Fastest Killer
Naruto © Masashi Kishimoto
NaruHinaKarin Forever
Rated M
Pair: Naruto U x Hinata H (Harem)
Adventure, Frienship, Humor, Ecchi, Harem, Lime/Lemon
.
.
.
11.00 pm
"Huhh... " Sebuah helaan nafas keluar dari bibir mungil dari gadis lavender disebuah bangku taman. Hyuga Hinata, itulah nama gadis yang menghela nafas tadi. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan baginya, bagaimana tidak? Tadi pagi dia baru saja diusir dari kontrakannya karena sudah lama tidak membayar uwang sewa, tak hanya sampai disitu cobaan yang Ia alami hari ini. Ijasah SMP yang ia bawa untuk melamar pekerjaan kini menjadi seonggok sampah yang tak berguna. Niatnya ingin mencari pekerjaan menjadi sia-sia, itu karena ulah pemilik kedai yang tak tahu sopan santun itu. Saat dia melamar pekerjaan disebuah kedai makanan cepat saji, pemilik kedai itu lansung mengusirnya, Hinata yang merasa tersinggung mencoba sabar dan berusaha membujuk pemilik kedai agar menerimanya sebagai salah satu kariyawannya, dan dengan keangkuhannya sang pemilik kedai langsung menyiram Hinata dengan air bekas cucian piring dan mencaci makinya dihadapan banyak orang. Hal itu tentu saja membuat dirinya menjadi pusat perhatian.
"Huh~ " Hinata dapat merasakan dinginnya angin malam yang menusuk disetiap inci permukaan kulitnya. Sekarang dia hanya bisa berjalan tampa mengetahui arah dan tujuan. Dia hanya bisa berdoa kepada Kami-sama agar diberikan kemudahan untuk dirinya. Bajunya yang masih basah menambah kesan dingin yang ia rasakan, giginya saling bertubrukan khas orang kedinginan.
Citttt...
Mendengar suara berisik, Hinata lantas mencari sumber suara yang mengganggu pendengarannya tadi. Amethisnya dapat melihat sebuah mobil yang sedang dikepung oleh tiga orang pereman.
"Cepat buka pintunya!" terdengar suara salah satu pereman berwajah sangar yang Hinata simpulkan sebagai ketua dari geng tersebut. Dari dalam mobil keluarlah seorang wanita berambut pirang yang terlihat sangat tenang dan tidak merasa takut sedikitpun, bahkan Hinata merasa kagum pada wanita itu. Dua dari tiga pereman itu langsung menyeret wanita itu ke sebuah gang sempit yang gelap. Merasa kasihan dan kawatir terjadi sesuatu kepada wanita tadi Hinata langsung bergegas menghampiri gang tempat wanita itu dibawa.
Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Hinata mencoba menengok kedalam gang tersebut, tapi penglihatannya tak mempu melihat kedalam karena tak ada penerangan satupun di gang tersebut. Akhirnya dia mencoba mengambil resiko dengan memasuki gang tersebut dengan berjalan secara perlahan agar tidak ketahuan, akan menjadi lebih rumit jika ia ikut tertangkap.
"Kau mau ikutan ya, manis. Kebetulan sekali, kita sedang kekurangan personil hahaha..." Hinata menengokan kepalanya dengan gerakan patah-patah ketika mendengar suara dari arah belakang dan bisa Hinata lihat seorang pereman bertubuh gempal sedang menatapnya lapar.
"Ma-maaf. Sa-saya tak bermaksud mengganggu anda." Hinata melangkah mundur ketika pereman itu semakin mendekatinya. Hinata mencoba memberontak ketika pereman bertubuh gempal tersebut menangkapnya dan menggendongnya seperti sebuah karung beras.
"Lepas... Lepaskan aku... Hiks aku mau pergi. Lepasan aku." Hinata mulai terisak. Dia mencoba memberontak sekuat tenaga dan berharap sebuah keajaiban datang kepadanya. Air matanya terus menetes dari manik amethisnya. Sekarang dia menyesali kebodohannya. Seharusnya dia mencari bantuan dahulu sebelum masuk ke kandang Harimau. Sekarang Ia hanya bisa pasrah dan menangisi nasibnya yang sangat tragis ini.
"Lepaskan dia. Dasar bocah tengik berbau busuk." Sebuah suara terdengar dari arah belakang Hinata. Pereman bertubuh gempal itu menurunkan Hinata dan menatap tajam ke sumber suara tadi. Hinata membelatakan matanya ketika melihat wanita yang dibawa ketiga pereman tadi kini sudah berada dihadapanya hanya dengan bra dan celana dalam yang sudah tak layak pakai. Hinata dapat melihat payudaranya yang sangat besar, bahkan bra yang dipakai wanita itu tak cukup untuk menutupinya.
"Untuk apa melepaskanya dan apa yang kau lakukan disini? Dimana bos dan yang lainnya?" Pereman disampingnya langsung menyerang wanita itu dengan berbagai macam pertanyaan dengan nada yang tajam.
"Mereka sudah aku habisi dan sekarang giliranmu. Apa ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan, siapa tau aku bisa mengabulkannya hahaha..." Wanita itu tertawa kesetanan tampa menghiraukan sang pereman yang mulai terbawa emosi.
"Brengsekkk... Mati kau..." Pereman bertubuh gempal itu melancarkan tinjunya kearah wanita pirang dan dengan reflek yang bagus wanita itu menghindar dan balik meninju perut sang pereman.
Tiba-tiba tubuk pereman itu mengejang, seperti sedang tersengat listrik dengan tegangan 1000 volt. Pereman itu jatuh tersungkur tak berdaya dengan bekas hitam di perutnya. Tak ada apapun di tangan wanita itu kecuali cincin emas yang bertengger di jari manisnya.
"Terima kasih telah menolongku, bibi. A-Apa cincin itu berbahaya?" Hinata mencoba bertanya kepada wanita itu tentang cincin ajaib itu.
"Cincin? Oh, cincin ini adalah alat yang dapat mengalirkan listrik yang sangat besar dan aku menggunakannya hanya pada situasi yang sangat-sangat darurat. Dan jangan memanggilku bibi, umurku ini sudah 50 tahun tahu." Wanita pirang itu menjelaskan tentang cincinnya dengan tangaan yang disilangkan dibawah buah dadanya yang membuat kesan Errr(sensor).
"Umm. Ano, kalu boleh tau siapa nama Obaachan? Namaku Hinata." Hinata memperkenalkan dirinya kepada sang nenek-nenek didepannya.
"Namaku Tsunade Senju. Soal namamu, aku tidak tanya." Ucapan pedas wanita yang bernama Tsunade itu membuat Hinata langsung down.
"Apa obaachan akan terus seperti itu. Errr maksudku pakayan obaachan itu loh." Hinata sedikit merasa risih melihat penampilan Tsunade yang hanya menggunakan bra dan celana dalam yang sudah tak layak pakai.
"Ngomong aja kamu iri melihat tubuhku yang seksi ini, ya kan?" Tsunade menari-nari tak jelas dan itu membuat Hinata harus ekstra bersabar menghadapi sang nenek sihir. Tahu seperti ini, Hinata pasti sudah meninggalkan wanita berd*ada besar itu, tapi dia juga harus berterima kasih kepada nenek tua itu atas pertolongannya.
"Sebaiknya obaachan cepat memakai baju dan segera pulang." Mengingat kata pulang, membuat Hinata teringat kejadian yang menimpanya seharian ini dan itu membuatnya menjadi murung. Tampa Hinata sadari, ternyata wanita pirang itu sedang tersenyum menyeringai. Seringaian itu bertengger manis dibibir pinknya. Wanita itu bergegas mengambil pakaiannya ditempat saat dia dibawa.
Setelah mamakai pakaiannya Tsunade berniat mengantarkaan Hinata pulang kerumahnya, tapi karena sekarang Hinata tidak memiliki rumah alias gembel. Seperti singa lapar yang melihat seekor kambing yang siap disantap kapanpun. Tsunade langsung menawarkan rumahnya kepada gadis lugu itu dan tentunya Hinata menyambutnya dengan senang hati. Hinata tak henti-hentinya berterima kasih kepada wanita pirang disebelahnya yang sedang mengemudikan mobilnya.
0o0
Hinata terbengong ketika melihat isi rumah wanita bernama Tsunade itu. Tak hanya prabotannya yang sangat lengkap, rumah ini bahkan dilengkapi dengan teknologi yang sangat-sangat canggih. Hinata sempat tertipu ketika melihat rumah sederhana yang bercat putih ini, dari luar rumah ini terlihat sama dengan rumah-rumah yang lain.
"obaachan, rumah ini sepertinya sangat mahal ya?" tanya Hinata dengan bodohnya.
"Tentu saja, bodoh. Apa kau tidak bisa melihat. Semua barang disini adalah barang dengan kualitas terbaik. Aku membelinya dari berbagai negara diseluruh dunia." Tsunade menjawab dengan sedikit sewot. "Sebaiknya kita ganti baju dulu. Sepertinya pakaianku sudah harus diganti." Lanjut Tsunade.
"Harus. Pakaian dalam obaachan kan udah robek hihi~" Tsunade yang merasa tersindir hanya memalingkan wajahnya yang sedikit memerah sambil mendecih tak suka. Dia bejalan kearah kamarnya dengan Hinata yang mengekorinya dari arah belakang.
0o0
"A-Apa obachan bercanda?" Sebuah pertanyaan gaje dari Hinata tak mendapat jawaban dari orang yang ditanya. Wajah Hinata sedikit memerah ketika Tsunade mengganti pakaian dihadapannya. "obaachan! Bajumu terlalu besar untukku. Dan jangan seenaknya mengganti baju dihadapanku." Hinata yang merasa kesal karena selalu diabaikan hanya bisa menggembungkan pipinya.
"Kyaaa... Kau lucu sekali, Hime." Tsunade langsung menghambur memeluk Hinata dengan erat. Mengabaikan tubuhnya yang masih bugil tampa sehelai menangpun. Dan itu membuat Hinata merasa risih. Apa lagi saat buah dada Tsunade menekan buah dadanya, dan itu membuatnya merasakan 'sesuatu'.
"S-Sudah. Cepat pakai pakaianmu, obaachan. Dan bagaimana dengan pakaianku? Pakaian yang kau berikan terlalu besar." Hinata mencoba melepaskan diri dari nenek tua berpepeya itu.
"Cepat pakai saja, Aku sudah memesan baju di toko langgananku, besok pagi juga datang kok. Pakai baju itu dulu, apa kamu mau memakai baju basah seperti itu terus. lagi pula ini sudah malam, tidak baik untuk kesehatanmu." Mendengar ceramah dari Tsunade. Hinata lantas menuruti perkataan Tsunade dan memakai pakaian itu walaupun pakaian itu terlalu basar untuknya. Sebuah dress hitam selutut yang kebesaran itu membuat Hinata merasa malu. Dress itu membuat bahunya sedikit terlihat, bahkan pahanya terpampang jelas ketika Ia melihat penampilannya yang baru dikaca rias milik Tsunade.
"Umm... obaachan mau makan? Aku lapar~" Hinata merasakan perutnya yang mulai memberontak meminta jatah. Dari tadi siang dia tidak memakan apapun, itu membuat perutnya merasa terbebani.
"Tidak. Jika kau lapar pergilah ke dapur." Tsunade menyamankan diri dikasur empuknya untuk beristirahat setelah seharian penuh bekerja.
"A-Aku tak tahu letak dapurnya, obachan~" Hinata kembali menggembungkan pipinya ketika Tsunade tidak menjawabnya. 'Tidur obaachan pulas sekali. Mungkin dia lelah' Hinata beranjak meninggalkan Tsunade yang tertidur dengan pulas dikamar mayat.
Hinata berjalan menyusuri tempat tinggal barunya. Ia tak mengangka akan seperti ini, hidup bagaikan benalu yang selalu merepotkan orang lain. Hidup dipanti asuhan ternyata lebih menyenangkan, tapi dia sekarang sudah dewasa dan tidak mungkin terus-menerus tinggal dipanti asuhan. Baru satu bulan dia mengontrak, tapi dia harus pergi dan mencari tempat tinggal yang lain. Dan saat itulah dia bertemu pahlawan yang dengan suka rela menerimanya untuk tinggal bersama. Hinata sungguh mengagumi sosok Tsunade senju yang menyelamatkanya dari pereman nakal dan memberinya tempat tinggal ini. Hinata berjanji akan terus berada disisi nenek tua itu dan menjaganya selalu.
Setelah menyusuri setiap ruanngan di rumah ini, Hinata akhirnya menemukan dapur. Dia membuaka kulkas berukuran sedang itu dan memilih bahan-bahan yang ia butuhkan.
"Apa ini? Kenapa ada banyak sekali botol kosong. Ahh... ini masih ada isinya." Hinata membuka tutup botol itu. Hinata langsung menutup hidungnya yang mancung itu ketika bau yang amat pekat keluar dari botol tersebut. "Ugh... baunya ngak enak." Hinata menjauhkan botol tersebut dan menaruhnya kembali kedalam kulkas.
Hinata melanjutkan acara masaknya dengan bersenandung riang menyambut makanan yang sebentar lagi akan ia santap. Mencampurkan bahan-bahan, membolak-balikan masakannya dengan semangat yang membara.
"Kyaaa..." Hinata memekik ketika sepasang tangan melingkari pinggangnya. Kesenangannya kini telah berganti menjadi kepanikan yang amat-sangat, apalagi ketika tangan itu mulai menjelajah ke area terlarangnya. "Ugh... Lepas... lepaskan~" Hinata mencoba memberontak dan melepaskan tangan yang memeluknya tadi. Setelah tangan itu terlepas Hinata langsung mematikan kompor dan mengambil spatula yang akan ia gunakan sebagai senjata.
"Siapa kau? Kau pencuri ya? Pencuri cantik sepertimu enaknya diapainnya? Kau sexy dan dadamu berukuran besar bahkan tanganku tak cukup, tapi masih besar punya baachan sih." Wajah Hinata langsung memerah ketika mendengar perkataan pemuda mesum didepannya. Perasaan malu, marah, panik, dan bangga melebur menjadi satu membuat pikirannya menjadi kacau.
"Siapa yang pencuri. Kau ini siapa? Berani-beraninya kau seenaknya menyentuh tubuhku. Dasar Ero, rasakan ini" Hinata memukuli bocah mesum itu dengan spatula yang ada di tangannya.
"AWW... Berhenti! Sakit bodoh. Aww~" bocah mesum itu terus mengaduh kesakitan tapi Hinata tak mengurangi serangannya kepada bocah mesum itu, ia baru berhenti ketika melihat darah yang mengalir di kepala bocah pirang itu.
"A-Ahhh... Ma-Maaf. Aku tak bermaksud melukaimu." Hinata menaruh spatula ke penggorengan dan mendekati bocah pirang dengan sedikit kawatir. "A-Aku akan mengobatinya. Tunggu disini!" Hinata melesat pergi meninggalkan bocah pirang itu sendirian di dapur. Tak berselang lama Hinata kembali tampa membawa apapun. "Ma-Maaf. A-Aku tidak tau tempat Tsunade-sama menyimpan obat."
"Dasar bodoh. Di dapur juga ada kotak obat, tebayo. Lihat! itu kotak obatnya." Hinata mengikuti arah telunjuk bocah pirang itu. Hinata mengambil kotak obat itu dan mengobati luka yang telah ia buat.
Hinata mengobati luka itu dengan sangat telaten. Mengelap lelehan darah yang menempel, sedangkan sipirang tak henti-hentinya tersenyum mesum ketika matanya disuguhi pemandangan yang sangat indah didepannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Hinata menaikan sebelah alisnya heran. Menatap pemuda didepannya dengan tampang sok polos. "Hei! Kalau ditanya itu jawab dong. Jadi kau ini sebenarnya siapa? Kenapa bisa berada di rumahku." Pertanyaan ambigu kembali keluar dari bibir pemuda pirang itu.
"Rumah-mu? Ja-Jadi kamu anaknya Tsunade-sama ya? Ma-Maaf atas kelakuanku tadi." Hinata salah tinggkah lalu membungkuk 90o untuk meminta maaf atas kelakuannya yang sembrono.
Hei-hei~ aku ini bukan anaknya, tapi aku adalah cucunya yang paling GUANTENG. Namaku adalah Naruto Uzumaki HAHAHA." Hinata harus menahan dirinya agar tidak muntah melihat tingkah konyol pemuda Uzumaki itu. "oh iya. Siapa nama-mu?" Naruto kembali bertanya.
"Namaku Hinata. Sekarang aku akan tinggal disini, mohon bantuannya Naruto-san." Hinata memperkenalkan diri.
"Apa baachan yang menyuruhmu tinggal disini?" Kini giliran Naruto yang melontarkan pertanyaan kepada gadis lavender itu.
"Iya. Tsunade-sama yang memintaku tinggal disini, mungkin dia kasihan melihat sesosok gadis cantik yang tak punya tempat untuk berteduh." Ujar Hinata dengan menirukan gaya yang sama seperti yang dilakukan Naruto.
Naruto yang merasa tersindir mendecih tak suka dengan mata yang menyipit. "Kau tadi membuat apa di dapur?"
"aku membuat nasi goreng. Kau mau? Nasi gorengnya sudah hampir matang kok, tinggal di panasin aja. Ayo, sebaiknya kau membantuku." Hinata menyeret pemuda pirang itu menuju dapur.
Sungguh, hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi gadis lavender itu. Tapi dia percaya Kalau Kami-sama pasti telah menyusun sekenario yang akan berakhir dengan indah.
Semua akan terasa Indah jika kita menerima dengan iklas apa yang telah diberikan tuhan kepada Kita
.
.
TBC
NaruHinaKarin kembali dengan fict yang baru HAHAHAHA *ditendang* Maaf kalau feelnya masih terasa datar :v Tapi ini udah saya maksimalkan dan saya akan melakuakan yang kerbaik untuk para reader (termasuk Silent reader). Maaf kalau masih ada beberapa typo, Hari senin saya akan melakukan UTS di sekolah (gak ada yang nanya) -_-
Terima kasih telah membaca
*salam kecup basah* Muahhhh
Jangan lupa review :D
