Hari masih pagi tapi Eren sudah harus berhadapan dengan mahluk aneh. Hange Zoe, atasannya yang eksentrik, sekarang sedang memandangi Eren dengan senyum mencurigakan di meja kerjanya.

"Ada perlu apa Hange-san?" Eren ingin agar pria… salah, wanita itu segera menyelesaikan urusannya dan pergi.

"Ahahaha, maaf, maaf, kau kebingungan ya?" Ia tertawa jenaka. "Aku hanya merasa kau sangat beruntung Eren, padahal belum lama jadi editor di sini."

Seketika wajah Eren berubah cerah. "Gajiku naik ya?!" Serunya ngarep, yang sayangnya segera ditampik oleh Hange, membuat pemuda itu kembali lesu.

"Bahkan lebih baik dari itu, kau tahu?"

Eren tidak yakin ada kabar yang lebih baik lagi selain mendapat voucher gratis all you can eat Burger Queen.

"Selamat! karena mulai nanti kau akan menangani seorang penulis!" Wanita berambut ekor kuda itu mengangkat tangan ke udara, berseru tante girang.

Oh, pekerjaan rupanya, tidak buruk. Setelah empat bulan dipromosikan sebagai seorang editor, akhirnya ia mendapatkan seorang penulis lagi. Penulis yang ia tangani sebelumnya hanya seorang novelis baru yang belum terkenal.

"Siapa orangnya? Apa sudah terkenal?"

Kegirangannya terhenti. Ia menurunkan tangannya. "Nggg…" Hange menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dia cukup terkenal, dengan novel maupun hal-hal lainnya… Tapi yah! Mungkin agak sulit berkerjasama dengannya, tapi berjuanglah sekuat tenaga ya!" Nasehatnya sambil menepuk-nepuk bahu Eren.

"Jadi siapa orang itu Hange-san?" Mengulangi pertanyaannya, Eren mulai tidak sabar.

"Yah, pokoknya kau akan segera tau kok Eren! Tidak perlu terburu-buru, nanti aku akan membawakan dokumennya untukmu, adieu!" Wanita jejadian itu kabur seribu langkah, meninggalkan Eren yang masih bertanya-tanya.

.

.

.

Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama, Author take no profit.

[WARNING]
AU, Lemon gajadi, T++ (dipastikan naik rating ( ͡ ͦ ͜ʖ ͡ ͦ )), Cerita gajelas, Author newbie, Nulis ngasal, Chara labil, Gaya menulis juga labil, Mungkin (semoga enggak) OOC, Garing, Typo, Tidak sesuai EYD, dsb.

Sekedar info, bagi yang gak bisa buka FFn lagi karena Ipo-chan dan kawan2 merusuh, FF ini bisa juga dibuka di Wattpad dengan judul yg sama.

.

.

.

"Rasanya Hange-san aneh sekali pagi ini," ucap Eren sambil memandang kedua rekannya serius. Suaranya agak melebur diantara kebisingan massa kantin Editorial Shiganshina yang memang sewajarnya ramai saat jam makan siang.

"Bukanya dia memang selalu aneh sejak lahir?" Ujar Connie peduli tidak peduli, lebih berminat melahap katsu rice di hadapannya. Mengherankan juga kenapa dia bisa tahu bagaimana Hange saat baru lahir.

"Iya, tapi kali ini berkali-kali lipat lebih aneh. Dia menatapku dengan senyum mengerikan… "

"Kedengarannya buruk," Connie bergidik.

"Jangan-jangan!" Tiba-tiba Marco tersentak. "Soal kau akan menangani Rivaille itu!"

"APA?!" pemuda berkepala plontos itu meyemburkan katsu, dan nasinya muncrat kemana-mana. Ia kembali bergidik, namun wajahnya semakin horor. Sementara Eren berdecak sebal karena nasi yang meluncur dari mulut Connie sukses menempel di wajahnya, yang dengan segera ia singkirkan menggunakan tissue.

"Marco, kau tidak bohong kan?!" Tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Tidak, tadi aku dengar percakapan Erwin-san dan Hange-san, katanya editor Rivaille dipindah dari Oruo-senpai ke Eren"

"Eh? Rivaille?" Eren terkejut mendengar nama itu.

Ia bingung bagaimana dirinya, editor yang masih anak bawang ini akan diserahi penulis sekelas Rivaille. Ia penulis yang cukup banyak jadi perbincangan saat ini, initinya penulis populer, yang judul novelnya banyak menghiasi deret-deret buku best seller di toko.

Tapi ia lebih heran lagi dengan reaksi berlebihan kawan-kawannya dengan Rivaille. Apa ada yang salah dengan penulis yang memiliki identitas diri tertutup itu?

"Aku belum cerita ke kamu ya Eren… soal penulis itu." ucap Marco, menangkap keheranan Eren.

Pemuda bermata hijau itu menggeleng polos.

"Mendapatkan Rivaille sebagai penulis itu, benar-benar kutukan bagi para Editor…"

"Kutukan bagaimana?"

"Aku tidak begitu mengerti sih, tapi ada rumor yang mengatakan semua editor yang berurusan dengan Rivaille akan mendapat nasib sial, apapun itu. Ini sudah jadi pengetahuan umum dikalangan senior."

"Marco, aku baru tahu kalau kau ternyata percaya takhayul."

"Kau salah Eren!" Connie tiba-tiba nyemprot heboh. Ia bangkit dari kursi dan menggebrak meja seraya menunjuk wajah Eren dengan sendok. "Kau tidak tahu kalau Rivaille itu katanya om-om paruh baya mesum homo penyuka berondong yang hobi melakukan pelecahan pada siapapun didekatnya!"

Eren tersedak burger. Terbatuk-batuk setelah berhasil menelan burger yang nyaris salah masuk ke saluran tenggorokannya dengan meneguk sebotol air mineral. Rumor itu berhasil merubah wajah pemuda bermanik zamrud itu pucat.

Sekarang dibayangannya ada om-om paruh baya berperut buncit, berjanggut dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya dan bersenyum mesum mengerikan. Menggerakkan jari-jarinya seolah sedang meraba sesuatu. "Ayo sini main sama om~ 3" ucapnya dramatis.

Eren ingin muntah.

"T-tunggu sebentar! Aku kan editor baru! Masa harus menangani pe-penulis… penulis kayak gitu?!"

"Hei! Sedang membicarakan apa?" Memotong protes nya, tiba-tiba mahluk jelmaan kuda merangkul akrab bahu Marco dari belakang. Eren tidak menyukai kedatangannya. Selain mukanya yang menyebalkan seperti kuda, entah kenapa orang ini selalu mencari ribut dengannya.

"Jean! Katanya Eren akan jadi editornya Rivaille!" Seru Connie heboh.

"Connie! Kenapa memberi tahu dia?!"

"Rivaille? Rivaille yang dibicarakan itu?!" Jean tertawa dan bertepuk tangan keras-keras. "Hebat, beruntung sekali kau Eren!" Ia tertawa makin keras dengan bonus senyum mengejek.

Rasanya Eren ingin sekali menimpuk muka kudanya itu dengan kursi.

Sudah jadi pengetahuan umum kalau Jean memang orang yang terlalu jujur kalau bicara, tapi entah kenapa jika dengan Eren, dia jadi berkali lipat lebih menyebalkan.

"Memangnya kenapa kalau Rivaille hah?" Bangkit dari kursi, Eren menatap Jean murka. Emosinya sudah di ujung kepala, siap meledak.

"Whoa, whoa," Ia mundur selangkah. "Aku cuman bercanda Eren, tidak usah serius begitu. Aku cuma ingin mengingatkanmu agar jaga bokongnmu baik-baik nanti sebelum diperkosa si om," ujarnya dengan tatapan makin mengejek. Connie bersusah payah menahan tawa membayangkannya.

Eren melayangkan tinjunya ke wajah Jean, namun ditahan oleh Marco sebelum tangannya membuat bonyok wajah kuda rekannya.

"Eren! Tahan dirimu! Sabar!" Sahutnya panik, mati-matian mempertahankan lengannya melingkar di ketiak Eren.

Mendengar suara ribut, seluruh isi ruangan memasang mata pada scene epik disana. Mereka tertawa. Jean dan Eren bertengkar, pemandangan biasa. Sorak sorai bersahutan di seluruh penjuru kantin.

"Hahahaha, lagi-lagi Jean dan Eren ya?"

"Ini dia, duo cari ribut Editorial Shiganshina"

"Oi, Eren! Jangan nanggung mukulnya, sekalian buat bonyok sana!"

Eren melepaskan paksa lengan Marco yang menahannya. "Huh, Rivaille atau siapapun bukan urusanmu! Aku tidak takut, tidak sepertimu muka kuda sial! Kalau kau di posisiku sekarang kau pasti sudah lari sambil cepirit!" Serunya dengan lagak selangit.

"Ya! Aku akan segera minta pada Hange-san agar tidak menanganinya! Aku bukan bocah labil kelamaan puber yang suka omong besar sepertimu!"

"Apa kau bilang?!" Eren maju mendekati Jean.

"Kalian berdua ini seperti bocah saja." Suara wanita dengan gaya bicara dingin yang khas menghentikan perseturuan mereka.

Semua kini melihat ke arah gadis bertubuh kecil dengan rambut pirangnya yang dikuncir cepol, duduk tidak jauh dari tempat kejadian.

"Dari tadi aku diam saja, tapi nyatanya kalian membuatku tidak bisa makan dengan tenang, jadi diamlah." Matanya birunya mendelik ganas ke arah kedua pemuda yang bersitegang tadi.

Selepas mendapatkan suasana tenang yang ia harapkan setelah merajam kedua orang itu dengan teguran sinis, fokusnya beralih ke cheese burger dihadapannya. Menu yang sama dengan yang dipesan Eren. Gadis itu lalu makan dengan nikmat.

Kalah total, kedua pemuda itu tidak melontarkan ejekan lagi.

"Po-pokoknya akan kubuktikan kalau aku tidak hanya omong besar," ucapnya dengan suara rendah, memastikan amplitudonya tidak sampai pada telinga gadis yang sedang menikmati burgernya dengan khusyuk.

"Heh, kita lihat saja nanti." Jean berbicara mengikuti cara yang sama dengan Eren.

.

.

.

"Eren, kau yakin tidak mau berbicara pada Hange-san agar dipindah tugaskan?" Ucap pemuda jangkung berambut belah tengah dengan nada khawatir, berusaha menyamai gerak langkah Eren yang berjalan cepat disebelahnya.

"Tentu saja, aku tidak akan menjilat ludahku sendiri." Matanya menatap mantap kedepan, yang jika dipikir-pikir kalimat kerennya itu jadi sia-sia jika ia gunakan untuk perseturuan bocahnya dengan Jean.

"Oh, kalau begitu semoga beruntung, sampai nanti Eren." Marco mengambil jalan di tikungan yang berbeda.

Setelah membalas lambaian singkat rekannya itu, Eren bergegas menuju ruangan Hange. Ia ingin segera mengambil dokumen-dokumen untuk keperluan pergantian Editor padanya.

Eren mempercepat langkahnya.

.

.

.

Saat ini Eren berdiri di depan pintu ruangan Hange.

Tepat sebelum Eren hendak mengetukkan tangannya, tiba-tiba pintu itu menjeblak terbuka dari dalam. Sukses membentur keras kepala Eren. Pemuda bersurai coklat itu jongkok sambil meringis memegangi dahinya yang memerah

"Ah, maaf Eren! Kau baik-baik saja? Aku tidak tahu kau ada di sana! Kenapa tidak mengetuk dulu!" Ucap Hange khawatir.

Eren memang anak sabar.

Eren bangkit berdiri, masih mengelus keningnya. "Hange-san, aku ingin meminta berkas-berkas yang kubutuhkan untuk pergantian editor dengan Rivaille."

Mata Hange membulat. "Kupikir kau kesini karena tidak mau menangani Rivaille! Rupanya kau anak yang penuh nyali ya Eren!" Ia menepuk-nepuk pundak Eren keras. Eren hanya bisa menggaruk pipi sambil tertawa canggung.

Jika bukan karena dipanas-panasi Jean mana mungkin ia ada disini. Ia sangat tahu itu.

"Tunggu sebentar ya!" Dengan semangat Hange melesat ke dalam ruangannya. Ia kembali dengan membawa map transparan berbahan plastik dengan sejumlah kertas didalamya, menyerahkannya ke genggaman Eren. "Semua yang kau butuhkan ada di sini!"

Eren memandangi map itu sebentar. "Ano… Hange-san…"

"Hm?"

"Apa desas desus mengenai Rivaille itu benar? Soal… om-om mesum penyuka berondong?" Tanya Eren getir.

Hange diam, melongo sesaat, mencerna apa yang baru didengarnya. Seketika tawanya meledak, membuat semua yang di lorong itu melihat ke arah mereka.

"O-OM-OM MESUM PENYUKA BERONDONG?!" Serunya geli sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa terlalu keras, meskipun begitu tawanya masih berlanjut. Eren hanya bisa memandang cengo.

"Kau tidak sepenuhnya salah sih Eren," ujarnya sambil masih menahan tawa. "Tapi dia tidak seburuk yang kau bayangkan kok, mengesampingkan sifatnya yang agak buruk itu membuat banyak editor tidak tahan dan akhirnya minta dialih tugas."

Cukup informasi bagi Eren. Setidaknya dia bukan paman gemuk dengan tangan berminyak yang hobi 'meraba-raba'.

Dengan gerakan tiba-tiba, Hange menepuk keras punggung Eren. Pemuda itu meringis untuk yang kesekian kalinya. "Tapi aku dan Erwin yakin kau pasti bisa menanganinya Eren!"

"Eh, Erwin-san menginginkanku menangani Rivaille?"

"AKHHHHH! Lihat jamnya! Sudah jam segini! aku ada rapat penting! Sampai jumpa Eren!" Wanita jejadian itu kabur 'lagi' meninggalkan Eren yang masih bertanya-tanya.

Sangat terlihat jelas kalau rapat itu hanya alasan yang dibuat-buat.

.

.

.

Eren memutar kunci bergantung miniatur Titan berbahan karet murahan. Setelah membuka pintu, ia mendapati Armin, teman sejak kecil sekaligus teman sekamarnya sedang berkutat dengan tumpukan buku-buku tulis di meja makan sambil mengunyah… er… ikan kering?

"Oh, hai Eren." Armin mengalihkan pandangan dari buku-bukunya. "Kau sudah pulang?"

Tanpa mengindahkan Armin, bahkan tanpa copot sepatu, copot tas, copot mantel, Eren nubruk di sofa lalu menyalakan televisi.

"Eren, kalau Mikasa melihatmu sekarang kau pasti akan diceramahi panjang lebar soal tata krama," desah Armin sambil menghela nafas.

"Yang penting kan dia tidak disini." Eren mengganti-ganti saluran TV dengan malas, mencari-cari saluran favoritnya, Animal Planet. "Ngomong-ngomong tumpukan buku tulis itu apa Armin?" Eren mulai penasaran pada buku-buku itu.

"Oh, ini? Ini PR murid-muridku di bimbingan belajar yang perlu dikoreksi"

"Oh, begitu…" Tidak tertarik, Eren kembali mendengarkan penjelasan narator Animal Planet tentang bagaimana cara lemur buang air. " Sebenarnya kenapa tidak kau cari saja pekerjaan yang lebih menghasilkan? Biaya hidup di Inggris itu mahal kan? Belum untuk keperluan-keperluan lainnya."

"Ini pekerjaan terbaik dan paling menghasilkan yang bisa kudapat saat ini, lagipula sekalian buat belajar. Oh iya, kau mau coba Eren?" Armin menyodorkan toples berisi ikan-ikan kering. "Enak lho! Ikannya dicocolkan pada pasta pedas ini."

Eren melihat pasta yang dimaksud, berbau aneh seperti udang.

"Ugh… Kurasa tidak." Ia tidak mau ambil resiko dengan memakan makanan asing, ia tidak percaya pada apapun selain cheese burger. Memang akhir-akhir ini Armin hobi sekali memakan makanan aneh dari berbagai negara yang dia beli di online shop.

"Ya sudah." Armin kembali mengunyah, lalu memperhatikan Eren lama. "Apa ini hanya perasaanku saja atau suasana hatimu memang sedang buruk Eren?"

Eren tidak bisa menampik kalau ia uring-uringan setelah menyesali keputusannya beberapa saat lalu.

Memang tidak ada catatan kalau Rivaille pernah melakukan pelecehan pada editor-editornya, tapi tetap saja ia masih risau dengan bagaimana reaksi teman-temannya menghadapi penulis beken itu. Kalau saja ia bisa lebih dewasa dan tidak termakan ejekan Jean.

"Apa kau tahu penulis bernama Rivaille?"

"Hah, Rivaille?" Kaget, pemuda berambut bob pirang itu membulatkan mata. "Rivaille penulis yang sedang terkenal itu? Mana mungkin aku tidak tahu!"

Eren mendengus.

"Kau akan menangani penulis sekelas Rivaille?! Itu hebat sekali Eren! Itu berarti mereka percaya kau punya kemampuan! Bukankah itu bagus?"

"Ya, kalau bukannya mereka menyerahkanku sebagai tumbal om-om mesum."

Melihat wajah Eren yang manis, dengan mata hijau indah dan pipi penuh, bukan tidak mungkin membuat para pria paruh baya dengan penyimpangan seksual meneguk ludah melihatnya. Kalau menurut bahasa para fujoshi: uke ideal yang pantatnya minta disodok.

"Hah?! om-apa? Apa maksudmu?"

Lalu Eren menceritakan panjang lebar soal tingkah aneh teman-temannya dan rumor soal Rivaille. Armin mengangguk-angguk paham mendengar cerita Eren.

"Yah… Mau bagaimana lagi, ini sudah keputusan atasanmu kan Eren? Kau menurut saja." Ia kembali menjejalkan ikan kering ke mulutnya. "Lagipula salahmu juga sih, Eren. Kalau kau mau kau kan bisa saja menolak, karena sifat kekanakanmu itulah kau jadi merepotkan dirimu sendiri. Berdoa saja semoga rumor penulis yang gemar melakukan pelecahan itu hanya gosip."

Eren menggembungkan pipinya, kesal, menyesal sudah bercerita. Ia berharap Armin agar menghibur atau semacamnya, atau mungkin memberi tahu cara yang bagus untuk melarikan diri, bukannya malah menyudutkannya. Eren mematikan TV lalu beranjak ke kamar sambil bersingut.

"Sudah mau tidur Eren? Jangan lupa sikat gigi loh."

"Harusnya aku yang bicara begitu! Mulutmu pasti bau setelah kau makan makanan aneh itu!" Dengan penekanan pada kata 'bau' Ia segera menutup pintu sebelum Armin melayangkan protes.

Eren merasa makin lama Armin makin mirip Mikasa. Saudara angkatnya itu memang sangat cerewet soal yang begini-begini. Untung saat ini Mikasa sedang menjalani pelatihan atlet kick boxing di Thailand, ia tidak butuh dua Mikasa untuk mengomelinya.

Eren menuju meja kerjanya lalu menyalakan komputer. Ia mengetik 'tips-tips menjadi editor ang baik dan benar' serta 'cara menangani penulis yang keras kepala' di browser. Karena tidak mendapat saran yang memuaskan dari Armin, Ia beralih ke mbah gugel untuk melakukan research.

Saat sedang asyik membaca artikel tentang 'tips-tips menjadi editor yang baik dan benar', di pojok website muncul pop ads yang biasa ada di internet. Pop ads yang bisa kau temukan di mana-mana, namun sangat menggoda untuk dibuka. Awalnya Eren memang tidak terlalu mengindahkannya.

Sampai gambar-gambar wanita seksi sedang melakukan pelayanan kepada 'kejantanan' lelaki itu bermunculan.

Ya, iklan situs bokep.

.

.

.

Eren mendobrak pintu café hingga menghasilkan bunyi bedebum keras, alhasil semua penghuni ruangan itu melayangkan pandangan ke arah pemuda beriris hijau kebiruan yang bernafas terengah-engah itu.

Dengan mengacuhkan banyak pasang mata yang membicarakan dan menertawakannya, saat ini otaknya hanya di-setting untuk menemukan sesosok lelaki. Eren menemukannya, sesuai dengan gambaran di foto yang dikirim Hange-san.

Pria berpostur tubuk kecil itu duduk di meja paling pojok café. Hidungnya mancung sempurna, bibir tipisnya melengkung angkuh, manik mata hitam tajam, rambut hitam legam yang nampak lembut jatuh di bawah alis, dengan belahan rambut alami di pinggir dengan potongan undercut ala prajurit.

Tampan, sangat, benar-benar hal pertama yang terlintas di kepala Eren saat melihat lelaki itu.

Tubuhnya dibalut setelan kemeja abu-abu dan celana jeans hitam. Ditanganya melingkar jam tangan pria sederhana. Eren tahu persis berapa harga jam itu karena kebetulan Armin juga memiliki jam tangan yang sama.

Tidak begitu mahal, tapi entah kenapa jika dipakai olehnya jam itu terlihat seperti keluaran terbaru barang bermerek. Mungkin inilah yang namanya kekuatan cowok ganteng /ditabok reader.

Sama sekali tidak terlihat seperti om-om paruh baya mesum gendut dengan tangan berminyak dan senyum mesum yang hobi mengrepe bokong kenyal uke tak berdosa.

Namun rasa lega Eren sepertinya harus ditelan dulu jauh-jauh karena udara di sekitar orang itu mencekam. Seperti menebarkan atmosfer jahat disekelilingnya, membuat mahluk hidup manapun yang lewat di dekatnya merasa ngeri, berharap tidak pernah lahir di dunia.

Sambil menelan rasa takut Eren menghampiri lelaki itu. "Permisi, apa anda Rivaille-san?"

Ia bungkam. Tidak sudi menjawab pertanyaan yang dilayangkan kepadanya, menghancur leburkan keberanian yang sudah susah payah Eren punguti. Eren menduduki bangku kosong di depan pria itu dengan gundah.

Pria itu lalu menatap tajam mahluk sialan yang sudah membuatnya menunggu seperti anak ilang di café selama satu jam lebih, seolah-olah dengan begitu Eren sudah menghancurkan seluruh kehidupnya. Membuat Eren pucat, keringatnya mengucur deras, lebih banyak daripada saat lari marathon mengejar bus tadi pagi.

"Selamat siang sir Rivaille, saya Eren Jeager yang mulai minggu depan menggantikan Oruo Bozard sebagai editor anda," ucapnya berusaha tegar dengan bahasa formal yang tidak wajar.

Ia diam seribu bahasa, masih menatap Eren nyalang.

Hening.

.

.

.

Sepuluh menit pun sudah berlalu dan mereka masih belum mengatakan sepatah kata pun, dan dia masih memelototi Eren.

Eren mulai gerah.

Memecah keheningan seorang pelayan menghampiri meja mereka. "Apa anda ingin memesan sesuatu tuan?" Tanya pelayan itu sopan.

Eren membaca buku menu sekilas dan memutuskan memesan Iced Lemon Tea. Pelayan itu mengulangi sambil mencatat pesanan Eren. "Ada tambahan lagi tuan?"

Melihat teh dalam cangkir Rivaille sudah kosong, Eren memberanikan diri untuk menawarkan minuman, siapa tahu ia haus. " A-apa anda ingin memesan sesuatu lagi? Sir…?" Ucap Eren takut-takut.

Ia tidak membalas. Horor. Eren merasa dia siap mati kapan saja, terjun dari puncak monas mungkin lebih baik daripada terus terjebak dalam situasi mencekam seperti ini.

"Udah itu saja mbak," ucap Eren pada pelayan. Pelayan itu pun meninggalkan meja. Kini hanya tinggal mereka berdua. Tidak lama setelah itu Lemon Tea pesanan Eren datang. Suasana kembali canggung.

"Kenapa kau telat?" Suara bariton mengagetkan pemuda bersurai brunet itu, membuatnya hanya merespon dengan pelongoan dungu.

"Eh?"

Ia berdecak sebal. "Sepertinya kupingmu itu hanya pemanis di kepalamu saja ya? Jangan membuatku mengulangi perkataanku bocah."

Bagai terbebas dari belenggu yang sudah menyesakkanya sampai mau mati, Eren berseru lantang. "T-Tadi saya bangun kesiangan tuan!" sahutnya dengan penuh kebanggaan.

Rivaille mengerutkan keningnya. "Esoknya kau ada rapat penting dengan penulis yang akan jadi tanggung jawabmu dan kau masih bisa bangun kesiangan? Luar biasa sekali kamu," semprotnya sarkastik. Eren tertohok. Rupanya diomeli juga tidak lebih baik daripada diam-diaman.

"Memangnya ibumu tidak mengajarimu bahwa manusia yang baik itu bangun tidak lebih dari jam delapan?"

"Ehm… itu…" Eren menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil mengalihkan pandangan. "Saya punya beberapa keperluan pribadi semalam, hahahaha…" Ucapnya dihiasi tawa garing.

Memperhalus kata-kata dengan 'keperluan pribadi', yah secara garis besar ia memang tidak bohong. Tidak mungkin ia mengatakan secara blak-blakan kalau semalam habis buka bokep sampai subuh.

"Urusan, pribadi ya..." Rivaille membetulkan posisi duduknya sambil memainkan sendok teh di cankirnya yang kosong. "Kupikir kau habis melakukan self service semalam?"

"Hah? self service? maksudnya?" Tanya Eren seraya menyeruput minumannya.

Ia meletakkan sendoknya kembali di cangkir lalu menatap pemuda bersurai brunette di depannya. "Kau tidak perlu pura-pura polos bocah, apa harus kukatakan dulu agar jelas?"

"Maaf, saya sama sekali tidak mengerti," tanyanya polos. Ia mulai bingung dengan arah pembicaraan ini. Raut wajah pria di depannya ini memang sedatar papan penggilesan. Eren yang memang dasarnya sudah tidak peka, makin tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran pria itu.

"Baiklah, akan kuucapkan agar otak bodohmu itu bisa mengerti…." Ia sengaja membuat jeda diantara kalimatnya untuk menambah efek dramatis. Membuat Eren menanti dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Lalu kata jahanam itu pun meluncur mulus dari bibir si pemilik manik mata hitam itu.

"Mastrubasi," ucapnya dengan wajah datar tanpa beban. Seketika Eren tersedak Lemon Tea.

"UHUK! UHUK! D-Da-Darimana anda tahu?!"

"Ho… Tebakanku tepat ya?" ucapnya agak kaget. "Dari tampangmu kukira kau masih polos, ternyata kau itu kotor juga ya, bocah."

Meski hanya 0,000000000001 mili meter kau bisa melihat kalau ujung bibirnya menyeringai tipis, menjahili pemuda polos bermental bocah di hadapanya ini merupakan hiburan tersendiri baginya.

Meskipun tidak gendut dan bertampang mesum, gemar melakukan pelecehan pada sesama jenis itu sepertinya bukan rumor belaka. Sadar sedang dipermainkan, paras pemuda bermata zamrud itu berubah merah, entah harus kesal atau malu.

Kalau ia tidak tahu tata krama, bisa saja ia membalik meja dihadapanya dan meneriaki lelaki itu penjahat kelamin keras-keras, namun ia masih sayang gaji.

Sabar Eren, sabar, orang sabar anunya besar. Asal ga lebih besar dari semenya sih /digamvar.

"To… tolong jangan membahas hal seperti itu sekarang. Mari kita fokus pada rapat kita saja," ucap Eren mati-matian menahan malu. Walau hanya sedikit, ia ingin mengembalikan wibawanya sebagai seorang editor.

"Sekarang ya? Jadi kalau kita membahasnya nanti tidak masalah? Misalnya di ranjangku?"

Yang sayangnya langsung dihancurkan oleh penulis mesum berwajah datar yang bahkan tidak tanggung-tanggung melakukan sekuhara pada orang yang baru dikenalnya, terlebih lagi pada pria.

Kalau pada umumnya pria akan merasa mual-mual bila digoda oleh lelaki lain, Eren malah memerah malu saat digoda oleh Rivaille, membuatnya makin ingin menerjang pria berambut brunette dihadapanya.

"Tolong serius sedikit," Eren mulai sebal.

"Aku sangat serius saat ini, bocah,"

Eren mau pingsan. Sekarang 'bocah' sudah jadi panggilan resmi Eren bagi Rivaille. Tidak mau darah tingginya naik, Eren mengalihkan pembicaraan pada pekerjaan.

"Pertemuan ini memang hanya untuk perkenalan, saya memang masih editor baru tapi saya harap kita bisa berkerjasama dengan baik, jadi mengenai jadwal dan penyerahan naskah-"

Pria itu memandangi Eren sebentar lalu menghela nafas. Tiba-tiba Rivaille bangkit dari kursinya, lalu berjalan meninggalkan meja mereka, Eren tersentak kaget.

"T-tunggu sir! Anda mau kemana!?"

"Aku bukan orang yang senang mendengarkan basa-basi formal memuakkan yang tidak jelas ujungnya, minumanmu biar aku yang bayar," ujar pria berambut jelaga itu, tanpa menoleh.

"Naskahnya bagaimana?"

"Tenang, Hange sudah memberikan alamat e-mailmu padaku. Akan kukirimkan naskahku lewat e-mail pada jam 11 pagi setiap minggunya, kau bisa percaya padaku. "

Setelah membayar di kasir, pria itu meninggalkan café dengan gantengnya. Sama seperti Hange, meninggalkan Eren yang masih melongo heran, tidak mengerti akan situasi yang sedang melandanya saat ini.

Dan begitulah pertemuan Eren dengan Rivaille yang dramatis. Gagal Total.

.

.

.

Eren berjalan gontai menuju apartemennya yang bobrok. Disambut Armin yang sedang menonton televisi.

"Selamat datang Eren, Bagaimana rapatnya dengan Rivaille-san? Apa berhasil?" sahutnya dari sofa.

"Berhasil jidatmu," Eren sewot. "Demi Jean si muka kuda tadi itu bencana!"

"Begitu, ya…" Armin kembali mengarahkan pandangannya ke TV. "Ini salahmu karena buka bokep semalaman Eren."

Eren, tidak tersedak apapun kali ini, tapi tenggorokannya tetap tercekat. Dan bodohnya, bukan menyangkal ia malah membuat sahabatnya itu yakin ia tidak salah dengar.

"K-KENAPA KAU BISA TAHU?!"

Armin menggelengkan kepalanya. "Apa kau pikir triplek tipis yang bahkan tidak lebih tebal dari tissue bisa meredam suaramu Eren? Aku sampai harus menyumpal telingaku dengan earphone agar bisa tidur."

Eren syok, bisa terlihat nyawanya sedang melayang keluar dari tubuhnya. Eren ingin mati sekarang, saking malunya.

"Sudahlah Eren jangan murung, Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan kejadian fap fap-mu semalam," ucap Armin dengan wajah tak bersalah, sambil menepuk punggung sahabatnya.

Eren berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mastrubasi selama beberapa bulan kedepan.

.

.

.

TBC (TUBERCOLOSIS) /paan si

A/N:

Siang, malam, pagi maupun sore bagi para fujo maupun fudan nistagh yang sudah sudi baca fic gaje ini, arigatou! _(_ _)_

Kebetulan ini fanfic pertama saya.

Fanfic ini saya tulis berdasarkan research sotoy di mbah gugel dengan info seadanya.
karena saya bukan editor maupun punya kenalan editor jadi kalau ada tulisan saya yang salah tentang pekerjaan editor, anggep aja di dunia fic ini sistemnya begitu! /ditavok readers

ME NOT GOMENNNNN /kabur

ps: ada yg bisa nebak Armin makan apa?

pss: Chapter 1 dan 2 gw revisi setelah gw upload Chapter 3. Rasanya pengen bunuh diri pas liat banyak typo, kesalahan tanda baca dan paragraf kepanjangan bertebaran dengan indahnya di Chapter 1 dan 2 (meski gw juga gatau apa yg sekarang udah bener apa belom). BUT, at least, gw rasa gak separah sebelumnya jadi yaaaahhh…

Yg gw revisi cuman typo dan kesalah tanda baca (yang 'setau' gw bener), biar gw nanti bisa liat improvement sklill menulis gw /eaa.