Disclaimer Moontoon
MOBILE LEGEND
Lancelot/Gossen/Odette
Genre : Frendship/Romance/Tragedy
T+
RENDEZVOUS OF TWO BLADE
By : Anti klimaks
.
.
Malam tampak tak bersahabat bagi dirinya. Pemuda itu terduduk sambil bersandar pada sebuah tembok usang bekas reruntuhan suatu bangunan. Wajahnya tampak pucat. Sesekali ia meringis, menahan rasa sakit.
Malam semakin larut, namun pemuda itu masih setia pada tempatnya. Tak bergeming. Sekalipun raut wajahnya tampak lelah dan desahan napasnya mulai tak beraturan. Ia masih terjaga dan mengambil sikap waspada kepada apapun yang akan datang menghampirinya.
Tangannya dengan sigap memegang sebilah belati dengan kilat rembulan yang terpantul pada ujungnya. Seakan mengancam pada mereka yang menjadi musuh-musuhnya. Sementara satu tangannya lagi ia gunakan untuk menekan bagian kanan perutnya yang meneteskan darah segar.
Ia berusaha untuk tetap terjaga, akan tetapi pandangannya mulai kehilangan fokus. Dadanya semakin terasa sesak, seolah ada sebuah rantai yang menjerat dan mengambil seluruh pasokan oksigen dari dalam tubuhnya. Pemuda itu sadar kalau ia tak mampu bertahan lebih lama lagi.
Mungkin ini yang disebut, "sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga." Kondisinya saat ini sama seperti pepatah lama yang dulu sering ia abaikan. Sehebat-hebatnya ia dalam pertarungan pasti akan terluka juga.
"Oh, jadi kau bersembunyi di sini?" Seorang laki-laki berambut keemasan berdiri di hadapannya sambil mengarahkan sebilah pedang panjang yang berkilat sinis dan mengancam.
Terkejut, pemuda yang terluka itu menguatkan genggaman pada satu-satunya belati miliknya.
.
.
Ia menyeringai sesaat ketika berhasil menemukan buruannya tengah terpojok dan terluka, seperti seekor rusa yang tak berdaya.
"Akhirnya, setelah sekian lama aku berhasil mendapatimu."
Pemuda itu tak menjawab. Hanya memandang dengan ekspresi datar, tanpa ada rasa gentar sekalipun posisinya saat ini sangat tak menguntungkan.
"Majulah kalau kau berani," tegas sang pemuda dengan gestur siap menyerang. Sepasang iris biru gelap itu menatap laki-laki di depannya dengan tatapan yang menyalak.
"Cih. Tidak tahu diri."
Belati pemuda itu melesat begitu laki-laki tersebut berjalan mendekat. Namun, dapat dengan mudah dihindari. Senjata itu pun tertancap jauh beberapa meter di belakang.
Ia tertawa. "Apa hanya itu yang bisa kau lakukan untuk bertahan?" Ucapnya dengan nada meremehkan.
"Lalu kau hanya bisa melawanku disaat aku terluka." Pemuda itu menyeringai dan jelas sekali dari ucapannya ia mengecilkan laki-laki di depannya.
"Kau!"
Pedang itu teracung ke arah leher si pemuda. Siap menyantap kapanpun ia mau. Sungguh ia merasa sangat dipermalukan oleh lawannya kali ini.
"Aku akan membuatmu membayar atas ucapanmu barusan!"
Tubuhnya membungkuk. Tangannya mengangkat kasar wajah pemuda itu. Ia ingin melihat bagaimana rupa orang yang menghinanya, juga yang telah melukai wanitanya lebih jelas.
.
Dua pasang manik bernada sama tapi tak serupa itu beradu-pandang. Saling merefleksikan satu sama lain. Ada Amarah yang tersirat pada pandangan si pemilik warna langit.
"Kenapa kau harus melukai wanita itu!?" Tuntutnya dengan emosi bergejolak.
"Bukan aku. Wanita itu terluka karena dirinya sendiri."
Fakta pemuda itu menjawabnya dengan tenang dan ekspresi sedingin es membuatnya kian tak dapat menahan diri. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup pemuda itu. Akan tetapi semilir angin yang berhembus sesaat setelahnya memberikan suatu sensasi ngeri dari dalam benaknya. Ia dapat mencium aroma yang berbahaya mengancam dari pemuda di depannya.
Iris langit itu melirik ke arah belakang dan mendapati ada suatu kilatan cahaya dengan cepat bergerak ke arah dirinya. Tanpa berpikir, ia bergerak menyamping secepat kilatan cahaya itu melesat, Tepat setelah ia melompat ke belakang, kilatan cahaya itu jatuh-tertancap di atas tanah, tepat di depan si pemuda berdiri.
.
Lima buah belati terhunus, memicing, memendarkan cahaya keperakan. Tampak berkilau indah, namun berbahaya, sama seperti sang pemilik yang kini menyunggingkan seringai tipis.
"Ah, sayang sekali kau dapat menghindar," ucapnya sebagai suatu pernyataan kekalahan.
Sang laki-laki pun memandang tajam pemuda itu. Ia bergerak mendekati kembali dengan hati-hati. Entah apa pemuda itu masih punya rencana untuk menyerangnya. Satu hal yang harus dia akui. Lawannya tangguh. Tapi nasib saat ini sedang berpihak kepadanya.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat tangan pemuda itu bergerak, seperti mengambil sesuatu dari balik jaket putihnya.
"Ambilah!"
Sebuah botol kecil itu terlempar dan berpindah-tangan. Kedua alis si laki-laki bertaut, tak mengerti. Ia menatap botol tersebut dengan heran. Lalu pandangannya beralih pada sang pemberi botol, seolah menuntut penjelasan.
"Wanita itu terluka ketika sedang berusaha menolongku dan tanpa sengaja ia terkena racun dari belati yang kulemparkan. Botol itu berisi penawar racun untuknya."
Ternyata segala tuduhannya hanya sebuah kesalah-pahaman belaka. Segala upaya pengejarannya atas pemuda itu seperti menguap ditelan angin malam.
Untuk sesaat ia terdiam, namun atensinya berpindah pada kondisi pemuda di hadapannya, dan ia menyadari tubuh itu sudah tak mampu bertahan.
"Apa kau mau menungguku?"
Satu pertanyaan abstrak yang entah kenapa ia sendiri juga sulit menjelaskan terlontar begitu saja. Tak ada jawaban, tapi ia menganggap itu sebagai suatu persetujuan saat melihat gestur sang pemuda yang lebih tenang.
"Aku akan kembali."
Ia memutar tubuhnya dan berlari secepat yang ia bisa.
.
.
Ia berlari sambil memegang sebuah botol kecil di tangannya menuju tempat pemuda itu. Hati kecilnya berharap sang pemuda masih mau menunggunya, sekalipun ia sendiri tak yakin.
Dengan napas sedikit terengah ia tiba ditujuan. Senyumnya sedikit mengembang saat melihat sosok yang ia harapkan masih di sana, tengah tetidur bersandarkan bebatuan pilar bangunan. Raut wajahnya tampak kelelahan. Mungkin karena menahan rasa sakit dari luka ditubuhnya, juga racun yang menyebar sepanjang malam.
Langkah kakinya menelusuri ilalang sekitar. Ia berjalan dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu. Kakinya terhenti, kemudian ia membungkuk dan menepuk halus pundak orang yang tertidur itu.
Sepasang telaga biru itu terbuka dan menatap pria di hadapannya sambil menjulurkan sebuah botol kecil dari tangannya. "Penawar racun untukmu," ucapnya cepat.
Pria itu menyadari ada raut tanda-tanya pada wajah pucat sang pemuda. "Mata dibalas mata, kebaikan juga harus dibalas kebaikan. Apa yang terjadi hanya salah-paham. Ambilah," jelasnya.
Tanpa keraguan penawar racun itu sudah berpindah-tangan. Pemuda itu kemudian meminumnya. Laki-laki itu duduk di sampingnya, mengamati dan memastikan apa yang ia berikan benar-benar diminum.
"Kau tidak takut kalau ternyata itu bukan penawar racun, tapi malah sebaliknya?"
Si pemuda sontak terkejut, dan nyaris memuntahkan cairan yang baru saja tertelan ke dalam tenggorokannya. Sudah tidak ada cara untuk mengeluarkannya lagi.
"Jadi maksudmu ini adalah racun?" Ia bertanya dengan ekspresi resah. Jelas terlihat dia percaya dengan ucapan pria itu.
"Hahahaha..." Suara tawa lepas menggema di seluruh penjuru bangunan tua di sana. "Aku hanya bercanda dan kau mempercayainya? Aku tidak mungkin mencelakakan orang yang sudah berbuat baik," tandasnya sambil menyeka jejak air mata yang sempat keluar dari sudut matanya.
Pemuda itu menggumamkan sesuatu dengan raut kesal, lalu kembali bersandar, memberikan tubuhnya waktu beristirahat, dan mencerna obat penawar yang baru saja ia minum.
Pria di sampingnya berdiri. Ia menghela napas lega. Keadaan tampak sudah membaik. Pemuda itu juga terlihat sudah aman. Setidaknya racun pada tubuhnya akan segera menghilang dan ia bisa pergi.
"Terima kasih, karena kau sudah mau menungguku," tukas sang pria.
Sosok sang pria berjalan memunggungi menjauh dari tempat itu. Dari balik punggungnya sepasang mata si pemuda terus mengawasi. Senyum tulus darinya terukir tipis. "Terima kasih...," bisiknya disertai dengan lambaian ilalang ketika sosok sang pria perlahan tak terlihat.
Mereka kembali dipertemukan pada kesempatan kedua. Masih di tempat yang sama dan situasi yang nyaris persis pada pertemuan pertama mereka. Punggung pemuda itu bersandar pada bebatuan bekas tembok bangunan, mengatur napasnya sejenak. Lelah dapat jelas terlihat pada wajahnya. Lalu, pria itu mendengus kasar.
"Sejak kapan tempat ini jadi persembunyianmu?" Tanyanya.
Tak ada jawaban apapun. Pemuda itu masih sama seperti beberapa bulan lalu. Tak banyak bicara. Tapi itu tak masalah. Ia juga tidak berminat mengetahui jawabannya. Pertanyaan itu hanya ia gunakan untuk memecah kesunyian asing di antara mereka.
Iris sebiru langit sang pria menjelajahi sosok si pemuda. Ia tampak kacau. Ada banyak luka gores pada tubuhnya. Kain pada bajunya pun tampak koyak di beberapa tempat, memerlihatkan luka segar pada bagian dalam tubuhnya yang tak tertutup sempurna. Semua luka itu seperti luka sayatan benda tajam. Entah siapa lagi yang telah menjadi lawannya.
Tak mau mengganggu ruang privasi orang lain, pria itu pun pergi, dan malam berlalu begitu saja.
.
.
Pada malam berikutnya, tepat lewat beberapa hari setelah kejadian itu. Sang pria yang ahli bermain pedang mendengar kabar kalau swan castle kedatangan penyusup yang nyaris melukai Ratu Regina.
Terkejut. Entah rasanya ia tahu siapa sang penyusup yang dimaksud, dan ia tahu dimana harus mencarinya.
.
.
Dugaannya benar. Pemuda itu memang ada di sana. Luka gores tampaknya masih setia menemaninya setiap malam. Gigi-gigi pria itu gemeretak. Ada rasa marah bercampur kecewa.
"Kenapa kau ingin mencelakai Ratu Regina?"
Pemuda itu menoleh, menatap pria di sampingnya sedang berdiri dengan tatapan tajam. Kilatan pedang di tangannya seolah siap menyambar siapapun di depannya.
"Bukan aku." Hanya jawaban datar yang diterima sang pria.
Pria itu menggeleng cepat. Pemuda di depannya terlalu tepat untuk berada pada waktu dan tempat yang sama. Kecurigaan dalam hatinya sudah tak dapat ditepis.
"Aku akan menghabisimu sebagai salah-satu dari tanggung-jawabku di tempat ini."
.
.
Dentingan suara senjata tajam yang saling beradu terdengar samar dari dalam hutan. Kilatan cahayanya sesekali berpendar dalam kegelapan malam yang menyelimuti. Dinginnya hembusan angin tak menurunkan tensi panas pada kedua orang yang sedang saling unjuk kebolehan dalam menguasai senjata masing-masing.
Pemuda itu mampu mengimbangi permainan pedang sang pria yang sudah terkenal kehebatannya. Sekalipun ia hanya menggunakan sebilah belati.
Gerakan pemuda itu sangat cepat. Ia menerjang ke depan, lalu bergerak mundur secepat cahaya. Hal itu membuat si pengguna pedang agak kesulitan untuk mengunci si pemuda. Hingga akhirnya ia berhasil lolos dari intaian pedang sang pria.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan..." Pria itu menggumam sesaat setelah sosok si pemuda lenyap. Rasa keingin-tahuannya makin tergelitik untuk menelusuri jati-diri sang pemuda.
TO BE CO
A/N : Hallo, author baru di sini. Cuma mau meramaikan fandom game favorite saya saat ini :D
Mohon Koreksinya, and happy read.
