Gadis kecil itu berlari di kegelapan malam. Kesunyian telah merambat ke segala arah, yang terdengar hanya derap kaki gadis kecil tersebut dan beberapa orang yang mengejarnya sambil memperlihatkan seringai dan senjata api mereka. Gadis kecil bermata lavender itu menggendong tubuh saudara kembarnya yang bermata emerald. Tanpa kenal lelah, sosok kecil itu tetap berlari dengan beban berat tubuh dipunggungnya. Dia tak peduli bahwa sebuah peluru telah bersarang di lengan kanannya. Dia tak peduli, karena ia berjanji bahwa dia akan menyelamatkan saudara kembarnya apa pun yang terjadi. Dia tak akan menyerah berlari menghindar dari para lelaki kejam yang mengincar kedua nyawa gadis kembar itu. Tangannya kanannya menggenggam erat sebuah surat singkat yang dititipkan Tou-san sebelum Tou-san dan Kaa-san pergi ke Eropa, meninggalkan kedua gadis kembar bersama kakak mereka. Kedua orang tua yang tidak mengerti bahwa insiden memilukan ini akan terjadi pada tiga anak kesayangannya.
"Neji-nii, tolong aku," isak gadis mungil bersurai indigo itu. Gadis bermata emerald di punggungnya itu kini tengah pingsan, membuat sang surai indigo itu banyak kehilangan ruang untuk bergerak karena ia sedang menggendong adik kembarnya.
Mata lavender itu menangkap sebuah jalan dimana jalan tersebut yang cukup sempit itu hampir sepenuhnya tertutup oleh rerimbunan semak-semak berduri. Cepat-cepat gadis itu melangkah mendekat, meninggalkan jalan utama dari hutan luas itu, dan memilih melewati jalan sempit menuju sebuah tempat tersembunyi bernama ... Kota Suna.
Ch4nGe
Chapter 1 = Run
Disclaimer = Naruto always belong to Masashi Kishimoto-senpai
Pair = HinataxSasuke, SakuraxKiba
Summary = / Semua orang itu punya kelebihan. Demikian juga Si Kembar yang memiliki sifat dan jalan yang berbeda. Hinata.. Sakura.. Mereka menempuh jalan berbeda untuk menemukan cinta sejati. / HinaSasu, SakuKiba /
Note = Kalau berkenan, silakan review. Kalau menarik, silakan add story to favorites, kalau mau memberi saran, Yura terima dengan baik. Tapi kalau mau pergi ... tinggalkan jejak agar Yura bisa mampir ke profil kalian, hehe :D
Rate = T, maybe ...
Warning = Cerita ini terinspirasi dari adik kembar sahabatku. AU, mungkin sedikit OOC, err ... kira-kira butuh OC gak? Entahlah. Typo (soalnya Yura gak baca ulang, langsung asal nge post karena penyakit males telah menggerogoti otak Yura, hihihi), dan kayaknya sedikit membingungkan.
"Hi~nata-nee," panggil gadis bermata emerald yang tengah berusaha membuka matanya. Hinata tak merespon, dia terus berjalan tertatih-tatih. Darah yang mengucur dari lengan kanannya dan meninggalkan bercak-bercak merah di tanah tak ia pedulikan. Tubuh gadis mungil itu terlalu lelah untuk berlari, tapi terlalu bersikeras untuk tidak berhenti.
"Hina~ta-nee, ja-jangan me-maksakkan di-ri un-tuk bberjalan," ucap gadis di punggung Hinata dengan susah payah.
Tubuh gadis di punggung Hinata itu lemas tak bertenaga. Dari luar, memang tak terlihat adanya luka-luka yang membuat gadis itu lemas seperti ini. Dia sedang demam, tubuhnya panas dan tak bertenaga saat insiden itu terjadi. Kenapa mereka ingin membunuh kedua gadis itu? Jawabannya hanya satu kalimat. Balas dendam pembenci keluarga Hyuuga.
"Diam, Sa-Sakura," pinta Hinata miris. Sakura tak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Dengan tubuh yang sangat lemah seperti itu, Sakura tak mungkin bisa menceramahi kakak kembarnya itu. Sakura hanyalah seorang adik yang hanya bisa melihat, hanya bisa melihat kakak kembarnya berjuang untuknya. Sementara dirinya hanya terdiam tanpa melakukan gerakan.
Tiba-tiba pandangan Hinata sedikit buram. Hinata cepat-cepat menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memejamkan mata. Lalu membuka mata beriris lavendernya kembali. Tetapi tetap sama hasilnya. Di saat yang sama, kepala Hinata juga pening dan itu menimbulkan kecurigaan dari Sakura akan gerak-gerik kakaknya yang aneh itu.
"Hina .."
"DIAM!" bentak Hinata. Sakura terkejut dan memutuskan untuk bungkam walau sebenarnya dia khawatir dengan kondisi Hinata. Apalagi setelah kakaknya itu tadi memutuskan untuk melewati semak-semak berduri agar dapat terpisah dari jalan utama hutan luas ini. Bahkan beberapa duri masih menancap di tubuh Hinata. Sementara Sakura, dia tak tertancap duri satu pun karena kakaknya melindungi Sakura secara menyeluruh.
Hinata berhenti dan menurunkan Sakura di balik sebuah pohon. Lalu tubuhnya bersandarkan pada batang pohon itu. Tubuhnya merosot sedikit demi sedikit. Mata lavender yang biasanya menampakkan cahaya, kini redup sudah. Sakura hanya memandang Hinata dengan perasaan khawatir.
"Hinata-nee, daijoubu desu ka?" tanya Sakura, gadis kecil yang masih berusia 7 tahun itu. Hinata menggeleng lemas. "Daijoubu, Sakura. Jangan pedulikan aku," jawab Hinata. Sakura mendekati Hinata dan memeluknya di tengah kesunyian malam. "Gomennasai, Nee-chan," gumam Sakura. Air mata mengalir di pipi putihnya tanpa Hinata sadari.
"Tidurlah, Sakura. Aku akan menjagamu, sebelum Neji-nii datang," perintah Hinata. Sakura menatap Hinata dengan pandangan penolakan, tetapi kemudian ia hanya mengangguk lemah dengan pasrah. "Hai, Hinata-nee ..."
Sakura pun meringkuk di dekat Hinata seraya menggenggam erat tangan kiri Hinata seolah tak ingin Hinata pergi dari sisinya. Mata emerald itu pun perlahan tertutup dan tertidur. Sementara itu, Hinata sedang bersusah payah mengatur deru napasnya yang tersengal-sengal. Rasa perih di lengan kanannya begitu terasa sampai-sampai gadis bersurai indigo itu berkeringat dingin.
Drap drap drap. Hinata refleks menajamkan pendengarannya dan segera menggunakan kelebihan dari klannya yang dianggap sebagai 'kutukan' bagi orang-orang. Ya, itu adalah mata lavender yang dimiliki Hinata. Mata yang diwarisi oleh ayahnya, Hyuuga Hiashi.
"Byakugan!" seru Hinata. Dia menelusuri setiap inci dari area di sekitarnya dan menemukan bahwa orang-orang yang tengah mengejar dirinya dan juga Sakura sudah semakin mendekat. "G-gawat!"
Hinata bangkit dengan sisa tenaga yang ia miliki dan langsung menggendong Sakura yang tengah terlelap. Dia segera berlari lagi walau tubuh itu tak kuat menanggung seluruh beban. Terus berlari, lari, dan lari, menghindari takdir kematian dari orang-orang yang ditugaskan untuk membunuh mereka berdua. Membiarkan dirinya pergi dengan meninggalkan jejak darah yang sedari tadi diikuti oleh orang-orang yang mengejarnya.
Ia melirik ke atas langit dan menemukan awan hitam yang telah bergumpal, menutupi seluruh langit biru. Dan membuat gadis itu tersenyum tipis menyadari bahwa hujan sebentar lagi akan turun dan membuyarkan bercak-bercak darah yang tadi ditinggalnya. "Sakura, bertahanlah. Hinata-nee akan menyelamatkanmu, apa pun yang terjadi. Walau Hinata-nee harus mati," ucap Hinata lirih.
"Hi na ta-nee ..." panggil Sakura lirih. Hinata hanya melirik dan tersenyum, menyadari bahwa Sakura mengucapkannya di saat sedang tertidur seperti ini. "Jangan tinggalkan Sakura ..."
Glek, Hinata menelan ludah. Kemudian tersenyum lagi. "Hinata-nee tak akan meninggalkan Sakura ..." balas Hinata tulus. Sebuah senyum terukir di wajah Sakura. Entah kenapa, tapi gadis itu merasa tidurnya kembali nyenyak. Hinata pun kembali fokus pada jalan yang ditempuhnya.
Wrsshhh! Hujan turun dengan derasnya. Hinata meringis kesakitan ketika air hujan mengenai luka di tubuhnya. Tapi kemudian Hinata tersenyum dan memperlambat pergerakannya. Rasa lelah dan rasa sakit yang mencampur menjadi satu kini dirasakannya.
Kaki gadis itu menyentuh ujung dari sebuah jembatan yang terbuat dari kayu berwarna merah. Kakinya tetap melangkah walau tubuhnya mulai tak seimbang lagi. Mata itu mulai menutup walau sang pemiliknya mencoba untuk tetap membuka matanya dan ... Bruk! Hinata terjatuh tepat di tengah-tengah jembatan itu.
"Sa Ku Ra .. G-gomenna-saai," rintih Hinata, matanya tertutup dan ia pun pingsan.
Sayup-sayup terdengarlah suara seorang gadis cilik yang tengah memanggil-manggil ayahnya dari ujung jembatan yang lain. "Tou-saan ... Lihat, ada dua orang pingsan di sana ..!" seru gadis bermata bluemarine sembari berlari melintasi jembatan itu dan mendekati tubuh Hinata dan Sakura yang tengah menutup matanya. Gadis cilik itu mengguncang-guncangkan tubuh Hinata dan Sakura secara bergantian, sementara ayahnya berlari mendekat dan memeriksa keadaan.
"Gadis yang ini sepertinya terluka. Ino, kau coba bangunkan yang berambut pink itu, dia terlihat hanya tertidur .." perintah sang ayah kepada Ino.
"Hai, Tou-san ..."
Ino pun mengguncang-guncang tubuh Sakura dan berkata, "Heeei, bangunlah." Sepertinya Ino tak sia-sia, karena mata itu segera terbuka dan menampakkan mata emerald indah itu. Dengan perlahan, Sakura bangkit dengan dibantu Ino. Begitu matanya melihat sesosok gadis yang merupakan kakaknya, dia langsung berteriak tanpa sadar. "HINATA-NEE!"
"Daijoubu. Ia pasti selamat," Ino menenangkan Sakura. Sementara Inoichi menggendong tubuh Hinata. "Ino, ayo kita pulang. Sepertinya mereka akan tinggal bersama kita," ajak Inoichi. "Hai, Tou-san."
Inoichi dan Ino, segera pergi meninggalkan jembatan merah itu dan berjalan beriringan menuju rumah mereka, yang berjarak sekitar lima kilometer, di Kota Suna. Kota itu sangat terpelosok, bahkan bangunan-bangunannya terbuat dari pasir.
Kota Suna sangatlah sulit dijangkau karena letaknya yang tidak dimengerti oleh orang yang bukan berasal dari luar. Inoichi dan Ino tentu sudah mengerti dengan jelas dimana letak Kota Suna, karena mereka berdua telah tinggal di Kota Suna sejak 4 tahun yang lalu.
"Bagaimana keadaannya, Tsunade-sama?" tanya Inoichi. Tsunade menghela napas sebentar. Lalu menatap Inoichi. "Keadaannya lumayan buruk karena fisiknya bisa dikatakan sangat lemah. Tetapi beruntung, dia memiliki tekat yang kuat sehingga dapat membuatnya bertahan hingga saat ini. Dan .. bolehkah aku bertanya, Inoichi?"
"T-tentu, Tsunade-sama," Inoichi memberi izin. Tsunade terdiam sebelum mengeluarkan kata-kata.
"Namanya .. Hinata, bukan?" tanya Tsunade, sekedar berbasa-basi sebelum to the point. Inoichi mengangguk, "Betul. Itu yang aku tahu dari Ino." Tsunade mengerutkan keningnya heran. "Ino?"
"Ya, Ino bertanya pada Sakura yang merupakan saudara dari Hinata," jelas Inoichi. Tsunade mengangguk tanda mengerti, kemudian mengambil napas dan menghembuskannya perlahan. "Inoichi, Hinata memiliki sebuah kelebihan yang dianggap sebagai kutukan bagi banyak orang. Dia sama seperti klan Yamanaka yang mempunyai kelebihan shintenshin, dan juga Uchiha dengan mata sharingannya. Mata berwarna keperakan yang bisa melihat keadaan di sekitarnya walau pun ada penghalang."
Mata Inoichi membelalak mendengar penjelasan dari Tsunade. "H-Hyuuga? Be-berarti ..."
"Hinata merupakan keturunan Hyuuga, ya, maksudku dia adalah Hyuuga Hinata. Dia memiliki mata berwarna keperakan yang memiliki kelebihan aneh. Menurut rumor yang kudengar, mata itu memiliki kelebihan untuk menggunakan 'Byakugan', penglihatan yang dapat melihat jarak jauh untuk melihat keadaan di sekitarnya. Aku tidak tahu pasti. Oh ya, ada kabar baik dan kabar buruk untukmu, Inoichi," potong Tsunade.
"Apa itu, Tsunade-sama?"
"Kabar baiknya, keadaan Sakura telah lebih baik dan Hinata juga terlihat lebih baik daripada sebelumnya, walau Hinata masih pingsan. Kabar buruknya, kelihatannya Hinata mengalami trauma berat sehingga kemungkinan 65%, Hinata akan mengalami lupa ingatan dalam jangka waktu lama, aku juga tidak tahu sampai kapan. Beritahukan hal ini pada Sakura agar dia bisa menyesuaikan diri dengan Hinata. Dan ... ganti marga Hinata dan Sakura menjadi Yamanaka, jadikan mereka anggota keluargamu, Yamanaka Inoichi."
Inoichi terdiam beberapa saat. "Hai, Tsunade-sama. Kalau hal itu adalah hal terbaik, maka saya akan melakukan apapun."
Tsunade pun berbalik, hendak meninggalkan kamar dimana Hinata dan Sakura sedang terbaring lemah di masing-masing ranjang. Tetapi tiba-tiba Tsunade menghentikan langkahnya dan menoleh. "Inoichi, pastikan bahwa Hinata tidak mengetahui insiden apa pun tentang masa lalunya karena hal itu akan berakibat fatal. Beritahu Sakura, tetapi jangan membentaknya. Jangan pernah ungkit-ungkit masalah ini di depannya. Mengerti?"
Inoichi hanya mengangguk, melihat Tsunade yang melangkah keluar dari ruangan. Inoichi pun bergumam, "Hmm ... Yamanaka Hinata dan Yamanaka Sakura? Kelihatannya cukup cocok." Inoichi tersenyum penuh arti. Dia harus bersyukur bahwa Tsunade bisa menyempatkan diri datang ke Kota Suna. Padahal jarak antara Kota Suna dan Kota Konoha bisa dibilang cukup jauh, sekitar 40 km dan itu bisa ditempuh dengan mobil selama satu jam. Yah Inoichi memang sudah kenal dekat dengan Tsunade karena wanita itu dulu juga sempat tinggal di Suna selama 2 tahun.
Beberapa saat setelah Tsunade meninggalkan ruangan, Ino masuk ke ruangan dimana Inoichi sedang menunggu Hinata dan Sakura terbangun. "Tou-san. Bagaimana keadaan mereka?" tanya Ino khawatir. Inoichi menoleh, "Daijoubu. Mereka baik-baik saja." Mendengar jawaban dari ayahnya, Ino tersenyum senang dan segera menghampiri ayahnya. "Tou-san, kita tunggu sampai mereka bangun ya!" seru Ino bersemangat. Inoichi mengangguk, mengacak-acak rambut Ino.
2 jam kemudian pada pukul setengah sembilan malam, Inoichi masih setia duduk di samping ranjang Sakura, menanti gadis bersurai merah muda itu membuka matanya. Ino kini masih membuka matanya, dia sesekali menguap menahan kantuk. Suasana hening, hanya ada suara hewan yang bersahut-sahutan.
Tiba-tiba mata itu terbuka, menampilkan iris emerald yang sangat indah dipandang. Membuat Inoichi serta Ino tersenyum melihat Sakura telah terbangun.
"Syukurlah. Kamu sudah terbangun."
"Di-mana i-ini?" tanya Sakura, berusaha bangkit sekedar duduk di ranjang, menyandarkan badannya ke belakang
"Ini di rumahku. Aku menemukanmu di jembatan lho!" jawab Ino, kelihatannya kantuknya langsung hilang begitu melihat Sakura terbangun, tergantikan menjadi semangat baru.
"Rumahmu?"
"Iya. Aku Ino, ini ayahku. Ibuku sudah meninggal sewaktu melahirkanku. Hehehe ... salam kenal ya," Ino mengulurkan tangan kanannya pada Sakura. Tetapi Sakura hanya membalas dengan tatapan bingung sekaligus heran.
"Kenapa, aku harus berjabat tangan?" tanya Sakura. Ino berpikir sambil bergumam 'mmm'. "Ah, entahlah. Tapi aku sering melihat bahwa bila seseorang sedang berkenalan dengan orang lain, maka mereka melakukan jabat tangan," jawab Ino.
Dengan sedikit ragu, Sakura pun membalas uluran tangan itu. Ino tersenyum, menampilkan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi. Sakura pun mencoba untuk tersenyum, walau hanya senyum tipis yang terlihat. Tetapi kemudian raut wajahnya berubah. "Hi-Hinata-nee?"
"Tenang saja. Dia baik-baik saja kok," Ino menenangkan sembari menunjuk ranjang di samping ranjang yang ditempati oleh Sakura. Sakura bernapas lega. "Nee-chan ..."
"Oke, aku memang baru berbicara denganmu sekali ini. Dan aku hanya sempat mendengarmu memanggil-manggil 'Hinata-nee' dan 'Sakura'. Jadi kusimpulkan bahwa yang kau maksud 'Hinata-nee' itu adalah dia dan 'Sakura' itu adalah namamu, iya bukan?" tebak Ino panjang lebar. Sakura tersenyum tipis dan mengangguk perlahan sebagai jawaban dari tebakan Ino.
"Sakura ..."
Sakura menoleh begitu Inoichi memanggil namanya.
"Sakura, kenapa kamu bisa ada di jembatan merah itu bersama .. mmm .. Hinata?" tanya Inoichi. Sakura terdiam. Dia masih menimbang-nimbang, mau menceritakan dengan sejujurnya atau bungkam seribu bahasa pada pria berusia 30 tahunan ini.
"Sakura dan Hinata-nee dikejar orang-orang jahat ketika Kaa-san dan Tou-san sedang pergi ke Eropa," jawab Sakura. Inoichi mengangguk, sementara Ino tetap serius mendengarkan. "Kami kabur dari rumah bersama Neji-nii, tapi .. Sakura dan Hinata-nee terpisah dari Neji-nii."
"Lalu siapa yang mengejarmu, Sakura-chi?" tanya Ino antusias. Sakura menundukkan kepalanya. "Sakura tidak tahu. Saat Sakura, Hinata-nee, dan Neji-nii sendirian di rumah, tiba-tiba mereka datang. Kami keluar lewat pintu belakang dibantu oleh Tayuya, pembantu kami. Tapi kami ketahuan dan dikejar. Sakura tidak tahu Tayuya bagaimana. Tetapi tangan Hinata-nee terluka karena mereka," ungkap Sakura jujur.
"Begitu ya? Oh iya Sakura, kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh tinggal bersama kami," tawar Inoichi. Sakura menatap pria itu. "Hontou? Arigatou Gozaimashita!"
"Ngomong-ngomong Sakura-chi, Tou-san dan Kaa-san mu kapan kembali dari Eropa?" tanya Ino. Sakura menggeleng. "Sakura tidak tahu. Tou-san dan Kaa-san hanya mengatakan kalau mereka tidak akan kembali dalam beberapa tahun," jawab Sakura sedih.
"Baiklah Ino. Tou-san rasa, kamu lebih baik bersama Sakura terlebih dahulu. Besok kita sarapan bersama ya!" kata Inoichi. Ino mengangguk mantap. Beberapa saat kemudian, pintu pun tertutup setelah pria bermata bluemarine itu keluar dari ruangan.
"Oh ya! Sakura, aku ingin memberitahumu sesuatu."
"Apa?" tanya Sakura penasaran. "Tapi berjanjilah jangan adukan aku pada Tou-san. Oke?"
Sakura mengangguk mengiyakan. Kemudian Ino mendekati Sakura dan membisikkan sesuatu sehingga gadis bermata emerald itu refleks membulatkan matanya tak percaya. "H-hinata-nee ...? H-hilang ingatan?"
9 tahun kemudian ...
"IIINOOOO-PPPIIIIGGG!" teriak gadis itu garang. Dia merobek-robek sebuah kertas dan membuangnya sembarang tempat. Ino hanya terkikik geli menyaksikan salah satu sahabatnya itu berhasil dia jahili. Yah, siapa yang enggak marah kalau Ino melaporkan hasil NEM milik Sakura, sahabatnya itu dan memberitahukan hal itu kepada Tou-san sehingga Tou-san sempat berceramah panjang lebar selama hampir satu jam penuh. Dan tampak sangat jelas bahwa yang dirobek-robek oleh gadis tadi itu adalah kertas surat. Isinya? Tentu saja isinya adalah surat bahwa dia akan bersekolah di Kota Konoha setelah Tou-san kecewa dengan NEM-nya, 31, 05. Hah? Sebegitunya kah? Lihat saja Hinata yang mendapat nilai terbaik di negara itu, dengan NEM sempurna yaitu 40. Betapa kecewanya Tou-san setelah melihat NEM milik Sakura lebih rendah 8, 95? Sementara Ino? Dia malah mendapat nilai 29,55 dan sepertinya Ino tampak tenang-tenang saja walau diceramahi oleh Tou-san. Paling tidak, Ino mendapat ganjaran bahwa kakinya bisa bengkak kalau saja Hinata tidak menghentikan ceramah panjang lebar itu. Kekecewaan gadis itu bertambah lagi ketika dirinya mendapat kelas F, kelas terburuk di awal pembelajaran tahun ini, di tahun pertamanya menginjak SMA. Itu memang sudah resiko yang harus ditanggung bersama oleh ketiga gadis tersebut, harus bisa sabar menghadapi ayah yang suka berceramah panjang lebar.
Sementara Hinata yang juga mendapatkan kelas F dikarenakan sebuah alasan 'aku tak ingin berada di kelas lain tanpa Sakura' , hanya tersenyum geli memandangi kedua saudaranya yang tengah berdebat. Hinata masuk ke kelas F dengan alasan jitu, disertai dengan permohonan Sakura dan Ino, ditambah 'puppy eyes no jutsu', akhirnya sang kepala sekolah terpaksa memasukkan Hinata ke kelas F -yang seharusnya dimasukkan ke kelas A karena dia hanya satu-satunya siswa yang mendapat nilai sempurna 40-, dimana murid-muridnya hanya akan berjumlah tak lebih dari 20 orang.
Oke, mungkin Inoichi cukup berlebihan dalam mengurusi anak kandung dan anak tirinya itu. Tapi ini demi kebaikan mereka juga kan? Inoichi juga telah menimbang-nimbang bahwa pindah dari Suna ke Konoha adalah jalan terbaik. Selain untuk memasukkan ketiga anaknya ke SMA Konoha, dia juga mempertimbangkan resiko Hinata bila Hinata tiba-tiba mengingat insiden 9 tahun lalu. Dia tentu bisa cepat-cepat memanggil Tsunade.
Mungkin ini terlalu pagi di saat Ino dan Sakura tengah asyik bermarah-marah ria, di kelas 10 F, kelas mereka yang baru, dimana belum ada siswa lain kecuali Hinata yang datang di kelas itu, sehingga mereka berdua tampak leluasa berdebat mulut. Hinata duduk di barisan kedua paling kanan, dekat dengan jendela itu hanya memandangi kedua saudaranya. "Ino-chan, Sakura-chan, kalian jangan berdebat .." lerai Hinata lembut.
Nah lho? Lihat perbedaan Hinata pada saat berumur 7 tahun dengan yang berumur 16 tahun ini. Dan lihat juga perbedaan Sakura. Hm ... who knows? The two has change very well. Yah, walau kita ketahui bahwa Hinata terlihat sangat berbeda karena lupa ingatan.
Skip adegan ini dan kita kembali saat Kakashi Sensei, wali kelas mereka yang baru memasuki kelas yang tampak tak cukup baik. Err ... mungkin sangat tak baik. Kakashi Sensei berdiri di depan pintu, menghela napas melihat kelakuan para murid-muridnya.
Kakashi Sensei memandangi seluruh kelasnya. Memandangi satu persatu murid-murid yang akan diajar olehnya selama satu tahun. Menelan ludah ketika satu buku tebal 5 cm melaju ke arah mukanya. BRUK! Kakashi Sensei hanya terdiam, membiarkan buku dengan tebal 5 cm itu terjatuh dengan sendirinya. Lalu kembali memandangi kelasnya yang sudah tak karuan itu.
"AWAS KAU!"
"Hei, itu bukan salahku!"
"Kita kenalan ya?"
"Hei, kau menginjak kakiku tahu!"
"WWWOOOYY! GURUNYA DAH DATENG TUUUH!" teriak salah satu siswa berambut kuning yang memiliki tiga garis wajah di masing-masing pipinya. Teriakan itu sontak membuat para siswa yang tadinya berkoar-koar dan mengaum-ngaum di kelas, berhenti pada kegiatannya dan memilih untuk diam.
Hm .. ok, Kakashi Sensei, kau siap memulai hari ini dengan tingkat kesetresan luar biasa. Semoga hari ini berjalan dengan baik.
"Ohayou!" sapa Kakashi Sensei, masuk ke dalam kelas dan menaruh buku-bukunya di meja yang telah disediakan khusus untuk guru.
"OHAYOU, SENSEI!" sapa para murid dengan kompak. Membuat Kakashi Sensei lupa sementara dengan kesetresannya setelah mendengar kekompakan para murid-muridnya. Tidak terlalu buruk bukan, Ka ka shi Sen sei?
"Ok, silakan buka buku Sejarah halaman pertama. Kita akan belajar tentang ..."
"Sensei, tunggu dulu un! Daripada hari pertama di isi dengan pelajaran membosankan itu, lebih baik perkenalan dulu un!" potong salah satu murid berambut kuning dikucir kuda. Matanya yang sebelah kiri ditutupi poni seperti Ino.
"Hm .. kamu benar juga. Namaku Kakashi Hatake. Panggil saja Kakashi Sensei. Umurku 28 tahun. Aku tinggal tak jauh dari sini. Hobiku membaca komik (hentai). Baiklah, perkenalan siswa dimulai dari ... err, ah! Kamu yang ada di sana!" Kakashi menunjuk seorang siswa berambut pirang kucir empat yang duduk di barisan terdepan, di pojok kanan. Siswa itu tampak bingung sambil menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Sensei?" tanya siswa itu. Kakashi mengangguk mengiyakan, "Iya, kamu. Setelah itu, bergeser ke kiri."
Siswa itu pun berjalan maju ke depan dan mulai memperkenalkan dirinya. "Namaku Temari no Sabaku. Asal Kota yaitu Desa Suna. Umurku 16 tahun. Hobiku membuat kipas dari kertas dan bermain pasir. Aku selalu membawa kipas besarku yang dititipkan oleh nenekku. Tapi Tou-san melarangku untuk membawa kipas itu ke sekolah."
"Bagus, Temari. Ayahmu memang benar. Jika kamu membawa kipasmu ke sekolah, bisa hancur berantakan sekolah ini."
"?"
"Namaku Nagato Atarashi. Umurku 17 tahun. Aku tinggal sekitar 7 km dari sini. Asalku dari Kota Amegakure. Aku mempunyai kelebihan mata rinnegan."
"Namaku Shikamaru Nara. Umur 16 tahun. Hobiku tidur dan tidak suka diganggu. IQ ku 200, IQ yang cukup tinggi. Aku memiliki kelebihan kagemane."
Prok prok prok.
"Namaku Ino Yamanaka. Umurku 16 tahun. Aku menyukai bunga, dan aku juga mempunyai toko bunga tak jauh dari sini. Asalku dari Kota Konoha. Aku memiliki kelebihan, yaitu shintenshin."
"Perkenalkan, namaku Haku Himasawa. Asal kota yaitu Kota Konoha. Umurku 16 tahun. Aku suka membaca buku dan bermain catur. Orang tuaku membuang diriku karena aku memiliki kelebihan mengubah air menjadi es. Sekarang, aku tinggal bersama seseorang yang sangat menyayangiku. Dan aku berjanji akan selalu menjaganya."
"Hm ... kelihatannya kau cukup pendiam, Haku," tebak Kakashi Sensei. Haku mengangguk perlahan sambil menyunggingkan senyum.
"Tapi dia kejam, Sensei!" celetuk salah satu murid bertato segitiga terbalik di pipi. Refleks, Haku langsung melotot dan melemparkan deathglare pada cowok kurang ajar yang mempermalukannya di depan banyak orang. Tetapi sepertinya cowok itu tidak peduli.
"Selanjutnya."
"Yosh! Namaku NARUTO UZUMAKI. Asalku dari Kota Konoha. Aku suka makan ramen di Ichiraku. Karena aku suka hal-hal yang berbau mistis, jadi aku hobi baca komik yang berhubungan dengan siluman berekor sembilan. Tapi aku juga hobi main basket kok, hehehe. Umurku 16 tahun. Kelebihanku adalah kage bunshin."
"Namaku Shino Aburame. Umur 16 tahun, dan menyukai serangga."
Semua siswa langsung sweetdrop. "Berarti suka IPA ya?" tebak satu-satunya murid berambut biru di kelas itu. Shino hanya mengangguk tanpa menjawab dengan kata-kata.
"Namaku Deidara Maseru. Umurku 17 tahun. Aku terlahir di Kota Suna, tapi asalku bukan dari sana. Aku menyukai kerajinan tanah liat karena menjadi perajin tanah liat adalah cita-citaku. Aku memiliki kelebihan dapat meledakkan tanah liat milikku sendiri yang telah kuproses terlebih dahulu."
"Ooh, perajin tanah liat ya? Cita-cita yang cukup menarik," komentar Kakashi Sensei. Deidara tersenyum begitu cita-citanya dipuji oleh Kakashi. Sejauh ini, orang-orang yang mendengar cita-citanya pasti akan mengejek bahwa cita-cita itu terlalu rendahan. Sementara itu, seluruh siswa di dalam ruangan itu sudah bergidik ngeri membayangkan kelas mereka yang akan meledak bila Deidara membawa tanah liatnya ke kelas 10 F.
"Arigatou, Sensei."
"Namaku Chouji Akimichi. Hobiku makan, dan aku tidak suka jika dikatakan gendut, karena pada dasarnya itu adalah kenyataan yang tidak harus dibicarakan lagi. Umurku 16 tahun. Kemampuanku adalah memperbesar diriku sebagai pertahanan terhadap musuh, namanya adalah Baika."
Semua siswa berbisik-bisik sampai ada yang berceletuk, "Gendut!"
Sontak, mata Chouji langsung melotot. Hal itu membuat seluruh kelas diselimuti oleh aura kematian.
"Yare yare, cukup Chouji. Atau teman-temanmu pasti akan mati terkapar di sini," canda Kakashi. Chouji pun langsung kembali menuju bangkunya. Dilanjutkan dengan perkenalan seorang gadis bercepol dua.
"Halo, namaku Tenten Kyokyu. Kalian cukup memanggilku Tenten saja. Umurku masih terbilang muda, 15 tahun. Atau mungkin yang paling muda di antara kalian semua, hehehe. Hobiku bermain karate dan aku tidak suka dengan cowok yang suka menggoda."
Tadinya Kakashi Sensei sudah mau berkata, "Tenten, kau cantik, tapi sayangnya hobimu itu bikin nyaliku ciut." Tapi Kakashi Sensei mengurungkan niatnya. Dia menelan ludah saking gugupnya dengan Tenten.
"Namaku Sakura Yamanaka. Umurku 16 tahun. Asalku dari Sunagakure, pindah ke Kota Konoha karena diseret oleh Tou-san gara-gara nilaiku cukup rendah. Aku suka bunga sakura, dan tidak suka hal-hal sama seperti Tenten. Sejauh yang kutahu, aku memiliki kemampuan untuk mengobati luka dengan tenagaku sendiri."
Kakashi Sensei pun menelan ludah kembali untuk yang kedua kalinya. Sepertinya ada dua gadis monster di kelas ini.
"Ohayou, Minna. Namaku Kiba Inuzuka. Aku sangat menyukai anjing. Umurku 17 tahun. Aku berasal dan lahir di Kota Konoha. Kelebihanku adalah bisa berbicara dengan anjing."
"What the hell?" ucap semua murid serempak. Kiba hanya memasang wajah innocent.
"Na-namaku Hi-Hinata Y-yamana-ka. Umurku 16 tahun. A-asalku dari Sunagakure. A-aku suka bunga lavender. Ba-banyak yang a-aku suka, tapi hanya se-sedikit yang k-kubenci, terut-ama ra-sa sak-kit. A-aku kemb-ar dengan Sa-kura. I-Ino ada-lah sa-udara ti-tiriku. Ka-ta Tou-san, aku memiliki kelebihan mata Byakugan. T-tapi aku tidak tahu cara men-ggunakannya. Arigatou .. s-semoga kita se-mua bisa b-berteman baik," Hinata pun membungkukkan badan. Semuanya udah ngiler gara-gara nunggu Hinata yang udah sejam ngomong gak berhenti-berhenti. #abaikan
"Wah, Hinata. Sepertinya kamu tipe orang pemalu ya?" sindir Kakashi Sensei. Hinata hanya tersenyum dan mengangguk gugup. "I-iya, Sensei."
"Ok, selanjutnya!"
"Sasuke. 16 tahun."
Semua siswa langsung jawdrop. "Err ... Perkenalan yang (sangat) singkat, Sasuke," komentar Kakashi Sensei.
"Boleh kutahu apa kemampuanmu?" tanya Kakashi Sensei. Sasuke melirik, menatap Kakashi Sensei yang memakai masker hitam dan hitae ate berlambang Kota Konoha untuk menutupi mata kirinya. "Sharingan."
"Seorang Uchiha, hm?" celetuk salah satu murid bermata hijau redup berkanji 'ai' di dahinya.
Sasuke cuek saja dan kembali ke tempat duduknya di samping Hinata.
"Namaku Kankurou no Sabaku. Aku bersaudara dengan Temari, Gaara, Sasori. Umurku 17 tahun, dan aku menyukai boneka. Terutama boneka kayu. Asalku dari Kota Suna, dan aku pindah kemari karena mengikuti saudara-saudaraku yang ingin terbebas dari peraturan-peraturan menyebalkan dari nenek kami."
"Alasan bagus, Kankurou," puji Kakasih Sensei. Yang lain hanya mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan Kakashi Sensei. Padahal, mereka semua berpikir dalam hati bahwa Kankurou adalah cucu yang durhaka.
"Namaku Sasori no Sabaku. Asalku dari Kota Suna. Umurku 16 tahun. Aku juga menyukai boneka dan basket. Motto-ku adalah, seni adalah benda yang dapat bertahan lama."
"Gak bisa begitu un! Seni itu adalah ledakan un!" bantah Deidara tidak terima.
"Motto-ku adalah motto-ku. Motto-mu adalah motto-mu. Jadi jangan ikut campur ke dalam motto-ku!" balas Sasori sengit.
"Gak bisa. Pokoknya Seni itu adalah ledakan un!"
"Cukup, hehehe. Sasori, silakan duduk. Selanjutnya!" potong Kakashi Sensei, menengahi perdebatan antara Sasori dengan Deidara.
"Namaku Sai Tsukuyoru. Umurku 17 tahun, aku berbakat dalam melukis. Dan aku sangat suka menggoda gadis. Aku adalah anak yang terbuang. Kakakku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Tenten dan Sakura dengan sigap langsung menatap Sai dengan pandangan horor. Tetapi cowok yang satu ini meladeni pandangan itu dengan senyuman.
"Namaku Yahiko Atarashi. Aku suka segala hal. Terutama ramen Ichiraku karena rasanya betul-betul enak. Aku suka bermain sepak bola. Asalku dari Kota Amegakure."
"Waah, kita sama -ttebayo!" seru Naruto.
"Hahaha ... Boleh lah kalau nanti kita sama-sama pergi ke Ichiraku!" balas Yahiko bersemangat. Dua lelaki yang sangat bersemangat dan sepertinya pantang menyerah.
"Namaku Konan Atarashi. Aku menyukai origami. Aku juga menyukai warna biru karena itu adalah warna paling tenang di antara semua warna. Aku menyayangi kedua sepupuku, Nagato Atarashi dan Yahiko Atarashi. Umurku 16 tahun, asal Kota Amegakure. Kemampuanku adalah mengubah diriku menjadi beribu-ribu kertas."
"Hahaha, Papercut!" celetuk Naruto. Dalam sekejap, kepalanya kini sudah benjol dan terlihat lebam-lebam biru di mukanya. Oh ya? Sedetik setelah Naruto mengatai Konan dengan sebutan Papercut, gadis itu sudah melempari Naruto dengan buku-buku milik Kakashi dan benda-benda berbahaya lainnya seperti gunting dan paperclip yang sukses mendarat di muka Naruto. Sekarang, Naruto terpaksa dibawa ke UKS bersama Chouji dan Deidara yang mengantarnya. Setelah lima menit berlalu, Chouji dan Deidara kembali dengan tampang terbebas dari Naruto. Acara perkenalan para murid pun dilanjutkan kembali.
"Dasar Dobe .." gumam Sasuke dengan tampang muka kecut. Hinata sekilas memandang cowok di sampingnya dengan perasaan was-was, takut kalau Sasuke nanti sangat kejam dan dingin terhadapnya. Apa jadinya kalau Hinata terus-menerus duduk di situ bersama Sasuke?
"Perkenalkan, namaku Gaara no Sabaku. Umurku 17 tahun. Aku pindahan dari Kota Suna. Aku cukup pendiam dan suka menyendiri. Kelebihanku adalah, pasir selalu melindungiku sehingga aku tak pernah terluka."
"Waah, kemampuan yang sangat misterius, Gaara," komentar Kakashi Sensei. Gaara hanya melirik sekilas, kemudian berjalan menuju bangkunya di samping Konan yang telah duduk dengan manis.
"Ok, perkenalan sudah selesai. Mulai sekarang, tempat duduk ini adalah tempat duduk resmi yang akan kalian tempati selama setahun. Jadi, tidak boleh berpindah tempat."
"NA-NAAANIIII?"
Hinata, mungkin Kami-sama sedang tidak berpihak padamu. Buktinya, kau akan terus duduk berdampingan dengan orang yang sangat ingin kau hindari karena sikap dingin dan cueknya.
Mungkin ini tidak baik, tapi cukup baik bagi beberapa siswa. Nah, kini telah jelas sudah. Temari dengan Nagato, Shikamaru dengan Ino, Haku dengan Naruto, Shino dengan Deidara, Chouji dengan Tenten, Sakura dengan Kiba, Sasuke dengan Hinata, Kankurou dengan Sasori, Sai dengan Yahiko, dan Konan dengan Gaara.
Kita lihat Temari yang tenang-tenang saja karena puas memilih tempat duduk yang bersama dengan cowok ganteng berambut merah bernama Nagato Atarashi. Shikamaru melirik Ino, sementara Ino balik menatap dengan kesal karena menyesal duduk bersama cowok ber IQ tinggi, tapi malas dan suka tidur. Haku cukup tidak bisa menerima kenyataan bila duduk berdampingan dengan siswa bersemangat yang mungkin bisa menganggu kegiatan belajarnya. Shino terlihat sangat damai bersama Deidara. Chouji dan Tenten juga sama damainya karena selain Chouji tidak menggoda Tenten, Tenten juga tidak suka mengganggu, apalagi menasehati Chouji agar tidak memakan makanan terlalu banyak. Sakura agak jengkel duduk dengan Kiba yang menurutnya sangat bandel itu. Hinata was-was terhadap Sasuke, padahal Sasuke terlihat tenang-tenang saja duduk bersama dan Sasori saling menatap dengan listrik mengalir, menghubungkan kedua kepala itu, tanda peperangan dalam satu meja akan segera dimulai, mengingat kedua cowok yang satu marga itu sering bertengkar tentang boneka. Sai agak menyesal karena tadi dia memilih duduk bersama Yahiko, padahal tadi kursi di samping gadis bernama Hinata masih kosong, sampai tiba-tiba cowok berambut raven datang dan duduk di samping gadis itu. Sementara Konan dan Gaara yang sama-sama suka ketenangan, sama sekali tidak berkomentar apalagi menyesal telah memilih tempat duduk yang sangat tepat, berada di barisan paling belakang, tenang, dan mungkin cukup tidak terusik dengan gangguan dari depan.
Akan jadi apa kelas 10 F ini dengan para siswa yang memiliki sifat dan perilaku berwarna sangat aneh?
~TBC~
*sweetdrop di balik pintu* Yoo, Minna! Yura bikin fanfic baru lho! *dah tau*. Ada yang rindu sama Yura? *pundung di pojokan*, hehehe. Yura kan baru pemula, jadi gak pada kenal sama Yura. -_-"
Yura jangan dilemparin sendal gara-gara gak ngelanjutin fanfic sebelumnya. Hiks ... Soalnya Yura bener-bener males *kumat lagi penyakitnya*. Padahal setengah chapter udah jadi, atau malah tinggal ending of chapter-nya doank yang perlu ditulis. Tapi entah kenapa, jari-jari Yura yang bisa mengetik dengan kecepatan 117 kata per menit ini *promosi, promosi, hahhahay* *di deathglare* malah membuat fanfic baru dengan alur tak jelas. Huhuhu ... gomennasai
Bagi para readers yang punya akun fanfic, bersediakah mampir dulu ke profil Yura, sekedar nge vote karena Yura bikin polling. Kikiki ... Ya? Ya ? mampir yaaa ...
Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya Yura bikin chapter dengan panjang 14 halaman dengan word mencapai 5000 lho! *promosi lagi*, padahal sebelumnya, Yura gak pernah bikin chapter sepanjang ini, biasanya sih Cuma 3000 an atau 1500 an. Fufufu ... tepuk tangan buat Yura *readers : hip hip, huuuu!*
(_ _")
Oh ya, para readers tahu lagu Moonlight Sonata? Katanya, menurut rumor yang sering Yura dengar, Lagu Moonlight Sonata itu lagu pengantar kematian seseorang. Nah lho? Iya, katanya sih lagunya serem-serem gitu. Dan ternyata emang bener. Soalnya Yura bikin chapter ini sambil dengerin itu lagu, jam setengah dua belas malem lagi. Tadi sore juga ada tetangga yang meninggal. Dan Yura gak boleh datang ke acaranya. Soalnya katanya Yura masih terlalu kecil. Lho kok? Umur Yura kan udah 14 tahun, kelas 8 SMP. Yaah ... ketahuan deh umur Yura -_-" ... makanya, bagi para readers yang pernah manggil Yura dengan sebutan Senpai, jangan diulangi lagi ya. Yura kan masih kecil .. hehehe XD
Akhir kata, Yura cuma mau minta review dari kalian, supaya Yura bisa mampir ke profil kalian, kikiki ... ok? ok? ok? *dilempar batu gara-gara banyak alasan*. Saran dan kritik dari kalian semua sangat Yura butuhkan untuk intropeksi diri supaya Yura menjadi lebih baik. Kalau ada yang mau komplain typo, tolong tunjukin yaa .. Hehehe ... ^^
Jaa~!
