Manik hijau emerald itu berkali-kali memandang kerumunan manusia yang berlalu lalang di luar jendela dan ke atas mejanya yang terdapat sebuah amplop besar dan beberapa kertas putih muncul di celahnya. Manik hijau itu terus menatap kedua obyek itu bergantian, yang sepertinya sangat menarik untuk dilihat.

Pemuda berambut hitam berantakan itu sudah duduk dan menatap kedua obyek itu sudah satu jam yang lalu. Dan selama satu jam itu ia sama sekali tak mendapat pencerahan. Sialan, gara-gara manager itu semua jadi begini, batin pemuda itu dengan mengumpat pelan.

Ia mengambil cangkir kopi dihadapannya dan meminum isinya yang sudah mulai dingin. Pemuda berkacamata bulat itu menghela nafasnya dan memejamkan matanya sambil menyandarkan punggungnya.

Ya, memang semua yang membuat pemuda itu gelisah dan bingung ini takkan terjadi kalau managernya tak menerima tawaran itu tanpa persetujuannya. Pemuda itu masih ingat jelas sejam yang lalu, managernya datang kepadanya dengan wajah yang sumringah tak karuan.

"Kau harus mengerjakan tawaran yang ku terima ini. Tawaran ini tak bisa dibatalkan, aku sudah menyetujuinya agar kau mengerjakan tawaran ini!" Ujar managernya yang mempunyai rambut kemerahan panjang, Ginny Weasley. Ginny adalah adik perempuan sahabatnya yaitu Ronald Weasley, atau Ron.

"Tawaran apa? Apa tentang misteri? Detektif? Supranatural? Fantasy? Horror? Oh jangan Comedy, aku tak bisa mengerjakan itu–" Balas pemuda bermata hijau itu sambil menata buku-bukunya yang berantakan.

"Bukan! Ini bukan tentang misteri, detektif, supranatural, fantasy, ataupun horror yang seperti sering kau buat. Ini genre tak pernah kau buat selain comedy! Aku yakin kau pasti akan menyukainya, Harry!" Seru Ginny dengan menggebu-gebu.

Harry tampak berhenti dari kegiatan menata bukunya dan menatap Ginny sambil berpikir,"Apa yang belum pernah kubuat selain itu?"

"ROMANCE...!" Pekik Ginny kesenangan.

"WHAT? Aku tak akan pernah membuat cerita ataupun novel bergenre itu. Takkan!" Teriak Harry.

"Kenapa? Tapi aku telah menyetujui tawaran ini. Dan aku juga sudah menandatanganinya." Ujar Ginny dengan sedih. Ia menundukkan kepalanya dan matanya berair.

Harry menenangkan dirinya dan menatap Ginny yang sepertinya akan menangis. Ia akan dibunuh Ron kalau sampai membuat adik kecilnya menangis. Harry menghela nafasnya panjang. "Baiklah aku akan menulis genre itu. Sampai kapan deadlinenya?"

"OH MERLIN! AKU SAYANG KAU HARRY!" Pekik Ginny dengan bahagia. "Deadlinenya 5 bulan lagi! Kau masih punya waktu panjang untuk berpikir bagaimana ceritanya. Bikin cerita yang bagus dan unik. Jangan samakan ceritamu dengan sesuatu yang kesinetronan, lebay, alay, dan apapunlah yang pernah dikatakan Raditya padamu. Sekarang aku harus pergi. Ada kencan dengan Neville." Lanjut Ginny sambil memeluk Harry dengan sayang sebelum berlari keluar kantor Harry, dan ia tak juga lupa menaruh amplop besar di meja Harry.

Sekali lagi Harry menghela nafasnya panjang. Ia tak habis pikir Ginny akan tega meninggalkannya sendiri hanya untuk berkencan dari pada membantu Harry yang sama sekali tak tahu dengan percintaan. Kalau kalian tanya kenapa Harry tak tahu hal semacam seperti itu padahal umurnya sudah cukup untuk nikah. Ya karena Harry tak ingin terikat dulu dengan seseorang dan lagi ia takut tersakiti.

Oh Harry memang tak pernah tersakiti. Tapi ia telah banyak melihat orang yang hatinya tersakiti oleh cinta mereka, lalu membuat mereka mati sia-sia. Kalau kau tanya Harry melihat itu dimana, dulu ia dalah seorang psikater sebelum berubah haluan menjadi penulis. Dan Harry lebih suka hidup bebas tanpa ada tanggungan yang bernama 'Terikat dengan seseorang' yang pasti tak akan membuat hidupnya bebas.

"Potter, bisa aku duduk disini? Tempat lain penuh."

Harry tersadar dari lamunannya dan menoleh ke asal suara. Matanya melebar ketika melihat siapa yang sekarang berdiri di hadapannya.

Tinggi, berkulit pucat, berdagu runcing, bermata biru kelabu dengan surai pirang yang membingkai wajah dingin itu.

Harry segera sadar diri dan matanya kembali ke semula, "Tak dapat tempat Mr. Malfoy?" Ejek Harry dengan menyeringai.

"Apa empat mata tak cukup untukmu, Potter?" Balas Draco sambil duduk di hadapan Harry tanpa meminta ijin dahulu.

"Hei! Kau harus dapat persetujuan dariku!" Protes Harry sambil menatap pemuda pirang dihadapannya dengan tajam.

"Seperti yang kukatakan Potter, apa empat mata tak cukup untukmu? Jelas-jelas kafe ini sedang ramai. Dan aku mau menikmati tehku sekarang." Ucap Draco dengan nada finalitas. Membuat Harry diam tak berkutik. Kemudian Draco memanggil pelayan dan mengucapkan menu yang ia inginkan.

Harry hanya diam merengut. Ia tak mengerti kenapa musuh –mantan musuh lebih tepatnya– ini muncul saat ia sedang butuh kesendirian. Draco Malfoy adalah musuh Harry saat di Hogwarts Academy. Mereka bersaing dalam hal akademis dan non-akademis. Ya, walaupun Harry selalu di ranking 3 setelah Draco. ranking 1 sudah diisi Hermione, sahabat perempuan Harry dan juga istri Ron. Tapi terkadang Draco juga bisa ranking 1.

Hubungan mereka juga kurang baik. Karena Harry dan 2 sahabatnya yang lain –Ron dan Hermione–selalu diganggu Draco. Entah menjahili mereka, mengejek mereka, mempermainkan mereka, dll bersama 2 bodyguardnya, Crabbe dan Goyle. Dan hubungan mereka semakin tak baik dengan sifat keras kepala Harry dan sifat arogan Draco.

Dari pada memikirnya Malfoy yang tak ada gunanya. Harry mulai memikirkan nasib novel yang akan ia buat. Ia masih bingung menyusun plot untuk ceritanya. Secara ia memang tak punya pengalaman pribadi tentang percintaan. Dari dulu Harry takkan pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Kalaupun pernah, hanya sebatas teman, sahabat, dan keluarga.

Harry merapikan berkas-berkas dihadapannya dan menaruhnya rapi disamping meja. Tangannya menyilang di dada dan kakinya saling bertumpu. Matanya menatap kerumunan manusia di luar dan raut wajahnya tampak kelihatan berpikir keras.

Kegiatan Harry diperhatikan oleh mantan musuhnya yang sekarang sedang menikmati tehnya. "Ada banyak pikiran, Potter?" Draco menyeringai mengejek.

Harry hanya mengangguk tanpa memandang pemuda di hadapannya. Sepertinya ia tak bisa diganggu. Draco sedikit jengkel dengan perlakuan yang diberikan oleh mantan musuhnya. Ia ingin protes tapi itu sangat tak Malfoy-ish sekali. Jadi Draco hanya diam menikmati tehnya.

Sedangkan Harry terus berpikir dan terus dalam posisi seperti itu. Ia benar-benar butuh bantuan sekarang. Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Harry mulai merelaks dan menatap musuhnya yang sedang meminum teh dengan tenang, layaknya seorang bangsawan. Oh ya, keluarga Malfoy memang masih ada garis birunya.

Draco telah habis meminum tehnya dan meletakkan cangkirnya ke atas meja. Ia mendongak dan melihat Harry memandangnya dengan gelisah. Merasa sedikit kasihan. Oh sebenarnya Draco malu mengakui ini. Tapi sedari tadi pemuda yang sudah bertahun-tahun tak ia lihat ini tampak gelisah sekali. "Ada apa denganmu Potter? Dan jangan menatapku seperti itu."

Harry menghela nafasnya dan menyamakan duduknya. Kemudian menatap serius Draco. Tubuh Draco sedikit menegang ditatap seperti ini. Ia tak pernah ditatap serius oleh musuhnya ini. "Malfoy.." Draco mengangguk dan menatap bingung Harry. "Aku yakin kau pernah pacaran dan merasakan mencintai dan dicintai seseorang,"

"Tentu saja. Para wanita sudah bertekuk lutut dihadapanku sebelum aku memintanya. Tak pernah ada yang kuat menahan pesona seorang Malfoy." Dengus Draco dengan geli. Harry kesal mendengar jawaban sok Malfoy itu. Tapi ia memilih diam saja dan menatap Draco dengan serius. Sekali lagi wajahnya terlihat berpikir keras.

"Malfoy, ajari aku untuk merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai seseorang."

-o0o-

Teach Me How To

Harry Potter © J. K. Rowling

Warning : Typos, OOC, Slash, Slaight Straight, No-War, No-Voldy, No-Magic, Kehidupan biasa di London, dan lainnya.

Pairing: DMHP!

DON'T LIKE, DON'T FLAME

-o0o-

A/n:

Oke, ini masih prolog. Dan juga ini ficku yang pertama tentang Drarry. Maaf jika masih ada kesalahan. Untuk chap selanjutnya mungkin bisa di update seminggu lagi, mungkin.