Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime.
Rate T
Warning OOC
LeviHanji
Memories by Akinayuki
.
.
.
.
.
Side One : Awal Pertemuan
Hanji Zoe sangat menyukai sesuatu yang baru. Entah itu pengetahuan, pengalaman atau bahkan bertemu dengan orang baru. Semua itu membuatnya bersemangat dan mengerti banyak hal yang luar biasa.
Ayah dan ibunya tak pernah melarangnya untuk membaca semua buku yang ada meski topik di dalam sana jauh melebihi batas umurnya. Mereka hanya bisa pasrah melihat anak kecil itu menghabiskan waktunya untuk meneliti semua hal yang dianggapnya menarik hingga dia merasa bosan.
Ya, Hanji sudah merasa bosan.
Dia kehilangan hal baru yang bisa membuatnya bersemangat untuk diteliti. Hari-harinya menjadi tidak menarik lagi dan dia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk membaca kembali buku-bukunya entah untuk kesekian kalinya.
Hingga suatu hari dia menemukan hal baru yang membuat aliran darahnya mengalir begitu deras ke seluruh tubuh. Debaran jantungnya tidak terkontrol dan dia tersenyum sangat lebar.
Dia tidak peduli sebagian rumahnya telah hancur ataupun kamarnya yang kini telah hilang sebagian. Lembaran-lembaran buku yang kini terbang menari-nari di udara bersama debu siang hari tak menghalangi pandangannya dari balik kacamata ovalnya.
Kedua pipinya bersemu merah dan jemari-jemarinya menekuk bertemu dengan telapak tangannya dalam sebuah kepalan kuat.
Dua meter di depannya, dia melihat mahkluk yang sering dibicarakan oleh penduduk sekitar.
Titan.
Giginya yang besar, mulutnya yang lebar, badannya yang menjulang tinggi dua puluh lima meter, tangan dan kakinya yang mirip manusia dan mahkluk itu tengah memakan ayah ibunya.
Hanji merasa sedih melihat orangtuanya dimakan begitu keji, tapi rasa senangnya lebih mendominasi saat ini.
Dia mendengar ibunya berteriak memerintahnya untuk segera lagi sebelum dimakan dan Hanji tetap tak bisa menjauhi mahkluk yang menarik itu.
Hingga akhirnya sekelebat bayangan begitu cepat muncul tepat di belakang Titan itu, membuatnya jatuh tersungkur dengan debu-debu tebal memenuhi udara.
Hanji menutup kedua matanya menghindari debu masuk ke dalam sana. Hanya dalam hitungan detik dia kembali membuka matanya tak sabar, membersihkan permukaan kacamatanya dengan jari-jarinya dari debu yang melekat lalu dia melihat orang itu.
Seseorang yang kini berdiri tepat di atas tubuh Titan yang telah mati.
Meski pandangannya agak berkabut karena kacamatanya yang tak begitu bersih lagi. Hanji bisa melihat rambut pirang pucat yang tersisir rapi di kepala orang itu, jubah hijau tersampir menutupi tubuh bagian atasnya dan kedua tangannya memegang pedang yang panjang.
Kedua mata cokelat Hanji beralih melihat Titan yang kini tak berdaya kemudian kembali melihat orang itu.
"Tuan!"
Penyelamatnya adalah seorang pria.
"Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi sepertimu?"
Dan pria itu hanya bisa tersenyum.
.
.
.
.
.
Irvin Smith adalah satu-satunya orang yang didengarkan oleh Hanji. Meskipun Irvin belum menjadi seorang ketua saat itu, Hanji tetap patuh padanya.
Pria itulah yang memberitahukannya cara untuk semakin dekat dengan hal-hal yang menarik termasuk bergabung dengan scouting legion.
Selama masa pelatihan, Hanji berusaha sangat keras. Dia membaca semua hal mengenai Titan,mengamati mahkluk itu hingga menjadi murid teratas dalam semua hal. Fisik, kelincahan, pengetahuan dan keberanian hingga semua orang kagum padanya.
Hingga dia memulai ekspedisi pertamanya.
Dia tak menyangka bahwa hal yang menarik itu bisa menjadi sangat menakutkan. Puluhan temannya mati di depan matanya, darah dimana-mana dan hanya dia sendirian yang kembali.
Hanji tak pernah merasa takut tapi untuk saat itu, dia tidak bisa berbohong bahwa kedua tangannya gemetar. Dia tidak menangis dan bahkan tak membersihkan noda darah yang melekat di pipi kiri serta sebagian kacamatanya.
Saat beberapa anggota datang untuk menyambutnya dan menghiburnya atas pengalaman mengerikan itu.
Hanji menarik kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum lebar dan semakin lama gigi-giginya terlihat, membentuk sebuah seringaian hingga dia tertawa sangat keras.
Pupilnya mengecil dan dia tetap tertawa seperti kerasukan sesuatu membuat semua orang yang mendekatinya mundur beberapa langkah.
Dalam tawanya, Hanji mengeluarkan pedangnya dan memotong rambut panjangnya hingga sepundak di tempat itu.
Mereka menyebutnya aneh, mengerikan, maniak dan sycho tapi Hanji tak peduli.
Saat sosok Irvin muncul di antara kerumunan orang di sekitarnya. Hanji menatapnya dan tawanya terhenti ketika pria itu menepuk kepalanya pelan.
"Maafkan aku."
Hanji hanya bisa mengeluarkan dua kata itu dengan sangat pelan menyerupai sebuah bisikan.
Irvin membalas tatapannya dengan kedua mata birunya yang jernih dan mengelus lembut pucuk kepalanya.
"Aku senang kau selamat Hanji."
Dan tak lama air mata mulai melunturkan noda darah yang mengering di wajah Hanji.
.
.
.
.
.
Tidak mempunyai teman tak membuat Hanji merasa sedih. Justru dia selalu terlihat bersemangat dan tersenyum setiap waktu. Hanji tahu bahwa orang-orang itu tidak membencinya, mereka hanya takut karena dia berbeda.
Hanji selalu menghabiskan harinya di dalam kamarnya. Membaca semua buku-buku, menulis berlembar-lembar esai atau meneliti sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun. Terkadang dia akan pergi keluar untuk membeli buku baru atau sekedar melatih tubuhnya. Tapi hampir sembilan puluh persen dari harinya dia habiskan di dalam kamar. Jadi sangat wajar kalau mereka menyebutnya berbeda.
Dan bicara soal berbeda. Rivaille adalah orang yang sangat berbeda bagi Hanji.
Dia ingat saat itu siang hari, ada banyak buku baru yang harus dia rangkum dan sudah dua hari dia tidak keluar dari kamarnya hingga sebuah ketukan beruntun terdengar.
Saat dia membuka pintu, sosok Irvin berdiri dengan tegap di sana.
"Irvin! Ada apa?" Hanji memandangi atasannya dengan mata berbinar. Tak biasanya pria itu mengunjunginya hingga ke kamar saat siang hari.
"Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu." Irvin tersenyum membuat Hanji semakin penasaran. Tak lama, Irvin menggeser tubuhnya hingga Hanji kini menyadari bahwa ada sosok lain yang berdiri di belakang pria itu.
Seorang pria yang lebih pendek darinya. Tatapan mata datar dengan bayangan hitam di bawah kedua kelopak mata bawahnya dan rambut hitam belah pinggirnya yang begitu rapi.
Hanji mengedipkan matanya berkali-kali dan mengamati pria itu dari ujung kepalanya hingga sepatu cokelatnya.
"Mulai hari ini dia akan menjadi salah satu anggota pasukan kita. Aku berharap kau bisa bekerja sama dengannya."
"Aku tak pernah melihatnya."
"Aku secara khusus merekrutnya."
Hanji sedikit terkejut dengan pengakuan Irvin. Direkrut secara khusus artinya spesial. Pria ini spesial bagi Irvin dan itu membuatnya sedikit merasa iri. Apa yang dimiliki oleh pria ini?
Mengembangkan senyuman lebarnya, Hanji mengulurkan tangan kanannya yang dipenuhi oleh noda tinta di beberapa bagian.
"Aku Hanji Zoe!"
Pria itu menatapnya datar dan kedua mata hitamnya yang agak kecil bergerak untuk melihat tangan kanannya.
"Aku tidak mau menyentuh tangan kotormu."
Hanji terdiam. Dia terkejut mendengar komentar yang begitu frontal dari pria itu. Ragu-ragu dia melirik Irvin yang hanya bisa memasang wajah tenangnya.
"Dia memang susah untuk bergaul."
Hanji mengangguk. Pria ini sama sepertinya, berbeda hingga dia tidak mempunyai teman.
Memasang senyumnya lagi, Hanji menarik tangan kanannya dan membersihkan noda-noda tinta itu dengan ujung kemejanya.
"Sekarang kau bisa menyentuhnya!"
Pria itu menatapnya aneh. Dari tangannya menuju wajahnya dan melakukan itu selama beberapa saat.
"Tch." Senyuman di wajah Hanji semakin melebar ketika pria itu akhirnya membalas uluran tangannya meski segera melepaskannya dalam hitungan detik. "Rivaille."
"Atau kau bisa memanggilnya Levi," sahut Irvin menambahkan hingga Rivaille meliriknya tajam.
"Apa semua orang memanggilmu Levi?"
"Kebanyakan."
"Kalau begitu aku akan tetap memanggilmu Rivaille." Hanji memegang dagunya, "kurasa itu membuatku menjadi lebih dekat denganmu daripada orang lain."
"Bodoh."
"Bagaimana kalau kalian makan siang bersama?" Hanji dan Rivaille segera menoleh ke arah Irvin. "Aku ada urusan sebentar lagi dan tak bisa menemaninya. Kurasa selama dua hari kau belum makan, apa aku benar Hanji?"
"Aa.." Hanji menggaruk-garuk rambutnya yang terlihat berantakan. "Aku sedang menulis esai mengenai variasi wajah dan rambut yang dimiliki Titan—" Ucapan Hanji terhenti. Dia menoleh ke dalam kamarnya yang sekacau rumah bekas injakan Titan.
Menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dia lakukan, kaki Hanji mulai melangkah keluar dan menutup pintu kamarnya.
"Ayo, aku sudah lapar!"
.
.
.
.
.
"Apa kau tahu anak baru itu? Dia sangat hebat! Dia berhasil menaklukkan dua Titan sendirian!"
"Kudengar komandan Irvin sendiri yang merekrutnya masuk. Dia pasti luar biasa."
"Setidaknya dia tidak mengerikan seperti Hanji."
"Kau benar, gadis itu aneh. Meskipun dia hebat tapi dia mengerikan."
Hanji menghela nafas dan mengelus selotip luka yang menempel di pipi kanannya. Sehari yang lalu, dia melakukan ekspedisi pertamanya bersama Rivaille dan mau tak mau dia harus mengakui bahwa pria itu sangat hebat.
Gerakannya sangat lincah dan akurat, bahkan dia tidak mendapatkan luka segorespun.
Hanji benar-benar merasa iri.
Apa meneliti hal baru yang dia rasa menarik tidak bisa membuatnya terlihat hebat di mata semua orang? Apa kecintaannya terhadap Titan membuatnya terlihat aneh? Apa salah kalau dia menyukai ketika dia melesat begitu cepat untuk mengalahkan mahkluk itu?
Kenapa mereka tak bisa mengaguminya seperti mereka mengagumi Rivaille?
Memandangi lengan kanannya yang dibalut oleh perban, Hanji segera berlalu dari ruang makan.
Dia memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang kecil dan merengut ketika dia menyadari bahwa dia tidak bisa menghabiskan malam ini untuk menulis laporan baru dari ekspedisinya.
Menghela nafas lagi, dia melangkahkan kakinya menuju sebuah pondok yang tidak begitu ramai. Berjalan ke samping dan memanjat tangga kayu menuju atap. Dia duduk di pucuk atap pondok itu dan mengeluarkan buku catatan kecilnya yang selalu dia bawa.
Selama beberapa menit Hanji hanya membaca ulang buku catatannya tanpa berniat untuk menulis karena dia tidak bisa menggunakan tangan kirinya untuk hal itu. Pandangannya tak pernah teralih hingga sebuah suara mencurigakan terdengar di dekatnya.
Hanji menoleh dengan cepat dan menjadikan pulpennya yang tajam sebagai senjata yang siap menusuk bagian manapun dari pengganggunya.
Kedua mata cokelatnya membulat saat tangan kirinya ditepis dengan sempurna oleh sosok itu dan saat dia menoleh untuk melihat wajahnya, Hanji segera tersenyum.
"Rivaille!"
"Instingmu payah."
Hanji tertawa, "aku selalu lupa diri saat membaca sesuatu yang menarik."
Rivaille hanya memasang wajah datarnya dan mengamati sekitar, "apa yang kau lakukan di sini?"
"Membaca?" Hanji mendapatkan tatapan yang luar biasa datar dari Rivaille, "sebenarnya pikiranku sedang kacau dan aku tidak bisa menulis laporan dengan tangan yang terluka ini."
Rivaille melirik ke arah tangannya yang telah diperban asal dan sekilas dahi pria itu mengerut.
"Siapa yang melilitkan perban itu?"
"Aku yang melakukannya! Semua orang sedang sibuk dan yah— aku masih bisa melakukan ini sendiri—"
"Dengan tidak benar," sahut Rivaille ketus.
Hanji menatapnya dari balik kacamatanya, "Aku tidak terbiasa menggunakan tangan kiri. Seharusnya aku terluka di tangan kiri saja."
"Sebaiknya kau tidak terluka."
Hanji tertawa lagi.
"Kau benar."
"Turun."
"Eh? Ada apa?"
Rivaille hanya memandanginya tajam dan berjalan dengan hati-hati menuju ujung tangga yang masih bersandar di dinding.
"Aku akan memperbaiki perbanmu."
"Benarkah?" Hanji bertanya untuk menyakinkan dengan bersemangat. Dia menaruh buku catatannya ke dalam saku celananya dan segera berdiri dari duduknya. "Rivaille!"
Pria itu berbalik dengan wajah suramnya.
"Setelah itu bisakah kau membantuku untuk menulis laporan ekspedisi kemarin? Aku tidak bisa tidur kalau belum menulisnya."
Hanji memasang senyum terbaiknya yang mungkin terlihat aneh bagi sebagian orang dan semakin lebar ketika Rivaille hanya membalasnya dengan sebuah kalimat ejekan sebelum dia menghilang dari hadapannya.
"Dasar mata empat merepotkan."
Memang semua orang tidak bisa menerima kebiasaannya dan kesukaannya terhadap sesuatu yang tidak normal. Tapi Rivaille tak pernah keberatan atas keanehannya itu. Pria itu hanya mengumpat dan mengutarakan kata-kata pedas atas kecerobohannya, tapi dia tak pernah mempermasalahkan keanehan Hanji.
Mungkin Hanji tidak merasa iri karena kehebatan Rivaille.
Hanji merasa iri karena Rivaille bisa menerima dirinya lebih dari Hanji sendiri.
Rivaille adalah orang yang menarik.
End
Author Note : Aku sangat menyukai pair ini! Memang masa lalu mereka belum diungkap, tapi yah aku mencoba menerka-nerka saja dari semua trivia yang ada. Semoga kalian menyukai kumpulan fic pendek LeviHanji ini. Aku akan berusaha untuk mengupdatenya karena aku sedang menyukai anime/manga ini! Semoga semakin banyak yang mencintai pair ini!
