"Aku ingin dia mati saja!"
"Tidak! Tidak! Aku tidak ingin dia mati, kumohon.."
Donghae kini tengah mengitari istananya. Eh? Istana milik ayahnya, bukan miliknya. Ia hanyalah seorang pangeran kecil yang tampan. Tampan semenjak bibirnya mengerucut sempurna, lalu ia mengambil posisi duduk yang manja tepat di pangkuan sang ayah yang tengah duduk tegap di atas kursi kaisarnya.
"Bisakah pernikahanmu di undur saja, ayah? Aku tidak ingin kau menikah lagi!"
Sontak sang raja terkejut. "Kenapa? Kau tidak suka memiliki ibu baru, hn?"
Donghae menggeleng kecil. Raut di wajahnya semakin kusam saja. "Jika kau menikah, itu artinya kau tidak menyukai ibu lagi, kan? Kenapa? Apa karena dia sudah tidak ada?"
Keduanya termenung pada posisinya masing-masing. Larut akan keinginan mereka sendiri, nampak begitu egois meski tak mengungkapkannya satu sama lain. Tak peduli akan beberapa pasang mata yang turut melihat. Mereka para penjaga yang sebenarnya selalu mencuri dengar apa yang diperbincangkan raja mereka, meskipun tak kuasa untuk membicarakannya kembali pada siapapun.
"Dengar!" ucap sang raja pada akhirnya. "Ayah tetap akan menikah. Percayalah, Hae.. ayah selalu mencintai ibumu. Mencintai kalian anak-anakku. Akan tetap seperti itu untuk selamanya.."
Donghae kecewa. Gumpalan air mulai berkumpul di kedua sudut matanya. Bibirnya terkatup dan bergetar. Ingin berkata namun ia tak mampu. Berakhir dengan gerakan cepat, ia berlari sambil menangis dan meninggalkan ayahnya, sang raja yang meneriaki namanya begitu keras, Donghae tidak peduli!
Kaki kecil itu berlari menuju ruang bawah tanah. Ia melewati banyak ruang terkungkung jeruji besi, dimana di dalamnya tinggal mereka-mereka yang berwajah sangar, terkurung di dalamnya. Ada satu yang berbeda. Donghae menemukan sebuah jeruji besi emas tepat di ujung lorong penjara tersebut. Sambil menangis ia mengenggam erat salah satu jeruji besinya. Ia menangis tersedu disana, mengadu pada dia yang berada dalam ruang tersebut. "Hyungie.."
"Donghae! Mengapa kau menangis, eoh? Siapa yang membuatmu menangis?!"
...
Keinginan raja tak lagi mampu terpatahkan. Pernikahanpun berlangsung tepat setelah beberapa hari perdebatan antara dirinya dan Donghae berlangsung. Begitu megah dan meriah acara berlangsung. Ada begitu banyak makanan yang tersaji, ada pula hiburan menyenangkan selama acara pernikahan.
Namun apalah daya?
Sayang sekali sang raja harus berlari tergesa-gesa meninggalkan pesta dan juga istri tercintanya semenjak dirinya mendapati kabar buruk, bahwa salah satu anak tercintanya telah menelan racun. Siapa lagi?
BRAK..
Sang kaisar menapakkan kakinya dengan keras. Matanya mengitari ruang yang kini dipenuhi banyak orang dengan tajam, dan penuh akan sorot hawatir. Ia tak perlu bertanya, karena ia telah mengetahui apa yang terjadi. Beberapa orang disana menunduk hormat padanya.
"Yang mulia, maafkan kami karena lengah menjaganya. Entah darimana ia mendapatkan racun itu, kami.."
Sang kaisar tak ingin mendengar. Ia melihat wajah putra bungsunya kini membiru dan membeku tak lagi bergerak. Nafasnya tercekat. Mata Donghae sudah tertutup sempurna. Sang kaisar merubah warna di matanya, dan pandangannya menembus ke dalam tubuh Donghae. Jantungnya berdetak cepat..
"Oh!" ringisnya. Dilihatnya jantung Donghae yang berdetak semakin lambat. Tak ada lagi nafas berhembus, dan sang raja menemukan aliran darah hitam yang mulai memenuhi tubuh putranya itu. "Racunya menyebar!" paniknya. Saat ia akan menyentuh putranya itu, ada satu tangan menahannya.
"Yunho-ya.. sejak kapan kau dat.."
"Setelah merasakan firasat buruk ini tentu saja. Jangan menyentuhnya ayah, aku tahu ini semua karenamu!" dengus Yunho. Ia mendekat pada Donghae dan mulai mengusap pipinya. "Hae.." panggilnya. Ia tersenyum miris saat merasakan kulit Donghae yang mulai mendingin.
Sejenak Yunho melirik ke arah semua orang termasuk ayahnya, sang raja. "Tinggalkan kami! Aku bisa mengurusnya sendiri.."
"Tapi.." salah satu pelayan menengahi..
"Kalian pikir aku akan membiarkan adikku sendiri mati? Aku juga tak ingin raja kita meninggalkan pestanya," ucap Yunho. Ada nada kesal dari ucapannya, dan semua menjadi takut dan akhirnya mengundurkan diri, termasuk ayahnya.
"Baiklah.. aku percaya padamu.."
Setelah semuanya pergi, Yunho bergegas memfokuskan dirinya pada tubuh Donghae. Pakaian sang adik memang telah terlepas dan hanya meninggalkan sehelai selimut tipis saja. Satu sentuhan ia berikan di dada Donghae, dan seketika satu titik cahaya muncul di dalam sana.
Cahaya putih itu tak lama bersinar. Ia terlihat seperti berputar-putar di dalam sana, seiring dengan warnanya yang kian kelabu. Terus menggelap hingga nampak seperti gumpaln hitam, dan semua nampak di balik kulit pucat Donghae. Yunho tersenyum lalu mulai mendorong titik gelap itu untuk naik ke tenggorokan Donghae.
"Tahan, hn?" gumam Yunho saat dilihatnya bola mata Donghae mulai bergerak gelisah. Yunho terus mendorong titik hitam itu, hingga akhirnya, darah hitam keluar dari mulut dan hidung Donghae. Keluar begitu banyaknya..
Mata Donghae mulai terbuka. Ia mulai mengerang tak nyaman. Mungkin saja cairan hitam itu terasa aneh baginya. Sebagian banyak memang masih berada dalam mulutnya, dan perutnya serasa mual. Dengan mata mengernyit kuat ia segera memutar tubuhnya ke sisi ranjang dan lagi-lagi memuntahkan cairan hitam dari mulutnya.
"Kau baik-baik saja?"
Donghae berkeringat dingin. Ia belum sadar akan sosok yang kini memijat-mijat lembut tengkuknya. Ia masih terus muntah hingga tubuhnya benar-benar terasa lemas.
"Sebenarnya racun apa yang kau minum, eoh? Mudah sekali mengeluarkannya. Lain kali jika ingin mati, makanlah racun yang lebih hebat.."
Donghae merebahkan tubuhnya. Saat sosok itu membersihkan sekitar mulutnya, barulah ia tersadar. "Yunho hyung?" tanya Donghae dengan sisa tenaganya. "Kau.. pulang?"
"Ya. Aku disini. Istirahatlah, hyung akan menjagamu," begitulah kira-kira yang Donghae dengar. Sedikit banyak ia nampak terlihat lebih nyaman. Setelah meraih jemari Yunho dan menggenggamnya, Donghae telah jatuh terlelap.
...
"Kapan kau pulang, Yun? Sudah puas dengan berburunya, hm?"
Yunho menatap sendu pada jeruji emas yang kini mengurung sosok di dalamnya. "Setidaknya berburu lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktumu di dalam penjara. Aku benar, kan?"
Sosok itu mendelik, namun menyiratkan senyuman menenangkan, seolah kata 'penjara' bukanlah hal yang membuatnya takut atau marah. "Aku pantas mendapatkan ini semua, kenapa aku harus mengharapkan yang lebih baik dari ini, menurutmu?"
Yunho memandangnya sendu. Dalam sekejap ia mampu menembus celah-celah kecil dari jeruji besi itu, tanpa sepengetahuan siapapun. Dalam sekejap itu pula ia telah memeluk sosok dalam sel itu. "Aku merindukanmu, Heechul-ah, saudaraku.."
Heechul tersenyum. "Maaf aku tak mampu membalas pelukanmu ini," cibirnya. Kedua tangannya memang tak bergerak sama sekali. "Satu yang aku tak terima adalah, mengapa ayah membekukan tanganku, ugh!"
Yunho tersenyum kecil. "Jika tanganmu tak dibeginikan, maka kau akan kabur dengan mudahnya nanti, bodoh!"
"Hmm.. kau benar. Lalu.." tatapan Heechul berubah serius. "Bagaimana dengan Donghae? Dia baik-baik saja? Jangan pikir aku tak dapat merasakannya Yunho-ya! Disini aku juga melihat semuanya.."
"Dia baik-baik saja sekarang, meski ya.. dia sempat hampir mati.."
Heechul mendengus sebal. "Beberapa hali lalu dia memang kemari dan mengadu soal pernikahan ayah padaku. Aku tak tahu mengapa ayah bertindak egois dan akhirnya mencelakai anaknya sendiri! Tua bangka itu! Salahmu juga karena sibuk berburu dan mengabaikan Donghae!" rutuknya kesal. Beberapa saat kemudian ia mendongak menatap ke arah lain, menghindari tatapan Yunho padanya.. "Salahku juga, kan?" ucapnya dengan getir. "Atau ini semua, memang hanya akulah penyebabnya?" tuturnya diiringi satu tetes air mata yang berubah langsung menjadi sebongkah es ketika ia jatuh di lantai. "Aku ini terkutuk!" bayangannya jauh melayang pada masa sebelumnya, yang menurutnya itu adalah masa yang teramat sulit dalam hidupnya.
.
.
"Kenapa bisa ada salju dan es di saat matahari terik di atas sana? Huaaaaa.."
Siang itu memang terik. Namun Donghae bersama ibunya bisa tertidur dan bermain di atas salju-salju yang kian menumpuk. Heechul merasa bangga telah membuat kedua orang tersayangnya bahagia seperti saat tersebut. Ia berhasil mengukir senyum di bibir keduanya. Semua karena esnya, karena salju yang dibuatnya..
Wushh..
Jemari Heechul bergerak di udara hanya untuk memanggil salju-salju agar berjatuhan lebih banyak. Tak peduli pada pohon di sekitar mereka yang turut membeku, toh semua terlihat cantik, mengkilap terbungkus es. Tanah yang mereka pijak menjadi licin semenjak menjadi es.
"O- ouh!" Donghae mengernyit saat ia terpeleset. Topi rajut yang dikenakannya berganti posisi menjadi menutupi sebagian wajahnya. Ia membetulkannya dengan susah payah karena kedua tangannya tertutupi sarung tangan yang tebal. Adik kecil satu ini nampak lucu dan menggemaskan, membuat Heechul tersenyum..
Ia lupa diri..
"Hee- Heechul!" sang ibu berteriak takut. Heechul lupa bahwa salju dan esnya mulai meraja. Dingin itu mulai meluas dan melahap hangat di siang tersebut.
"A- akh!" Heechul sadar setelah ia tak mampu mengendalikannya. Semua sudah terlanjur membeku dan ia tak tahu harus melakukan apa. Dilihatnya Donghae yang belum menyadari dan berlari-lari menuju ke arahnya. Sontak Heechul menghindar dan tanpa sengaja jatuh mengenai pohon yang seketika itu pula, sang pohon membeku. "Tidak!" gumamnya. Donghae berlari riang ke arahnya. Posisi sang ibu begitu jauh..
"Tidak, Hae! Jangan mendekat!" jerit Heechul.
"Kenapa?" lirih Donghae dan memperlambat langkahnya. Ia memandang Heechul dengan penuh kecewa, namun sepersekian detik, senyumannya berubah usil. Ia berjongkok untuk meraih butiran salju di bawah kakinya lalu mengumpulkannya di antara jemarinya. "Kau takut?" usilnya.
"Bukan! Kau tidak mengerti, Hae. Menjauh! Menjauh dariku!" panik Heechul sambil memundurkan langkahnya. Donghae terus mendekat dengan bola salju kecil di tangannya. Dan mata Heechul membulat sempurna disaat Donghae mulai melempar bola salju itu padanya. Heechul dan sang ibu mungkin tahu, sihir mengerikan dalam diri Heechul akan merespon serangan sekecil apapun itu..
"HAE!"
Jemari Heechul bergerak cepat. Dengan kekuatannya, dalam sekejap bongkahan es tajam siap menghujam Donghae. Kekuatan itu benar-benar membalas serangan kecil Donghae dan..
BRUAGH..
...
Donghae terbangun dengan nafas memburu. Mukanya pucat pasi dan keringat dingin menjalari setiap kulitnya. Tubuhnya bergetar hebat. "Ibu?" panggilnya, dengan menghasilkan suara menggema di kamarnya tersebut. "Ibu.." panggilnya lagi. Ia mulai meracau pelan..
"Maafkan aku.."
Donghae menangis keras setelahnya. Ia membenamkan wajah di kedua lututnya dan menangis kencang sekali. Beruntung Yunho datang dan menenangkan tangis itu, meski sebelumnya Donghae menjerit dengan sangat keras dan mengatakan bahwa kematian ibunya adalah karena ulahnya. Lalu siapa yang pantas disalahkan dan memang benar bersalah?
"Tapi jika saja aku mendengar hyung untuk tak mendekatinya mungkin ibu tidak akan meninggal," tutur Donghae di antara suara paraunya. Ia bercerita pada Yunho setelah tangisnya benar-benar hilang. "Aku anak yang nakal!"
Yunho tersenyum. "Kau harus bisa mengambil pelajaran dari ini semua," ucapnya menengahi. "Heechul berkata dia yang membunuh ibu. Disini kau yang mengatakannya demikian. Ini hanya kecelakaan saja, Hae. Tak ada yang menginginkan ini terjadi, kan?"
"Lalu kenapa ayah menghukum Heechul hyung? Seharusnya ayah menghukumku saja!"
Segera Yunho mendekap adik bungsunya lagi. "Dengarkan hyung. Tak ada lagi yang harus dibahas mengenai masa yang sudah berlalu. Sekarang hanyalah tinggal bagaimana kita menjalani hidup kita ke depannya, mengerti?"
"Tapi.."
"Menurut saja padaku, ya? Kau janji?"
Donghae mengangguk ragu. "Asalkan kau tidak selalu pergi berburu. Aku akan kesepian karena ayah sudah punya mainan baru," tuturnya dengan bibir mengerucut. Yunho terbahak mendengarnya. Bagaimana mungkin Donghae mengerti maksud dari ucapannya itu, ah tapi sepertinya ia sadar pada apa yang ia ucapkan. Bocah ajaib..
...
Bertahun-tahun terlewati. Donghae telah dewasa. Ia memang menjaga janjinya pada sang hyung untuk tak bertindak macam-macam. Sekalipun Yunho sendiri yang melanggar janjinya untuk tidak lagi berburu. Buktinya sudah berbulan kini dia tak menemani Donghae.
Donghae harus membaca bukunya sendirian. Buku berisikan sejarah kerajaan yang membuatnya mengantuk, jika saja tak ada sebuah gulungan kertas yang menyapa wajahnya. "Hey, apa-apaan kau, bocah!" teriaknya marah.
"Hyung ayo bermain.."
Donghae mendengus. "Aku tak ingin bermain denganmu, Baekhyun! Lihat aku sedang belajar, kan? Hm? Jadi menjauh!"
Baekhyun?
Memang lahir anggota keluarga baru di kerajaan ini. Tepatnya delapan tahun lalu, Baekhyun terlahir dengan sempurna. Bermata sabit dengan hidung mancung dan bibirnya yang tipis. Dikaruniai suara yang indah sehingga ia mampu menghibur semua orang dengan nyanyiannya. Semua perhatian terpusat padanya, termasuk sang ayah dan juga..
YUNHO!
Kerap kali ia memberikan binatang tangkapannya pada Donghae. Tapi sekarang, hasil tangkapan itu ia bagi pada Baekhyun yang menurut Yunho, dia adalah adik terkecil sekarang. Memang benar, kan?
Ini dia yang membuat seorang Donghae menjadi kembali berubah. Tatapannya penuh akan kebencian. Ia tak menyukai segala hal yang ada di sekitarnya terkecuali, satu orang yang sepertinya masih ia jadikan sandaran.
"Aku tidak mau! Aku tidak menyukainya! Bocah itu merebut segalanya, aku membencinya!"
Suara Donghae begitu menggema di lorong tersebut. Ia tak takut sekalipun ada beberapa penjaga yang lebih terlihat seperti patung hidup disana. Ia sudah terlanjur terbiasa mengutarakan isi hatinya disana, pada Heechul yang selalu mendengar keluhannya.
"Hati-hati bicaramu, Hae.." goda Heechul.
Donghae cemberut sambil menghentakan kakinya. "Tapi aku benar-benar tidak suka padanya! Demi Tuhan, kau tak melihatnya dimataku?"
Heechul tertawa. "Aku tahu, sangat mengetahuinya.. lalu apa yang kau inginkan sekarang, hn?"
Donghae nampak ragu kali ini. Ia lebih mendekat ke arah jeruji Heechul begitupun Heechul sehingga mereka berdekatan, dan Donghae mulai berbisik. "Aku ingin melenyapkan dia! Baekhyun!" bisiknya.
"Eh?"
Mungkin Heechul terkejut, sejak kapan sang adik memiliki pikiran yang jahat seperti ini? Namun Heechul adalah seseorang yang tak mampu ditebak. Hanya satu yang diketahui dari dirinya, adalah bahwa sebagian dari dirinya rela ia berikan untuk adik kecilnya yang meski kini telah dewasa. Lalu lihatlah sebuah seringai di bibirnya sekarang..
"Apa yang bisa hyung bantu, hm? Kau tahu bahkan hyung tak mampu keluar dari sini. Jika saja hyung bisa, hyung akan melenyapkan bocah itu dengan mudah.."
Donghae sedikit kecewa. "Kenapa ayah memberikan sihirnya hanya padamu dan juga Yunho hyung? Kenapa aku tidak?"
"Oh Hae! Dengar! Memiliki ini semua adalah kutukan, bukan sebaliknya, camkan itu!"
"Lalu aku harus berbangga atas kebodohanku? Dan tak bisa melakukan apa-apa untuknya?!"
Heechul nampak diam. Ia paling tak ingin mengecewakan Donghae sejak dulupun. Maka ia memiliki jalan lain, meski "hyung tak yakin soal ide ini sebenarnya, tapi.."
"Apa itu?"
Heechul memberi isyarat agar Donghae mendekat padanya karena ia akan membisikan satu ide yang menurutnya, iapun tak yakin untuk mengatakannya. Tapi Donghae terlanjur mendengarnya..
"Pergilah ke hutan larangan, ada sebuah rumah es milikku disana. Disana hidup satu temanku, dan kufikir ia bisa mengabulkan apa yang kau inginkan. Melenyapkan bocah itu dengan mudah, hn?"
...
Malamnya Donghae benar-benar pergi meski wajahnya penuh akan rasa takut. "Ya Tuhan Ya Tuhan! Aku tak tahu jika aku harus melakukan ini untuk bocah sialan itu! UGH!" geramnya.
Di awal saja ia sudah ketakutan sebenarnya. Disambut pohon kering tak berdaun namun rantingnya melambai-lambai menakutkan. Ia pernah mendengar sebenarnya, dulu sang ayah bercerita mengenai hutan tersebut, dan melarang siapapun untuk memasukinya. Untuk itu ia sempat terkejut, mengapa Heechul hyungnya bahkan mempunyai rumah es di dalam sana?
Dengan penerangan seadanya, berupa api yang membakar sebagian kayu di tangannya Donghae terus melangkah memasuki hutan yang gelap. Berpuluh tikungan mungkin, dan juga berpuluh kali ia terjatuh namun tak juga ia temukan rumah es tersebut. Sempat putus asa, ia berniat pulang. Namun..
Trang..
Donghae mengaduh disaat kakinya tak sengaja menendang, "eh?" ia terkesima memandang udara kosong yang membuat kakinya sakit. Bohong jika dikatakan itu adalah udara kosong. Karena nyatanya, saat ia mencoba meraba, ada sesuatu yang tidak tertangkap matanya. Sesuatu itu ada dan nampak dingin, juga basah seperti es yang meleleh di tangannya. "Disinikah?"
Donghae mencoba mengarahkan apinya ke sekitarnya. Matanya lalu membulat sempurna. Benar-benar ada rumah es di sampingnya. Rumah yang kabarnya adalah milik hyungnya. "Aku menemukannya! Aku menemukannya!" soraknya..
...
"Dimana Donghae?" tanya sang raja saat makan malam berlangsung. "Kenapa ia tidak turun untuk makan malam?"
"Tadi dia sedang membaca saat aku mengajaknya bermain, ayah.." Baekhyun menjawab. Hanya ada dirinya, ibu dan ayahnya dan juga Yunho yang tiba-tiba saja datang, padahal kabarnya ia tengah berburu.
"Yunho, makan bersama kami, nak. Kemarilah.." ajak sang ibunda.
Yunho tersenyum tipis. "Terima kasih, ibu.." jawabnya sambil mengacak surai Baekhyun dan menatap satu pipi Baekhyun yang mengembung karena makanannya. Yunho nampak gemas..
"Aku membawakan satu ekor anak rusa, dan kau boleh merawatnya.." tuturnya pada Baekhyun dan disambut sorak girang dari mulut mungil Baekhyun.
"Jangan membuat gaduh! Ayo makan," tegur sang raja.
"Tidak, aku hanya ingin memastikan bahwa Donghae ada di rumah.."
Berbeda dengan Baekhyun dan ibunya, sang raja dapat menangkap gelagat aneh pada putranya tersebut. Yunho berkata ia akan menemui Donghae, memastikan Donghae di ada kamarnya, tapi mengapa kakinya bergerak ke arah lorong ruang bawah tanah? Lalu apa maksud ucapan 'memastikan bahwa Donghae di rumah?' sang raja tahu Yunho tengah memastikan sesuatu.
Buagh..
Yunho menghantam Heechul, saudaranya begitu saja. "Bukankah kita selalu bisa saling mendengar dari jarak jauh, hn? Lalu kau pikir aku tidak akan mendengarnya? Mengapa kau meracuni pikirannya, Heechul-ah!" geram Yunho sambil mencengkram baju Heechul.
"Apa maksudmu dengan kata mengotori itu, huh? Aku hanya berusaha menolongnya. Apapun akan kulakukan untuknya, untuk kebahagiannya, tidak seperti kau!"
"Tapi ini salah, Heechul-ah! Kasih sayangmu kau berikan dengan cara yang salah! Itu tidak benar.."
Heechul tersenyum kecut. "Apapun untuk kebahagiaannya sekalipun itu harus ditempuh dengan cara yang salah.."
Yunho mengepal erat tangannya. "Lalu apa tanggung jawabmu jika saja ia juga terluka?" tanyanya. Ia tak lagi mendengar pembelaan Heechul yang lalu meringkuk di dalam sel itu. Ia melesat pergi untuk mencegah apapun yang akan terjadi nanti. Satu yang pasti, itu adalah sesuatu yang buruk..
...
Tes..
Donghae menutup sebelah matanya saat satu tetes darah keluar dari ibu jarinya. "Kenapa syaratnya harus darah!" keluh Donghae, meski ia diam saat gumpalan darahnya yang menetes, berubah menjadi dua gumpalan batu hitam.
"Ini adalah perjanjian yang mengikat jiwa, pangeran.. kau sudah berjanji untuk melakukan apa yang kau inginkan.."
"Terima kasih, aku tidak mengerti," komentar Donghae, mengundang tawa dari dia, si penghuni rumah es milik Heechul.
"Tak usah mengerti tidak mengapa. Aku hanya akan bertanya satu kali lagi, apa kau yakin? Ini adalah soal nyawa.."
Donghae menganggu yakin. "Lakukan saja apa yang aku perintahkan! Heechul hyung juga sudah menyetujuinya, untuk itulah dia menyuruhku datang kemari, kan?!"
Dia tersenyum, dan lalu mengangkat dua batu hitam yang terbuat dari darah Donghae itu terangkat dengan sendirinya. "Baik," ucapnya. Lalu seketika, salah satu batu itu mulai terbang mendekati Donghae dan menembus Donghae, tepat di dadanya begitu saja..
"Ugh!" Donghae mengernyit kala batu hitam itu seperti menghantam dadanya. Kakinya mendadak lumpuh sehingga Donghae jatuh begitu saja. Ia menggeliat kesakitan merasakan sesak dan panas yang menyerang dadanya. Ia mengaduh sambil melihat satu batu hitam lagi terbang, melayang entah kemana ia tidak tahu.
PRANG..
Bersamaan dengan itu, rumah kaca tersebut hancur berkeping-keping dan Yunho muncul begitu saja disana dengan wajahnya yang mengeras menahan marah. "Apa yang kau lakukan, Donghae! KAU!" murkanya. Ia menatap Donghae bersama orang lain. Ia masih belum bisa menangkap yang terjadi. Seingatnya, orang yang bersama Donghae saat ini adalah dia yang dulu merawat Heechul sewaktu kecil, Yunho mengingatnya.
"Apa yang sedang kalian lakukan disini? Jangan katakan perjanjian bodoh itu kembali terulang!" jerit Yunho.
"Maaf yang mulia pangeran, itu.. itu sudah terjadi atas permintaannya.."
"Oh tidak!" desah Yunho, merasa kalah cepat.
Donghae yang sudah tersadar sepenuhnya mencoba untuk berdiri. "Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin.."
"Donghae, tidakkah kau tahu seberapa mengerikan kutukan ini, hm?" lirih Yunho..
Deg..
Deg..
Deg..
"Ini akan seperti bom waktu. Tertanam di antara jiwa kalian. Setidaknya masih ada waktu, kau bisa memilih.. dia yang mati dan pergi, atau sebaliknya. Semua ada di tanganmu, dan benda itu akan menghancurkan tubuh salah satu di antara kalian kelak.."
"ARGH!"
"Baekhyun, kau kenapa nak? Ada apa?"
Dan malam itu seluruh kerajaan dikejutkan dengan erangan pangeran kecil mereka tanpa tahu mengapa? Ada apa?
TBC
:O :O :O
Apa ini? ZZzz~
Ada yang masih ingat saya? ^^ hanya tiba-tiba saja teringat tempat ini. FF di atas masih berantakan. Ini adalah hasil imajinasi saya setelah menonton "THOR-2", pelem kartun "FROZEN", nonton "Hansel and Gratel" ini fantasy semua kan? :3 maka jadilah campur aduk seperti ini. Masih acak-acakan pula, semoga chapter depan bisa lebih saya rapihkan. :) chapternya juga ga banyak, jadi jangan hawatir saya akan mengabaikannya terlalu lama..
Ini juga FF pertama yang tidak fokus pada suju meski Donghaenya tetep nomor wahid. ^O^ sekian dulu ah. Hhoo..
