Charade (Jantung Sang Terkasih)
Naruto © Masashi Kishimoto
Inspirated from Charade by Sandra Brown
Warning, Not Under 16 years old
Happy reading!
.
.
.
15 Desember 2002
Gadis berambut panjang sebahu itu kini telah berdiri di depan sepeda motor besar berwarna hitam metalik tersebut. Wajahnya yang terpoles cantik oleh riasan smooky tampak cemberut menunggu sang kekasih yang tak kunjung datang.
Ia paling tidak suka menunggu, bahkan jika harus menunggu sebuah burger besar berisi daging ham yang digoreng dengan lemak panas juga taburan merica di atas dagingnya—itu menjengkelkan. Berapa lagi ia dan perutnya harus menunggu?
Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di atas motor besar kekasihnya itu dan bercermin di salah satu spion-nya. Tidak buruk, penampilannya yang seksi dengan tank top cokelat membungkus tubuhnya dengan ketat, jaket kulit sepanjang siku yang menampilkan tato mawar di pergelangan tangannya, dan sepato boot yang manis hingga separuh lututnya, membuatnya imut sekaligus menggoda.
Apalagi riasannya yang sangat menawan. Mata dengan polesan smooky, pipi yang merah persik alami dan bibir mungil yang tersapu oleh lipstik merah darah nampak membuat setiap orang ingin menariknya ke tempat sepi dan segera bercumbu mesra.
Sibuk memperhatikan dirinya sendiri, ia tidak menyadari kalau kekasihnya yang tampan sudah berada di belakangnya. Lelaki itu menyelipkan sebelah tangannya di pinggang ramping gadis itu dan mengecup lehernya mesra.
"Lama?" tanya lelaki tampan itu, masih dengan posisi kepala di leher sang gadis.
Gadis itu mengangguk dengan bibir mengerucut. Dari kaca spion ia bisa melihat rambut mencuat kekasihnya menusuk-nusuk pipinya geli. "Lama sekali sampai-sampai aku merasa bisa memakan sadel motormu," candanya.
Lelaki itu mendengus geli. Ia menyingkap rambut panjang si gadis untuk memberinya tempat yang lebih leluasa lagi. Sebelah tangannya yang menggenggam bungkus burger ia tumpukan di stang motornya, sementara sisanya mulai menggerayai bagian-bagian tubuh si gadis.
Gadis itu mengerang.
Bukannya melepaskan sentuhan lelaki itu, ia malah menuntun tangan kekar itu menyentuhnya ke tempat yang sejak tadi terangsang geli, membawanya untuk meremasnya lembut dan kuat.
"Ahh ... Te-teruskan ..."
"Hmmmm ..." gumam si tampan menyahuti. Bibirnya sibuk mengecupi tiap bagian leher si gadis sementara tangannya yang bertumpu pada stang memutuskan untuk bergabung dengan tangan lainnya—memanjakan tubuh si gadis.
Gadis itu terlonjak seketika. Matanya membelalak sejenak sebelum akhirnya mengatup keenakan saat tubuhnya terjamah dengan lembutnya. Namun sejenak ia teringat akan sesuatu.
"He-Hey ... Kita di pinggir jalan raya ... Ahh ... Bi-bisa—ouch—bisa kita ditilang polisi ... Ahhh ..." Ia berusaha melepaskan kedua tangan itu di dadanya dengan tangan gemetaran.
Si lelaki mendecih. Ia berusaha tidak menggubris dan ingin melanjutkan aksinya yang sempat tertunda, tapi gadisnya itu mulai menyalak tidak suka.
"Kita lanjutkan nanti saja ..." bisik gadis itu dengan wajah memerah.
Si lelaki menyeringai tipis. Ia memundurkan wajahnya dan meraih plastik burger yang terkait pada stang motornya. Membukanya dan memberikan satu isinya pada si gadis.
Si gadis itu mengambil burgernya bersemangat, setelah ia berhasil menurunkan gairahnya yang sempat naik tadi sambil merapikan pakaiannya. Ia membuka bungkus kertasnya dan mengintip isinya.
"Mana saus tobacco-nya?" tanyanya seraya mengintip isi burgernya.
"Lupa sepertinya," sahut lelaki tampan yang sudah mengunyah sebagian roti dagingnya yang lembut dan nikmat. Ia duduk di samping gadis itu—tepat di atas sadel sepedanya.
"Ambilkan, dong," pinta gadis itu manja.
"Ogah," sahut si lelaki tajam. Malas sekali ia harus mengambil saus, di saat ia enak-enaknya menikmati burger penuh lemaknya.
"Fine, tak perlu lanjutkan acara tadi."
"Shit."
Gadis itu menyeringai saat kekasihnya itu turun dari sepeda dan memandangnya tajam. dengan tangan putihnya, ia meraih kepala kekasih tampannya itu dan menariknya dalam sebuah ciuman singkat.
"Aku sayang kamu," katanya setelah ciuman itu berakhir.
"Aku juga," balas lelaki itu dengan seringai tipis. Ia mengacak poni gadis itu singkat sebelum berjalan ke arah restoran fast food yang terletak beberapa belas meter di depannya.
Beberapa saat kemudian, baru saja ia melangkah sejauh sepuluh meter, suara-suara berisik berasal dari ujung jalan datang dan menerpa begitu saja. Lelaki itu berpikir, pastilah ada penjahat yang dikejar-kejar polisi.
Ia memutar kedua bola matanya. Seperti biasa, Konoha tidak pernah lepas dari ancaman kejahatan. Ada banyak buronan yang dapat kau temukan di sekitar jalan umum, dengan atau tanpa penyamaran
Salah satunya, yang mungkin di belakang satu ini.
BRUAK!
Suara apakah? Lelaki itu terbawa oleh rasa penasaran dan menolehkan kepalanya. Wajahnya memucat saat melihat apa yang telah terjadi.
Motor besar kebanggannya sudah terseret sejauh lima meter dengan keadaan yang tidak bisa digambarkan lagi. Padahal ia mengingat jelas motor itu baru saja dibelikan ayahnya waktu ia berulang tahun ke 17 lima bulan yang lalu.
Tapi masalahnya bukan itu.
Gadisnya, gadis cantiknya itu sudah terkapar dengan bercak darah berceceran di atas aspal. Ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi, yang pasti ia bisa melihat dengan jelas genangan darah di sana.
"Cepat panggil ambulans! Kepalanya putus!"
"Ya Tuhan, jantungnya masih berdetak! Cepat panggil bantuan!"
.
.
.
15 Desember 2002
"Le-Lebih cepat ... AHHH! Terlalu cepat—ahh ..."
"Aku ... Sedang ... Berusaha ... Shit!"
Suara erangan erotis menggema di kamar kedap suara tersebut. Dua orang manusia tanpa busana sedang bertindihan satu sama lain, menggeram, menggigit, mencakar dan berguling satu sama lain sejak satu jam yang lalu.
"Se-Sedikit lagi ..." desah gadis di bawah tubuh lelaki itu seraya mencakar-cakar kasar punggung si lelaki. Liar, tidak sopan tapi sangatlah menggairahkan.
Lelaki itu meringis singkat dan memperlambat temponya. Ia sedang asyik menikmati wajah keenakan kekasihnya yang sedang dimanjanya ini. Keringat dari tubuh keduanya menambah kesan eksotisme yang ada.
Tidak masalah dengan cakaran, gigitan dan pukulan si gadis yang meninggalkan bekas luka di tubuhnya. Semakin kasar, semakin menggairahkan. Semakin kasar lagi, semakin banyak kepuasan yang didapat.
"Cepat ... Ahhh ..." Gadis itu mulai menggeram tak suka saat kekasihnya memperlambat gerakan. Ia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya sendiri untuk mencari kenikmatan.
"As your wish," bisik si lelaki sebelum ia mempercepat tempo gerakannya, membuat gadisnya itu mendesah tidak karuan sambil mencakar-cakar bahunya tidak sopan. Ia menyeringai saat ia mendapati gadis—wanita itu melengkungkan tubuhnya sambil berteriak.
Setelah beberapa menit kemudian, keduanya terpisah dan saling mengatur napas mereka yang masih memburu sambil bersedekap di balik selimut tipis. Tubuh mereka masih bersimbah peluh, hanya butuh waktu di ruangan ber-air conditioner ini sebelum suhu tubuh mereka turun seperti sedia kala.
"Menurutmu ini benar?"
"Apanya?"
"Kita."
"..."
Lelaki itu menengadahkan kepalanya ke atap kamar yang mereka singgahi. Pikirannya melayang-layang ke udara.
"Entah."
Tidak, ini sebenarnya tidak benar. Tidak benar sama sekali.
Mereka sangatlah salah untuk hubungan gelap ini. Seharusnya ini tidak terjadi pada keduanya—apalagi di jam sekolah yang seharusnya masih berlangsung ini.
Perempuan di sampingnya ini menggeser tubuhnya lebih dekat seraya menggesekkan bagian tubuhnya yang menonjol di lengan putih lelaki itu. Ia memeluk lengan itu erat sambil bergumam, "Aku tahu kau berpikir ini suatu hal yang salah."
"..."
"Tapi aku mencintaimu."
"..." Lelaki itu membaringkan tubuhnya menyamping dan mengecup kening perempuan itu seraya berbisik, "Aku juga." Kemudian tangannya mulai menggerayai bagian menonjol dan mereka yang sempat tertempel pada lengannya itu.
Tak sempat keduanya menikmati kegiatan mereka lebih jauh lagi, suara dobrakan pintu yang berada tak jauh dari ranjang mereka terdengar dan muncullah dua sosok berseragam sekolah dengan napas memburu.
"Kau!" geram salah satu diantaranya sambil melangkah mendekati mereka. Yang lainnya hanya mampu menganga di tempat saat melihat apa yang terjadi.
Perempuan yang tengah bertelanjang itu bersembunyi di balik lengan besar lelaki yang bersamanya. Ia meringkuk sambil mengeratkan balutan selimut yang menutupi tubuhnya.
Si lelaki meraup pakaian yang bercecer di lantai dan memakai celanannya dengan tergesa-gesa. Tidak ada waktu untuk sekedar ganti di kamar mandi bahkan malu. Apalagi untuk yang satu ini.
Gadis yang berseragam rapi itu menggeram sekali lagi, mendekat dan menjambak rambut perempuan yang ada di ranjang kotor sambil mencaci-caci tepat di wajah si perempuan. Amarahnya naik membumbung hingga awang-awang.
"Setan kau! Jalang! Tidak tahu malu!" cercanya sambil meludah di wajah si gadis. Wajahnya memerah karena terbakar emosinya yang meluap-luap.
Bagaimana tidak? Tidak masuk akal jika ia tidak marah atau bahkan bersikap tenang pada situasi seperti ini.
Kawannya yang sempat ragu untuk masuk karena buka privasinya akhirnya memutuskan masuk dan membantu melerai. Ia menarik tangan sahabatnya itu agar berhenti mencakar-cakar wajah perempuan yang tengah telanjang dan meringkuk ketakutan.
"Berhenti!"
"Asshole! Dasar pelacur murahan!"
"Hentikan!"
Gadis yang tengah terbakar amarah itu tidak dapat dilerai lagi. Ia segera meraup sebuah asbak kaca tebal yang terletak di meja dan mengarahkannya pada si perempuan. Ia memukulkannya berulang kali hingga suara teriakan tidak terhindarkan.
Brak! Brak! Brak!
"KYAAAAAA! HENTIKAAAAN!"
"APA YANG KAU LAKUKAN! KAU AKAN MEMBUNUH KEKASIHMU SENDIRI!"
Teriakan-teriakan terus berlanjut, sementara asbak yang terbelah menjadi beberapa keping itu jatuh berceceran di atas ranjang yang kotor. Gadis yang baru saja menjatuhkan asbak itu terguling dengan wajah pucat.
"KAU! KAU MEMBUNUHNYA! KAU YANG MEMBUNUH ORANG YANG KUCINTAI!" Perempuan yang tidak mengenakan busana itu menjerit sambil memeluk tubuh kekasih gelapnya. Berusaha mengentikan aliran darah di kepala lelaki itu.
Suara jerit-jeritan yang ramai itu membuat orang-orang di lantai bawah naik. Mereka berlari masuk dan mendapati keadaan kamar yang berantakan sekaligus darah terciprat di mana-mana. Belum lagi beberapa di antaranya sedang telanjang.
"Panggil kepala asrama! Cepat! Panggilkan juga dokter! Jantung bocah ini masih berdetak!"
"Ba-Baik!"
"Huaaaaaa!"
"Aku tidak membunuhnya, bukan aku pembunuhnya. Ka-kalian salah! AKU TIDAK MEMBUNUHNYA! HUWAAAAAAAAAA!"
"Tenangkan dirimu!
Suara-suara itu makin terasa ricuh di kamar asrama yang pintunya jebol itu. Semuanya sibuk berteriak-teriak sementara sisanya memberi instruksi selanjutnya.
"BUKAN! BUKAN AKU! AKU TIDAK MEMBUNUH KEKASIHKU SENDIRI!"
.
.
.
15 Desember 2002
"Kau yakin, Sakura-chan?"
"Apanya?" jawab Sakura malas. Ia sedang duduk di dalam kemudi mobil dan mematikan mesin mobilnya. "Please, Naruto. Cuma sekali saja."
Naruto mengerutkan kening tidak yakin. "Kau tahu aku tidak bisa mengemudi, masa aku harus keluar melihat mesinnya dan mengemudikan mobil?" Ia menurunkan suhu mobil agar terasa lebih hangat.
Sakura menepuk jidatnya. "Oh ya ampun, ini sangat mudah. Kau hanya perlu membersihkan busi mobilnya lalu naik ke kemudi dan menjalankannya," katanya seraya mendorong Naruto keluar dari sisi mobil.
Naruto dengan pasrah mengikut saja. Ia keluar dari pintu mobil dan diikuti Sakura yang ikut keluar untuk menukar posisi duduk mereka sesudah acara-pembersihan-busi selesai.
Batinnya cemas. Ia tidak pernah mengemudi dengan baik sebelumnya. Rekor terbaik yang pernah dicapainya dalah menabrak tong sampah tetangga—bukan menabrak pintu dapur tetangga.
"Sakura-chan," panggil Naruto dari sisi pintu mobil penumpang. Ia sebenarnya kasihan pada tetangganya yang selalu saja dari korban mobil yang dikemudikannya. Entah sudah berapa ryo habis untuk memperbaiki berbagai macam benda yang telah ia rusakkan.
Sakura mengangkat kepalanya dan bergumam. Ia disuguhi tatapan lembut kekasihnya itu.
"I love you."
Entah apa, entah kenapa, Naruto berani mengucapkan hal terberani dan tergila yang pernah ia ucapkan. Bukannya apa-apa, ia hanya ingin saja mengucapkannya. Seperti ada dorongan dari belakang lidahnya untuk melontarkan kata-kata itu.
Wajah Sakura memerah. Dengan mata hijaunya, ia bisa melihat kesungguhan dari ucapan kekasihnya itu padanya. Mata biru laut itu menatapnya lurus dan dalam tidak seperti biasanya, konyol dan ceria.
"Masa Cuma I love you yang bisa kau ucapkan?" kata Sakura sambil memalingkan wajahnya. Berusaha menutupi rasa malu dan merah di pipinya.
Malu, karena ini kali pertama Naruto mengucapkan suatu hal yang spesial secara serius dan terang-terangan. Biasanya lelaki ini suka menggombal atau bercanda dulu.
Naruto nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Duh, aku emang gak bisa bahasa inggris. Jadi gak tahu lagi mau ngomong apa," katanya polos.
Sakura menahan tawa yang akan meluncur di bibirnya dengan deheman kecil. Ia melirik Naruto yang sedang tertawa malu di sisi mobilnya. "Aku ambil minuman dulu," potongnya sambil berlalu menuju kursi tambahan, belakang kursi kemudi.
"Sip, ok—"
BRAK!
"Aduh!" Dahi gadis itu terbentur jok yang terkelupas busanya saat merasakan mobilnya bergoncang keras. Sepertinya terserempet.
Sakura mengangkat kepalanya yang tengah masuk sebagian untuk meraih kotak pendingin dalam mobilnya. Hening, tidak ada suara yang berarti setelah debaman kencang. Ia berkacak pinggang kesal.
Pastilah ada masalah lagi. Sakura mendecak tidak suka saat membayangkan dirinya harus membawa mobilnya menuju reparasi dan membayar sekian ribu ryo untuk biaya perbaikan.
"Hey, ada tabrak lari!"
"Cepat panggil ambulans!"
"Ya Tuhan, kasihan sekali anak itu ..."
Sakura mengernyit dan segera berlari mendekati sisi mobilnya. Tidak ...
Bukan seperti ini yang ada dipikirannya. Ia tidak menginginkan hal seperti ini. Tidak ...
"Narutooooooo!" jerit Sakura dengan air mata bercucuran. "Ja-Jangan! Bertahan sebentar! Aku akan lakukan sesuatu!" Ia menyobek jaket rajutnya yang berlapis dan membalutkannya pada kepala kekasihnya yang bersimbah darah.
Beberapa di antara mereka membantu Sakura sebisa mereka. Salah satunya memeriksa keadaan lelaki berambut kuning cerah itu dan berkata,
"Dia ... Dia sudah mati."
Sakura membelalak. Ia memeriksa denyut jantung di leher Naruto dan berteriak, "Tidak! Jantungnya masih berdenyut!" Air mata mengalir deras di kedua bola matanya. Jantungnya sendiri berdetak 2 kali lebih cepat dari biasanya.
Rasa takut dan bercampur jadi satu.
Orang itu menggeleng dan berkata, "Dia mati otak." Ia berucap dengan suara lirih, turut prihatin.
Sakura menampakkan sekspresi yang merasa sebagian dirinya berkata Naruto masih hidup dan bisa diselamatkan, sementara sisi yang lain mengatakan Naruto telah mengjilang dari sisinya.
Dirinya dilema. Rasa sakit mulai hinggap di dada dan kepalanya. Pening bercampur mual bergabung jadi satu. Bau amis nan anyir meraba hidung hingga menyapa paru-parunya.
Darah Naruto.
"Tidak ... Itu tidak mungkin ... Jelas-jelas jantungnya berdetak ... Naruto ... Naruto masih hidup ..."
Lalu pandangan Sakura mendadak menggelap dan semuanya hilang. Ia pingsan di samping tubuh Naruto yang masih berdetak jantungnya itu.
"Hey nona! Nona!"
"Gawat, dia pingsan!"
"Ambulansnya lama sekali!"
.
.
.
14 Desember 2007
Gadis berambut panjang sebahu itu mendesah untuk kesekian kalinya. Ia memandangi foto yang telah usang dan sedikit menguning itu dengan tatapan sayu miliknya. Perlahan air mata kembali bergulir ke pipinya.
"Naruto ..." bisiknya lirih di tempat gelap ; kurang penerangan yang memadai. Air matanya berderai jatuh. Dielusnya foto kekasihnya yang tengah tersenyum ceria bersama gambar dirinya di sana.
Besok, akan genap 5 tahun kepergian kekasihnya. Tepat insiden tabrak lari mengenaskan dan menewaskan nyawa kekasihnya yang tidak bersalah. Tak terasa air mata gadis itu menetes hingga menjatuhi secarik foto tersebut.
Ruangan gelap, kursi goyang, kumpulan kenangan 5 tahun yang lalu berceceran di sana. Sudah 5 tahun berlalu, tapi ingatannya masih jernih akan lelaki itu. Ingatan yang tidak pernah terlupa.
Ia masih ingat bagaimana saat ia bangun, ia dihadapkan kenyataan kalau kekasinya itu memang telah berpulang ke surga. Meninggalkan dirinya dengan senyuman terakhir dan kata-kata cinta yang menghangatkan hatinya.
Ia hampir gila berbulan-bulan. Ia tidak makan, tidak tidur, terbaring di ruangan putih dan infus di pergelangan nadinya. Sebelah tangannya lagi diikat di kerangka ranjang dengan erat. Wajahnya pucat dan tirus.
Ia menangis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Setelah ia keluar dari rumah sakit, dirinya mulai bersekolah, seperti biasa, seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. Namun ketika malam ia harus menelan banyak pil agar membuat dirinya terlelap.
Ia lulus kuliah dengan nilai terbaik, tapi ia tidak merasa terlalu bangga. Tidak ada lagi yang menyoraki dirinya dengan konyol seperti dulu lagi. Semua sudah berbeda.
Kini ia menjadi guru di sebuah fakultas kedokteran. Ia yang mendapat predikat cum laude dan langsung diterima menjadi guru tanpa di tes. Menjalani profesi sebagai dosen termuda dengan prestasi tertinggi.
Semua didapatkannya dengan mudah, tapi tidak semudah kelihatannya. Ada harga yang harus dibayar atas itu.
Setiap saat ia membaca banyak buku kedokteran tebal untuk mengalihkan perhatiannya akan ingatan masa lalunya. Ia tidak bisa menangis terlalu lama merenungi nasibnya, ia memutuskan keluar dari lingkaran tak berujung itu.
Obat-obat tidur itu tidak semakin berkurang, pil-pil itu sudah seperti candunya untuk melupakan masa lalunya yang kadang memberkas di malam hari. Ia meminumnya banyak-banyak kemudian terlelap sampai pagi.
Ia setiap bulan datang ke makam kekasihnya, berdoa dan menangis di atas pusara itu. Sebagian dari dirinya tidak merelakan kekasihnya telah tiada dan berpulang mendahuluinya.
Dan ia kembali teringat saat ia bertemu dengan orang tua Naruto. Mereka berbicang-bincang dengan suara lirih dan Sakura hanya bisa menangis sambil mendengarkan.
"... Maka itu kami mengijinkan jantung Naruto diambil dan dibawa ke donor jantung."
Air matanya menderas. "Jantungmu, akan kukembalikan padamu, Naruto ..."
Sakura sudah bertekad. Ia memutuskan untuk tidak berdiri dan terhanyut dalam kegelapan pekat yang taida berujung. Ia ingin bangkit, meraih sesuatu yang ia inginkan. Ada sesuatu yang dicapai—yang dapat membuatnya merasa hidup.
Ada yang bisa membuatnya memiliki satu tujuan. Memberinya semangat untuk terus ada dan berjuang.
Lalu ia mengusap pipinya kasar, membuka tirai yang sebelumnya tertutup selama berminggu-minggu, membersihkan tubuhnya, mencuci rambut dan mukanya berulang kali dan berpakaian seperti seorang model cantik.
Kini, ia memiliki satu tujuan. Satu harapan yang mungkin saja bisa menenangkan batinnya.
"Akan kukembalikan jantung itu, aku janji."
.
.
.
Desember 2008
"Tenanglah ..."
Suara musik klasik mengalun lembut karena piringan hitam di samping sosok itu berputar dengan lancar. Sosok itu tersenyum sambil mengusap buku-buku bersampul beludru merah berisikan potongan koran dan foto-foto beberapa orang.
"Jantungmu, pasti kutemukan ... Tunggulah, Sayangku ... Akan kukembalikan jantungmu ... Untukmu ..." ucapnya lembut sambil mengusap-usap lembut foto kekasihnya. Senyumnya mengembang saat membaca beberapa deret nama di bagian yang ia tandai dengan spidol merah.
"A ..."
"... B ..."
"... And C ..."
Suara piringan hitam itu mendadak kabur oleh suara lengkingan dan lagu yang terputus-putus. Sosok itu menyeringai lebar.
"Bukankah menarik, Sayangku?"
.
.
.
To be continued / The End
Terinspirasi dari novel Sandra Brown yang berjudul sama... Saya pinjam judulnya, ya... #duagh
Isi? Jelas akan berbeda. Saya hanya terpesona dengan keunikan ceritanya dan alurnya yang tidak bisa tertebak... :V
Kritik dan saran ditunggu... Fic ini tergantung pada keputusan anda.
Lanjut? Selesai?
Review!
Mikakikukeko
