halo mina..., kembali lagi dengan pairing KotoUmi. story ini terinspirasi dari beberapa kisah yang pernah saya baca #gak ada yang nanya
maafkan jika judul dan isi cerita tak sama, karena jujur saja saya bingung mencari judul yang pas. hehehe..
ini juga sudah direvisi berkali-kali. Jadi jika menemukan kesalahan lagi dalam penulisan, maafkanlah saya yang tak sadar ini. hihihi...

.

Baiklah. Langsung saja
#ini hanyalah fiksi. mohon maaf bila terdapat kesamaan apapun itu. semoga terhibur.


.

Aku berjalan menyusuri trotoar yang terlihat sangat bersih. Untuk sepagi ini tentu saja terlihat bersih, karena para pengguna jalan belum sepenuhnya membuang polusi dan sampah yang pastinya akan selalu ada.

Sebenarnya aku sedang menuju suatu tempat. Yang mungkin menjadi tempat penyesalan bagiku. Aku tidak ingin ke tempat itu, tapi karena sesorang ingin bertemu denganku, terpaksa aku harus ke sana.

Taman yang tak seberapa luas, namun bernuansa hijau dengan pemandangan yang tak bosan dilihat itu adalah tempat tujuanku. Sangat bersih. Aku masih bisa melihat beberapa tukang bersih-bersih berlalu lalang disana.

Kini aku tiba di tempat itu. Kulangkahkan kakiku menuju bangku yang letaknya dekat air mancur dan duduk disana.

.

"ah, sejuknya" aku sedikit bingung, kenapa dia menjadikan tempat penuh penyesalan bagiku ini sebagai tempat pertemuan kami.

Drrrt…!

Ponselku bergetar. Kurogoh saku celana jeansku. Ku lihat nama yang tertera dilayar. Baru saja aku bertanya-tanya, orang itu tiba-tiba langsung menghubungiku.

"moshi-moshi, Umi? Kau dimana? Aku sudah di taman Akiba" suara dari seberang terdengar.

"di dekat air mancur utama"

"oke, aku kesana segera"

Tut..tut..tut..

Dia menutup begitu saja. Menyebalkan. Saat telepon itu telah terputus aku melihat dua sosok gadis yang menjadi wallpaper ponselku saat ini. Yang satu tanpa ekspresi. Datar. Yang satu lagi dihiasi dengan senyum yang mempesona.

Aku baru sadar. Senyum itu begitu tulus dan penuh kebahagiaan. Dua gadis itu adalah aku, yang tanpa ekspresi dan teman dekatku. Tidak. Mungkin aku baru menyadarinya sekarang. Menyadari kalau dia begitu dekat denganku.

Minami Kotori.

Jika aku mendengar nama itu, aku punya banyak alasan untuk melebelinya sebagai orang yang buruk. Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya, hanya saja dia begitu menyebalkan. Walaupun begitu kami selalu bersama.

Tapi yang jadi masalah adalah dia tertutup, tidak pernah mau terbuka denganku. Aku merasa seperti orang asing di dekatnya. Dan sekarang aku merasa semakin menyesal.

"baka" gumamku diiringi senyum. Mengingat bagaimana pertemananku dengannya selama ini. Tak ingin semakin larut dalam masa lalu, ku tutup ponsel itu dan ku masukan kembali kedalam saku celanaku

.

Aku merindukan suara bak anak kecil-nya itu.

"hai…!, Umi" seorang gadis berambut kuning yang diikat satu berlari kecil menghampiriku sambil melambaikan tangan dengan buku yang menjining di tangan satunya.

"ada apa kau menyuruhku ke sini, senpai?" gadis itu kini duduk di sampingku.

"…."

"apa kau sengaja membuatku kembali larut dalam penyesalan?" ucapku sedikit acuh. Dia hanya tersenyum.

Ia menyodorkan buku yang dibawanya tadi padaku

"apa ini?"

"Kotori menitipkannya padaku, dia bilang ini untukmu"

"oh" ku raih buku itu. Penasaran dengan buku bersampul warna abu-abu itu.

"aku sudah dengar dari Kotori kalau kau menyukaiku"

Kubuka halaman pertama dari buku itu dan seterusnya. Air mataku kembali menetes setelah kejadian dua tahun lalu itu. Semua rahasia Kotori terungkap disini.

"aku mengerti. Dan kau harus tahu kalau ak…" dan perkataan Eli membuatku terkejut.

.

O.o.O.o.O.o.O

2014

Waktu itu aku menjadi murid Akademi Otonokizaka. Dan orang pertama kali yang ku kenal adalah Kotori. Hebat. Dia orang pertama yang mengomentari penampilanku. Bukan pujian, aku malah dihina habis-habisan.

Kebetulan hari ini registrasi pertama yang harus ku lakukan sebelum resmi menjadi siswi disini. Aku menggunakan seragam seperti tentara. Sebelumnya aku bersekolah di Jerman. Sebenarnya di sekolahku itu adalah sekolah khusus pembelajaran yang berhubungan dengan fisik. Kebetulan aku ambil Seni Memanah disana, karena kelak aku ingin menjadi seorang yang professional

Namun aku harus mengubur dalam impian itu saat kedua orangtuaku memutuskan masa depanku dan akhirnya berkahirlah aku di tempat ini.

.

"Sonoda Umi-san?" itu kalimat pertama yang terlontar di bibirnya. "kenapa kau memakai seragam seperti itu? sama sekali tidak modis. Kau harusnya bisa membedakan yang mana pakaian laki-laki dan yang mana pakaian perempuan. Sebagai calon siswi di sini kau harus bisa menjaga etika"

"mau apa kau, baka?!"

"namaku bukan baka, tepatnya Kotori. Minami Kotori. Kau boleh memanggilku Kotori" sanggahnya. Terlalu percaya diri.

"aku tidak perduli dengan nama mu"

"kau begitu terlihat bukan seperti perempuan. Dengan pakaian seperti itu bisa saja orang-orang disini menganggap kau lelaki"

"ini yang biasa aku pakai waktu di Jerman"

"seharusnya kau bisa membedakan antara Jerman dengan Jepang. Lihat itu lenganmu, cukup besar. Berhentilah melakukan hal seperti lelaki. Kau itu perempuan!"

.

Tunggu. Apa-apaan dia. Beraninya berkata sefrontal itu. Dan kenapa aku harus berhenti melakukan hal yang ku suka? Lagipula memanah bukan kegiatan yang hanya dilakukan oleh lelaki saja. Memangnya dia siapa? Seenaknya sendiri.

"…sama sekali jelek"

Aku benci mendengarnya. Ku berikan lirikan tajamku padanya, tapi yang ada hanya membuatnya cekikikan.

Semenjak itu semalaman aku menatap diriku dicermin. Apa benar aku seperti yang dikatakan Kotori? Ah! Sepertinya dia iri. Tapi bagaimana kalau nanti teman-teman baruku berkomentar sama? Hancurlah martabatku.

Aku benar-benar mengikuti ucapannya.

.

Keesokannya saat aku harus melakukan registrasi kedua tidak ada lagi pakaian bak tentara. Aku benar-benar merubah penampilaku. Kemeja putih lengan panjang dengan dasi pita berwarna biru tua, bergaris merah serta rok selutut dengan warna yang sama dengan warna dasi.

Aku merasa sedikit kedinginan. Dan itu membuatnya mengangkat dua jempol.

"nah, begitu lebih baik. Kau jadi mirip karakter anime LoveLive yang suka memanah itu. Siapa lagi namanya ya? Saodah Yumi?" ucapnya kemudian menaikkan bola matanya keatas seperti mengingat-ingat sesuatu.

"ha? Apaan tuh? Aku tidak tau"

"kau ini asli Jepang tapi tidak tahu budaya Negara sendiri" sindirnya

"aku tidak tertarik dengan anime-anime seperti itu"

Kini aku hanya memutar bola mataku sedangkan dia malah tersenyum. Orang aneh. Pikirku.

"kau masuk kelas apa?"

"2-A. Kau sendiri?" kataku sedikit malas.

Dia berteriak bukan main. Melompat seperti anak kecil "kita sekelas!" pekiknya.

Hah? Bagaimana bisa?.

"kita bersebelahan ya duduknya, Umi-chan" pintanya.

U-Umi-chan?! Atas dasar apa dia seenaknya memanggil nama depanku? Bahkan aku belum mengizinkannya.

"Umi-chan. Onegaiii…!"

Aku dipandangiinya dengan tatapan penuh harap, dan entah kenapa malah membuatku mengagguk seketika sebagai jawaban.

.

O.o.O.o.O.o.O

Ada lagi.

Pernah ketika kelasku mendapatkan sebuah tugas rumah. Aku baru ingat kalau aku meninggalkannya di meja belajar. Aku lupa memaskukannya kedalam tas. Argh! Ini pasti gara-gara keasikan latihan memanah sampai larut.

Toujo Nozomi, atau yang lebih senang dipanggil Nozomi-sensei selaku guru Matematika terus memanggil nama-nama siswa dikelas ini melalui absen. Sebentar lagi. Sial. Guru itu terkenal sangat tegas. Meski ia terlihat terlalu muda untuk menjadi seorang guru. Ia juga terkenal memiliki senyum yang memikat.

Bahkan aku beranggapan wajahnya itu jadi seperti lebih cocok menjadi karakter Anime Hentai. Terlalu memikat. Eh? Tunggu. Kenapa aku jadi memikirkan hal itu. Ini pasti pengaruh Kotori tempo hari.

Tapi sebenarnya dibalik senyum memikat itu terdapat sifat ketegasan yang tinggi. Aku ingat salah satu temanku Honoka pernah dihukum keliling lapangan hanya karena berbicara dikelas. Mengerikan.

.

"Sonoda Umi!" nyawaku seakan dicabut detik itu juga. Keringat dingin mulai menetes membanjiri kening dan pelipisku. Wajahku memucat. Sepertinya aku akan dihukum. Aku tahu semua teman-temankku melirik kearahku secara diam-diam.

Aku panik. Detak jantungku bekerja ekstra.

"Sonoda-san? Mana tugasmu? Kau tidak mengerjakannya ya?" ia menghampiriku, membuatku seketika menelan air liur.

Kini wajahnya menampakan senyum. Sebuah senyuman maut yang mungkin kalau belum mengetahui sifat aslinya akan terbuai.

Sial. "ku kerjakan. Sebentar" kembali ku geledah tas, dan mencari satu buku. Berharap ada keajaiban.

.

Srek!

Pintu bergeser saat ada yang membukanya. Ternyata Kotori. Dia terlambat? Tidak biasanya. Apalagi dengan rambut yang sedikit err… berantakan.

Iris mataku mengikuti langkah Kotori yang mendekati meja guru.

Brak!

Semua melonjak kaget. Sebagian bahkan nyaris berteriak melihat Nozomi-sensei memukul meja dengan rotan. Bahkan jantungku seakan melompat keluar.

"kau. Kenapa terlambat?"

"maaf sensei. Tadi ketinggalan kereta, jadi terpaksa lari sampai ke sekolah"

"baiklah. Saya percaya. Sekarang mana tugasmu?"

"ini milikku dan ini milik Sonoda-san. Sepertinya bukunya terbawa olehku kemarin" dia tertawa di depan guru yang sebenarnya lebih tepat dikatakan killer itu.

"kau boleh duduk"

Aku bernafas lega. Ternyata buku itu terbawa olehnya. Syukurlah aku selamat.

.

O.o.O.o.O.o.O

Selain itu.

Aku mendapat tugas tata boga. Rambutku nyaris rontok membaca resep-resep dan tata cara pembuatan makanan yang disarankan oleh Yazawa-sensei padaku. Aku harus melakukan ini agar nilai pelajaran tata boga-ku tidak kurang saat dirapot. Tapi sejujurnya aku paling sulit mengurusi urusan rumah tangga seperti ini.

Dan akhirnya Kotori menyarankan untuk membuat manisan saja dan minta tolong pada Honoka. Kebetulan keluarganya memiliki usaha toko manisan. Jadi lebih mudah dan cepat menyelesaikannya. Kami putuskan untuk ke rumah Honoka.

Namun sayangnya saat tiba di rumah Honoka, ternyata ia sedang pergi mengunjungi keluarganya yang sedang sakit. Terpaksa aku harus kembali ke rumah. Dan anehnya Kotori menatapku heran seolah ada yang aneh pada wajahku.

"Umi-chan, punggungku sakit sekali. Bisa tukaran tas?" ia mengenakan tas ransel. Ransel yang besar, hingga menutupi bagian paha belakangnya. Memangnya tas sekolahnya yang biasa kemana?

"tidak mau"

"onegai Umi-chan. Kali ini saja" aku tak kuasa melihat ekspresinya "aku traktir"

.

Aku mengalah. Tak kuat melihatnya terus memelas seperti itu.

Ugh! Ternyata tasnya sangat berat. Pantas saja ia minta tukaran tas. Aahh! Bahkan bahuku terasa mau patah. Memangnya apa sih isinya?

Kamus setebal 800 halaman! Dan buku Sejarah Jepang setebal 1000 halaman! Gila! Pantas tasnya diganti.

Aku mengikuti Kotori yang membawaku ke pusat kota. Kami mampir ke salah satu kedai makanan dekat bangunan bertingkat tinggi bertuliskan UTX.

Aku mulai memesan. Kesempatan ini tak akan ku sia-siakan. Makanan yang berkualitas dipadu dengan minuman yang menyegarkan. Huh. Pasti nikmat.

"kau tidak memesan?" tanyaku.

Kotori menggelengkan pelan. Tetap pada senyum lebarnya.

"aku tidak suka makanan sejenis ini. Itu malah membuatku diare. Aku lebih suka masakan Okasan-ku"

"oh" kataku singkat.

Saat pesananku tiba. Segera saja ku lahap. Benar-benar nikmat. Potongan daging tanpa lemak-nya begitu lumer dimulut, apalagi salat-nya yang segar dan dari bahan yang berkualitas. Aku merasakan sensasi nikmat yang luar biasa. Hanya butuh waktu 15 menit aku menghabiskan makan siangku.

Aku menolah kearah Kotori yang tersenyum miris. Aku tak tahu maksud dari senyumannya itu. saat kutanya dia hanya mengatakan "aku tak apa"

"ya sudah lah"

.

O.o.O.o.O.o.O

Pernah juga waktu itu aku mengalami kejadian memalukan. Begitu memalukannya hingga aku merasakan sensasi panas pada wajahku.

Sudah malam. Kegiatan klub memanah-ku juga telah usai. Ku lihat Kotori berdiri di depan gerbang. Tumben sekali.

"sedang apa kau?" tanyaku

"oh Umi-chan. Kegiatan klub-ku baru usai. Kau juga sudah selasai?"

Aku hanya mengangguk

"ayo pulang bersama"

.

Kami putuskan untuk pulang bersama. Saat di tepi penyebrangan jalan ponselku berdering. Ku lihat, ternyata sebuah pesan masuk. Itu dari temanku di Jerman. Membuat hatiku melonjak gembira. Nishikino Maki. Dia juga orang Jepang sepertiku.

"kenapa kau senyum-senyum Umi-chan?" suara tak asing itu menganggu kesenanganku.

"teman ku dari Jerman mengirimku pesan"

"kau menyukainya?"

"eh?" aku melonjak kaget. "bu-bukan urusanmu" ku lanjutkan lagi balas-membalas pesan dengan teman Jermanku itu.

Sebenarnya dulu aku sempat menyukainya, saat kecil aku sering bersamanya. namun saat aku tahu kalau dia sudah ditunagkan, jadi kuputuskan untuk hanya diam-diam mengaguminya. Meski ia terlihat dingin diluar, tapi sebenarnya ia begitu hangat. Itulah yang membuatku menyukainya. Dan ia tidak tahu hal itu.

"Umi-chan sebaiknya kita…." Kotori sedang mengajakku bicara, namun aku tak jelas mendengar suaranya karena terlalu asik dengan ponselku.

Namun mendadak kurasakan sesorang mendorong tubuhku, membuatku jatuh tertidur. Ku pegangi kepala yang terasa sedikit pusing dan perlahan ku buka mataku. Kulihat seseorang sedang menindih tubuhku sambil meringis kesakitan.

.

Itu Kotori.

.

Kutatap ia sebentar, matanya berair. Beberapa detik kemudian dia ikut menatapku. Cukup lama. Mendadak ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Tunggu, ada apa ini! semakin dekat. Aku ingin meronta tapi tak bisa karena ku rasakan tangan kiriku tertindih oleh tubuhnya dan tangan kananku digenggam erat olehnya, sebenarnya ponsel yang masih bertahan di tangan kananku itulah yang ia tahan, tapi membuat tangan kananku tak bisa bertindak.

Tak kusangka dia memiliki fisik yang kuat, bisa menahan rontaanku yang notabene sering melakukan aktifitas fisik.

"ma-mau apa kau?" tak mendengarkanku. Wajahnya semakin mendekati wajahku.

"diam saja Umi-chan. Ini hanya sebentar"

"a-apa?!"

"aku mohon diamlah"

Semakin dekat , membuatku hanya bisa memejam erat. Dan….

.

.

.

T.B.C


hhaay... sampai situ dulu ya..., sebenarnya ini mau saya jadikan one shot. tapi karena kepanjangan, jadi dibuat bersambung.
*mohon review-nya*

see you again... ^_^

maafkan jika garing T_T