Semuanya familiar.
Levi tidak asing dengan malam, dengan hujan, dengan air yang menggenang di lubang-lubang jalan, dengan pencahayaan remang-remang di gang-gang yang ia lewati sambil mengendap-ngendap dengan Dominator Portable Psychological Diagnosis and Suppression System (atau yang lebih dikenal dengan 45-MW-TRG Dominator) yang telah kokoh di genggamannya. Ia tidak asing dengan senjata itu, sebuah pistol bermodel futuristik yang mampu membaca data psikologis (lebih dikenal dengan nama Psycho-Pass) dengan hanya membidikkannya ke target incaran, biasanya manusia, tetapi benda bergerak lain pun bukanlah pengecualian. Senjata ini membaca data, kemudian mengirimkannya ke sebuah master sistem untuk dikalkulasi. Ketika apa yang dikatakan data melebihi tahap tertentu yang diperbolehkan (mengindikasikan bahwa target secara mental tidak stabil, dan terlihat cenderung akan melakukan percobaan kejahatan dan kriminal) senjata ini akan mengatakan kepada pemiliknya apa yang harus ia lakukan terhadap sang Target.
Dan sekarang, sang Target sedang berusaha Levi lacak di tengah guyuran hujan, di antara tumpukkan peti-peti kemas raksasa di pelabuhan. Lebih dari itu, ia mati-matian mencari sosok ramping dengan mata abu-abu teduh namun selalu memancarkan intensitas sepanas api, yang akhir-akhir ini meredup karena hal yang selalu Levi takutkan. Meredup karena dunia mereka yang terlalu indah, cantik, seperti boneka pelastik.
Ia berlari kembali.
Kemudian Levi menemukannya, dua dari mereka. Sang Target kriminal kini tengah berdiri di tepi pelabuhan, langsung terpampang hamparan laut. Dan dihadapannya, seseorang yang keberadaannya selalu Levi butuhkan melebihi apa pun berdiri dengan kepala menunduk, Dominator tergenggam di tangannya yang terkulai di samping tubuh. Rambut hitam sebahunya menutupi wajahnya, basah diterpa hujan. Setelan serba hitam dari mulai blazer yang ia tutupi dengan jaket biru khusus Inspektur hingga rok span selutut yang ia pakai menempel erat ke tubuhnya.
"Mikasa," Levi berbisik, arus dingin menjalar di dadanya. "Apa apa denganmu?"
Tetapi ia memiliki hal yang lebih mendesak. Levi mengalihkan kembali perhatiannya. Dominator-nya terbidik ke arah sang Target. Seorang perempuan berambut hitam panjang yang ia ikat ke belakang.
"Permisi, Nona." Levi berkata. Dan, oh, betapa ia membenci prosedur basa-basi ini. "Bolehkah aku mengukur Psycho-Pass-mu?"
Targetnya yang gemetaran dari kepala hingga kaki mundur selangkah. Levi menganggapnya sebagai 'ya'.
Pria bersetelan serba hitam itu mengangkat Dominator-nya, membidik sang Target lebih baik. Mata Levi bersinar dengan cahaya biru metalik.
Kemudian senjata itu mulai berbicara kepada Levi, dengan suara wanita robotik yang familiar. Seiring dengan kata-kata yang hanya bisa di dengar olehnya, berbagai panel holografik muncul di penglihatan Levi, data yang ditunjukkan Dominator. Dan lagi, hanya Levi yang bisa melihatnya. "Crime Coefficient melebihi 150. Ia target untuk aksi penangkapan. Pengaman akan dilepaskan. Mode penangkapan adalah Non-Lethal Paralizer."
Levi berdecak. "Tidak bagus. Kutebak Psycho-Pass-mu sangat keruh sekarang ini, aku bertaruh warnanya seperti lumpur."
"Menjauh!" sang Target memekik. "Kau dan senjata terkutukmu tidak berhak menghakimiku!"
Levi menghembuskan napas, berkata acuh tak acuh. "Nona, Kautahu? Mereka berkata bila Dominator adalah mata Sybil. Dan system yang menguasai kota ini telah memutuskan dirimu sebagai ancaman. Aku membencinya sama sepertimu, tetapi Sybil telah mengatakan pengadilannya. Tidak ada yang bisa kau maupun aku lakukan untuk mendebatnya. Jika Dominator-ku berkata tembak, maka aku akan menembak."
Sang Target mundur semakin jauh, namun, ketika akhirnya ia berhenti, ia tertawa. Tawa yang begitu Levi benci. Tawa seorang psikopat. "Sybil? Mata Sybil kaubilang? Sistem yang membaca Psycho-Pass-ku lewat mainan konyol di tanganmu? Menghitung Crime Coefficient-ku seolah apa yang ada di dalam tubuhku adalah data kemudian menentukan apa yang harus dilakukan terhadapku setelahnya? Jangan membuatku tertawa! Aku tidak akan lagi tunduk kepada sistem semacam itu! Tidak akan!"
Levi menurunkan Dominator-nya, merilekskan tubuh, mengurangi ancaman yang menguar dari sosoknya. Orang-orang berkata bila sesuatu yang paling mematikan dari diri Levi bukanlah keahliannya untuk melumpuhkan musuh, tetapi aura membunuh yang terkadang bisa memojokkan penjahat paling kejam hingga ke hati. Levi tidak mempercayainya, baginya itu terdengar seperti omong kosong. Yang ia lakukan hanyalah menatap, tetapi kemudian orang-orang mengerut.
Tetapi, tidak ada ruginya mendengar saran sesekali.
"Lalu apa yang kauharapkan?" Levi mengambil langkah pertama mendekati sang Target. "Kau tidak akan tunduk kepada sistem, lalu apa yang akan kaulakukan setelahnya? Ke mana kau akan pergi? Street Scanner, Kamera Pengintai di setiap sudut bangunan, satelit pemantau, semuanya terhubung dan dikendalikan Sybil. Tidak ada tempat di negara ini untuk seseorang yang menentang Sybil. Jadi menyerahlah sehingga aku bisa membawamu ke tahanan dengan damai."
"Kenapa kalian harus menahanku?" suara sang Target bergetar, melengking tajam. "Karena angka Crime Coefficient-ku? Begitu cara kalian bekerja, bukan? Pindai Crime Coefficient-nya, laporkan kepada Sybil, biarkan Sybil yang menghakimi. DAN APA?" ia menjerit. "Psycho-Pass, Psycho-Hazard, omong kosong! Tetapi, yeah, jika itu memang cara kalian, aku tidak bisa protes." Levi melihatnya menyeringai. "Sistem kalian berlaku bagi semua orang bukan, kalau begitu Nona Inspektur ini juga bukan pengecualian."
Levi mengerutkan dahi, matanya beralih dari sang Target ke perempuan di hadapannya, kemudian kepada sang Target kembali. "Apa yang sedang kaurencanakan?"
Sang Target tertawa kembali. "Pindai saja Crime Coefficient-nya, Pak. Kau akan tahu."
Levi mematung sejenak.
Kemudian, dengan ngeri, ia membidik perempuan di hadapannya, yang masih diam dan menunduk seperti yang ia tunjukkan di awal.
Dominator-nya mulai berbicara kembali. "Crime Coefficient melebihi 180 …"
Levi merasa semua udara meninggalkan paru-parunya. Seisi dadanya terasa begitu dingin ketika secara refleks mulutnya membentuk kata, "Tidak,"
Dominator-nya masih belum selesai, "Inspektur terdaftar di Crime Investigation Department. Ia adalah target dalam situasi khusus. Pengaman akan dilepaskan. Bidik dengan tenang dan lumpuhkan target secara total. "
Levi menurunkan Dominator-nya tergesa-gesa, "Tidak, Mikasa …"
Ada gelak tawa kembali. "Tidak adil, bukan? Tetapi seperti apa katamu tadi, kita harus tunduk kepada Sybil. Maka kau harus meringkus Nona ini juga."
Levi membeku.
"Kenapa? Kau tidak bisa?" sebuah jeda. "Kalau begitu sebaiknya kau mati saja …"
Levi melihat sang Target mengeluarkan remote kecil dari dalam saku mantelnya. Dan Levi menyadari bahwa ia terlambat.
Sang Target menekan tombol di benda segiempat itu, kemudian ada cahaya putih yang membutakan, sebelum peti-peti kemas di atas kepalanya meledak dimakan gulungan api raksasa.
Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
Psycho-Pass © Gen Urobochi, Naoyoshi Shiotani
I take nothing for making this work. All credits are dedicated to the respected creators above. No Trademark Infringement is intended.
.
(In a world with too much beauty, for some reason I can't see the light—Abnormalize translation lyric, performed by Ling Tosite Sigure, Psycho-Pass's 1st opening song)
London City, 09.59. sepuluh jam sebelum ledakan
Adalah bunyi ritme konstan alarm digital yang membangunkan Mikasa Ackerman. Ia membuka mata. Dan seperti yang telah diperkirakan oleh perempuan di awal dua puluhan itu, bahkan ketika ia masih berada di alam bawah sadarnya, akan ada partikel-partikel holografik yang mengambil bentuk tepat di atas kepala sang Inspektur muda.
Home Automation. Walaupun ia telah akrab dengan sistem itu selama tiga tahun masa sewa apartemennya, Mikasa masih tidak bisa mengidentifikasi bentuk dari makhluk hologram yang kini melayang di langit-langit kamar. Ia terlihat seperti kucing hitam transparan dengan mata hijau menyala, namun bagian bawah tubuhnya dipenuhi tentakel. Well, semenjak penciptanya merancangnya dalam format animasi, ia terlihat tidak terlalu menakutkan.
"Selamat pagi," sang hologram menyapa dengan suara robotiknya yang monoton. Mikasa memang mengaturnya demikian, ia tidak suka segala hal yang terlalu ceria. "Ini pukul 10.00 di hari senin, 15 Juli 2149. Warna Psycho-Pass Miss Mikasa Ackerman pagi ini adalah biru muda. Selamat menjalani hari yang menyenangkan dengan pikiran Anda yang gemilang."
"Selamat pagi, Katy." Mikasa balas menyapa begitu ia bangkit dari posisi berbaringnya, duduk di atas tempat tidur sambil memijat pelipis, mengusir pening yang timbul akibat kekurangan jam tidur selama beberapa malam terakhir. "Apa jadwalku hari ini?"
"Hingga pukul 14.00 nanti Anda bebas tugas, Miss. Setelah itu Anda akan menjalankan shift Anda di MWPSB (Ministry of Welfare Public Safety Bureau) hingga pukul 24.00 tepat."
Mikasa menarik napas panjang. "Ah, tidak ada yang istimewa, sepertinya."
"Apa pilihan dekorasi ruangan dan sarapan Anda hari ini, Miss?" Katy masih melayang di atas kepala Mikasa.
"Baliness Ethnic Hotel," jawab sang Inspektur. "Dan aku ingin makan masakan Jepang rendah kalori untuk sarapan, kurasa."
"Dimengerti, Miss." Seluruh permukaan kamar Mikasa menyala begitu Katy selesai bicara, dan ruangan tidur sang Inspektur muda yang tadinya datar dengan hanya berwarna hitam dan putih kini berganti menjadi nuansa tropis dengan perabotan dan dekorasi serba etnik, hanya tipuan hologram, tentu saja. Tipuan yang benar-benar bagus hingga tidak terlihat seperti tipuan. "Ada yang lain?"
"Tidak," Mikasa menyingkirkan selimutnya dan beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk kering dari lemari dan berjalan menuju kamar mandi. "Itu saja, Katy. Aku akan menemuimu lagi di ruang makan nanti."
Ia hidup di zaman yang mudah, Mikasa berpikir ketika kucuran air dingin membasahi tubuhnya, mengirim arus segar yang mengusir rasa kantuk terakhir di pagi hari. Ia hidup di dunia tanpa stress, tanpa kejahatan, di sebuah dunia ideal di mana hanya ada kemakmuran dan manusia bisa hidup bahagia semau mereka. Contoh kecilnya adalah sistem seperti Katy. Home Automation. Setiap rumah memiliki program yang diperuntukkan untuk membantu urusan rumah tangga. Katy adalah kepala program yang mengatur Home Automation, mengendalikan semua perangkat elektronik bergelombang radio dengan hanya perintah sederhana dari Mikasa.
Ia hidup di masa puncak kejayaan teknologi, di mana tidak mustahil untuk mengukur dan menganalisa keadaan mental, kepribadian, bakat, hingga ke kemungkinan bila seseorang akan melakukan tindakan kriminal secara instan dengan menginstal sebuah alat ke dalam tubuh setiap penduduk ketika mereka lahir. Dunia di mana ketetapan pikiran seorang manusia dan kecondongan kepribadian mereka dapat dihitung. Hasil semua kecenderungan itu dicatat dan dijaga. Dan hitungan angka yang digunakan untuk menilai jiwa seseorang itu diberi nama Psycho-Pass.
Sebuah master program membaca semua Psycho-Pass aktif, memantau semua aktifitas mental penduduk, membaca semua potensi baik-buruknya seseorang lewat pikiran mereka. Sistem itu dinamakan Sybil.
Singkatnya, Sybil mengatur kehidupan mereka. Sybil pulalah yang membuat Mikasa mengambil pekerjaan sebagai Inspektur di CID (Criminal Investigation Department) di biro keamanan publik London, satu di antara jenis pekerjaan yang Sybil anggap cocok dengan Mikasa. Well, sebenarnya Mikasa bisa bekerja di segala departemen, Sybil sendiri memastikan hal itu. Tetapi ia mempunyai alasan tersendiri untuk memilih pekerjaan di MWPSB, alasan yang mau tidak mau harus ia terima.
Saudara angkatnya, Eren Jaeger, adalah salah seorang Enforcer di MWPSB. Dan itu bukan hal yang bagus.
Istilah Enforcer sendiri tidak memiliki makna yang agung seperti kedengarannya. Enforcer adalah detektif, sama seperti Inspektur. Yang menjadi persoalan adalah 'siapa' saja Enforcer ini, dan bagaimana seseorang bisa menjadi seorang Enforcer.
Enforcer adalah sebutan untuk seorang Latent Criminal (seseorang yang memiliki potensi kriminal tersembunyi, dan ya, Sybil bisa membacanya) yang angka Crime Coefficient Index (Penunjuk Koefisien Kejahatan)-nya mencapai level yang tidak bisa ditolerir (tebak siapa yang menghitung? Ya. Sybil) tanpa kemungkinan untuk bisa pulih, walaupun dengan menjalani terapi pemulihan mental. Menjadi seorang Latent Criminal artinya ia harus dijauhkan dari publik. Sybil menjamin kehidupan yang aman bagi penduduk, dan seseorang dengan Crime Coefficient di atas normal adalah ancaman.
Saudara angkatnya telah divonis sebagai seorang Latent Criminal, sejak lahir.
Normalnya, seseorang dicap sebagai Latent Criminal ketika keadaan mendesak mentalnya hingga Crime Coefficient-nya naik melampaui batas yang diperbolehkan, bisa ditimbulkan stress, depresi, atau tekanan mental lainnya. Tetapi tidak dengan Eren. Ia memang terlahir sebagai seorang Latent Criminal.
Dan satu-satunya jalan agar seorang Latent Criminal bisa kembali ke publik dan menjadi bagian dari sistem sosial adalah dengan menjadi seorang Enforcer, mengabdikan dirinya untuk masyarakat, menjadi penegak kebenaran. Well, tidak semua Latent Criminal bisa menjadi Enforcer, tentu saja. Sybil membaca potensi mereka. Dan mereka yang tidak berpotensi akan menghabiskan seumur hidup mereka di tempat rehabilitasi, atau dilenyapkan, itu harfiah.
Puji Tuhan Eren memiliki potensi itu, dan ia bisa kembali ke masyarakat setelah menjalani lima tahun masa rehabilitasi, mengikuti pelatihan dua tahun setelahnya, dan menjadi Enforcer di usia dua puluh tahun.
Tetapi ada satu hal yang tidak bisa membuat Mikasa tinggal diam. Lebih mengkhawatirkan dari angka Coefficient Crime-nya, kecerobohan Eren dan kecenderungannya untuk mencemplungkan diri ke dalam bahaya membuat Mikasa cemas melebihi apa pun. Karena itulah ia harus tetap berdekatan dengan pemuda itu, untuk menjaganya tetap aman, dan hidup.
Dan ketika Sybil menyarankan profesi Inspektur kepadanya, Mikasa mengambilnya tanpa berpikir dua kali. Walaupun itu artinya ia harus menempatkan Eren sebagai bawahannya (Enforcer bekerja di bawah komando dan wewenang Inspektur), dan ia tahu persis, Eren tidak menyukai hal itu.
Tetapi Mikasa adalah tipe keras kepala, sikap tidak bersahabat yang Eren tunjukkan setelahnya sama sekali tidak membuatnya mundur. Lagi pula Mikasa tahu benar mengapa Eren bersikap demikian. Bukan karena iri. Saudaranya hanya tidak suka melihat Mikasa mengambil pekerjaan yang beresiko dan penuh bahaya. Ketika kecil Eren pernah membuat janji, ia akan selalu melindungi Mikasa, dan fakta bahwa justru kebalikannya yang terjadi tidak lantas membuat Eren senang, tentu saja.
Mikasa menghembuskan napas lelah, mematikan keran shower dan mengambil handuknya yang tergantung di ujung kamar mandi.
Sang Inspektur CID memakan sarapannya, sama sekali tidak antusias. Nyatanya ia bosan dengan makanan instan yang Home Automation-nya sediakan. Katy tidak menyiapkannya langsung, tentu saja. Ada mesin pembuat makanan di dapurnya. Katy hanya tinggal menjalankan programnya.
Mikasa mengakuinya, walaupun dia bukan juru masak ulung, bahwa tidak ada yang bisa menandingi masakan yang dibuat dengan tangan. Terutama buatan mendiang ibu angkatnya yang dulu tinggal di Cardiff.
"Katy, nyalakan berita untukku. Ramalan cuaca." katanya, sembari membetulkan posisi handuk di kepalanya yang basah. Ia mendengar Katy menurut, dan sebuah layar hologram muncul di udara, melayang di atas meja dapur.
Ia tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan wanita cantik bersetelan di layar. Mengetahui bahwa nanti malam akan turun hujan lebat sudah cukup baginya.
Bayangan di cerminnya menatapnya balik, memperlihatkan Mikasa yang telah rapi dengan kemeja putih dan blazer hitam polos namun modis yang ia pakai di atasnya, juga rok span selutut berwarna senada. Rambut hitam sebahunya telah ia sisir rapi, wajahnya dipoles make-up tipis. Hanya tinggal memakai pantofel, dan ia siap berangkat menuju gedung MWPSB, menjalankan tugas kesehariannya sebagai Inspektur di sana.
Kemudian, Suitcase Box—alat komunikasi mirip arloji—yang melingkar di pergelangan tangan kirinya berbunyi dengan nyala kelap-kelip lampu biru. Muncul kotak hologram kecil dengan simbol telepon klasik dan deretan tulisan berbunyi 'Enforcer Levi Rivaille's Calling'. Mikasa menyentuhnya lembut, dan layar hologram yang lebih besar muncul setelahnya.
Sebuah potret lelaki bertampang ketus terpampang di sudut kiri layar, juga deretan informasi biodata di panel sebelahnya. Mikasa mendengus kesal.
"Ada apa?" tanyanya, kemudian menunggu sang Pemanggil membalas. "Sebaiknya kau punya alasan bagus untuk menghubungiku sekarang, Levi."
Grafik equalizer pembaca nada Suitcase Box bergerak naik turun begitu suara rendah khas yang dikenal Mikasa dengan baik mengalun, "Aku punya alasan bagus, beberapa. Pertama, kita adalah atasan dan bawahan. Kedua, kautahu benar jika seseorang sepertiku tidak boleh dibiarkan berkeliaran sendirian, bahkan untuk sekedar berangkat ke tempat kerja. "
Mikasa terdiam.
"Kau belum berangkat, 'kan? Aku butuh tumpangan ke MWPSB. Dan kita perlu bicara."
Mikasa memutus sambungan, mengambil napas panjang dan menghembuskannya lelah, kemudian menyambar tas tangannya yang ia taruh di atas meja rias.
Lima menit menunggu di parkiran, sebelum akhirnya seseorang muncul dari balik gang, berjalan mendekati SUV hitam di mana Mikasa sekarang berada. Sang Inspektur menekan tombol pembuka kunci di panel layar sentuh di setir mobilnya. Kaca jendelanya yang gelap menurun terbuka, memperlihatkan sosok bersetelan hitam yang ia pakai secara serampangan. Jasnya tidak ia kancingkan, satu kancing paling atas di kemeja putihnya ia sisakan, dan dasi merah darahnya ia biarkan terpasang longgar di kerah.
"Masuk," katanya.
Yang membuat Mikasa mengerutkan dahi, pria itu malah berjalan memutari mobilnya, membuka pintu di samping kursi pengemudi (kursi yang kini Mikasa tempati) dan menjulurkan kepalanya ke dalam. "Pindah, biar aku yang mengemudi."
Mikasa menarik sudut-sudut mulutnya protes, namun menurut. Tatapannya ia paku kedepan, lengannya ia sidekapkan di dada.
Pria di sebelahnya mendengus. "Ternyata kau serius dengan ucapanmu tentang tidak akan sudi menatapku lagi, sedihnya."
Mikasa bertekad untuk tetap bungkam, hingga hidungnya mencium aroma menyengat tembakau yang menguar. Tanpa bisa ia cegah, Mikasa mengalihkan perhatiannya ke pria di sebelahnya, mengernyit ketika mendapatinya tengah menempelkan ujung batang rokok yang setengah habis ke mulutnya.
Mikasa mendesis. "Kau merokok lagi?"
Sepasang mata biru tumpul balik menatapnya. Mata yang terlihat tajam bahkan ketika pemiliknya tidak berniat untuk membuatnya demikian. Ia bergumam tidak jelas, mengiyakan, sembari mengalihkan tatapannya ke depan kembali, membelokkan kemudi untuk kembali memacu SUV-nya melaju di jalan raya. "Seperti yang kaulihat."
Mikasa membuka mulut, berbagai macam omelan sudah siap ia lontarkan. Tetapi pada akhirnya ia menelan semuanya kembali, kemudian menimpali dengan nada yang ia buat sedatar mungkin. "Kupikir kecanduanmu sudah sembuh setelah terapi, nyatanya kebiasaan burukmu masih belum hilang. Kau payah, Levi."
"Kebiasaan susah dihilangkan," timpal sang Pria, Levi Rivaille, itu namanya. "Ah, tidak. Bukan seperti itu, aku hanya tidak mempunyai motivasi untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini."
Sang Inspektur mendengus. "Tidakkah ada di antara kekasih-kekasihmu yang bisa memberimu motivasi?"
Levi menghembuskan napas, meniup asap rokok keluar dari mulutnya, menyisir rambut hitam gelapnya dengan jari. "Tidak, mereka tidak mau repot mengurusi kesehatanku selama mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku." Ia menjawab enteng, mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan. "Mereka tidak sepertimu."
Mikasa mendeliknya tajam. "Apa kau sedang menggodaku?"
Levi balas menatapnya, sebelah alisnya terangkat. "Bagaimana kalau kujawab 'iya'?"
Mikasa tersenyum, dengan cara yang ia buat sesarkastik mungkin, menghiraukan panas yang kini menjalar di pipinya. "Kau pria pendek brengsek …"
"Dan kau jatuh cinta kepada pria pendek brengsek ini, dan malangnya," Levi menatap kemudi, kemudian menjejalkan rokoknya yang telah habis ke asbak di dashboard. "Si Pria Pendek Berengsek ini juga jatuh cinta kepada wanita dingin keras kepala di sebelahnya."
Hening. Hingga Mikasa memutuskan untuk mengambil napas panjang, "Cara yang payah untuk meminta rujuk." Katanya, tersenyum pahit.
Levi mengangkat bahu, "Setidaknya aku telah mencoba."
"Jadi, bagaimana hasil konsultasinya?"
Mikasa mengalihkan perhatiannya dari langit yang mulai mendung, kembali ke Levi yang kini mengaktifkan sistem kemudi otomatis kendaraannya, menghisap batang rokoknya yang ke dua.
Mikasa menghela napas. "Jadi ini kegiatanmu setelah kita putus? Menguntit gerak-gerikku?"
"Aku tidak bisa melakukan apa-apa," Levi menjawab. "Aku seorang detektif."
"Aku juga," Mikasa menimpali sengit. "Walaupun tidak seveteran dirimu."
"Bagaimana hasilnya?" Levi mengulang pertanyaannya, menghiraukan sikap ofensif Mikasa. "Aku khawatir."
Mikasa memejamkan mata, mengingat sesi-sesi pertemuannya dengan psikiater beberapa minggu kebelakang. "Bagus," ia menjawab, kemudian tertawa hampa, menyadari tidak ada gunanya untuk berbohong saat ini. "Tidak bagus, sebenarnya. Aku di ujung tanduk, Levi."
Levi menatapnya, terlihat begitu genting hingga ia berhenti menghisap rokoknya. "Seberapa buruk?"
Mikasa meliriknya, tersenyum tanpa harus membuatnya terlihat sarkastik. "Jadi kau benar-benar mengkhawatirkanku?" ia tidak perlu mendengar jawaban Levi, karena pria itu kini menyentuh jemari Mikasa dengan jemarinya sendiri. "Seminggu yang lalu warna Psycho-Pass-ku keruh, dan Crime Coefficient-ku mendekati 100. Terapi yang diberikan psikiater membantuku stabil kembali, tetapi aku ragu ini akan berlangsung lama. Aku terus berpikir—"
"—Kalau begitu berhentilah berpikir." Levi memotong. "Jangan berakhir seperti diriku, Mikasa."
Nada suara Levi memaksa Mikasa untuk menatap pria itu tepat di mata. Jangan berakhir seperti diriku … ia pernah mendengar kalimat yang sama persis sebelumnya. Dari orang yang berbeda. Dari Eren.
Mikasa tidak tahu apakah ia harus menganggap hal ini lucu atau ironis. Ia mendapat peringatan yang sama, dari sama-sama Enforcer. Maksud dari peringatan mereka mudah ditebak, mereka tidak ingin Mikasa mengalami nasib yang sama dengan apa yang menimpa dua pria paling penting dalam kehidupannya. Mereka tidak ingin Crime Coefficient Mikasa melonjak ke tahap berbahaya, di atas segalanya, mereka tidak ingin Mikasa menjadi seorang Latent Criminal.
Tetapi beban yang menekan mental Mikasa akhir-akhir ini membuatnya ragu, apakah ia bisa menjaga pikirannya tetap bersih dengan level stres yang tidak stabil.
"Jadi, kau mulai 'mempertanyakan hal'," kata Levi. "Aku sudah memperingatkanmu, mungkin Eren juga telah melakukan hal yang sama terhadapmu, bahwa bekerja di MWPSB hanya akan mengotori pikiranmu dengan segala kasus kriminal itu. Bekerja di CID di mana kau berurusan dengan kejahatan setiap waktu bukanlah cara yang bagus untuk menjaga mentalmu tetap stabil."
Mikasa menarik napas panjang. "Aku baru setahun menjadi Inspektur, mungkin aku hanya belum terbiasa—"
"—Ini bukan soal kau terbiasa atau tidak, kriminalitas bukanlah hal yang bisa kaupatok kadar toleransinya." Levi menukas, matanya terpaku lekat kepada Mikasa. "Semua kejahatan itu kejam, ringan atau berat, dan akan semakin buruk seiring dengan semakin lama kau berurusan dengannya. Dengan mempelajari bagaimana kejahatan tercipta, bagaimana motif di balik siapa pun itu yang melakukannya, kau hanya akan menemui kebusukan dan kebusukan. Dan hati manusia bukanlah sistem konstan seperti apa yang para ilmuwan kita ciptakan. Hati manusia tidak bisa diterka, apa yang kita rasakan tidak bisa diatur seperti Home Automation. Hati kita merasakan. Yah, kecuali jika kau makhluk berdarah dingin."
"Tetapi aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk menjadi seorang detektif, sungguh." Mikasa menggenggam jemari yang menyentuhnya. "Tidak ada yang salah dengan itu."
"Tidak, tentu saja tidak ada yang salah, Mikasa. Yang menjadi persoalan adalah sistem yang kini mengatur kita." Levi mengambil jeda. "Coba ceritakan apa pendapatmu tentang Sybil."
Mikasa mengerutkan dahi. "Sybil? Sistem yang mengatur kehidupan di negara ini?"
"Terlalu mengatur, lebih tepatnya." Rivaille meralat. "Sybil yang menawarimu pekerjaan ini, bukan? Menurutnya pekerjaan ini cocok untukmu—tidak, menurutnya pekerjaan ini pantas denganmu. Awalnya Sybil juga melakukan hal yang sama kepadaku. Dengan membaca potensiku lewat Psycho-Pass, juga menimbang hasil tesku, Sybil menawarkan pekerjaan ini untukku. Begitu juga orang lain dengan profesi mereka. Tetapi," Rivaille menarik napas. "Tidak perahkah kau berpikir jika seseorang mempunyai profesi impian selain apa yang disarankan Sybil kepadanya?"
Mikasa mengingat teman baiknya, Mina Carolina, yang menangis semalaman di apartemennya setelah menerima pesan dari Sybil di Suitcase Box-nya. Ia ingin bekerja di Departemen Tinggi, tetapi Sybil merekomendasikan pekerjaan yang dinilai hanya cocok dengan kompetensinya. Pekerja kantor, urusan administrasi.
"Ya, di negara ini Sybil mengatur segalanya, bahkan Perdana Menteri pun tidak menjabat karena aspirasi rakyat, tetapi karena Sybil yang memilihnya. Sybil adalah hukum—tidak, Sybil adalah Tuhan." Levi mengatakan kalimat terakhirnya, pahit. "Ketika aku menyadari hal itu, aku juga mulai mempertanyakan hal. Dan ketika kau mulai mempertanyakan hal, secara naluri kau mulai mencoba memilah mana yang baik dan buruk. Tetapi, ketika kau tidak bisa melakukannya, ketika kau tidak tahu apa yang harus kau anggap benar, kau tidak akan sampai di mana pun, kecuali mempertanyakan hal lagi, tidak berujung, seperti terjebak dalam lingkaran setan. Lalu, tanpa menyadari apa yang terjadi di sekitarmu, warna Psycho-Pass-mu mengeruh, Crime Coefficient-mu naik, dan dengan cepat kau berubah menjadi seseorang yang harus sistem singkirkan. Menjadi seorang Latent Criminal. Itulah yang tepatnya terjadi kepadaku."
Benar. Mikasa tahu sejarah mantan kekasihnya. Levi awalnya adalah seorang Inspektur CID, sama sepertinya. Tetapi, karena satu hal—Mikasa tidak tahu apa persisnya, dan tidak sempat mencari tahu karena hubungan mereka terlanjur memburuk setelahnya—Crime Coefficient Levi naik ke tahap yang tidak bisa dipulihkan, menjadi seorang Latent Criminal, dan pada akhirnya, menjadi seorang Enforcer.
"Dan sekarang inilah aku, seseorang yang tidak diinginkan sistem, seorang kriminal, hanya karena Crime Coefficient-ku naik gila-gilaan." Levi terkekeh, hampa. "Mereka berkata Enforcer adalah sekumpulan orang rusak yang diizinkan keluar untuk sebuah tujuan, untuk memberangus kriminal lain, ketika seharusnya kami di isolasi karena Sybil mengatakan demikian. Kami adalah anjing pemburu. Kami adalah hewan buas yang digunakan untuk memburu hewan buas, menangani pekerjaan kotor seperti membunuh target kriminal untuk kalian para Inspektur, pemilik kami."
"Tetapi aku tidak pernah menganggap kalian seperti itu," Mikasa menukas cepat-cepat. "Saudaraku adalah salah satu dari kalian, dan—" Mikasa merasakan wajahnya memanas hanya dengan memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya, "—Dan aku tidak akan melakukan seks dengan seseorang yang kuanggap anjing peliharaan."
Levi menatapnya lagi, kemudian tersenyum dan mendengus bersamaan. "Kau jelas tahu bagaimana cara menaikkan mood-ku, Nona Inspektur. Seandainya kita bertemu lebih awal, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang Latent Criminal."
Mikasa tertawa kecil. "Kau boleh menyesalinya sesukamu, tetapi itu tidak akan merubah fakta jika kita telah putus."
Levi berdecak. "Iya, terserah kau saja." Katanya datar, "Aku hanya berpesan supaya kau lebih berhati-hati mulai sekarang. Jangan berpikir terlalu banyak. Pikirkan hanya hal yang menyenangkan saja. Jalani kehidupan yang bahagia dengan tuntunan Sybil."
Mikasa menghembuskan napas panjang. "Bukan hal yang mudah, tetapi akan kucoba."
Levi mengangguk.
"Dan satu lagi, tolong jangan katakan apa pun tentang kondisiku kepada Eren."
High Ministry Department Building, 13.45. 6 jam sebelum ledakan
Departemen Keamanan menempati lantai 21 di gedung Kementrian. Mikasa dan Levi kini tengah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke sana, saling mendiamkan satu sama lain.
Begitu mereka mencapai koridor, mereka sepakat untuk mengambil arah yang berbeda. Mikasa langsung mengambil jalan menuju ruang pantau tempatnya bertugas, sementara Levi, ia tahu benar, tengah menuju ruang kepala biro keamanan seperti yang biasa ia lakukan. Ia dan kepala Biro, Erwin Smith, adalah teman dekat, walaupun status Levi saat ini sebagai seorang Enforcer dipermasalahkan sistem jika ia terus menjalin hubungan yang bersifat sentimental dengan atasannya. Levi hanya cukup membuat alasan jika ia hanya mengikuti tuntutan profesionalisme.
Tetapi Mikasa tahu benar, alasan yang sebenarnya jauh lebih kompleks.
Alasan yang membuat Mikasa cemburu setengah mati.
Dulu, Levi dan Erwin Smith adalah sepasang kekasih. Levi telah terbuka mengenai orientasinya kepada Mikasa di awal hubungan mereka. Mikasa bisa menerimanya, ia tahu hal semacam itu bukanlah sesuatu yang tabu di masa sekarang. Dan keterbukaan Levi justru memberinya kepercayaan. Ia tahu Levi mencintainya. Mikasa adalah wanita pertama yang lelaki itu cintai. Dan Levi membuktikannya.
Tetapi suatu malam di beberapa minggu terakhir memutarbalikkan segalanya, ketika Mikasa melihat Levi di sebuah bar, berciuman, dengan seorang pemuda.
Seketika Mikasa tahu, bahwa selama ini ia hanya mengejar mimpi yang delusional.
Setelahnya mereka berbicara empat mata, jujur dari hati ke hati. Levi meminta kesempatan ke dua, tetapi Mikasa tahu jika ia menuruti pemintaan sang Enforcer, ia hanya akan menambah tekanan batin kepada Levi, juga kepada dirinya sendiri.
Alasan sejujurnya, Mikasa takut. Ia takut Levi tidak bisa sepenuhnya mencintainya. Dan jalan terbaik yang bisa ia pikirkan ketika itu adalah mengakhiri hubungan mereka, membiarkan Levi bebas dengan keiinginannya sendiri.
Setelahnya, Crime Coefficient Mikasa melonjak. Stres karena pekerjaan memang pemicunya, tetapi bohong jika ia mengatakan gagalnya hubungannya dengan Levi tidak punya andil sama sekali.
Mikasa menghentikan langkahnya, ia berbalik, dan mendapati punggung Levi yang kian menjauh.
Ruangan tempatnya bekerja adalah sebuah bilik yang dipenuhi meja-meja titanium dan monitor-monitor besar yang terpasang di setiap unit. Masing-masing meja diperuntukkan untuk semua Inspektur dan Enforcer. Mikasa melihat dua dari mereka, duduk di sisi berseberangan, saling membelakangi. Yang satu adalah pemuda berambut sewarna jerami, perawakannya tinggi tegap, ramping, namun otot-ototnya terbentuk dengan baik, setelan biru gelap yang ia pakai tidak terlalu menyembunyikannya.
Yang satunya lagi adalah saudaranya, Eren Jaeger, dengan postur tubuh tidak terlalu berbeda dengan pemuda di belakangnya. Ia terlihat tengah mengacak rambut cokelat gelapnya dengan jari, matanya terpaku kepada monitor di hadapannya. Bermain game.
"Oh, Man," Mikasa melihat Eren menghempaskan punggung ke kursi, lengannya terkulai ke samping, kepalanya mendongak, menatap langit-langit. "Aku bosan sekali."
"Kau sudah mengatakannya beberapa kali," pemuda di belakang Eren berkata, sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari katalog otomotif yang tengah ia buka halaman per halamannya. "Cari kegiatan lain, hibur dirimu sendiri. Jangan menggangguku."
Eren mendecih. "Sok penting lagi," ia menggerutu. "Hey, Muka Kuda, cepat hi—"
Kata-kata Eren terpotong ketika akhirnya ia menyadari keberadaan Mikasa di sekitarnya. Mereka bertatapan sekilas, dan Mikasa melihat jika Eren masih acuh tak acuh kepadanya, mata hijaunya masih terasa dingin untuknya. Pemuda itu membuang muka, bahkan sebelum Mikasa sempat melempar senyum kepadanya.
Mikasa menghela napas.
"Kauingin aku melakukan ap—oh, hai, Mikasa!"
Sang Inspektur menatap pemuda yang kini tersenyum lebar kepadanya. "Hai, Jean." Mikasa balas tersenyum. "Bagaimana hari ini?"
Pemuda yang dipanggil Jean itu mengangkat bahu. "Seperti yang kaulihat, kami santai sepanjang waktu. Si Dungu ini malah bermain game seharian." Ia menunjuk Eren, yang dibalas oleh si rambut cokelat dengan delikan garang. "Akhir-akhir ini keadaan berlangsung damai, tidak ada tanda-tanda fluktuasi Psycho-Pass yang berarti, orang-orang terlihat bahagia, betapa indahnya." Jean meludahkan kalimat terakhirnya getir. Mikasa bisa mengerti sarkasme yang terkandung di dalamnya. Sarkasme seorang Enforcer. "Kau sudah datang, jadi kurasa kami sudah bisa pulang." Jean menggeliat, meregangkan tangan di atas kepalanya. "Shift hari ini berakhir dengan tenang."
Mikasa mengangguk kecil, menaruh tas tangannya di mejanya. "Hm, kau dan Eren bisa pulang. Omong-omong, aku tidak melihat Inspektur Rico."
"Kemungkinan besar dia sedang berada di ruangan Chief Erwin," jawab Jean. "Kalau begitu aku pamit, selamat bertugas." Jean memberinya hormat dengan tangan sembari nyengir lebar. "Hey, Eren! Cepat benahi barang-barangmu! Kita pulang."
Eren berdecak. "Sejak kapan kau berani memerintahku?" ia meraih tasnya dan menyampirkannya di bahu. Kemudian ia berlalu, tanpa sekalipun melihat ke arah Mikasa.
Sang Inspektur menarik napas panjang.
Aku tidak apa-apa. Ia berkata kepada dirinya sendiri. Ini bukan apa-apa. Tidak perlu dikhawatirkan, cepat atau lambat Eren akan mengerti.
Sebisa mungkin hindari stress dan konflik batin yang bisa menekan mentalmu. Sebagai Psikiater aku hanya bisa memberi nasehat, selebihnya terserah kepadamu, Mikasa …
Mikasa meraih kursinya, duduk dengan tidak nyaman sembari membuka tas tangannya. Ia mengeluarkan botol kaca berisi kapsul-kapsul putih dari dalamnya.
Aku sarankan kau untuk sering-sering bermeditasi, dan aku akan memberimu resep, perhatikan dosisnya…
Ia tersenyum pahit, bertanya-tanya dalam hati kapan tepatnya ia mulai bergantung kepada obat penenang.
15.01. Lima jam sebelum ledakan
To be Continued
Kangen nulis buat RivaMika, hoho …. Ga tahan buat nulis ini setelah selesai nonton Psyco-Pass maraton sampai episode terakhir.
Tadinya mau buat OS. Tapi setelah dikerjakan ternyata panjang banget. Akhirnya diputuskan untuk jadi twoshots. Chapter 2-nya sedang dikerjakan, mungkin 3-4 hari lagi bisa selesai.
Um, semoga yang belum nonton Psycho-Pass bisa ngerti apa yang saya tulis di sini, ya? Saya udah berusaha supaya bisa dimengerti, tapi ga tahu hasilnya gimana wkwkw
Kritik dan sarannya selalu saya nanti.
Sampai jumpa xD
Lembang, 02/02/2014
Clarione
