Sudah lama kepikiran, gimana kalau membuat cerita tentang Byakuran? Percuma kalo jadi penggemar Albino tapi nga pernah buat cerita tentang dia, mumpung Rin punya cerita yang nyambung jadi mari di kombinasi saja! Ini juga adalah cerita awal dari 'New Cloud Guardian of Varia' yang pernah rin dan edden posting di awal kami gabung dengan ffnet dan sepertinya akan rin posting lagi –jangan banyak ngarep- #ditendang reader
.
Disclaimer : KHR is belong to Amano sensei, not me sadly
Plot cerita, original buatan Rin, diambil dr side story "My Place With You" yang jg buatan Rin di fictionpress.
.
.
.
~Normal Pov~
.
Entah berapa jam lamanya sang albino termenung di dahan pohon tinggi, seingatnya tadi matahari masih bersinar, kini semua telah menjadi gelap dengan bulan menguasai langit. Tak tahan dengan semua kecemasan yang menguasai hatinya, ia pun melebarkan sayapnya yang entah berapa lama tak pernah dia gunakan untuk terbang menjelajah langit. Sayap putih mengepak di langit malam meninggalkan serpihan cahaya bagai kembang api warna warni, membawa tubuh anak laki-laki bersurai putih yang baru berusia 8 tahun menari di bawah langit bulan purnama. Meski laki-laki, siluetnya lebih mengarah ke tubuh perempuan dengan kulit yang halus dan wajah yang cantik. Tarian dibawah sinar bulan yang penuh dengan doa dan perasaan pada pencipta dunia. Seorang anak lain yang lebih tua menatap dari bawah sembari menggendong bayi kecil. Bayi yang begitu mirip dengan sang kakak itu pun tampak terpukau, tangannya terulur ke langit, sayap kecilnya yang berbeda warna mencoba membawanya terbang namun sang kakak tak membiarkannya.
.
"Kau ingin terbang juga?"
"Bya, bya!" bayi itu mencoba memanggil anak yang ada di langit. "Cak! Bya!"
"Hahaha, baiklah. Kita terbang juga." sang kakak pun menuruti adiknya. Sepasang sayap yang sama dengan sang adik pun terkembang lebar di punggungnya. Sang adik bersorak girang ketika dengan sekali kepakan mereka telah berada beberapa belas meter dari tanah. Anak bersurai putih pun menghentikan tariannya, wajahnya bersemu merah terlihat jelas di kulitnya yang pucat "Tarian yang memukau seperti biasa, Byakuran."
"Pa-pangeran Marga?!" tubuh sang albino kaku seketika karena kaget dan malu.
"Hu~/Bhu~" sang bayi mengeluh mengikuti kakaknya. "Mau sampai kapan kau begitu? Aku ini kakakmu." Usia Marga dan Byakuran terpaut 3 setengah tahun, sekarang usia Marga sudah 11 hampir 12 sementara balita di pelukan sang pangeran mahkota baru berusia 10 bulan.
"Tapi..."
"Bya~!" bayi kecil bersurai coklat pun melompat dari gendongan kakaknya "Ndong!" sayangnya sebelum sayapnya mengantarnya ke pemilik surai albino, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
"Letrisya!" keduanya panik, untungnya Byakuran berhasil menangkapnya lebih dulu.
"Kyahahaha! Bya!" bukannya takut balita itu malah girang, kedua kakaknya menghela nafas lega.
"Putri kecil, kau sungguh nakal ya?"
"Pangeran Muda!" seorang dayang terengah - engah berlari menghampiri ketiganya. "Pangeran Mahkota, Pangeran Muda!"
"Ada apa?" kedua anak laki-laki itu pun terbang menghampiri dayang itu. Pangeran Mahkota adalah Marga, sementara Pangeran Muda adalah Byakuran.
"Pangeran Muda, ibu anda telah melahirkan, bayi perempuan!" Keduanya terbelalak kaget, balita yang ada di pelukan Byakuran bertepuk tangan girang. Tanpa menunggu aba-aba keduanya melesat ke dalam istana, ke kamar tempat ibu sang Albino berada.
.
"Ibu/Bibi!" teriak keduanya memasuki kamar, namun keduanya mendapat sambutan lemparan sepasang sepatu yang mengenai keduanya tepat di dahi hingga terjatuh ke belakang dengan kepala lebih dulu menyapa lantai. Balita yang terlepas dari tangan Byakuran pun terbang sempoyongan mendekati perempuan yang melempar sepatu tadi.
"I~buh!" Ibu tiri Pangeran Mahkota Marga, Ratu kedua Planet Setylon menyambut putrinya dengan senyum meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan ganggu bibi dan adikmu yang sedang tidur ya?" balita itu menutup mulutnya, mengangguk.
"Aduh..." kedua pangeran malang itu mengusap kening mereka yang memerah. Strike depan belakang, dahi dan kepala belakang mereka nyut-nyutan.
"Ibu sadis sekali..."
"Yang Mulia...aku bisa bodoh betulan jika kepalaku dilempari lagi!"
"Kalian memang anak bodoh kok. Kemarilah tanpa suara." keduanya menurut.
.
Byakuran menemukan ibunya tertidur dengan wajah sembab -itu biasa buat ibu melahirkan- yang sangat kelelahan. Di sampingnya seorang bayi kecil diselimuti kain biru tua yang menjaganya agar tetap hangat. Bayi itu bergerak seakan tak nyaman karena di selubungi kain. Meski masih sedikit, rambut bayinya hitam legam seperti ibunya, begitu pula kulitnya yang kecoklatan. Byakuran sendiri wajahnya mirip ibunya tapi kulitnya mirip ayahnya yang berkulit putih pucat dengan sudut mata yang tajam sementara ayahnya bersurai pirang cerah sementara Byakuran putih albino yang merupakan turunan neneknya.
.
"Bya?" yang di panggil terkejut karena masih memandangi ibu dan adiknya. Marga menelengkan kepalanya untuk melihat ekspresi Byakuran kemudian menyodorkan saputangannya "Hapus air matamu."
"Eh?" Byakuran tak sadar dirinya menangis, senang dan lega karena ibu dan adiknya selamat? Mungkin saja, karena sudah seharian dia gelisah menunggu kapan semuanya akan selesai.
"Byakuran, kau tahu aturannya kan? Tentukan nama untuk adikmu saat ulangtahunnya yang pertama." ulang tahun pertama, saat bayi berusia 420 hari menurut waktu setylon adalah upacara penamaan bagi bayi kedua dari kakaknya, atau penamaan anak pertama oleh ayah mereka atau dalam kasus kembar oleh kakek nenek mereka.
.
.
.
Malam itu kedua pangeran menghabiskan waktunya di rumah pohon. Keduanya memandang langit yang dipenuhi bintang dengan 3 bulan yang berjejer menghiasi langit malam. Marga melirik Byakuran yang dikelilingi oleh kunang-kunang yang menerangi sang albino yang tengah membaca buku.
.
"Sekarang kau juga punya adik perempuan." Sang brunette lebih dulu memecah keheningan yang sejak tadi ada di antara mereka "Nama apa yang akan kau berikan padanya?"
"…entahlah. Belum ada satu nama untuk perempuan yang terpikir karena aku kira dia akan jadi laki-laki."
"Hum…tapi kau sendiri kenapa lebih memilih jadi laki-laki? Bukannya saat lahir kau perempuan?" Byakuran menutup bukunya, menatap iris ungu sang brunette. "Aku lebih suka kau jadi perempuan."
"Gender bukan masalah kan? Kita ini bisa berubah kapan saja." Yah, mereka adalah genderless jadi mereka bisa merubahnya kapan saja tapi perubahan itu juga tidaklah menyenangkan karena rasa sakit saat perubahan terjadi bisa membuat mereka tak bisa bangun dan bergerak selama beberapa hari. Secara normal mereka memang memiliki organ dalam kedua gender, hanya saja wujud luar mereka yang mendominasi dan menentukan organ gender mana yang akan bekerja. Yeah, dengan kata lain laki-laki pun bisa hamil.
"…Kalau begitu kembali jadi perempuan dan menikah denganku ketika usiamu 25 tahun."
"Bagaimana kalau kau saja yang jadi perempuan? Kau pasti lebih cantik dari aku." canda Byakuran.
"Tidak masalah." Tanpa diduganya wajah yang biasanya penuh canda itu kini terlihat serius mengatakan hal yang seharusnya masih jauh untuk usia mereka "Tapi jika aku yang jadi perempuan maka harus menunggu setidaknya hingga 50 tahun lagi untuk bisa punya anak. Apa kau mau menungguku?"
"Hm…kalau begitu lamar aku sekali lagi setelah kau menjadi raja." Byakuran tetap menanggapinya dengan penuh canda.
Mau tak mau sang brunette tersenyum meski setengah kesal "Eh?! Itu lama sekali!"
.
Perbedaan besar darah murni dan campuran adalah kapan tubuh mereka bisa memberikan keturunan, perempuan dari Clan Setylon memang jauh berbeda dengan manusia karena mereka merupakan campuran naga. Pemilik darah campuran biasanya baru bisa memiliki anak di usia mereka ke 25 hingga 30 tahun, meski bisa hamil pasti akan keguguran atau lahir dalam keadaan mati. Darah murni sendiri harus menunggu lebih lama 50 hingga 100 tahun. Mereka bisa hidup hingga 1000 tahun tanpa mengalami penuaan yang berarti secara fisik. Ayah dan ibu Byakuran sendiri masing-masing berusia 300 dan 250 tahun sementara ayah Marga usianya 600 tahun, ibunya meninggal di usia 269 tahun dan ibu tirinya usianya kini 330 tahun. Secara fisik mereka terlihat di usia 30 tahunan dengan usia yang hampir 10 kali bahkan 20 kali lipat usia yang terlihat dari penampilan mereka.
.
.
.
.
.
"Nama apa yang aku berikan?" tentu saja itu bukan perkara mudah bagi anak kecil untuk memberikan nama pada saudaranya. Byakuran merenung sendiri di taman belakang, sambil memberi makan ikan. Bayi kecil yang baru berusia 2 bulan tertidur lelap dalam bungkusan selimut dibuai angin sepoi-sepoi dalam keranjang bayi di bawah pohon. "Nona mungil…apa kamu bisa memberitahu apa yang cocok untukmu?" sedetik kemudian byakuran menjitak kepalanya sendiri karena dia sadar tak mungkin adiknya bisa mengerti apa yang dia tanyakan.
"Kau disini rupanya Byakuran." Suara yang sangat dikenalnya membuatnya berdiri tegak, laki-laki yang memiliki surai yang sama dengan Marga, sang Pangeran Mahkota menghampirinya sambil membawa dua piring berisi buah dan kue. Di belakangnya ada ayah Byakuran yang membawa gelas dan guci berisi minuman. "Wah, si kecil ini tidurnya nyenyak sekali."
"Yang Mulia, Ayah."
"Panggil paman saja cukup." Like the father like the child, mereka ikut duduk di rumput. Byakuran entah kenapa jadi diam seribu bahasa dengan duduk agak bersembunyi di balik punggung pamannya. Sang raja pun menyadari penyebabnya adalah tatapan adiknya pada keponakannya "Alaude, jangan pasang tampang seakan mau memakannya."
"Huh? Aku tak pernah berniat memakannya, tapi dia memang anak yang lumayan lambat. Beda jauh dengan kakaknya." Kata-kata itu membuat Byakuran makin beringsut memeluk lututnya. Ayahnya memang sangat galak dan keras.
"Hei, aku malah berharap anakku seperti Byakuran karena Marga tak pernah bergantung padaku!" bela sang brunette, dipeluknya keponakannya. "Anakku mana pernah bisa kupeluk begini sejak dia masuk sekolah! Dia malu punya ayah sepertiku!"
"Itu tak benar paman…" Byakuran berusaha mengjibur pamannya walau sebenarnya sang Pangeran Muda membenarkan apa yang dikatakan pamannya dalam hati. Bukan karena pamannya over protektif atau cengeng dan ceroboh, tapi karena sang albino tahu kakaknya tak ingin sang ayah terlihat lemah di depan orang lain karena menunjukkan perasaan pribadi. "Tapi, paman...aku tak yakin bisa memberikan nama untuknya. Paman ada usul?"
"Hm~, aku juga tak pintar memilih nama. Alaude sendiri dulu kuberi nama seperti itu karena aku membuat beberapa nama di kertas dan melemparnya ke udara. Ada yang bertulis Alonzo, Berlich, Zuma, dan Mireile." Byakuran melirik wajah BT ayahnya karena mendengar calon nama yang ditulis sang kakak. "Yang terakhir jatuh adalah kertas dengan tulisan 'Alaude' padahal aku berharap memberinya nama 'Zuma'!"
'Untung itu tidak jadi jatuh belakangan…' dia tak bisa dibayangkan kalau Alaude menjadi bernama Zuma. Bisa-bisa dia dikira katak.
Obrolan mereka terputus karena bayi kecil yang terbangun. Byakuran hendak menggendongnya tapi tangan kekar ayahnya lebih dulu meraih bayi itu ke dalam pelukannya. Tidak ada tangisan, bayi itu bergumam kecil, tangannya menggapai ke atas seakan hendak meraih sesuatu. Byakuran tahu adiknya bisa merasakan keberadaan mereka sehingga dia tak pernah menangis kecuali ditinggal sendiri.
"Menurut ayah aku harus bagaimana?"
"Itu harusnya kau pikirkan sendiri." Kata sang ayah.
"Hei, dia masih kecil. Bahkan Marga sudah lebih besar saat Letrisya lahir." Laki-laki bersurai coklat kemerahan menepuk lembut puncak kepala keponakannya "Marga juga dulu juga cukup lama menentukan nama untuk adiknya."
"Tapi aku bukan pangeran sempurna seperti dia."
"Tidak ada yang sempurna di alam ini, waktumu masih banyak jadi pikirkanlah sebaik mungkin."
"Baik, aku akan berusaha memikirkan nama yang cocok untuknya." Byakuran menatap ayahnya, menunggu apakah ayahnya akan membentaknya tapi laki-laki itu tersenyum tipis.
"Kau itu anakku, jadi hal seperti itu seharusnya tak sulit untukmu." Sang raja menatap keluarga adiknya dengan senyum agak terpaksa, jika boleh jujur dia tak tahu berapa banyak waktu yang tersisa hingga perang yang ada di luar dimensi mereka akan sampai ke planet yang selalu jauh dari kegiatan politik dan terlindung oleh pelindung yang berasal dari alam.
.
"Hum…aku punya 2 nama yang terpikir tapi…mana yang bagus ya?" gumam Byakuran dalam perjalanan kembali ke istana. Akhir bulan adalah waktu bebas dimana murid boleh libur selama 5 hari setelah mengikuti kegiatan sekolah selama 30 hari dan tinggal asrama sekolah. Dia dan Marga sengaja naik kuda terbang perlahan sambil menikmati pemandangan dari ketinggian. Marga yang memegang tali kekang melirik Byakuran yang tampaknya sedang bingung berjelanjutan sejak adiknya lahir "Aku tak bisa memilih."
"Pakai undian saja seperti ayahmu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Apa yang ditakutkan sang raja pun terjadi 7 bulan setelah kelahiran bayi itu perang antar planet karena pemberontakan salah satu dari 10 penguasa akhirnya sampai di tempat mereka. Setylon yang merupakan planet netral, terasingkan karena berada di perbatasan dimensi dianggap paling mengganggu karena punya hubungan dekat yang notabene masih keluarga dengan pimpinan 10 penguasa yang menghilang dalam perang. Keturunan naga langit dan naga bumi dimusnahkan saat terjadi gerhana matahari yang hanya datang 1000 tahun sekali. Saat dimana semua clan setylon kehilangan sebagian besar kekuatan sihirnya. Yang pertama menjadi korban adalah ratu. Kepalanya di penggal dengan pedang yang dibuat dengan leburan berlian hitam dan emas merah dan baja biru. Ketiganya berlaku mutlak bagi mereka bagai pasak di jantung pada vampire dan perak pada manusia serigala. Korban kedua adalah ayah Byakuran sendiri yang mencoba menolong anak bungsunya. Adik Byakuran dan Byakuran selamat dibawa kabur ke dalam hutan oleh seorang dayang. Melihat semua orang di bantai, sang albino tak bisa berdiam diri, dia menitipkan adiknya dan kembali untuk mencari kedua saudaranya.
.
"Tolong jaga adikku dan bawa kotak ini. Di dalamnya ada kristal ungu dari raja. Aku akan kembali setelah menemukan pangeran Marga dan Letrisya." dayang itu mengiyakan. Dengan berat hati Byakuran meninggalkan adiknya yang berteriak protes. Tubuh kecilnya melesat kembali ke istana. "Pangeran Marga!" meski masih kecil, Byakuran adalah penguasa sihir api dan beladiri.
.
Berbekal kristal api dari jantung naga dan pedang pendek dia mencari saudaranya yang sebelumnya dia lihat lari ke ruang portal. Begitu sampai di depan pintu yang dilihatnya malah tubuh Pamannya, sang raja yang tertusuk pedang oleh Jenderal pemberontak. Di ambang kematian, sang raja mengirim kedua anaknya ke dalam portal dimensi ruang dan waktu. Sementara Byakuran menatap keduanya yang lenyap di depan matanya dengan perasaan agak lega karena mereka pasti selamat jika tak ada distorsi. Belum sempat menarik nafas, tubuh Byakuran dilempar oleh sang ibu yang muncul entah dari mana. Di depan matanya tubuh perempuan itu terpotong jadi dua bagian dimana seharusnya Byakuran yang menjadi korban. Hanya leontin pemberian ratu yang selamat dan terlempar ke kakinya.
.
Leontin kristal ungu adalah kunci membuka portal dimensi ruang dan waktu bagi pemilik darah campuran. Tanpa membuang waktu diambilnya kristal itu dan teleport beberapa kali hingga sampai di atas hutan tempat adiknya bersembunyi bersama dayang. Entah iblis apa atau Tuhan memang ingin memberikan segala hal buruk hari itu juga, dari hutan terjadi ledakan besar. Perasaannya kacau seketika, di tempat seharusnya adiknya berada kini segalanya menjadi arang. Adiknya lenyap, di tanah yang menghitam bertebaran tubuh prajurit dan di tengah ledakan ada dayang yang mati terpanggang. Tubuh adiknya tak terlihat, hanya sebongkah kristal ungu bernoda darah yang melayang sesaat kemudian jatuh ke tanah.
.
Darah pemilik sayap putih atau hitam adalah cara membuka portal dengan kristal ungu yang merupakan pemadatan energi dan darah para pemilik darah murni. Itu artinya dayang itu melukai adiknya dan mengirimnya lewat portal. Meski adiknya tak mati, Byakuran tak mungkin menemukannya karena tak tahu kemana bayi itu akan sampai. Darah campuran tak bisa mendeteksi jalur portal, bahkan darah murni pun tak mudah melakukannya. Seorang bayi tak bernama yang bahkan belum bisa merangkak dengan benar kini berada entah di mana. Byakuran menangis meraung-raung bagai orang gila, mengutuk perang dan dirinya yang tak bisa melakukan apa-apa. Semua mati dan lenyap di depan matanya, tangannya menggenggam erat kedua kristal yang menusuk telapak tangannya. Darah yang menetes dari kristal pun membuka portal di bawah tubuhnya, menelannya yang tak melawan sedikitpun ketika dibawa ke tempat yang entah ada di mana.
.
"Pangeran Marga, Letrisya, ayah, ibu, bibi...paman..." sosok yang terakhir yang terbayang tak bisa dia sebutkan, bayi tak bernama, belum bisa apa-apa. tubuhnya melayang tanpa perlawanan melintasi portal dengan warna yang campur aduk. 'Aku gagal menjaganya.'
.
Byakuran menghela nafas berat. Entah berapa banyak dimensi yang dia datangi, berapa dekade yang dia lalui, tak secuilpun keberadaan adiknya atau kedua saudaranya dia rasaan. Namun sebuah keajaiban terjadi saat dia menemui Aria. Dua orang menunggunya di kediaman Giglio Nero, seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan wajah yang entah harus dikatakan cantik atau tampan menyambutnya dengan sebuah pelukan erat. Meski belasan tahun berpisah, dia takkan lupa dengan kedua saudaranya.
"Oh, kau sudah sangat berubah." Marga menangkup wajahnya, menatapnya dengan mata berbinar "Tapi aku takkan salah mengenali mata ini."
"Kau sendiri hanya tambah tinggi, tak berubah." Mata Byakuran bertemu dengan yang seorang lagi, anak perempuan bersurai pendek yang bagai duplikat kakaknya ketika remaja. "Senang melihatmu masih hidup dan tumbuh sehat, Letrisya."
"Senang bisa melihat saudara sedarah masih ada yang selamat." Byakuran tersenyum kecil, dia tahu gadis itu tak mengingatnya tapi setidaknya sang kakak pernah bercerita tentang dirinya.
"Adikmu bagaimana?" pertanyaan Marga membuat sang albino serasa dihantam meteor. Marga segera tahu dari ekspresi sang albino "Kau juga kehilangan dia?"
"Juga?" kedua brunette itu mengangguk.
"Aku juga terpisah dari Letrisya dalam portal dan baru menemukannya beberapa waktu lalu dengan sihir pemanggil antar dimensi."
"Kalian lebih beruntung dariku. Aku tidak mungkin melakukan hal yang sama denganmu. Aku sudah lelah... mencarinya." desahnya sedih.
"Byakuran…" sang brunette mendekap Byakuran, membiarkan sang albino meluapkan emosinya dengan menangis di pelukannya "Memang seharusnya kau jadi perempuan saja."
"Berhenti mengejekku!" masih dengan mata memerah dan basah, sang albino melayangkan pukulannya yang pastinya dielakkan dengan mudah. Tak butuh waktu lama hingga keduanya melompat dari jendela ke halaman dan bertarung di udara diiringi teriakan emosi Byakuran serta tawa dan ejekan dari sang brunette.
"Seperti bocah saja." Sang adik menggeleng melihat keduanya, Aria pun tersenyum melihat Byakuran yang tidak seperti biasanya, kini sang albino terlihat lebih cerah meski masih ada sedikit kabut di matanya. Sebelum mereka kembali ke tempat mereka tinggal saat ini, Marga membisikkan sesuatu pada Byakuran.
"Jangan berusaha menghiburku, kalau memang ada aku pasti telah merasakannya."
"Takkan terasa kecuali dia melepaskan sayapnya. Kau tahu sayap hitam sangat pandai dalam menyembunyikan keberadaan. Hanya sesamanya yang bisa merasakannya." Pemilik sayap hitam memang sedikit.
"Kalau begitu doakan aku bisa menemukannya."
"Pasti ketemu. Aku dan Letty akan melakukan sesuatu dan…kuharap kau tak melakukan hal bodoh seperti membunuhnya sebelum dia menunjukkan diri."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Byakuran?"
"Ah, Sho-chan?"
"Ada yang menganggumu?"
Byakuran tersenyum hambar, menggeleng "Bukan hal penting." Orb amethyst menatap sebuah keluarga di seberang sana yang tertawa dengan riang penuh keakraban. Sepintas dia melirik ke belakang, tersenyum tipis melihat hal yang mirip pada keluarga sahabatnya. Merayakan Natal bersama keluarga Irie adalah kegiatan tahunan Byakuran sejak mereka memasuki Shouichi kuliah di Italia dan membentuk Gesso Famiglia bersamanya. "Keluargamu selalu ramai ya."
Yang mendengar menggaruk belakang kepalanya "Yah, memang beginilah adanya. Terkadang aku heran kenapa aku bisa lahir di keluarga ini. Sifatku kebalikan mereka."
"Ahahaha, aku sama kok."
"Byakuran, boleh aku tahu seperti apa tempatmu lahir dan dibesarkan?" Byakuran mengerjap beberapa kali menatap pemuda bersurai crimson di depannya. "Apa kau tak ingat?"
"Ah..., aku masih ingat. Hanya saja...kenangan buruk...membuatku tak ingin kembali ke sana. Toh...sudah tak ada keluarga yang kumiliki. Perang merebut semuanya."
"Satu pun?"
"Maksudku yang sedarah. Yah, kecuali Marga dan Letrisya yang sempat menemuiku beberapa waktu lalu."
"Ah..., kakak adik berambut coklat merah itu?"
"Mereka adalah sepupuku. Duo darah murni memang hebat, bisa menemukanku sejauh ini. Padahal terakhir kali bertemu aku dan Marga masih anak-anak sementara Letrisya masih balita." Shouichi menunggu cukup lama tapi pemilik surai albino sama sekali tak meneruskan ucapannya.
"Byakuran?"
"Tapi hanya darah murni yang bisa melakukan perjalanan antar dimensi dan waktu."
"Berarti kamu darah murni?"
"Sayangnya aku hanya berdarah campuran, karenanya sayapku hanya satu warna."
"Tapi kau bisa pindah ke dunia lain kan?"
"Ratu memberiku sebuah kristal yang bisa membuka portal dimensi jika bereaksi dengan sayapku yang berwarna putih. Selain itu Mare Ring memberiku kekuatan lebih untuk lebih mudah berpindah antar dimensi. Jika tidak, sulit bagiku untuk tahu akan tiba di mana dan zaman apa."
"Kamu anak tunggal?" Pertama pemuda bersurai crimson itu tak sadar, begitu mengangkat wajahnya dia pun melihat ekspresi yang tak pernah dilihatnya.
"Tidak. aku...punya seorang adik..."
"Apa dia juga meninggal?"
"Aku tak tahu...saat itu dia masih bayi. Baru 4 bulan, bahkan aku belum memberinya nama. Di tempatku ada kebiasaan seorang kakak yang menamai adiknya sebelum mereka berusia 1 tahun. Dia kebalikanku, rambutnya hitam sekali, kulitnya sewarna cream moca vanilla bercampur warna kuning gading. Dia mirip ayah, mungkin kulitnya akan sewarna kuning madu jika dewasa. Ah, ayahku mirip Arcobaleno Fong tapi rambutnya putih sepertiku."
"..." Dalam kepalanya terpikir image adik Byakuran kebalikan kakaknya yang membuatnya berpikir jangan-jangan Hibari adik Byakuran. 'Tapi mereka tak pernah cocok kan? Lagi pula warna kulit Hibari-san putih.'
"Shou-chan?"
"Tak ada mirip-miripnya denganmu ya?"
"Hum~ ada yang sama. Jika dia kesal atau emosi, warna matanya berubah dari coklat karamel menjadi sama denganku. Sayapnya hitam."
"Tak pernah berusaha mencari?"
"Aku sudah lama menyerah mencarinya. Tak seperti Marga, aku tak punya kekuatan untuk menemukannya. Kau pikir apa alasanku berpindah dimensi, setiap aku gagal menemukannya di sana aku menghancurkannya sebagai pelampiasan. Marga membuatku iri saja."
"Ho..., ternyata ada juga yang bisa membuatmu iri."
"Banyak, diumbar juga tak ada untungnya."
"Shou-chan, bisa bantu ibu?" seru ibu Shouichie dari dapur. Hari ini Byakuran memang datang ke rumah mereka untuk main setelah mengunjungi -mengacau- di rumah Tsuna.
"Bisa berikan ini pada anak di sebelah?" sang ibu menyodorkan sebuah mangkuk dibungkus plastik kedap. Di dalamnya ada ayam teriyaki yang jadi makan malam mereka tadi.
"Sebelah? Tadi sore aku lihat dia pamit dengan buru-buru pada penjaga apartement. Mungkin mau kembali ke negaranya."
"Wah, sayang sekali. Tapi dia bilang dia akan tetap di sini sampai akhir tahun untuk belajar. Kenapa dia pulang ya?"
"Entah. Mungkin ada urusan penting."
"Padahal ibu sengaja masak lebih karena dia sering membagi kita kue. Lagipula dia mirip kamu, pakai kacamata dan kadang kikuk."
"Hm..." Shouichi ingat anak yang tinggal di sebelah ruangan apartement keluarganya memiliki surai hitam panjang hampir selutut dan berkulit coklat, kalau wajah dia tak pernah melihat jelas karena selalu ditutupi kacamata dan poni panjang. Tubuhnya juga pendek untuk ukuran anak SMA sepintas mirip anak SD.
.
.
.
.
.
"Kami harus kembali malam ini." Shouichi dan Byakuran pun pamit menjelang tengah malam.
"Sering-sering pulang ya! Byakuran juga jangan sungkan dengan kami!" pesan sang ibu pada keduanya.
.
Keduanya masuk ke dalam mobil sport silver milik Byakuran, sang Primo Gesso menyetir sembari mendengarkan Shouichi yang sedang menelepon ke Villa yang menjadi headquarter mereka di Jepang. Karena tak fokus, pemilik surai albino pun tak sadar ada seseorang menyebrang ketika mereka menikung meninggalkan areal perumahan ke areal taman dan pertokoan Namimori. Tabrakan pun tak terelakkan, tubuh yang menghantam mobilnya terlempar beberapa meter. Koper yang dibawa pun ikut terlempar dan rusak hingga berserakan isinya. Panik, Byakuran mengerem mendadak kemudian keduanya segera turun untuk melihat bagaimana keadaan orang yang mereka tabrak.
.
"Anak kecil?!" pekik Byakuran ketika menemukan tubuh gadis bersurai hitam panjang tergeletak di aspal yang kini mulai basah oleh darah. "Kenapa ada anak kecil berkeliaran jam segini?!"
"...sepertinya bukan..."
"Eh?" Byakuran menoleh pada Shouichi yang kini berlutut di depannya "Kita bawa saja dia. Aku bisa berikan pertolongan pertama dengan sun flame." pemuda itu pun mengangguk.
"Aku akan memungut barang-barangnya, kau bawa dia ke mobil. Buka bagasi!"
.
Tanpa bicara lagi keduanya pun bergegas kembali ke Headquarter yang jaraknya lumayan jauh dari pemukiman. Shouichi terus menggunakan sun flame untuk mengulur waktu agar pendarahan bisa berkurang sementara Byakuran menyetir bagai kesetanan sambil menelepon menjelaskan keadaan pada Spanner yang baru saja sampai di Jepang untuk merayakan tahun baru beberapa hari lagi.
.
Begitu sampai mereka segera membawanya ke kamar yang disiapkan untuk operasi. Keduanya jatuh terduduk di lantai begitu dokter menutup pintu kamar untuk operasi darurat. Tanpa peduli pakaian mereka penuh darah, keduanya segera memeriksa barang gadis tadi untuk menemukan alamat atau nomor yang bisa dihubungi. Sayang hasilnya nihil karena telepon yang tertera dikartu pengenal tak bisa dihubungi alias fiktif atau mungkin sudah di blokir. Shouichi mulai bingung kenapa gadis ini bisa ada di Jepang sebagai murid pertukaran pelajar sementara surat persetujuan orang tua dan wali pun dia tak punya. Tak mungkin seorang pelajar bisa keluar negeri di usia 15 tanpa wali dan surat pengantar.
.
"Apa dia pendatang gelap? Tapi anak ini punya surat lengkap, masa yatim piatu?" gumam Shouichi yang didengar pula oleh Byakuran.
"Kita kirim saja seseorang untuk menyelidikinya. Lagi pula aku tetap bertanggung jawab untuk kecelakaannya ini hingga dia sembuh." pemuda bersurai crimson pun mengangguk setuju. Cuma itu yang bisa dilakukan sekarang karena tak mungkin menanyainya. Shouichi yakin gadis tadi adalah yang menyewa kamar apartement di sebelah apartement keluarganya sejak tahun lalu. Ibunya bilang gadis itu tinggal sendiri, dan tak pernah ada di rumah sebelum malam karena harus kerja part time sepulang sekolah kecuali minggu.
"Kita memang cuma bisa menunggu dia siuman."
.
.
.
"Sepertinya dia takkan siuman segera." ujar dokter yang perlu waktu semalaman untuk melakukan operasi dan pengecekan seluruh tubuh. "Kepalanya terbentur jadi ada kemungkinan amnesia dan buta sementara. Untuk cedera dalam 3 rusuknya patah, tulang paha dan tulang kering kiri juga patah, sisanya kepala belakang robek dan lebam saja. Mungkin perlu 4 bulan untuk pemulihan tulangnya sementara untuk mental dan mata hanya bisa di cek setelah dia siuman."
"Aku yang salah jadi semuanya adalah tanggung jawabku. Tolong lakukan semua yang diperlukan untuk menolongnya." Dokter tersenyum maklum dan mengangguk.
"Tenang saja, keadaannya sudah stabil jadi tak membahayakan nyawa." Byakuran menarik nafas lega.
"Aku rasa kalian sebaiknya membersihkan diri. Masa tahan seharian dengan darah kering di baju begitu?" Keduanya akhirnya sadar setelah Spanner menunjuk pakaian mereka. Darah telah mengering di pakaian mereka, sepertinya pakaian mereka tak bisa di pakai lagi, tapi tak masalah karena tinggal beli baru.
.
"Kenapa harus ada kejadian begini..." Byakuran menghela nafas panjang, leontin kristalnya jatuh dari saku ketika berganti pakaian "Hm?" dia menatap batu bening yang senada dengan warna matanya, terlihat lebih pekat "Sepertinya aku memang butuh istirahat."
.
Perkiraan dokter yang pada awalnya memperkirakan anak itu sadar hanya seminggu meleset jauh. Meski dirawat oleh Shouichi dengan bantuan Sun Flame, hanya luka dan patah tulangnya yang sembuh dengan cepat sementara anak perempuan itu masih tak kunjung membuka mata. Shouichi, Spanner dan Byakuran mulai khawatir apakah ada kerusakan syaraf sehingga mereka meminta dokter lain memeriksa_ hasilnya sama saja. Tak ada yang salah. Satu minggu, dua minggu, menjadi tiga minggu hingga sebulan. Perasaan panik dan bersalah Byakuran makin menjadi-jadi. Dia sendiri merasa aneh, kenapa harus peduli dengan anak perempuan asing ini. Kalau dia mau bisa saja dirinya membunuh anak yang tengah koma itu supaya tidak repot tapi setiap akan melakukannya, tangannya tak jua bergerak se-inchi pun. Tubuhnya serasa kaku bagai batu. Akhirnya Primo Gesso pun menyerah, tiap malam dia mengunjungi kamar anak itu berharap anak itu segera membuka matanya agar perasaan asing yang ada dalam dirinya bisa segera hilang.
.
.
.
Satu bulan 15 hari, purnama penuh di bulan February. Setelah sekian lama anak itu pun membuka matanya. Tidak menangis, berteriak atau bicara, dia hanya diam bagai bisu hingga maid yang memeriksa infusnya kaget menyadari anak itu telah sadar. Para maid pun melapor pada Shouichi dan sang Primo Gesso setelah membersihkan tubuh anak itu sebagaimana rutinitas mereka sebulan belakangan.
.
"Kau...baik-baik saja?" tanya Shouichi sepelan mungkin.
"Aku buta...tubuhku juga tak bisa bergerak." Anak itu menghela nafas berat.
"Buta sementara, kami akan melakukan operasi untuk memulihkan matamu dan kau terlalu lama koma karena itu tubuhmu kaku." entah harus bersyukur atau kasihan, karena tak di persalahkan atas keadaannya.
.
Sekian lama ada di dalam kamar, kulit coklat anak itu menjadi lebih cerah kekuningan. Bola matanya coklat senada batu amber dan wajahnya yang tertutup poni panjang kini terlihat karena harus di potong ketika menjahit luka-lukanya sepintas mengingatkannya pada...entah siapa.
.
"Boleh aku tahu namamu, tuan?" Shouichi tersadar dari lamunannya.
"Ah, jangan panggil aku tuan! Aku Shouichi Irie. Kau menyewa ruang apartemen di sebelah apartemen keluargaku."
"Ah...yang berambut merah itu ya? Maaf menyusahkan anda Irie-san." Sweatdrop, Shouichi tak biasa namanya di beri ember-embel 'san', mungkin kebiasaan ada di italia sehingga semua langsung memanggil namanya tanpa tambahan oleh semua orang, apa lagi oleh yang lebih muda.
"Justru kami yang minta maaf karena sampai terjadi hal begini..."
"SHO-CHAN!" teriakan Byakuran mengejutkan keduanya. Primo Gesso itu terengah-engah setelah lari dari pintu depan begitu mendengar korban tabrakannya telah siuman. Nah, kalau yang satu ini Shouichi sudah capek memintanya berhenti menambah 'chan' di belakang namanya.
"Byakuran, kau mengejutkanku!"
"Akuh, maafh, soalnyah dia baru bangun, setelah sekian lama." Entah bodoh atau apa, dia bisa terbang tapi malah lari-lari keliling mansion untuk ke kamar perawatan. Terkadang otak Byakuran memang tak berfungsi dengan baik #author dibakar.
"Siapa?" tanya sang raven. Orb amethyst Byakuran melebar, sesuai perkiraanya anak perempuan itu buta.
"Ah, dia Byakuran. Boss ku juga...yang menabrakmu."
"Oh." cuma gumaman singkat, tak lebih.
"Kau...tidak marah, atau berniat memaki?"
"Sudah kejadian, buat apa. Toh salahku juga seenaknya keluyuran."
"Byakuran?" Shouichi mengalihkan pandangannya pada Byakuran. Pemuda itu masih diam menatap anak perempuan di sampingnya "Ada sesuatu?"
"Mirip Hibari ya?" ujar Byakuran. Tentu saja anak itu tak tahu siapa Hibari tapi mungkin pernah dengar di sekolah "Nah, berhubung kamu sudah sadar, aku ingin tahu kenapa kau bisa ada di Negara ini tanpa alamat dan keterangan jelas di semua surat-surat dan pengenalmu?"
"Aku...sudah memberikan yang benar, kecuali orangtuaku sudah tak lagi disana. Mungkin pindah atau mati." Ketiga pemuda itu tecenung, mereka merasa ada yang salah dengan anak perempuan ini, secara mental tepatnya.
"Kau, ke Jepang bersama siapa?"
"Paman Iemitsu."
"Ie-"
"...mitsu..."
"Sawada?" tanya ketiganya bersamaan, anak itu mengiyakan.
"Kalian kenal?"
"Sangat. Tapi bagaimana bisa?" Shouichi dan Spanner tampak pusing sendiri.
"Dia membawaku kemari saat aku bilang ingin pergi ke tempat yang tak mungkin di datangi orangtuaku. Aku bertemu dengannya saat kabur dari rumah."
"PAMAN SIALAN ITU MENCULIK ANAK ORANG?!" teriak Byakuran.
"Aku yang minta di ajak kok."
"Dan dia meninggalkan anak di bawah umur sendirian?!" Spanner mengusap wajahnya, gerah.
"Aku kelas 1 SMA kok, usiaku 15 tahun dua bulan lalu."
"Ini lebih parah dari saat meninggalkan anak istrinya!" Shouichi ikut kesal.
"Bibi dan Paman memintaku tinggal, tapi aku tak mau."
"KAMU IDIOT YA?!" teriak ketiganya kesal. Selain menyembuhkan mata dan tubuh anak ini, mereka juga harus membetulkan otak anak ini.
.
.
.
TBC
