Ten Ways to say I Love You

.

.

.

Disclaimer : Aoyama Gosho

.

I.

You're gonna be the death of me. I don't want you but I need you. I love you and hate you at the very same time.

- Kanye West


.

Shinichi Kudo tak merasa sesengsara selama hidupnya seperti hari ini. Sepertinya dunia sedang berkonspirasi untuk memusuhinya. Matanya menatap nanar pada wanita berambut pirang stroberi yang sedang duduk disampingnya dengan dua tangan terkepal. Mata wanita itu fokus dan hampir tak berkedip menyaksikan tayangan sepakbola di tv layar datar yang baru dibeli mereka bulan lalu. Lima puluh inci. Cukup besar untuk mencermati wajah aktor atau aktris yang tampil dengan pembesaran beberapa kali lipat dari tv lama mereka yang dulu.

Detektif itu menghela nafas dan balik mencermati layar. Wajah Ryuusuke Higo yang kecoklatan dengan jenggotnya yang menyebalkan itu muncul kembali dan wanita disampingnya sedikit terkesiap. Shinichi merutuki kekalahannya atas taruhan bulan lalu yang menyebabkan dia harus membeli tv terbaru lengkap dengan satelit—dimana mereka bisa mendapatkan saluran liga Inggris, Italia, bahkan liga Russia. Dia menyipitkan matanya lagi. Sepertinya Higo sedang bersiap-siap mengambil sepak pojok. Pria itu mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang dan lalu menyepak bola didepannya dengan lincah. Bola melambung dan menyentuh kaki salah seorang pemain tim Higo. Tentu saja pemain itu tak mau melewatkan kesempatan emas dan segera menyodoknya keras, menjulang masuk ke ujung gawang.

Masuk! GOL!

Gairah dan teriakan fans membahana dibarengi rententan cicit komentator. Tak sia-sia ribuan yen yang dikeluarkan Shinichi untuk memperoleh suara sefantastis dan semewah stereo yang menggaung ruang keluarga Kudo mansion sekarang.

Haibara Ai atau yang kita kenal Miyano Shiho, melonjak senang. Wajahnya berseri-seri dan kedua tangannya terkepal. Dia yang selalu dikenal memiliki sifat dan pembawaan yang tenang—tapi sepertinya tak berlaku kalau menyangkut pesepakbola tertentu. Alis Shinichi berkerut, istrinya ini sudah mengabaikannya dari minggu lalu semenjak Piala Dunia dimulai.

Selama lima hari.

Seratus dua puluh jam.

Seratus dua puluh jam dikali enam puluh menit.

Sepanjang waktu, yang dibicarakan Shiho hanya Higo, Higo dan Higo. Sampai Shinichi merasa kesal dan ingin membuang semua poster yang ditempel istrinya di lab pribadinya—dia menyelinap masuk diam-diam suatu hari dan jengkel ketika menemukan cengiran Higo dimana-mana.

Untung istrinya itu tidak menempel wajah jelek itu di dinding kamar tidur mereka. Dia akan protes keras. Terlebih lagi ada barang tertentu yang disimpan Shiho dengan hati-hati di laci lemari riasnya dan terkunci rapat. Ada poster lengkap berisi tanda tangan dan foto Shiho dengan Higo berdua (jangan tanya bagaimana detektif itu bisa mengetahuinya).

Sial.

Kenapa harus Higo ini yang mewakili Jepang di Piala Dunia? Diam-diam Shinichi berharap ada kecelakaan aneh seperti diare karena makan nasi kari yang sangat pedas atau bisul di pantat sehingga Higo harus berjalan menyamping selama beberapa hari…

"Ada apa dengan wajahmu, Shinichi?" suara Shiho mengagetkannya. Cepat-cepat ditendangnya pikiran jahat itu dan menemukan istrinya sedang menatapnya dengan tajam.

"Kau sedang memikirkan apa sampai senyum-senyum sendiri?" selidik Shiho lagi. Istrinya itu tak pernah membiarkannya,melewatkan tindak lakunya yang paling detil—apapun yang terjadi. Shinichi tertawa gugup, "Aku sedang membayangkan bagaimana pemain Jepang memegang piala dunia nantinya."

Shiho tak berkata apa-apa lagi, dialihkan matanya ke layar lagi dimana Higo jelek itu sedang berlari-lari. Kamera menyorotnya dengan sangat jelas, dimana butir-butir keringat bercucuran dan menghilang di balik seragamnya yang ketat. Shinichi bahkan bisa melihat apa yang sedang dipikirkan istrinya dan jutaan fans wanita lainnya dengan jelas, dengan melihat tatapan mata Shiho berkilauan sepertinya wanita itu sedang membayangkan bagaimana mengelap keringat bintang pujaannya.

Sial.

Matanya sekarang beralih pada kaset video dibawah lemari tv. Disana berjejer dengan rapi di dalam sekat-sekat. Semua rekaman dokumentasi kegiatan Higo sehari-hari, dari latihan, simulasi permainan hingga pertandingan dari liga Jepang, liga Inggris dimana Higo sedang membela salah satu klub disana, dan termasuk segala pertandingan dari babak kualifikasi hingga Piala Dunia yang melibatkan Higo.

Higo sedang on-fire sekarang. Dia telah mencetak empat gol, memberikan lima assists penting untuk Jepang dan sepertinya belum ingin berhenti. Sekarang bahkan baru babak putaran pertama. Bagaimana kalau Jepang maju terus ke final? Shinichi tak ingin membayangkan tiga puluh hari penuh sengsara dan kemalangan dimana dirinya harus berbagi istrinya yang cantik itu dengan pria jelek yang bahkan tak ingin diingatkan namanya itu.

'Arghhh' rutuk Shinichi dalam hati. Digesernya bokongnya ke samping—mendekati tubuh istrinya. Shiho hanya menoleh untuk mengangkat alisnya, alih-alih menyandarkan tubuhnya pada suaminya seperti drama-drama korea, istrinya itu malah menggeser lebih jauh.

Shinichi mencibir, istrinya tak pernah dan tak akan pernah mau diganggu ketika menonton tv. Sekarang adalah waktu yang tepat. Semua kasus misteri atau apapun itu telah berhasil dipecahkannya tadi siang, novel misteri telah habis dibaca tadi pagi dan dia mengganggur seperti pria kesepian di rumah setiap malam.

Detektif itu menggeser pahanya lagi dan merangkul istrinya. Shiho mendehem hendak berkelit.

Tapi dia tak perduli walau Shiho terus menjauhinya. Shinichi semakin mendempetkan jarak di antara mereka. Mendadak ruangan itu terasa lebih panas. Dan entah kenapa wajah istrinya yang berseri-seri karena gol tadi malah menambah gairahnya.

"Hey, Shinichi… jangan…" elak Shiho, yang entah kenapa malah seperti ajakan mengundang. Dengan sekali dorongan lembut, punggung istrinya jatuh dan rata menyentuh dudukan sofa, terlentang tanpa pertahanan dengan Shinichi di atasnya.

"Hey, Shinichi… apa maumu?" Tanya Shiho sedikit gugup—yang entah kenapa terasa begitu seksi di telinga Shinichi. Ssst… istrinya itu selalu dominan di ranjang, dan posisi terbalik ini malah merangsang sensivitasnya.

"Shiho…" jemari Shinichi mulai menyusuri leher jenjang istrinya, membelai sambil menyentuh lembut. "…kau paling tau apa yang aku mau bukan?" tanyanya dengan suara serak tanpa sadar.

Shiho menarik ujung bibirnya, "Jika kau tak mengatakannya dengan jelas… bagaimana aku bisa tau, Shinichi? Aku bukan mind-reader." katanya dengan suara semanis madu.

Shinichi mengernyitkan alisnya. "Pilih aku atau Higo."

Wanita itu malah terkekeh, yang membuat kekesalan Shinichi bertambah. Sial, Shiho. Kau tak tau kalau selama lima hari ini aku mendambakan dirimu hingga hari ini aku rela bergadang untuk menonton siaran langsung piala dunia brengsek ini dan harus melihat wajah pria jelek itu dan harus—

"Kau tau apa yang akan dan selalu kupilih, Shinichi."

Shinichi tertegun dan gerakan tangannya terhenti. "Aku tau?"

"Kau lengah!" seru Shiho lalu mendorong dada suaminya dengan satu tangan dan tubuh pria itu jatuh kebelakang sofa—yang untungnya dilapisi bantal. Shiho sekarang menduduki tubuh Shinichi dan dia menunduk menatap wajah suaminya dengan senyuman kemenangan.

Alih-alih marah atau malah bertambah kesal, tapi posisi istrinya saat itu—dengan piyama sutra dimana kedua kancing atasnya terbuka dan memperlihatkan sedikit kulit mulus—membuat pikiran Shinichi pusing. Dia tau kalau istrinya ini memang akan membunuhnya pelan-pelan—secara literal dan imajinasi.

Sekarang malah Shiho makin mendekatkan wajahnya, nafasnya hangat tercium Shinichi, pria itu ingin merangkulnya tapi kedua tangannya ditekan tak bisa bergerak sehingga dia hanya bisa pasrah.

"Kau tentu tau apa yang kuinginkan bukan, Shinichi…?" desah Shiho mesra. Shinichi memejamkan matanya—dia paling suka kalau istrinya ini mulai bersikap dominan padanya.

Dua detik.

Lima detik.

Kok lama sekali ciuman itu datang.

Tubuhnya serasa ringan karena sepertinya istrinya malah bangkit dari sofa.

Shinichi membuka matanya.

Alih-alih mendapatkan ciuman, Shinichi malah menemukan istrinya duduk di atas meja sofa sambil melipat kedua tangannya dan memperhatikan layar pertandingan.

Sial.

Dan Higo sepertinya sedang kesetanan. Pria jelek itu mencetak gol lagi.

Shiho melonjak senang dan bertepuk tangan. Dia malah tak membereskan piyamanya yang masih berantakan akibat pergulatan mereka tadi. Shinichi bisa melihat sekilas bra hitam dan belahan dadanya yang seksi.

Sial. Dia merasa air liurnya membuncah.

Higo sialan.

Dia harus melakukan sesuatu.

Dicarinya ponsel di atas meja dan dia membuka internet untuk memesan sesuatu.

Tiket.

Ya, betul. Tiket ke Brazil. Tempat diadakannya Piala Dunia sekarang.

Dia akan membunuh Higo.

Eh…

Tapi istrinya pasti akan sedih sekali kalau pujaannya itu mati.

Tidak jadi. Pikirannya cepat berputar, dia harus mengirimkan jampi-jampi voodoo supaya bokong Higo kesakitan kalau duduk di atas sesuatu yang empuk. Pertama, dia harus pergi ke Brazil dahulu. Memesan tiket, hotel lalu membuntuti kemanapun—

"Shinichi?" suara Shiho mengagetkannya, ponsel ditangannya terlepas. Jatuh ke lantai. Shiho yang memperhatikan tingkah lakunya, menaikkan alisnya dan berjalan mendekati suaminya. Dia memungut ponsel dan sekilas membaca portal website yang sedang dicari Shinichi tadi.

"Kau mau pergi ke Brazil?" tanyanya heran.

"Errr… agh,. Ah iya,. Benar." Gagap Shinichi, sambil menggaruk rambutnya.

"Benarkah kau mau pergi ke Brazil?" wajah Shiho berseri-seri dan mata itu—sial. Mata kebiruhijauan Shiho yang berkilauan itu merupakan kelemahannya. Shinichi hanya bisa mengangguk pasrah.

"Kupikir kau tak mau pergi ke Brazil karena sepertinya kau selalu mengelak ketika kita membahas tentang pertandingan piala dunia kali ini."

Shinichi hanya bisa menggeleng lalu mengangguk bego.

Istri kesayangannya lalu mencium pipinya sekilas, "Kau selalu tau apa yang aku mau, Shinichi."

Saat Shinchi berpikir kalau dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini, istrinya malah langsung bangkit berdiri dan segera menghilang menuju kamarnya.

"Eh, Shiho… kau mau kemana?" tanyanya heran. Bukankah pertandingan belum selesai karena wajah jelek Higo itu masih muncul di layar.

"Aku harus buru-buru, Shinichi… kita bisa ketinggalan tiket pesawat dan pertandingan putaran kedua." Seru istrinya dari balik kamar. Terdengar suara benturan koper di lantai kayu.

Sial.

Shinichi menghempaskan tubuhnya lemas ke sofa.

Mereka akan pergi ke Brazil dan menonton pria jelek itu secara langsung.

Selama tiga puluh hari.

Sial.

"AAAAAAAARGHHHH!"

Terdengar suara teriakan serak dari suatu mansion yang kokoh berdiri di jalan Beika. Konon salah satu penyebab gosip yang tak habis-habis mengatakan kalau mansion itu berhantu itu adalah beberapa jeritan yang tak jelas—yang kadang muncul di saat malam hening ketika semua orang telah tidur atau kadang di pagi hari. Tak tentu juga sih sebenarnya. Biarkanlah tetap menjadi misteri.

.

.

.

Fin.


A/N : ada kabar baik dan kabar buruk nih. Kabar baiknya, gw balik dengan fics baru dan kabar buruknya, semua fics gw hilang pas computer gw rusak. Padahal gw udah nulis walau dalam bentuk garis besar untuk setiap chapter fics. Semua data-data gw hilang tak bisa diselamatkan.

Jadi singkatnya, sepertinya belum ada update baru untuk fics lain kecuali yang ini karena ini adalah fics iseng tanpa plot doank.

Fics ini bakal ada M-ratednya juga tapi tentu saja tidak explisit karena itu bukan gaya gw fufufu

Thank you for reading! ^_^