Disclaimer BLEACH © Tite Kubo
Three of Us © ChapChappyChan
Pairing : Ichigo x Rukia
Rate: T
Genre : Hurt
Warning : no flame- OOC-Typo(s)-AU
Note : fanfic dedikasi buat seaside field *maap kalo namanya salah XD. Maap, idenya hurt-hurt'an... nggak tau kenapa... hehe.. semoga suka...
Aku sudah tidak bisa menjamah dada bidangnya lagi. Kupandangi dirinya yang terus melantunkan tawa bersama wanita lain. Segera saja kutinggalkan meja ini, dan menyisakan beberapa lembar uang di atasnya. Kacamata hitamku nampaknya mulai melorot, sebaiknya segera kubenahi dan lekas pergi dari sini. Namun niat itu kuurungkan tatkala tawa yang kudengar tadi berubah menjadi geraman amarah.
Memang sudah beberapa kali aku memergoki mereka seperti itu. Haruskah aku senang atau malah prihatin? Biar sajalah, aku ingin segera pergi. Aku tidak ingin Youichi menunggu lebih lama di depan sekolah.
.
.
.
.
Kulihat mata tajam itu dari kejauhan, mata tajam itu semakin jelas seiring aku berjalan mendekatinya. Kepala tertunduk itu pun kini menengok ke arahku.
"Ibu..." nada bicaranya membuatku bingung. Raut datar yang ia buat begitu kontras. Kuusap pelan rambut hitamnya. Dia sangat tampan dengan itu. "Mau sampai kapan ibu seperti ini? Jika ayah memang sebrengsek itu, maka ibu tidak perlu merindukannya." Astaga, perkataan anak ini. Kukunci bibir tipisnya itu dengan telunjukku.
"Sssh.. Anak SD tidak boleh berkata seperti itu.." kuciptakan sebuah kerutan di dahiku agar dia tahu bahwa aku tidak suka.
"Jadi, kalau aku sudah dewasa aku boleh mengatakan hal itu? Sudahlah..." dia memalingkan paras tampannya dariku. Ingin sekali kupeluk dirinya. "Aku tidak ingin ibu merasa sakit." Lirihnya. Aku tidak kuasa untuk mendekap tubuh yang tingginya hampir melampauiku ini.
"Ibu kan selalu tersenyum kepadamu, mana mungkin ibu merasa sakit. Selama ada kamu.. Ibu tidak apa-apa." Aku merasakan helaan berat nafasnya. Dia tak berkata-kata lagi. Tubuh ini sangat hangat. Siapa pun istrinya kelak, pasti akan sangat bahagia mendapatkan pelukan seperti ini. "Nah, kalau begitu ayo pulang. Lagi pula kau ini manja sekali sih. Tidak malu menunggu ibu seperti ini? Kamu sudah kelas empat loh." Kulepas perlahan pelukanku, kugantikan dengan genggaman erat di tangan kirinya. Lagi-lagi dia memalingkan wajahnya.
"Aku punya alasan sendiri." Tak peduli dengan alasannya. Yang terpenting, aku bisa selalu melihat wajahnya ini. Aku sudah sangat senang.
.
.
.
.
.
Rumahku memang kecil dan sederhana, jadi suara telepon yang berdering itu tak akan luput dari pendengaranku. Ketika aku hendak mengangkatnya, Youichi selalu mendahuluiku. Entah mengapa, aku merasa dia over protective terhadapku. Geli rasanya memang, tapi anak lelakiku itu terlihat selalu ingin melindungiku.
"Dari siapa?" usai mencuci tangan berlumur tepung, aku mendekati Youichi yang baru saja menutup gagang telepon.
"Salah sambung, bu."
"Benarkah? Aneh sekali, ini sudah yang kelima kalinya lho. Apa ibu perlu menanyakan nomornya pada petugas? Siapa tahu itu teror." Kubuat mimik sengeri mungkin agar Youichi sedikit tergelitik.
"Tidak usah, bu. Aku bisa mengatasinya." Pria kecil itu melenggang, bahkan ia tidak tersenyum melihat ekspresiku ini. Emm...apa dia dibully?
.
.
.
.
.
"Apa tadi itu pengantar paket?" aku menebak-nebak siapa yang memencet bel tadi. "Paket ibu sudah datang ya?" aku menambahi pertanyaanku karena Youichi tidak lekas menjawab, sementara aku tadi masih berada di kamar mandi.
"Pengantar paket, bu. Tapi salah alamat."
"Begitu ya? Sayang sekali, padahal ibu sudah menunggu kiriman dari kakek." Aku penasaran, apa benar pengantarnya salah alamat? Pintu mahoni itu kubuka sedikit agar terbentuk celah ke luar rumah. Apa itu? Pria jangkung yang barusan masuk ke mobil itu bukankah Ichigo? Kulirik Youichi yang mulai menjauh dari jarak pandangku. Kenapa dia berbohong?
.
.
.
.
.
Entah kenapa suara telepon itu membuatku deg-degan. Ini saat yang tepat karena Youichi sedang tidak di rumah. Aku bisa mengangkat telepon itu sendiri dan bisa memastikan bahwa ini bukan orang iseng. Aku punya firasat yang aneh. Semoga dengan ini aku bisa merasa lega.
"Moshi-moshi."
[Rukia...]
Suara ini sangat familiar. Sebenarnya aku sudah sering mendengar suara ini. Tapi kenapa dia menelepoku?
"Ada perlu apa?"
[Bagaimana kabarmu dan Youichi?]
Aku tidak yakin jika dia menelepon karena rindu. Anak perempuannya bersama Senna sudah berhasil membuat dirinya lupa akan keberadaan Youichi.
"Kau sendiri?" dasar Ichigo baka. Tentu saja aku masih merasa sakit setelah dia tinggalkan beberapa tahun lalu. Tapi, entah kenapa, suara yang kembali ditujukan padaku ini membuat rasa sakitnya mereda.
[Sebenarnya aku merasa tidak baik-baik saja.]
"Kenapa?"
[Karena kau tidak di sisiku.]
Astaga. Bagaimana ini? Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku.
"Lalu?"
[Berpisah denganmu adalah hal terburuk yang pernah kupilih. Aku menyadari, perasaanmu padaku begitu tulus. Kau bahkan bisa tersenyum saat aku menceraikanmu..]
Karena perceraian itu bisa membuatmu lebih bahagia saat itu, jadi aku tersenyum.
[..Aku ingin kita bersama lagi, Rukia. Kau, aku dan Youichi.]
"Lalu bagaimana dengan Senna dan Rin? Aku tidak ingin kau menyakiti mereka karena aku."
[Kami sudah bercerai sekitar dua minggu yang lalu. Dia selingkuh.]
Sudah lama aku tidak membuntuti mereka sih, jadi aku memang tidak tahu kalau mereka sekarang sudah bercerai. Dan kini Ichigo membuka hatinya kembali untukku?
[Bagaimana Rukia? Aku ingin kita menikah lagi.]
"Menikah ya..." aku menggantungkan kalimatku. Memang agak sulit memutuskan hal ini. Aku pun harus bertanya pada Youichi. "Sebaiknya aku menanyakan ini pada Youichi."
[Kenapa harus bertanya? Dia adalah anak kandungku, Rukia.]
Kugigit bibir bawahku. Aku akan merasa bersalah jika tidak mengatakannya pada Youichi.
"Entahlah.. aku hanya merasa bahwa aku harus menanyakannya."
[Emm.. baiklah. Kuharap kau bisa menghubungiku jika kau sudah bertanya pada putra kecil kita.]
"Iya, aku akan menghubungimu."
[Tapi, sebelumnya, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.]
"Tanyakan saja, Ichigo."
[Apa kau masih mencintaiku?]
"Ibu?" Youichi tiba-tiba ada di depanku dengan raut wajah yang sangat masam. Ada apa dengannya? Apa dia disakiti teman-temannya? Tatapan tajam itu seolah menghunusku. Aku tak lekas menjawabnya karena aku masih bingung dengan keadaannya. "Jika ibu sayang padaku, tutup teleponnya sekarang!" perasaan apa ini? Aku sedikit kaget dengan apa yang dia ucapkan.
"Tentu saja aku sayang padamu." Gagang itu pun lekas kututup dengan suara samar yang terdengar dari sambungannya.
[Terima kasih, Rukia.]
.
.
.
.
.
Hari ini cukup menyenangkan. Melihat pahlawan kecilku memakai pakaian training begitu membuatku ingin mencubit dan menciumnya. Terkadang kami memang jogging sampai ke taman kota ketika hari libur. Youichi nampaknya juga bersemangat hari ini, terbukti bahwa dia bangun lebih awal dariku. Wajah datar berkeringat itu membuatku gemas dan ingin mengusilinya. Akhirnya kucomot sebelah headset-nya dan kupasang di telingaku.
"Ibu penasaran, kenapa anak laki-laki suka jenis musik yang seperti ini." kudengarkan alunan yang begitu energik itu.
"Aku juga penasaran kenapa ibu suka musik klasik.." dia menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Itu karena ayahmu dulu—"
"Ibu, minta minum." Kuturuti permintaannya seraya mengelap bulir-bulir keringat yang menghiasi wajahnya. Kurasa sudah cukup, aku pun mengembalikan posisi headset tadi ke telinganya.
Selesai dengan minumannya, Youichi kembali melanjutkan langkahnya tanpa bicara. Aku pun mengimbangi langkah itu. Duh, kenapa anakku bisa sekeren ini ya? Kurasa aku tidak pernah memberinya bacaan-bacaan aneh. Tapi syukurlah, dia menyayangiku.
"Kuchiki-kun!" ah? Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Err... tapi kurasa 'kun' tidak ditujukan padaku.
"Miwa-san." kini Youichi yang berujar, kemudian kuarahkan pandanganku ke arah yang dituju Youichi. Di sana berdiri dua orang gadis seumuran Youichi. Sama-sama jogging, kurasa. Tapi aku dan Youichi melewatinya karena kami terus berlari, sedangkan kedua gadis tadi nampaknya sedang beristirahat.
"Temanmu?"
"Iya. Kami beda kelas."Youichi mengernyit. Aku yang melihatnya pun tak kuasa untuk tidak bertanya.
"Ada apa, Yuu?"
"Aku tahu jika Miwa-san tidak suka olahraga." Bolehkah aku berteriak sekarang? Kenapa begitu manis! Itu tandanya gadis tadi menyukaimu, nak! "Kenapa ibu senyum-senyum begitu?"
"Tidak apa-apa, ibu hanya merasa kalau ibu sudah semakin tua."
"Maaf, bu. Bukannya aku memuji ibu, tapi belum ada kerutan di wajah ibu." Apa-apaan anak ini. Tawa pun tak bisa kubendung. Segera saja kujitak kepalanya, tidak peduli sekalipun dia mengaduh. Aku sungguh gemas padanya. "Kau tahu? Ibu dulu juga pernah melakukan hal itu."
"Apa? Menjitak anak orang?"
"Tentu saja bukan! Tapi, suatu hal yang Miwa-san lakukan." Youichi terdiam, nampaknya dia mulai tertarik dengan ceritaku. Lantas, kuajak dia duduk di bawah pohon sakura yang sedang tidak mekar. Kuluruskan kakiku terlebih dahulu sebelum aku melanjutkan cerita. "Dulu ibu pernah jatuh cinta pada seseorang. Orang itu sangat terkenal di sekolah. Ada banyak gadis yang berusaha mendekatinya dan mengajaknya berkencan, termasuk ibu. Ibu pernah memberinya surat cinta yang ibu taruh di loker sepatunya, mencoba meneleponnya pun pernah, bahkan ibu pernah menaruh bingkisan di depan rumahnya."
"Ibu agresif sekali." Eh? Darimana Youichi tau istilah begitu?
"Yah, saat itu ibu benar-benar jatuh hati padanya. Suatu hari, ibu sadar bahwa apa yang pernah ibu lakukan tidak akan pernah membuahkan hasil. Jadi, ibu merubah rencana. Hal yang bisa membuat ibu lebih dekat dengannya adalah dengan melakukan aktivitas yang sama. Karena itu, ibu rela masuk ekstrakulikuler basket agar bisa bertemu dengannya. Padahal memegang bola saja ibu tidak bisa."
"Sebegitu penting kah orang itu bagi ibu?"
"Emm... bisa dibilang penting sih. Yang jelas, ibu merasa ingin selalu bersamanya."
"Lalu, apakah berhasil?"
"Seperti yang kau tahu sekarang. Ibu berhasil menikah dengannya dan melahirkanmu."
.
.
.
.
.
Semua sudah kuceritakan, dan Youichi setuju. Aku sangat senang. Keluarga kecilku bisa bersatu kembali. Aku ingin merasakan tiap-tiap kehangatan yang kami ciptakan lagi. Ichigo berkata padaku bahwa pernikahannya akan diadakan besok. Terkadang dia juga mampir dan makan malam bersama aku dan Youichi. Tapi aku tidak mengerti. Youichi akhir-akhir ini jarang berbicara padaku. Belum lagi, dia ngotot untuk ikut study tour hari ini.
Kutengok sosoknya yang tengah berkemas di kamar. Kuketuk sebentar pintunya kemudian masuk.
"Sudah siap?"
"Hampir."
"Ibu sudah menyiapkan sarapan. Kesukaanmu loh.."
"Tidak usah."
Aku menyerah. Sebenarnya dia kenapa?
"Yuu... ada apa denganmu? Ibu sangat khawatir. Apa kau bermusuhan dengan temanmu?"
"Ibu pasti tidak akan mengerti."
"Kenapa bisa kau berpikir seperti itu? Aku adalah ibumu. Seseorang yang melahirkanmu. Mustahil jika ibu tidak akan mengerti." Tatapan Youichi meredup. Dia menghentikan gerakannya. Membuatku merasa sakit. "Ibu sangat menyayangimu. Sangaat... sangaaaat menyayangimu." Kupeluk tubuh yang menurutku mulai rapuh itu. "Tak apa tak mengatakannya. Tapi berjanjilah pada ibu untuk tetap bahagia. Ibu akan sedih jika kau sedih begitu." Samar-samar aku mendengar isak tangis dari Youichi. Tangannya membalas pelukanku. Rengkuhannya begitu erat, seolah-olah aku akan pergi jauh jika dia merenggangkannya.
"Aku juga sangat menyayangimu, bu."
.
.
.
.
.
"Ponselmu sudah kau bawa?" Ichigo bertanya seraya mengelus kepala Youichi. Senang melihat mereka bersama seperti itu, tapi Youichi hanya diam. Mungkin dia masih sedikit canggung dengan Ichigo.
"Nanti sore ayah akan menjemputmu, soalnya kita harus mempersiapkan berbagai hal untuk acara besok. Ayah akan meminta ijin pada gurumu."
"Maaf ya, ibu jadi mengganggu acaramu begini."
"Tak apa."
"Yosh! Kalau begitu, ayah antar kau ke sekolah. Oke?" lagi-lagi Youichi tidak menjawabnya dan langsung berjalan keluar rumah setelah memelukku singkat.
"Dia memang cuek, jangan khawatir."
"Aku maklum, sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin dia belum terbiasa."
"Ku harap kau bisa kembali akrab denga—" kecupan singkat itu bagaikan sengatan listrik yang tiba-tiba menyetrum bibirku. Dasar, Ichigo baka! Aku hanya bisa tersenyum sambil melihat punggungnya kian menjauh.
Aku sangat bahagia.
.
.
.
.
.
Aku sangat bahagia. Aku merasa ada kawanan kupu-kupu mendobrak keluar dari perutku untuk kedua kalinya. Rasanya ingin bercerita pada dunia jika keluargaku akan kembali utuh. Ah, ide bagus. Aku akan menelepon Orihime agar datang kemari.
Aku terus memikirkan hal-hal menarik apa yang bisa keluarga kecilku lakukan setelah aku kembali menikah, seraya mengangkat gagang telepon dan mulai menghubungi Orihime. Dengan senang hati gadis baik itu menemaniku. Semoga saja dia juga cepat menyusulku. Aku tahu, dokter kacamata itu terus mengincarnya. Atau mungkin aku bisa memberi saran pada Orihime?
Bisa kupikirkan saran untuknya sebelum ia datang, tapi kenapa dia datang cepat sekali? Segera aku menuju pintu depan. Segera kulakukan karena Orihime menekan belnya terus menerus. Tidak bisa sabar rupanya.
"Tunggu sebentar." Kuraih knop, dan bukan Orihime. Itu seorang pria, tidak, beberapa pria.
"Nyonya Kuchiki?" salah satu pria itu menanyai identitasku. Setelah itu, bercerita panjang lebar. Cerita yang membuat telingaku tuli seketika. Bukan hanya tuli, aku pun langsung lumpuh.
Lelaki itu terus berbicara. Aku tidak peduli.
"Kau jangan membohongiku, Tuan."
Pria itu diam menanggapiku. Dia mengeluarkan sebuah headset dari saku celananya. Headset yang tidak asing bagiku, berlumuran darah.
"Putramu tewas bersama seorang pria di dalam mobil karena tertabrak truk pagi ini. Aku ikut berduka atas kematian mereka."
Kalimat tak masuk akal itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Ada apa? Padahal Ichigo dan Youichi menyayangiku. Pelukan Youichi baru beberapa menit lalu kudapatkan. Ciuman hangat Ichigo pun sama. Kenapa secepat ini.
.
.
.
.
.
Foto dua orang yang aku sayangi terpajang di ruang tengah, dengan berbuket-buket bunga di bawahnya. Suara bising orang-orang pun mulai tak terdengar. Hanya ada kami bertiga di ruangan ini. Aku, Ichigo dan Youichi. Aku ingin hanya ada kami bertiga. Bukan sendiri...
"Rukia..."
"..."
"Aku akan menemanimu, sampai kau sembuh."
"Grim."
Bagi yang sudah mereview Rubicon, maaf ya... saya masih belum bisa lanjutin... Soalnya saya mau ujian. Minta doa ya... XD
Ini juga cuma fic colongan yang saya bikin dalam rangka ultahnya si seaside field... :3
Akhirr kata, wassalam.
