini..."
"18?"
Hermione yang selalu sadar akan keanehan di sikap Harry, juga menangkap reaksi yang kedua kalinya itu. Ia merasa Harry mirip orang amnesia mendadak akan beberapa hal. Tapi dia tidak mengutarakannya.
Ron yang tidak seperti Hermione, mengatakan, "Hadiah kami semua ada di bawah, Mum menahannya setelah baru bangun... katanya ingin dia tata atau apalah semacamnya,"
Harry mengangguk saja. Ron sudah pamitan lagi yang kali ini mengajak Hermione. Hermione bangkit berdiri dan mengikutinya keluar meninggalkan Harry untuk merapikan diri. Lalu mereka berdua menghilang ke balik pintu.
Harry memandang kosong tempat mereka terakhir terlihat. Duduk terlalu lama mencerna informasi yang tidak dimengertinya lagi. Ia masih 18 tahun.
Sepertinya yang dialaminya tadi memang mimpi. Walaupun dia sampai mengetahui apa yang ada di saja. Di mana dia ingat semua kenalannya memiliki kehidupan mereka masing-masing, apa yang mereka lakukan, pekerjaan mereka seluruhnya. . . Saat itu, dia mengetahui apa yang terjadi dengan seluruh orang yang dikenalnya walau mereka tidak di sekitarnya. Itu semua hanya ada di ingatannya saat melepas Albus Severus Potter di King's Cross, namun sekaligus tahu itu juga cuma mimpi.
Dimana di sana Luna mungkin sedang jalan-jalan dalam rangka bulan madunya bersama suaminya, Rolf. Seamus yang mengomentari semua pertandingan liga Quidditch seluruh Inggris. Dean yang menjadi salah satu karyawan Departemen Olahraga Kementrian Sihir. Adik Colin, Dennis Creevey, yang menjadi Auror juniornya... Dan lainnya. Sungguh-sungguh mimpi yang lengkap dan panjang.
Harry menggeleng.
"Itu mimpi?" gumamnya pada diri sendiri, "Aku masih delapan belas tahun..
"Benar-benar aneh."
BERSAMBUNG
N/A: Akan belasan chapter. Perhaps. Tadinya ga bakal dipublish sebelum komplit, tapi si penulis ga bisa nahan diri. Yang jelas gabakal sekeren fic multychapter yang terakhir. Sejelas akan mem-pairingkan Harry dan Hermione. Jadi kemungkinan akan jadi Alternate Universe yang lain, walau dengan canon yang lengkap. Maafkan si penulis ya akan apapun kesalahannya… He's just a boy who wanna tell her tale…
