.
.
Title : Heart Gata Virus
Disclaimer : Kamichama Karin© Koge Donbo
HEART GATA VIRUS © ASHARINCHAN
Rated : T
Genre : Romance & Humor
Warning
ALUR KENCENG, GAK NYAMBUNG, ALUR GAK SESUAI JUDUL, TIDAK MENARIK, TIDAK MENGESANKAN, OOC, GAJE, IDE CERITA PASARAN, TYPO MENYEBAR KEMANA-MANA, DE EL EL.
SUMMARY : Bagaimana rasanya teman yang suka membuatmu jengkel, kesal, sebal, marah, adalah orang yang membuatmu belajar apa arti dari sebuah 'perasaan'?
.
.
.
SELAMAT MEMBACA FIC GAJE BIN ANEH INI
.
.
.
"KAZUNEEEEE! KAMU YA YANG NAROH PERMEN KARET DI KURSI AKU?"
Terdengar suara baritone yang khas berteriak melengking di indra pendengaran seorang pemuda bersurai blonde. Ia hanya bisa menutup kedua indra pendengarannya kalau si 'cempreng' ini berteriak.
"BISAKAH KAU TUTUP MULUTMU?!"
"AKU TIDAK AKAN TUTUP MULUT SAMPAI KAU MENGAKU! KAU KAN YANG NAROH PERMEN KARET YANG MENJIJIKAN ITU DI KURSI AKU?" teriak Karin—lagi.
Mereka saling beradu mulut tanpa seorangpun bisa mengelerai mereka. Lihat saja, hanya mereka berdua yang ada di dalam kelas. Kemana yang lainnya? Oh, mereka sudah biasa dan bisa di katakan bosan mendengar dan melihat pertengkaran adu mulut dari dua manusia itu. Setiap hari ada saja yang mereka ributkan. Entah itu apa. Bahkan, masalah sepele saja harus di selesaikan oleh banyak orang. Ya, Kazune dan Karin sangat terkenal di sekolah yang elit itu. Baik itu junior, senior, bahkan hingga sampai guru-guru dan pihak sekolah pun tahu tentang itu.
Akhirnya salah satu dari mereka sendiri pun yang menghentikan pertengkaran itu. Karin duluan beranjak pergi dengan kaki yang ia hentak-hentakkan tiap langkahnya, yang menandakan bahwa ia sedang kesal. Begitu ia sudah keluar kelas, Karin langsung nyerocos ke kantin, menyelip antrian, mengambil makanannya lalu menghampiri sebuah meja. Di meja itu sudah di duduki oleh tiga orang gadis cantik yang tengah duduk manis seraya memakan makanan mereka masing-masing. Tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah Kujyo Himeka, Kujyo Kazusa dan Miyon Yii.
BRAK.
Karin menggebrak meja tersebut lalu meletakkan nampan makanannya dengan kasar. Sontak tiga gadis yang bernotabene sahabat Karin terkejut seketika melihat tingkah Karin yang bisa saja jika orang memiliki penyakit jantung bisa jantungan. Karin menarik kursinya lalu duduk dengan cara menghempaskan pantatnya ke tempat duduk tersebut.
"Bertengkar lagi, ya?" celetuk Miyon seraya menyesap orange juice miliknya. Ia membuat ekspresi wajahnya dan intonasinya sedatar mungkin.
"YA!" bentak Karin yang masih berapi-api tersebut. Ia pun mengambil pisaunya lalu memotong makanannya dengan kasar.
"Onii-san memang begitu," tambah Kazusa pelan.
BRAK.
Karin menggebrak meja itu lagi seraya berdiri dari tempatnya sehingga membuat seluruh pasang mata yang berada di kantin tersebut tertuju padanya.
Himeka yang mendengarnya saja langsung tersedak.
"Si kepala kuning itu seenak jidat saja menaruh permen karet dikursiku! Emangnya enak duduk diantara permen karet yang sudah dikunyah itu! Lihat saja kau! Awas kau kepala kuning!" teriak Karin lalu ia duduk kembali dan memakan makanannya dengan—anggunnya.
Miyon, Kazusa, dan Himeka melongo atas perubahan sikap Karin yang cukup drastis. Masa sih? Marah-marah gak jelas terus saat kembali duduk manis ia memakan makanannya dengan anggun seakan tidak terjadi apa-apa padanya. Benar-benar gila tuh anak.
Selesai makan, Karin langsung beranjak pergi tanpa berpamitan sedikitpun dengan sahabatnya yang masih menghabiskan makanan mereka. Karin benar-benar murid yang teladan. Telat datang pulang duluan.
TENG… TENG… TENG…
Terdengar bel sekolah berdentang tanda pelajaran telah usai. Setelah sepersekian detik bel tersebut berdentang, Kazune langsung pergi nyerocos keluar begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun (?)eh.
Kemudian di susul Karin. Sesaat Karin baru saja keluar dari ruang tahanan (?)—ia langsung disambut manis oleh kedua adik perempuan Kazune yang baik hati, pintar, rajin menabung dan tidak sombong(?).
"Hi, Karin-chan! Konnichiwa!" sapa Himeka dengan lembutnya.
"Hi," jawab Karin cuek dengan sesingkat mungkin, sejelas mungkin, dan sepadat mungkin (?).
Karin langsung pergi begitu saja meninggalkan kedua perempuan yang bernotabene sahabatnya tersebut entah mengapa. Mungkin masih kesal.
"TADAIMAA!"
Teriak Karin dengan suara yang khas nya membuat gema seisi rumahnya. Ya, gadis yang menyandang marga keluarganya—Hanazono—sekaligus putri tunggal keluarganya hanya tinggal sendirian dirumah yang mewah ini.
"Okaeri,"
Wtf. Ada orang lain selain dirinya dirumah ini. Karin langsung pergi keasal baritone tersebut. Benar saja, ada orangtuanya sedang berbincang dengan orang lain tatkala Karin mendapati mereka diruang keluarga.
"Hi, Karin-chan!" sapa seorang wanita sebaya ibunya dengan riangnya.
"Nah, Karin, ini Suzuka, calon mertuamu." Ucap ibunya Karin.
"Hai Oba-sa—calon mertuaku?!" teriak Karin melongo tidak percaya yang membuat gema seisi rumah—lagi.
"Jaga sikapmu, Karin!" ucap ibunya Karin dengan sedikit membentak—mungkin.
"Dan ini calon tunanganmu, Karin. Dia—"
"KAZUNE?!" potong Karin berteriak tatkala melihat pemuda bersurai blonde tengah duduk disebelah —dengan smartphone yang kini ia mainkan.
"Ouh, jadi, kalian saling kenal?" tanya ibunda Kazune sedikit terperangah.
"KAZUNE NGAPAIN KAMU DISINI?!" sentak Karin masih tidak percaya.
"Karin, Kazune itu adalah calon tunanganmu! Bersikaplah lebih manis padanya!" perintah ibunda Karin membentak kesal.
"Tapi, Okaa-san. Umurku masih 17 tahun dan Kaa-san menjodohkan ku dengan si kepala kuning itu tanpa pemberitahuan dan persetujuan dariku terlebih dahulu?!" sentak Karin dengan volume lebih keras.
"Aku juga tidak mau bertunangan yang stylenya anak TK seperti dirimu." jawab Kazune dingin yang sukses membuat ibundanya mencubit lengan anaknya. "Ittai, Kaa-san!"
"Kaa-san tidak mau tahu, mulai detik ini, kalian adalah sepasang tunangan! Titik! Dan satu lagi, Kaa-san harap kamu akan merubah sikapmu lebih manis lagi, sayang." Ucap ibunda Karin seraya mengambil tasnya lalu beranjak.
"Ayo Suzuka, kita pergi." Ajaknya menarik tangan pergi keluar rumah tersebut.
"Ayo. Oh ya, tunggu sebentar. Karin, Kazune, ingat nanti malam kita bertemu untuk makan malam di tempat seperti biasa."
"Dan, satu lagi. Kazune, mulai sekarang kau tinggal disini. Aku tak tahu sudah berapa lama membiarkan Karin tinggal dirumah sebesar ini. Ku harap kau mengerti maksudku. Kamarmu ada di lantai dua. Bersenang-senanglah!"
"Ja!"
Sesaat kedua wanita itu pergi. Karin langsung melempar bantal sofa kearah pemuda yang masih saja terfokuskan dengan smartphone miliknya. Lemparan yang bagus, Karin. Bantal itu mendarat mulus tepat diwajah tampan milik pemuda tersebut.
"APA, KARIN?!" sentak Kazune.
"Aku benci dirimu!" jawab Karin lalu pergi seraya menyeret tasnya dengan gontai. "Aku benci hidupku," ucapnya mengeluh.
Malam haripun tiba. Karin, Kazune, dan kedua orangtua mereka masing-masing tengah makan malam bersama disebuah restoran yang katanya restoran mewah dan berkelas tersebut adalah milik perusahaan Kazune itu sendiri.
Kedua orangtua mereka sibuk berbincang-bincang mengenai perjodohan tersebut dan tentang perusahaan mereka. Sedikit informasi, orangtua Karin memiliki perusahaan perhotelan berbintang yang sudah memiliki cabang-cabang yang menjalar diseluruh belahan dunia. Selain bisnis di bidang perhotelan, ibunda Karin juga membuka butik kelas atas yang sudah dikenal oleh banyak masyarakat luas, baik itu didalam negeri maupun luar negeri. Produk-produk butik itu pun rancangan dari ibunda Karin sendiri. Sudah bisa disimpulkan bahwa ibunda Karin adalah seorang perancang busana atau yang biasa disebut designer.
Sedangkan orangtua Kazune mempunyai perusahaan di bidang otomotif. Selain itu, ayah Kazune memiliki puluhan rumah sakit atas namanya yang tersebar diseluruh penjuru Negeri Sakura. Mereka juga membuka restoran yang berkelas. Ibunda Kazune juga menjual alat-alat kosmetik berkelas atas nama dirinya.
Di saat kedua orangtua mereka tengah sibuk membicarakan masalah perusahaan mereka dan perjodohan tersebut, Karin dan Kazune sibuk sendiri. Bahkan, Karin kehilangan selera makannya karena terlalu memikirkan perjodohan ini. Ia hanya memainkan sendoknya saja sedari tadi. Bagaimana bisa? Seorang Kujyo Kazune yang selalu membuatnya jengkel, kesal, sebal, dan bahkan ia sampai benci padanya, adalah seorang pemuda yang sudah menyandang status 'tunangan' padanya? Benar-benar tidak bisa dipercaya!
Sedangkan Kazune, sedari tadi pemuda itu hanya focus dengan smartphone miliknya. Entah apa yang menarik dari ponselnya hingga dari siang tadi tangannya tidak lepas dari ponsel tersebut.
"Kaa-san, apakah aku boleh pergi sekarang?" tanya Kazune yang baru saja menaruh ponselnya didalam saku celananya. Mungkin pemuda itu sudah bosan bermain dengan ponselnya.
"Kenapa kau bertanya begitu?" tanya ibunya dengan sedikit berbisik agar pembicaraannya tidak kedengaran oleh orang lain.
"Aku bosan," jawab Kazune pelan.
"Kalau begitu, kau boleh pergi, tetapi ajak Karin juga ya."
"Ayo pergi!" ajak Kazune menarik paksa lengan Karin yang membuatnya mengaduh kesakitan. Tidak, ia tidak mengaduh didepan orangtuanya. Ia hanya mengaduh dalam hatinya. Sungguh menyebalkan sekali pemuda yang satu ini.
"Sakit, Kazune!" sentak Karin sesaat mereka keluar dari restoran tersebut. Kini Kazune membawanya ke parkiran mobil.
Kazune yang mendengarnya lantas melepas genggaman tersebut lalu mulai menjauh dari Karin dan mendekati sebuah mobil sport. Mungkin mobil itu miliknya.
Terlihat Kazune membuka pintu mobil tersebut lalu menyalakan mesinnya. Karin hanya diam saja sedari tadi dan tidak berpindah tempat sedikitpun.
"Kau mau berdiri disitu saja atau mau masuk?" tawar Kazune dengan wajah dan nada yang ia buat sedatar mungkin.
"Dibanding masuk ke mobilmu, lebih baik aku berdiam diri saja disini sampai orangtuaku datang menghampiriku!" tolak Karin ketus.
Tiba-tiba hujan mulai turun dengan deras.
"Heh, kau yakin masih mau berdiri disitu?" tanya Kazune tersenyum miring.
"Ugh! Menyebalkan!" teriak Karin lalu ia berjalan dan memasuki mobil milik pemuda bermarga Kujyo tersebut.
Tercium aroma khas dari Kazune tatkala ia duduk didalam kendaraan mewah tersebut. Sport car tersebut pun melaju kencang setelah Kazune menancap gas dan meninggalkan daerah tersebut.
Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam dan tidak ada satu patah kata keluar dari mulut kedua manusia itu. Sesekali Karin curi-curi pandang melirik Kazune yang tengah terfokuskan dengan jalanan yang basah akibat hujan yang masih jatuh dan bahkan hujan tersebut makin kian menderas di iringi lajunya kecepatan mobil yang Kazune bawa.
Tiba-tiba mobil Kazune berhenti disuatu tempat. Karin pun melihat di sekelilingnya. Oh, yang benar saja, sebuah taman? Karin pun menoleh ke sampingnya, tepatnya pemuda yang kini tengah memainkan smartphone nya.
"Ku dengar kau menyukai suasana seperti di taman saat ini, jadi ku bawa kau kesini," ucap Kazune lirih.
Karin hanya bergumam tatkala ia melihat betapa indahnya taman tersebut. Karin terperangah.
"Keluarlah jika kau mau dan jangan berharap lebih padaku," tambah pemuda itu lagi kemudian terdengar suara game yang berasal dari ponsel miliknya.
Karin terdiam sejenak. "Diluar masih hujan,"
Kazune pun mengakhiri permainannya ketika terdengar suara 'game over' lalu menaruh ponselnya didalam saku celananya. "Dengar, jangan katakan kau setuju dengan perjodohan ini. Karena, aku—"
"Siapa bilang? Bahkan, aku saja masih tidak percaya dengan kenyataan ini. Aku masih 17 tahun dan apa yang Miyon katakan kalau sampai ia mendengar berita ini?!" potong Karin.
"Kalau begitu aku setuju denganmu,"
"Aku ingin semua ini cepat berakhir." Ucap gadis itu lalu menundukkan pandangannya.
"Hn,"
"Kazune, apakah kau ingin mengakhiri semua ini? Maksudku, apakah kau ingin memutuskan hubungan ini?"
"Sebenarnya begitu. Tetapi apa alasan yang masuk akal agar orangtua kita mau memutuskan perikatan ini? Karena kau masih 17 tahun dan kau belum menyetujuinya? Atau karena aku yang masih ingin focus pada pelajaran? Heh. Bahkan alasan yang masuk akal pun tidak akan didengar oleh orang tua kita. Dan itu hanya membuat repot saja. Apa kata orangtua kita kalau perjodohan yang baru saja diikatkan lalu kita memutuskan untuk mengakhirinya?" Terang Kazune panjang lebar.
Ucapan Kazune ada benarnya. Itu hanya akan menambah masalah saja apabila kalau itu benar-benar terjadi.
"Tapi aku tidak mau dijodohkan dengan si kepala kuning ini!" batin Karin pelan namun ucapannya terdengar hingga ke indra pendengaran Kazune.
"Apa kau bilang?! Hey, cewek TK, kau pikir secantik apa dirimu ini hingga kau tak sudi menjadi tunanganku?! Kau pikir hanya kau yang paling cantik didunia ini?!" bentak Kazune. Ia tersinggung dengan ucapan Karin yang sungguh menusuk itu.
Karin menghela nafas panjang. Pasrah, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Bagaimana ke depannya jika ia memiliki tunangan yang tidak mencintainya? Sungguh diluar batas pemikirannya. Ia merasa bersalah atas ucapannya tadi. Tetapi, disisi lain ia juga kesal dengan pemuda si kepala kuning ini. Ia benci pemuda itu dan ia benci hidupnya. Dunia begitu tidak adil. Orang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan memilih pasangannya sendiri. Sedangkan dirinya? Ia seperti boneka yang dipermainkan begitu saja dan seenak jidat saja dijodohkan dengan pemuda yang salah satu orang yang paling menyebalkan yang pernah ia temui seumur hidupnya.
Karin menghela nafas untuk kedua kalinya. Ia mengangkat pandangannya tatkala mendengar bahwa hujan mulai reda. Ia pun dengan cepat melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil tersebut. Melihat Karin yang sudah keluar dari mobil tersebut, Kazune pun dengan sigap menangkap gerak-gerik Karin—kalau saja gadis itu mencoba kabur dan pergi entah kemana.
Karin berjalan santai seraya menghirup udara malam yang segar akibat hujan yang cukup deras. Aroma dedaunan yang segar dan angin yang sejuk menyambutnya sesaat ia keluar dari kendaraan milik pemuda blasteran tersebut. Gadis itu pun menghampiri sebuah bangku taman yang sedang kosong lalu mendudukinya.
Iris emeraldnya menangkap sebuah papan iklan yang besar dan disana ada wajah seorang idola yang kini tengah naik daun dan tengah dibicarakan oleh banyak masyarakat. Jin Kuga, salah seorang idola Karin. Karin mulai mengenal Jin ketika Kazusa dan Himeka memperkenalkannya lewat sebuah music video dan disaat itu ia mulai jatuh hati pada seorang idola yang beriris mata kucing berwarna kuning yang disebut onyx tersebut.
Tiba-tiba ada seorang pemuda yang memakai jas hitam, berkacamata hitam, dan memakai topi hitam tengah lari berlalu di hadapan Karin. Satu hal yang membuat pandangan Karin teralih pada pemuda tersebut adalah pemuda tersebut secara tidak sengaja menjatuhkan dompetnya tepat di hadapan Karin.
"Um.. Tuan!" panggil Karin yang membuat langkah pria tersebut terhenti dan pria tersebut menoleh keasal baritone tersebut. "Apakah ini milik anda?" tanya Karin menghampiri lelaki tersebut seraya menyodorkan sebuah dompet berwarna coklat padanya.
"Ah, ya. Makasih." Ucap pria tersebut dengan buru-buru mengambil dompet tersebut lalu memasukkannya ke dalam jas hitamnya.
"Ano… Maaf, Tuan ini sebenarnya siapa, ya? Bukannya bermaksud apa-apa, tetapi, apakah anda tidak takut bila orang lain curiga bahwa anda disangka seorang teroris?" ucap Karin dengan hati-hati.
"Maukah kau menjaga rahasia?" tanya pria tersebut yang membuat Karin mengernyitkan alisnya.
Pria tersebut pun melepas topi dan kacamatanya hingga nampaklah wajah aslinya. Kedua bola mata Karin membulat lebar tatkala iris emerald miliknya bertemu dengan iris onyx milik pemuda tersebut.
"J-Jin?" gumam Karin tidak percaya. Saking masih tidak percayanya, ia saja gelagapan menyebut nama idolanya.
Pria yang di panggil Jin tersebut pun hanya terkekeh geli melihat reaksi Karin. "Tidak perlu berlebihan, nona. Ya, aku Jin Kuga."
"Jinn!"
Terdengar suara yang memanggil nama Jin—samar. Dengan cepat Jin menarik tangan Karin dan berlari meninggalkan taman tersebut.
Jin membawanya ke tempat dimana Karin tidak mengenali tempat tersebut. Pemuda itu membawanya menelusuri jalanan, perkomplekan, hingga gang-gang kecil mereka lalui. Hingga di saat sudah beberapa gang yang mereka lalui, dan keadaan terasa aman, Jin melepas genggaman tersebut dan menoleh kearah Karin. Wajah Karin pucat dan terdengar desahan nafasnya yang tidak teratur. Jin menyimpulkan bahwa Karin kelelahan.
"Kenapa… Hosh… Kau… Membawaku… Hosh… Kemari?" tanya Karin yang masih belum bisa mengatur nafasnya.
"Maafkan aku, nona. Tetapi, aku melakukan ini demi kebaikanmu. Banyak paparazzi diluar sana dan aku tidak mau ada kesalahpahaman diantara kita." Tukas Jin panjang lebar.
.
.
Disela itu…
GAME OVER.
"Argh. Kalah lagi!" geram Kazune lalu melempar ponselnya ke sembarangan arah.
Kazune kembali melirik Karin yang ia pantau sejauh matanya memandang. Lenyap. Karin sudah tidak ada di bangku tersebut! Iris safirnya membola tatkala itu juga. Sontak Kazune langsung turun dari sport car miliknya dan menghampiri tempat tersebut. Ia menebar pandangan di sekelilingnya dan tampaknya tidak ada bekas jejak-jejak. Kazune langsung lari mengitari taman tersebut dan berharap Karin masih di sekitar itu.
.
.
"Baiklah, aku paham. Jadi, sekarang kita ada dimana, Jin-san?" tanya Karin antusias.
Jin terdiam sejenak seraya mengatur nafasnya lalu melihat di sekelilingnya lalu kembali menatap wajah Karin. Pemuda bersurai hitam legat tersebut menggeleng.
"Jadi kau tidak tahu kita ada dimana?!" tanya Karin dengan volume tinggi.
"Sst! Kau jangan berteriak. Keberadaan paparazzi itu misterius! Mereka bisa saja sekarang tengah mengintip ataupun menguping kita!" ucap Jin seraya menempelkan jari telunjuknya didepan mulutnya.
Karin yang tadinya berjongkok kini berdiri dan ia berjalan mondar-mandir. Gadis bersurai brunette itu terlihat panic. Panic jika wartawan melihat dirinya yang kini tengah terjebak dengan idolanya. Ia juga panic kalau Kazune tidak bisa menemukannya. "Kazune, onegai, help me!"
Karin kembali terjongkok seraya memijat-mijat pelipisnya. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang.
.
.
Kazune sudah memutari taman tersebut lebih dari 5 kali dan belum ada tanda-tanda dari Karin. Bagaimana bisa Karin menghilang begitu saja dan setahu dirinya, Karin tidak tahu daerah-daerah disini. Atau Karin diculik? Bisa saja itu terjadi. Negara yang memiliki keamanan tingkat tinggi pun bisa terjadi konflik criminal. Takut? Tidak juga. Ia hanya khawatir jika orangtua Karin mengetahui hal ini dan akan menjadi masalah nantinya.
Kazune berjalan kearah mobilnya lalu ia mencoba merelaksasikan dan menenangkan pikirannya. "Pukul berapa sekarang?" batin Kazune lalu melirik arloji yang biasanya melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Oh ya, dia lupa bahwa ia tidak memakai jam tangan hari ini. ia pun mencoba mencari arloji yang biasanya ia cadangkan di mobilnya. Ketika ia mau mengambil arlojinya, tiba-tiba disaat yang sama ponselnya ikut terambil. Ponsel? "Ah! Bagaimana jika aku menelponnya saja! Kau jenius, Kazune. Tidak heran mengapa orang banyak memuji dirimu!" ucap Kazune mantap.
Setelah beberapa detik ia habiskan untuk mencari nomor Karin, ia dekatkan layar smartphonenya ke telinga kirinya.
KRING….
Disaat yang sama juga, Kazune mendengar suara ponsel berdering dimobilnya. Jangan katakan bahwa Karin tidak membawa apa-apa saat keluar mobil tadi.
"Argh! Kau bodoh, Karin!" geram Kazune seraya melempar ponselnya—lagi—ke sembarangan arah. Kazune pun menyalakan mobilnya lalu menancap gas dan pergi dari daerah taman tersebut.
.
.
"Aku sudah menelpon managerku untuk menjemput, nona. Jadi, kita bisa pergi dari sini." Ucap Jin seraya memasukkan ponselnya—yang tadinya ia gunakan untuk menelpon managernya sesaat melihat Karin yang makin panik—ke dalam saku celananya.
"Kita?" Karin menggeleng cepat. "Kau saja, Jin. Nanti dia akan mencariku jika aku pergi lagi."
"Dia?"
"Tunanganku," jawab Karin dengan berat hati.
Jin mangut-mangut mengerti. Ternyata gadis itu sudah bertunangan.
"Baiklah, kalau begitu, kau kuantar ke salah satu rumah temanku yang ada didekat sini. Bagaimana? Soalnya, aku tidak bisa lebih lama lagi karena ada sesi pemotretan yang akan dilaksanakan satu jam lagi."
Karin terdiam sejenak sesaat sebelum ia mengangguk pelan—walau gadis itu masih ragu dengan tawaran itu.
Setibanya di depan rumah besar yang katanya milik teman Jin, Karin dan Jin turun dan memasuki halaman rumah tersebut.
Ting… tong…
Bel berdentang tatkala Jin menekan tombol bel yang dipasang tepat disamping pintu utama rumah tersebut. Muncullah sosok pemuda bersurai caramel sesaat ia membukakan pintu utama tersebut.
"M-Micchi?!" gumam Karin setengah tidak percaya bahwa pemuda yang kini di hadapannya adalah sosok Nishikiori Michiru.
"Hanazono?"
Disaat dua manusia itu masih melongo tidak jelas satu sama lain, Jin hanya bisa mendengus kesal lantaran sedari tadi ia berbicara tidak di dengarkan oleh seorang Michiru yang bernotabene sahabat karibnya tersebut.
"Hey, Nishikiori. Ku titipkan nona ini padamu. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Sampai jumpa." Ucap Jin dan tanpa ba-bi-bu, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan pemuda pemudi yang masih saja melongo.
Sesaat mobil milik Jin Kuga tersebut pergi, tiba-tiba hujan kembali turun dan yang kini lebih deras. Lantas pemuda yang memiliki dua iris yang berbeda tersebut mempersilahkan Karin memasuki rumahnya.
"Jadi, bagaimana bisa kau bertemu dengan Jin?" tanya Micchi seraya memberikan teh hangat pada Karin yang tengah duduk di sofa.
Karin menyambut teh tersebut lalu menyesapnya sejenak.
"Entahlah. Yang pasti, itu hanya sebuah kebetulan belaka. Jin yang secara tidak sengaja menjatuhkan dompetnya dan aku mengembalikannya dan kami berlari ketika wartawan melihat kami." Jawab Karin panjang lebar lalu ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa tersebut.
"Kau darimana?" tanya Micchi mengintimidasi. Terpancar keseriusannya dari sorot matanya tersebut.
"Aku tidak tahu daerahnya. Yang jelas, taman disekitar daerah ini."
"Dengan siapa kau pergi?"
Karin mengernyitkan alisnya. Micchi yang melihatnya pun menghela nafas.
"Maksudku, kau pergi dengan siapa ke taman itu?" tanya Micchi mengulangi perkataannya.
Karin tersentak. Tubuhnya yang tadinya lemas jadi tegang. Pertanyaan sepele itu entah kenapa membuat keringat Karin bercucuran padahal udara sangat dingin. Hanya tinggal bilang 'pergi dengan Kazune' saja susah.
Pemuda yang di hadapannya kini menatapnya dengan tatapan seperti meminta penjelasan. Ia tahu bahwa pemuda bersurai caramel ini bernotabene sahabatnya Kazune juga. Tetapi, yang membuat Karin tidak bisa menjawabnya adalah pemuda itu tahu kalau ia dan Kazune suka bertengkar di sekolah atau bahkan bisa dikatakan rivalnya Kazune. Jadi, bagaimana caranya ia menjawab pertanyaan Micchi yang kenyataannya sekarang adalah 'Karin, rival Kazune; tengah pergi ke taman, dan status mereka adalah bertunangan'?
Tenggorokan Karin memanas dan ia tercekat akibat pertanyaan itu. Karin menggigit bibirnya dan kakinya gemetaran.
"Hanazono?" panggil Micchi yang membuat Karin sedikit tersentak.
Micchi kembali menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan yang—mungkin—meminta penjelasan yang akurat.
Karin terdiam sejenak lalu mencoba menenangkan pikirannya. Ia mencoba menarik nafas dalam-dalam dan ia keluarkan perlahan melalui mulutnya.
"Aku pergi dengan Kazune," ucap Karin dengan volume paling kecil.
Namun, entah karena itu masih bisa terdengar oleh indra pendengaran Micchi atau memang indra pendengaran pemuda tersebut tajam, ia dapat mendengar ucapan dan nama seseorang tersebut.
"Oh, jadi kau pergi bersamanya? Sejak kapan?" goda Micchi dengan seringaian jahilnya yang ia pancarkan.
"S-Sudahlah! Kau sudah dapat informasi yang kau mau! Sekarang, cepat telpon dia! Aku tidak bawa ponsel sekarang!" pinta Karin dengan nada tinggi—mencoba menutupi wajah merahnya.
"Ya. Ya. Baiklah, tunggu sebentar."
TBC
.
.
.
.
Hai, ini Fic pertama aku. Bagaimana? Aneh kah? Gaje kah?
REVIEW PLEASE^^
.
.
.
.
