Summary: Keinginanku hanya satu, memilikinya. Akan kukorbankan semua yang kumiliki jika perlu, bahkan nyawa sekalipun. Tetapi aku tau, keinginanku tidak akan terpenuhi karena aku punya satu penghalang. Takdir.
Warning: typo, alur kecepetan, death chara, OOC, kagamine lenrin incest
Desclamair: vocaloid © yamaha dan crypton future media.
A/N: huhu, pertama kali bikin lenrin angst. Entah kenapa kepengen liat len menderita disini, dan dia emang menderita'kok. Kurasa…
Ruthriftkya Vernal present:
Fate
"Aku mencintaimu..."
Gadis itu menghentikan langkahnya. Memutar badannya, menghadap ke belakang -kearah seorang pemuda yang tengah terguyur hujan tanpa ada niatan untuk melindungi diri.
Sang gadis menautkan alisnya. Ia tidak mendengar apa yang diucapkan pemuda dihadapan nya, tapi ia tau pemuda itu mengucapkan sesuatu. Hujan menghambat semuanya. Termasuk pesan dari si pemuda.
"Apa?"
Bertanya dengan bingung, sang gadis melangkahkan kakinya mendekati si pemuda
"Aku mencintaimu..."
Terbelalak.
gadis itu terbelalak. Menghentikan gerakannya, Menganga tidak percaya ke arah pemuda pirang yang baru saja berucap lirih.
Mengangkat kepalanya, ia menatap sang gadis dengan tatapan sayu nan pucat. Dengan sedikit gemetaran, ia memaksakan tubuhnya tegak diantara dinginnya air hujan yang hancur ketika menyentuh kulit.
"Sangat mencintaimu..."
Lirihan kembali terdengar.
Mengerjap beberapa kali, sang gadis menunduk dalam.
"A-apa yang kau katakan len...?"
Tersenyum getir. Gadis itu perlahan mengangkat kepalanya, menatap sedih pemuda di hadapannya.
"...j-jangan bercanda, ayo cepat masuk dan keringkan badanmu..."
"Aku sungguh sungguh..."
Sang pemuda menjawab tegas, melupakan fakta bahwa suara nya tengah bergetar.
Menatap lurus si gadis -meski dengan pandangan sayu. Menggigil dalam diam, tidak memperdulikan badannya yang meraung memintanya untuk masuk ke dalam rumahnya -menikmati kehangatan yang disajikan. Menikmati setiap rasa nyaman dan tenang yang tersedia.
"Len..." Sang gadis memanggil sendu, menatap prihatin pemuda di hadapannya
"Aku mencintaimu..."
Kembali ia ucapkan, dua kata penuh sihir yang sangat didambakan setiap orang. Perlahan liquid bening berkumpul di sudut mata sang gadis, menanti kesempatan agar bisa keluar dan membanjiri setiap inci wajahnya.
"Rasanya sakit..."
Pemuda itu kembali berucap. Menyentuh dada sebelah kirinya-jantungnya. Mengisyaratkan bagian yang disentuhnya merasa sakit. Sakit yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Sakit yang hanya bisa dirasakan olehnya seorang. Sakit yang menyiksanya selama bertahun-tahun. Tanpa ada obat untuk menghilangkannya –dan meskipun ia tahu obatnya, ia tak akan bisa mendapatkannya.
Sang gadis hanya bisa terdiam. Liquid bening menyeruak memaksa keluar, menghancurkan tembok kokoh yang berusaha dibangunnya dengan susah payah, mengaliri pipi putih kemerahan miliknya hingga meninggalkan jejak-jejak basah yang membuktikan bahwa gadis itu kini tengah menangis.
"L-len... Kau tau itu tidak mungkin..."
Sang gadis menatap sendu, air mata memenuhi wajahnya yang sudah tidak karuan. Isakan demi isakan terdengar dalam keheningan diantara mereka berdua. Tak peduli seberapa kuat sang gadis berusaha menahannya, isakan itu tetap meluncur keluar dengan sendirinya, seiring dengan air matanya yang mengalir tanpa henti. Gadis itu memeluk dirinya sendiri, menahan hawa dingin yang menusuk tulang tulangnya.
"Aku tau..."
"L-Lalu untuk apa kau bilang seperti ini padaku...?"
Berbisik dengan suara parau. Sang gadis hanya bisa terdiam di tempat. Menundukkan kepala, berusaha menutupi wajahnya.
"Aku sangat mencintaimu..."
Pemuda itu kembali mengulang kata katanya bak sebuah robot. Mengucapkan kata yang sama berulang kali tanpa henti.
"Hentikan!"
Pekikkan sang gadis menggema dalam dinginnya malam. Menembus derasnya hujan, menghentikan nafas pemuda di hadapannya dalam beberapa detik.
Sang gadis mengangkat kepalanya cepat, menatap tajam pemuda di hadapannya.
"Hentikan...Aku tidak ingin mendengarnya lagi..." Ia menutup kedua telinganya rapat, mencoba menghalau suara dari sang pemuda yang terus memaksa masuk. Air matanya bercampur bersama hujan yang kini mengguyurnya tanpa henti.
Perlahan gadis itu berjalan mendekati pemuda yang hanya bisa melihatnya sayu dengan wajah pucatnya.
"Len... Aku mohon..." Gadis itu bergumam lirih
Pemuda di hadapannya menerawang, menatap sosok yang semakin lama semakin mendekatinya. Perlahan, kakinya bergerak. Bergerak secara perlahan menuju gadis yang tengah menangis menatapnya. Ditariknya sang gadis kedalam rengkuhannya. Mencoba menyalurkan rasa hangat dari badannya -meski hanya dingin yang tersisa.
Memeluknya erat, menumpahkan segala rasa yang dipendamnya. Memendamnya dengan sangat kuat, mengucinya dalam sebuah kerangkeng baja dan menelan kunci itu -hingga rasa itu akan terkubur dan tidak bisa bangkit lagi.
Namun siapa sangka, rasa itu jauh lebih kuat daripada tekadnya untuk menguburnya. Rasa itu bangkit kembali hingga ia hampir kehilangan akal sehatnya. Kehilangan akal sehatnya akan yang benar dan salah -hingga hampir menghancurkan seseorang yang sangat dicintainya.
"Aku mencintaimu..." Pemuda itu bergumam lirih tepat di telinga si gadis.
Tanpa bisa menahan tangisnya, sang gadis memeluk erat sosok pemuda di hadapannya, menumpahkan rasa kecewa mendalam yang menimpanya. Semakin lama, sang pemuda semakin pucat. Badannya yang semakin lemas tiap detiknya membuktikannya. Terguyur hujan dalam waktu yang lama tidak baik untuk kesehatan.
"Aku mencintaimu..."
Sang gadis menggertakkan giginya. Menahan dingin dan amarahnya yang memuncak.
"HENTIKAN LEN!"
Gadis itu menjerit marah sembari mendorong pemuda yang tengah memeluknya. Membuat jarak antara dirinya dan si pemuda yang masih menatapnya sayu. Sang gadis berjalan mundur secara perlahan, menggigit bagian bawah bibirnya hingga memerah.
"Kau tau, itu tidak mungkin..."
Gadis itu menoleh ke samping, berusaha menahan amarahnya "Takdir tidak akan mengijinkan!"
"Aku tau..." Pemuda itu menunduk dalam "karena itu..."
Pemuda itu mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah benda menawan yang sangat indah saat diterpa sinar rembulan -tetapi cukup berbahaya saat kau menggunakannya untuk tujuan lain.
Sebuah pisau.
"Akan kubuang takdirku..."
Sang gadis menoleh cepat saat pemuda di hadapannya mengucapkan hal yang aneh di telinganya. Bersamaan dengan dirinya yang menoleh, matanya membulat kaget melihat benda yang digenggam pemuda di hadapannya.
"Aku sangat mencintaimu..."
Jleb
Sang gadis hanya bisa terbelalak dengan bibir yang menganga tidak percaya.
Ini bohong'kan...?
Katakan bahwa hal yang terjadi malam ini adalah kebohongan belaka.
Katakan bahwa pemuda di hadapannya tidak pernah mengucapkan 'aku mencintaimu' dengan nada sendu berkali kali.
Katakanlah ia sedang bermimpi diruang tamu dengan pemuda itu disamping nya menjadi sandarannya.
Katakan bahwa pemuda itu kini tengah tersenyum ke arahnya seperti hal yang biasa dilakukannya.
Katakan bahwa pemuda itu tidak sebegitu bodohnya hingga nekat mengambil benda itu.
Katakan bahwa, pisau itu tidaklah merobek perut pemuda itu hingga ia jatuh tersungkur...
Katakan bahwa itu bohong...
Seseorang katakanlah!
Pemuda itu kini meringis dalam diam. Menopang berat tubuhnya dengan kedua tangannya yang tergenang cairan merah berkilau.
Cairan merah.
Darah.
Darahnya.
Ia tersenyum kecil. Napasnya memburu, seakan jiwanya sedang ditarik sedikit demi sedikit. Meninggalkan wadah kosong yang selama ini dan seterusnya disebut tubuh.
Ia menengadah perlahan. Mengamati wajah gadis yang dicintainya -Setidaknya sebelum ia meninggalkan dunia ini.
Gadis itu terpaku. Badannya serasa mati rasa hingga ia tidak mampu berbuat apapun.
"A-aku... mencintai... mu..."
Pemuda itu kembali melontarkan kata kata yang sama -meski dengan kondisi yang berbeda. Sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Sang gadis tersentak dan segera berlari menuju pemuda yang tersenyum kecil ke arahnya.
"Len! Kau bodoh! Apa yang kau lakukan?!"
Sang gadis berteriak panik. Segera bersimpuh disamping si pemuda dan mengangkat kepalanya hingga berbaring di pangkuannya.
"J-jangan bodoh len. Aku tidak mau kehilanganmu..."
Tangis sang gadis kembali pecah. Kembali mengaliri setiap wajahnya. Kembali membasahinya. Pemuda di pangkuannya hanya tersenyum kecil. Membelai pipi si gadis dengan sisa kekuatannya hingga meninggalkan bercak merah disana.
"T-tenanglah... Aku akan menelpon ambulance,"
Sang gadis merogoh setiap kantung di pakaiannya dengan panik.
Gerakannya terhenti ketika si pemuda menahan pergerakan tangannya dengan senyum kecil.
"T-tidak...hah... per...lu..."
Perlahan tangannya mendorong kepala gadis itu hingga mendekat ke arahnya. Ia tersenyum kecil, masih dengan nafasnya yang memburu. Ia mendorong kepala gadis itu semakin mendekati wajahnya -lebih spesifik, bibirnya. Hingga akhirnya bibir mereka berdua bertaut. Sang gadis hanya bisa tersentak, tetapi tidak ada niatan melawan.
Sang pemuda mencium si gadis tanpa memperdulikan mulutnya yang memuntahkan darah. Ciuman mereka yang awalnya biasa kini menjadi bloody kiss, sebagai ciuman pertama dan terakhir mereka.
"A-aku... hah... sa-sang...at...me... mencin.. tai...mu..."
Pemuda itu menutup matanya, bersamaan dengan tangannya yang terkulai lemah membentur tanah.
"Rin..."
Sang gadis membelalak. Diraihnya tangan sang pemuda yang sudah terlukai tak berdaya. Dingin. Sangat dingin. Sang gadis membulatkan matanya.
"L-len...?" Dengan suara bergetar, ia memanggil nama pemuda yang kini tengah tertidur di pangkuannya. Berusaha tersenyum. Ia tersenyum memaksa walau nafasnya tersengal "j-jangan bercanda…"
"bangunlah…"
"bangun…"
"…ukh…"
"kubilang bangun, bodoh!"
PLAK
Sang gadis berkali-kali menguman lirih, memerintahkan pemuda di pangkuannya untuk bangun. Hingga akhirnya ia menjerit dengan tangan yang reflek menampar pipi pemuda itu. Tetapi, tak ada respon. Jelas tak ada. Dan tak akan pernah ada. Pemuda itu telah pergi. Telah pergi dari sisinya. Dari dunia mereka. Dari dunia ini. Meninggalkan kenangan pahit untuk si gadis. Kenangan yang sangat pahit.
"HWAA!"
Sebuah teriakan menggema. Meninggalkan perasaan bingung dari setiap orang yang mendengarnya –itu'pun jika ada yang mendengarnya.
"LEEEN!"
Sang gadis menjerit. Meluapkan perasannya dengan sisa tenaga yang dimilikinya hingga dirasa tenggorokannya bergetar sakit. Ia meraung bagai anjing kepalaran, tanpa memperdulikan dirinya yang tengah terguyur hujan yang sedari tadi sangat menikmati pertunjukan yang dilakukan mereka berdua. Dipeluknya tubuh tak bernyawa di hadapannya dengan perasaan hancur antara sedih, kecewa, marah, menyesal, dan beberapa perasaan lain yang belum bisa didefinisikan olehnya. Hanya tangisnya yang menemaninya dalam kesendirian dimalam ini. Hanya tangisnya. Tanpa suara lembut yang selalu memanggil namanya. Tentu saja, karena pemilik suara itu kini telah pergi.
Semakin lama, tangisnya semakin mereda, meski isakan masih terdengar, hingga sebuah gumanan lirih dikeluarkannya.
"sebenarnya… hiks… aku juga mencintaimu…"
End...
Omake
Seorang wanita paruh baya terlihat berjalan memasuki bangunan besar nan megah dengan langkah berat. Berjalan dalam diam dengan pandangan sendu yang mengarah pada lantai yang akan dipijaknya. Ia menghela nafas. Lalu mengangkat kepalanya dan mulai berjalan biasa mencari ruangan yang ditujunya. Setiap kali ia mengalihkan perhatian, yang dilihatnya hanya putih semata. Mulai dari tembok, lantai dan langit-langit, bahkan tempat tidur didalam ruangannya juga putih, sudah bisa dipastikan bangunan apa ini. Benar, rumah sakit.
Wanita itu menghentikan langkahnya ketika menemukan ruangan yang sedari tadi dicarinya. Nafasnya tercekat setiap kali harus berada di sini. Perlahan, diraihnya gagang pintu dengan tangan sedikit gemetar. Kembali ia menghembuskan nafas untuk menenangkan diri, menahan air yang akan membanjiri wajahnya dan mengancurkan riasan yang sudah dipakainya. Ia mendorong gagang itu hingga terlihat sebuah ruangan putih dengan seorang gadis yang terduduk dengan mata sayu melihat kosong ke arah tembok didepannya. Mata itu sangat gelap. Mata itu telah kehilangan sinarnya.
Sang wanita tersenyum getir.
"kaa-san datang mengunjungimu lagi," Ia berusaha berucap seceria mungkin, meski hatinya teriris setiap ia mengucapkan kalimat itu. "bagaimana kabarmu? Sudah baikan?" Diletakkannya keranjang buah yang sedari tadi digenggamnya. Dengan perlahan ia mendekati gadis itu dan memeluknya.
"len pasti bahagia disana, jangan khawatir…" Dieratkannya pelukannya pada gadis yang badannya jauh lebih kecil darinya. Sangat kurus dan pucat. Sang gadis tidak merespon, bahkan ia hanya terdiam ketika dipeluk, bagai sebuah tubuh tanpa jiwa.
"cepatlah sembuh… rin…"
End.
Ru: tehe, bikin cerita sedih, tapi ga sedih # headbang #
Rin:...jadi...Aku gila...?
Ru:...hehe...he...
Len: aku bunuh diri...?
Ru: # siulsiulgajelas # padahalgabisabersiul#
Len: kau tau, aku lebih memilih mengejar rin daripada bunuh diri
Rin: aku ga mungkin gila cuma karena len mati,
Len: kejem.
Ru: buset, jangan bikin humor napah? Ceritanya ini sedih
Rin: bukannya sudah kukatakan... Aku ga mungkin-
Len: rin, jangan buat hatiku tambah hancur
Ru: benar, len tidak boleh lebih sakit dari ini. Seharusnya kau menghibur nya rin
Rin: baiklah, baiklah
Ru: dan untuk alasan tertentu, aku publish ini sekalian sama len's feeling. mumpung inget =_=v.
