Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

Genre: Crime/Mystery/Suspense.

Summary: Warga Jepang digegerkan dengan serangkaian pembunuhan yang terjadi di beberapa Kota dan Prefektur. Pembunuh berantai yang dijuluki oleh media sebagai Furawapikka−Si Pemetik Bunga−seakan tak terhentikan. Dan entah bagaimana, seorang pustakawan di Kota kecil ikut terancam kejahatan bengis itu.


Prologue

Maihime, nama itu tertera dalam huruf Romaji ungu cerah pada papan nama berwarna putih yang dikelilingi oleh lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip meriah. Di sudut jalan, kurang dari seratus meter jauhnya, ada seseorang yang berdiri sambil memandang papan itu dengan kilatan takjub di matanya. Sinar kuning pucat dari lampu jalanan memberi sentuhan warna pada trotoar di satu sudut kota Nagano yang kala itu sepi. Di sekitar orang itu, hanya ada dua mobil yang melintas dalam satu menit terakhir. Berbekal satu tarikan napas kuat, manusia misterius itu mulai bergerak, langkahnya mantap, tekadnya bulat. Ia yang berpakaian serba gelap itu kian mendekati tujuannya, sebuah bar yang minim hiasan di bagian luar.

Ditengah pagi buta, dihampiri oleh embus angin malam, sosok yang tak diketahui identitasnya itu berhasrat untuk mewujudkan satu-satunya keinginan yang dimiliki. Keantusiasan meluap-luap di dalam diri orang tersebut kala pria dengan kemeja motif bunga-bunga dan jas hitam menyambutnya dengan air muka yang akan menjual segala isi dunia demi uang. Keramahan berlebihan yang pria culas itu tawarkan memang terasa memuakkan. Namun, sosok itu tak terganggu, sebab, ketidakpedulian pria pemilik bisnis malam itulah yang menjadi salah satu faktor keberhasilannya.

Setelah masalah pembayaran telah ia tuntaskan, sosok tanpa nama itu dipandu oleh pria ramah yang sama untuk menaiki tangga. Di lantai dua, keduanya melalui lorong-lorong sempit berliku yang hanya diterangi oleh lampu neon berwarna merah dan ungu di setiap sudut. Suara vulgar acap kali terdengar ketika mereka melewati kamar-kamar yang terisi. Dengan penerangan yang sengaja dibuat remang-remang, pada akhirnya, mata keduanya menangkap nomor kamar yang telah ditentukan. Pria pemandu langsung menghilang setelah memberikan sebuah anggukan. Daun pintu bernomor delapan itu tidak mengeluarkan bunyi derit ketika sosok yang menyembunyikan bagian bawah wajahnya menggunakan syal itu memasuki ruangan.

Berbanding terbalik dengan yang ada di luar, cahaya kuning keemasan yang cukup benderang menampakkan segala yang ada di kamar. Mata sosok misterius itu lantas terenggut oleh seorang perempuan muda yang ada di hadapannya; tinggi gadis yang saat itu sedang mengenakan baju tidur tipis dengan belahan dada rendah berwarna kuning itu hampir setara dengannya, rambutnya panjang dengan bagian ujung yang berwarna cokelat kemerahan, lekuk tubuhnya jauh lebih indah bila dibandingkan dengan jam pasir. Akan tetapi, bagi sosok misterius itu, bukan hal tersebut yang paling menarik dari perempuan itu.

"Selamat datang!" sambut Kojima Nadeshiko pada tamu pertamanya malam itu dengan ekspresi dan suara yang manis.

Sosok yang penuh rahasia itu hanya mengangguk.

Dengan riang yang berlebihan gadis itu bertanya, "Apakah Anda ingin duduk dan berbicara terlebih dahulu atau ... " Kojima tidak dapat menawarkan berendam bersama. Tidak seperti rumah pelacuran level menengah yang setiap ruang memiliki kamar mandi sendiri. Hanya ada satu kamar mandi di lantai itu. Oleh karena itulah, hampir semua yang datang demi seks malas menggunakannya karena mereka enggan bila tak sengaja bertatap muka dengan pelanggan lainnya di lorong. Di tiap-tiap kamar di tempat itu hanya terdapat kasur dan perlengkapan kebersihan tubuh seadanya seperti tisu basah. Petak kecil itu memang hanya dirancang demi memenuhi hasrat pelanggan secara singkat tanpa memikirkan kenyamanan para pekerjanya.

"Menarilah membelakangiku!" titah pelanggan misterius itu.

Dengan semua pengalaman yang Kojima miliki dengan pria hidung belang, lantas saja dia menyadari sesuatu. Kendati demikian, wanita itu kembali memikirkan uang yang 'kan ia dapatkan dan berusaha untuk tidak menaruh curiga samasekali. Teramat sering ia mendapatkan pengunjung yang malu dengan rupa maupun fisik dibalik pakaian. Oleh sebab itu, tanpa ragu ia menuruti perintah yang diberikan. Tubuh gadis itu bergerak liuk lampai dengan menawan. Menggunakan kedua tangan, Kojima mengumpulkan rambut panjangnya ke atas, memperlihatkan punggungnya yang mulus, sebelum menjatuhkan lagi surai indahnya.

Samar, ia mendengar bunyi keriut halus. Perempuan penjaja tubuh itu menoleh sedikit dan matanya menangkap sesuatu. Menangkis perasaan buruk dan berkata kepada diri sendiri bahwa malam itu ia hanya sedikit sial karena melayani pelanggan yang kemungkinan besar memiliki fetisisme yang tidak lazim, Kojima kembali memberikan penawaran yang menjadi bagian dari pelayanan, "Apakah lampunya perlu aku redupkan?"

"Tidak. Teruslah menari!" tegas pelanggan aneh itu.

"Baik."

Perempuan yang baru memasuki usia dua puluhan itu kaget ketika tiba-tiba bibir sang pelanggan menempel di telinga kanannya. "Kau sangat cantik," ucap sosok dengan suara lembut sembari mengusir semua helai rambut Kojima ke bahu kiri.

Dengan pujian yang membuat melayang serta sentuhan sehalus sutra, bibir merah muda gadis itu tertarik ke atas secara sukarela. Angan-angan lama Kojima untuk mendapatkan tawaran menjadi salah satu bintang video dewasa dan meraup lebih banyak uang juga kesenangan kembali melambung. Lantas, ia pun lanjut menari dengan gemulai. Sedetik kemudian, mulutnya dibekap. Gadis itu berusaha memalingkan kepala, mencoba menarik tangan yang membungkamnya sekuat tenaga. Melalui ekor mata, wajah tertutup masker putih adalah yang terakhir ia lihat sebelum kehilangan kesadaran dan ... kehilangan nyawanya pada beberapa menit kemudian.

Efek obat bius yang terhirup membuat tubuh wanita itu ambruk seketika.

Tanpa susah-payah, sosok misterius itu mengiris bagian depan leher Kojima dengan senjata yang telah ia persiapkan. Darah menyembur deras, memercik ke segala arah, mewarnai furnitur sederhana yang ada dengan warna merah. Detik demi detik berlalu, menit pun berganti, setelah semburan cairan hangat itu mereda, si pembunuh berjongkok, memandangi wajah cantik nan pasi itu berlama-lama. Reaksi psikologis yang janggal meletup-letup di dalam dadanya kala itu. Sebuah gejolak yang kian hebat. Perasaan indah yang tak pada tempatnya kini melingkupi hati dan jiwanya. Kesenangan tak lazim yang ia rasa kala itu sama seperti emosi yang muncul setelah ia menyelamatkan seekor anak kucing yang hampir tercebur ke dalam selokan berarus deras saat hujan badai melanda belasan tahun lalu.

Sangat bertentangan dengan perbuatan terkutuk yang baru saja ia lakukan, keharuan yang menyerbunya adalah euforia yang dirasakan orang normal setelah berhasil menyelamatkan satu nyawa. Tak ada rasa bersalah, yang ada hanya murni kelegaan semata. Perasaan menggebu-gebu yang tidaklah terkira. Perasaan yang menggiringnya untuk melakukan terus-menerus, tanpa henti. Ia butuh lagi, ia harus melakukannya lagi demi meraih rasa lega yang sama. Perasaan luar biasa yang menjadi candu bagi orang-orang yang telah mengalaminya: Sebuah kenikmatan tiada tara.